Anda di halaman 1dari 9

‘’BIOGRAFI TOKOH ILMUWAN-ILMUWAN MUSLIM’’

DISUSUN OLEH :

Randy Robikal Al Ghifary (29 / XI MIPA 3)

SMA NEGERI 1 GENTENG

TAHUN AJARAN

2020/2021

Jl. KH. Wahid Hasyim No. 20 Genteng – Banyuwangi


A. Syah Waliyullah (1703-1762 M)

Syah Waliyullah dilahirkan di Delhi pada tanggal 21 Februari 1703 M. Ia


mendapatkan pendidikan dari orang tuanya, Syah Abd Rahim, seorang sufi dan ulama
yang memiliki madrasah. Setelah dewasa, ia kemudian turut mengajar di madrasah
itu. Selanjutnya, ia pergi naik haji dan selama satu tahun di Hejaz ia sempat belajar
pada ulama-ulama yang ada di Mekkah dan Madinah. Ia kembali ke Delhi pada tahun
1732 dan meneruskan pekerjaannya yang lama sebagai guru. Di samping itu, ia gemar
menulis buku dan banyak meninggalkan karya-karyanya, di antaranya buku
Hujjatullah Al-Baligah dan Fuyun Al-Haramain.

Pemikiran Syah Waliyullah


Salah satu sebab yang membawa kepada kemunduran umat Islam, menurut pemikiran
Syah Waliyullah adalah perubahan sistem pemerintahan dalam Islam dari sistem
kekhalifahan menjadi sistem kerajaan. Kedua sistem ini sangatlah berbeda, di mana
sistem kekhalifahan bersifat demokratis sedangkan sistem kerajaan bersifat otokratis.

Jika melihat dari perjalanan sejarah umat Islam, raja-raja Islam pada mumnya
mempunyai kekuasaan absolut. Mereka bebas menentukan besar kecilnya pajak yang
harus dibayar rakyatnya. Pajak tinggi yang harus dibayar rakyat ini, menurut Syah
Waliyullah, membawa pada semakin lemahnya umat. Selanjutnya hasil dari pajak
tinggi itu, kebanyakan tidak digunakan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk
membelanjai hidup mewah kaum bangsawan yang tidak mempunyai kontribusi.

Pemungutan pajak yang tidak adil ini tentunya menimbulkan kesenjangan di kalangan
masyarakat, dan menimbulkan rasa tidak puas di kalangan rakyat, sehingga dapat
mengganggu keamanan dan ketertiban rakyat itu sendiri. Untuk mengatasi hal
tersebut, Syah Waliyullah berpendapat bahwa sistem pemerintahan absolut harus
diganti dengan sistem pemerintahan demokratis, layaknya sistem kekhalifahan zaman
dahulu.

Ia mendefinisikan khalifah sebagai pemimpin agama yang paling dekat dengan


sunnah Nabi, laki-laki sempurna yang berjuang demi keadilan, dan berusaha
menggunakan beberapa teknik administratif dan yudisial dalam memimpin
masyarakatnya menuju kebajikan religius. Dalam pandangan Syah Waliyullah,
kehendak Tuhan terpancar melalui khalifah kepada perasaan dan pikiran rakyatnya.
Bahkan dalam ketidakadaan fungsi spiritual ini, seorang khalifah membawakan
pertahanan politik muslim dan organisasi hukum muslim.

B. Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M)

. Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada 17 Oktober 1817 dan meninggal pada 27
Maret 1898. Menurut, keterangan nasabnya berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi
Muhammad. Neneknya, Sayyid Hadi, merupakan salah satu pembesar istana Mughal pada
masa pemerintaan Alamghir II (1754-1759). Sedangkan, kakek dan ayah dari Sayyid Ahmad
Khan bekerja di East India Company, dengan posisi cukup penting. Singkatnyam Sayyid
Ahmad Khan berasal dari keluarga berstatus tinggi, modernis, berorientasi Barat, dan cukup
mengenal kehidupan orang Inggris.

Meskipun keluarganya banyak yang berkecimpung dengan pengaruh Barat, namun Ibu dari
Ahmad Khan adalah sosok muslim yang religius. Dia merupakan wanita yang dihormati
karena pengetahuan agamanya. Dia memasukkan Ahmad Khan ke dalam madrasah dan
memberikan pengaruh yang sepadan dengan pengaruh yang diberikan kakek Ahmad Khan.
Sehingga Ahmad Khan tumbuh dewasa dengan dua pengaruh yang berlawanan: kesetiaan
dengan sepenuh hati kepada komunitas muslim dan penghormatan yang tinggi terhadap
budaya Inggris.

Namun, pendidikan Ahmad Khan harus terhenti di tengah jalan, krisis ekonomi keluarganya
pasca kematian ayahnya adalah penyebab utamanya. Untuk membantu perekonomian
keluarga Sayyid Ahmad Khan memutuskan untuk bekerja. Ketika umurnya baru delapan
belas tahun dia melamar kerja ke East India Company, dan dia diterima sebagai panitera.
Panitera merupakan jabatan rendah dalam serikat dagang tersebut, dia tidak bisa naik lebih
tinggi karena dia tidak menyelesaikan pendidikan formalnya.

