Anda di halaman 1dari 10

RISIKO PENULARAN PENYAKIT TERHADAP PETUGAS KESEHATAN

AKIBAT KECELAKAAN KERJA TERTUSUK JARUM


Tria Aulia
Email : triaaa.auliaaa@gmail.com

LATAR BELAKANG

Rumah sakit merupakan suatu tempat yang berisiko terjadinya cedera. Hal ini disebabkan karena
berbagai kegiatan dirumah sakit sangat berhubungan dengan penyakit-penyakit berbahaya,
prosedur kritis dengan alat atau benda tajam. WHO (1995) memperkirakan 10% petugas
kesehatan mengalami injury benda tajam.
Kecelakaan dalam bekerja dapat diakibatkan oleh kelalaian pekerja, bekerja melebihi batas
kemampuan atau ergonomis yang buruk dalam bekerja. Dalam bidang kesehatan, kelalaian
dalam bekerja bisa terjadi apa saja. Salah satunya adalah tertusuk jarum atau benda tajam di
rumah sakit. Jarum suntik dan alat medis yang tajam merupakan alat medis yang bersentuhan
langsung dengan jaringan tubuh dan darah pasien. Tenaga kesehatan yang lalai dapat tertular
melalui jarum suntik yang terkontaminasi cairan tubuh pasien yang terinfeksi. Petugas kesehatan
berisiko terpapar darah dan cairan tubuh yang terinfeksi (bloodborne pathogen) yang dapat
menimbulkan infeksi HBV (Hepatitis B Virus), HCV (Hepatitis C Virus) dan HIV (Human
Immunodeficiency Virus) melalui berbagai cara, salah satunya melalui luka tusuk jarum atau
yang dikenal dengan istilah Needle Stick Injury atau NSI (Hermana, 2006). Luka atau cidera
akibat tertusuk jarum atau benda tajam lainnya merupakan hal yang sangat perlu diperhatikan.
Apabila seorang petugas kesehatan tanpa sengaja terluka akibat tertusuk jarum yang sudah
terkontaminasi cairan tubuh orang yang sakit maka beresiko terjadi penularan sekurang-
kurangnya 20 patogen potensial. Dua patogen yang sangat berbahaya adalah Hepatitis B (HBV)
dan Human Immunodefidiensy Virus (HIV). Hepatitis B (HBV) adalah infeksi pada hati atau
liver. Penyakit ini sering ditemui dan penyebaran nya 100 kali lebih cepat dari HIV dan dapat
menyebabkan kematian.
Kurniawati dkk (2013) dalam hasil penelitian mereka menunjukkan nilai tertinggi 14 kali
responden mengalami kecelakaan kerja tertusuk jarum pada 1 tahun terakhir. Hasil analisis
bivariat menunjukkan praktik penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) berhubungan
dengan kejadian kecelakaan tertusuk jarum.
Djauhari (2015) meneliti faktor yang berhubungan dengan luka tusuk jarum suntik pada bidan
desa di Kabupaten Mojokerto Tahun 2015. Sampel penelitian ini sebanyak 74 bidan desa. Hasil
penelitian menunjukkan bidan desa yang mengalami luka tusuk jarum 39 orang dan tidak
mengalami luka tusuk jarum suntik 35 orang. Disamping itu juga menunjukkan hubungan yang
signifikan antara luka tusuk jarum suntik dengan faktor pengetahuan, ketersediaan safety box,
penerapan SOP, pemakaian APD, nonrecapping, pemanfaatan safety box, dan pengawasan.
S. Mapanawang dkk (2017) dalam hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa hasil analisis uji
chi-square didapatkan hasil yang menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan
dengan kejadian luka tusuk jarum suntik pada perawat. Pada hasil analisis ini juga didapatkan
bahwa pengetahuan perawat yang kurang baik berpeluang sebesar 2,1 kali mengalami luka tusuk
jarum suntik dibanding pengetahuan yang baik. Kejadian tertusuk jarum suntik atau benda tajam
lainnya tersebut dapat disebabkan karena peralatan yang tidak aman, petugas yang lalai atau
tidak mengikuti standar operasional prosedur dan juga karena lemahnya sistem pengawasan di
rumah sakit. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kejadian kecelakaan kerja
tertusuk jarum suntik memiliki besaran masalah (magnitude of the problem) yang cukup besar,
dimana petugas kesehatan sebagai kelompok pekerja yang paling rentan. Oleh karena itu, peneliti
tertarik melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kecelakaan kerja
tertusuk jarum suntik atau benda tajam lainnya.