Tidak lama setelah bekerja di East Indian Company, dia memutuskan berpindah pekerjaan
dengan menjadi hakim. Tetapi pada tahun 1846, dia pkembali ke Delhi untuk meneruskan
studi. Sayyid Ahmad Khan banyak menghabiskan waktunya untuk belajar secara otodidak.
Dia banyak membaca literatu ilmu pengetahuan baik yang berhasa lokal ataupun Inggris. Dia
membentuk kelompok diskusi bersama teman-teman muslim India dan mengadakan serial
kuliah dengan topik-topik ilmiah.

Ketika pemberontakan Mutiny pecah pada 1857, ia berusaha untuk mencegah terjadinya
kekerasan dan banyak menolong orang Inggris dari pembunuhan. Pihak Inggris menganggap
Ahmad Khan banyak berjasa bagi mereka dan ingin membalas jasanya. Tetapi, hadiah yang
diberikan Inggris kepadanya ditolak, dan hanya gelar Sir yang diterimanya.

C. Muhammad Iqbal (1876-1938 M)


Muhammad Iqbal (Urdu: ‫)محمد اقبال‬, (lahir di Sialkot, Punjab, India, 9 November 1877

– meninggal di Lahore, 21 April 1938 pada umur 60 tahun), dikenal juga sebagai Allama
Iqbal (Urdu: ‫)عالمہ اقبال‬, adalah seorang penyair, politisi, dan filsuf besar abad ke-20.[1][2]

Ia dianggap sebagai salah satu tokoh paling penting dalam sastra Urdu, dengan karya sastra
yang ditulis baik dalam bahasa Urdu maupun Persia. Iqbal dikagumi sebagai penyair klasik
menonjol oleh sarjana-sarjana sastra dari Pakistan, India, maupun secara internasional.
Meskipun Iqbal dikenal sebagai penyair yang menonjol, ia juga dianggap sebagai "pemikir
filosofis Muslim pada masa modern". Buku puisi pertamanya, Asrar-e-Khudi, juga buku puisi
lainnya termasuk Rumuz-i-Bekhudi, Payam-i-Mashriq dan Zabur-i-Ajam;; dicetak dalam
bahasa Persia pada 1915. Di antara karya-karyanya, Bang-i-Dara, Bal-i-Jibril, Zarb-i Kalim
dan bagian dari Armughan-e-Hijaz merupakan karya Urdu-nya yang paling dikenal. Bersama
puisi Urdu dan Persia-nya, berbagai kuliah dan surat dalam bahasa Urdu dan Bahasa Inggris-
nya telah memberikan pengaruh yang sangat besar pada perselisihan budaya, sosial, religius
dan politik selama bertahun-tahun. Pada 1922, ia diberi gelar bangsawan oleh Raja George V,
dan memberinya titel "Sir".

Ketika mempelajari hukum dan filsafat di Inggris, Iqbal menjadi anggota "All India Muslim
League" cabang London. Kemudian dalam salah satu ceramahnya yang paling terkenal, Iqbal
mendorong pembentukan negara Muslim di Barat Daya India. Ceramah ini diutarakan pada
ceramah kepresidenannya di Liga pada sesi Desember 1930. Saat itu ia memiliki hubungan
yang sangat dekat dengan Quid-i-Azam Mohammad Ali Jinnah.

Iqbal dikenal sebagai Shair-e-Mushriq (Urdu: ‫ )شاعر مشرق‬yang berarti "Penyair dari Timur".
Ia juga disebut sebagai Muffakir-e-Pakistan ("The Inceptor of Pakistan") dan Hakeem-ul-
Ummat ("The Sage of the Ummah"). Di Iran dan Afganistan ia terkenal sebagai Iqbāl-e
Lāhorī (‫" اقبال الهوری‬Iqbal dari Lahore"), dan sangat dihargai atas karya-karya berbahasa
Persia-nya. Pemerintah Pakistan menghargainya sebagai "penyair nasional", hingga hari
ulang tahunnya (‫ – یوم والدت محمد اقبال‬Yōm-e Welādat-e Muḥammad Iqbāl) merupakan hari
libur di Pakistan.

D. Muhammad Ali Pasya (1765-1849 M)

Muhammad Ali Pasha adalah seorang tokoh pembaruan di Mesir yang masih
keturunan dari Turki. Ia lahir di Kawalla, Yunani pada tahun 1765 dan meninggal tahun 1849
di Mesir.[1] Ayahnya adalah seorang pedagang dan dapat dikatakan bahwa Muhammad Ali
lahir dalam keadaan keluarga tidak mampu sehingga ia tidak pernah mengenyam
pendidikan yang menjadikannya sebagai orang yang ummi (tidak dapat baca tulis).[butuh rujukan]
Tetapi tidak ada

yang menyangka dengan latarbelakang yang seperti ini, ia mampu menjadi panglima dan
tokoh pembaruan sekaligus pendiri negara Mesir modern. [butuh rujukan]

E. Rifa’ah Baidal Rafi’ Al-Tahtawl (1801-1873 M)


Tokoh ini sering dikenal dengan sebutan Al Tahtawi. Ia lahir pada tahun 1801 di
Tahta, suatu kota yang terletak di Mesir bagian selatan dan meninggal di Kairo pada tahun
1873. AlTahtawi mulai belajar di Universitas AlAzhar Kairo ketika usianya 16 tahun. Ia
menyelesaikan studi di AlAzhar pada tahun 1822 dalam waktu lima tahun.

F. Jamaludin Al-Afghani (1839-1897 M)

Jamaludin lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal dunia di Istanbul
tahun 1897. Pada usia 22 tahun, ia telah menjadi pembantu bagi Pangeran Dost Muhammad
Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sir Ali Khan. Beberapa tahun
kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri.

G. Muhammad Abduh (1849-1905 M)

Muhammad Abduh (bahasa Arab: ‫ ;محمد عبده‬lahir di Delta Nil (kini wilayah Mesir),
1849 – meninggal di Iskandariyah (kini wilayah Mesir), 11 Juli 1905 pada umur 55/56 tahun)
adalah seorang pemikir muslim dari Mesir, dan salah satu penggagas gerakan modernisme
Islam.

Ia belajar tentang filsafat dan logika di Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid
dari Jamaluddin al-Afghani, seorang filsuf dan pembaru yang mengusung gerakan Pan
Islamisme untuk menentang penjajahan Eropa di negara-negara Asia dan Afrika.

Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir selama enam tahun sejak 1882, karena
keterlibatannya dalam Pemberontakan Urabi. Di Lebanon, Abduh sempat giat dalam
mengembangkan sistem pendidikan Islam. Pada tahun 1884, ia pindah ke Paris, dan bersalam
al-Afghani menerbitkan jurnal Islam The Firmest Bond

H. Muhammad Rasyid Rida (1865-1935 M)

Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Al-Qalmuni
Al-Husaini (bahasa Arab: ‫ ;محمد رشيد رضا‬transliterasi, Muḥammad Rashīd Riḍā; lahir di Suriah
Utsmaniyah, 23 September 1865[1] atau 18 Oktober 1865[2] – meninggal di Mesir, 22 Agustus
1935)[2] dikenal sebagai Rasyid Ridha) adalah seorang intelektual muslim dari Suriah yang
mengembangkan gagasan modernisme Islam yang awalnya digagas oleh Jamaluddin al-
Afghani dan Muhammad Abduh. Ridha mempelajari kelemahan-kelemahan masyarakat
muslim saat itu, dibandingkan masyarakat kolonialis Barat, dan menyimpulkan bahwa
kelemahan tersebut antara lain kecenderungan umat untuk mengikuti tradisi secara buta
(taqlid), minat yang berlebihan terhadap dunia sufi dan kemandegan pemikiran ulama yang
mengakibatkan timbulnya kegagalan dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan
teknologi. Ia berpendapat bahwa kelemahan ini dapat diatasi dengan kembali ke prinsip-
prinsip dasar Islam dan melakukan ijtihad dalam menghadapi realita modern.

I. Sultan Mahmud II (1785-1839 M)


Mahmud II (bahasa Turki Utsmaniyah: ‫ محمود ثانى‬Mahmud-u s̠ ānī, ‫ محمود عدلى‬Mahmud-
u Âdlî; bahasa Turki: İkinci Mahmut; 20 Juli 1785 - 1 Juli 1839) adalah sultan ke-30 dari
Kesultanan Utsmaniyah dari 1808 sampai kematiannya pada tahun 1839.

Pemerintahannya diakui untuk reformasi administrasi, militer, dan fiskal yang


ekstensif yang dia terapkan, yang memuncak dalam Keputusan Tanzimat ("reorganisasi")
yang dilakukan oleh anak-anaknya Abdul Mejid I dan Abdul Aziz. Sering digambarkan
sebagai "Pyotr yang Agung dari Turki",[1] reformasi Mahmud termasuk penghapusan 1826
korps Janissary konservatif, yang menghilangkan hambatan besar bagi reformasi dirinya dan
para penerusnya di Kesultanan. Reformasi yang dia lakukan ditandai dengan perubahan
politik dan sosial, yang pada akhirnya akan mengarah pada kelahiran Republik Turki modern.
[2]

J. Namik Kemal (1840-1888 M)


Namık Kemal (21 Desember 1840-2 Desember 1888) yang dijuluki sebagai penyair
kebebasan, adalah seorang penulis dan penyair Turki yang memiliki nama asli Kemal Bek.

Pada 1863 ditunjuk menjadi penulis biografi. Ia menulis di surat kabar Tashwir Afkar
yang diterbitkan penulis Kesultanan Utsmaniyah Syunasi, penyokong dan pembaharu sastra
Turki dan berorientasi pada sastra Eropa. Namik Kemal mengelola surat kabar ini setelah
Syunasi pergi ke Eropa. Ia bergabung dengan Gerakan Turki Muda dan melarikan diri
bersama Ziya Paşa ke Eropa, lalu bekerja sama dalam menerbitkan surat kabar Hürriyet di
London (1868).

Anda mungkin juga menyukai