METODE

Penulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu  suatu penelitian yang pada
dasarnya menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Pendekatan ini berangkat dari suatu
kerangka teori, gagasan para ahli, maupun pemahaman peneliti berdasarkan pengalamannya
yang kemudian dikembangkan menjadi permasalahan-permasalahan beserta pemecahannya yang
diajukan untuk memperoleh pembenaran (verifikasi) dalam bentuk dukungan data empiris di
laporan. Penelitian kualitatif ini menggunakan desain penelitian studi kasus. Studi kasus
dilakukan dengan cara meneliti suatu permasalahan melalui suatu kasus yang terdiri dari unit
tunggal. Pembatasan masalah dalam penelitian kualitatif disebut fokus penelitian. Fokus dalam
penelitian ini adalah “Risiko Penularan Penyakit Terhadap Petugas Kesehatan Akibat
Kecelakaan Kerja Tertusuk Jarum”. Singkatnya, metode penelitian kualitatif adalah penelitian
tentang riset yang bersifat deskriptif dan menggunakan analisis. Kemudian diinterpretasikan
dengan memanfaatkan teori yang ada sebagai bahan pendukung. Melakukan observasi yang
didasarkan atas literatur penelitian. Lalu dijelaskan secara deskriptif berdasarkan literatur
tersebut. Nantinya akan disesuaikan dengan judul jurnal ini yaitu “Risiko Penularan Penyakit
Terhadap Petugas Kesehatan Akibat Kecelakaan Kerja Tertusuk Jarum”. Pengumpulan data
dalam pengkajian ini menggunakan jurnal dan buku. Jurnal dan buku yang digunakan dalam
pengkajian ini untuk menunjang kevalidan data yang telah diperoleh. Setelah itu akan dikaji
sesuai dengan bahan teori yang sudah ada untuk menghasilkan penelitian yang berkualitas.

HASIL

Berdasarkan hasil analisis perawat yang mengalami kecelakaan kerja tertusuk jarum suntik atau
benda tajam lainnya dan yang tidak mengalami kecelakaan kerja tertusuk jarum suntik atau
benda tajam lainnya. Berdasarkan penyebab kecelakaan diketahui bahwa yang disebabkan oleh
jarum suntik/jarum jahit, pecahan ampul/vial obat, pisau bedah/bisturi, dan instrumen tajam
lainnya. Berdasarkan jenis tindakan penyebab diketahui kecelakaan kerja terjadi pada saat
membuka/memasang kembali tutup jarum, pada saat menyuntik/menjahit luka dan pada saat
mematahkan ampul/vial obat.
Perilaku tidak aman perawat saat bekerja tanpa menggunakan alat pelindung diri sesuai standar
dapat mengakibatkan kecelakaan kerja dan menimbulkan penyakit akibat kerja. Cedera akibat
tusukan jarum pada perawat merupakan masalah yang signifikan dalam institusi pelayanan
kesehatan dewasa ini.
Ketika perawat tanpa sengaja menusuk dirinya sendiri dengan jarum suntik yang sebelumnya
masuk ke dalam jaringan tubuh pasien, perawat beresiko terjangkit sekurang-kurangnya 20
patogen potensial. Dua pathogen yang paling menyebabkan masalah ialah hepatitis B (HBV) dan
Human Immunodeficiency Virus atau HIV.
Hepatitis B adalah penyakit infeksi pada hati (hepar/liver) yang berpotensi fatal yang disebabkan
oleh Virus Hepatitis B (VHB) dan merupakan salah satu penyakit yang sering ditemui dan
menular. Penularannya sangat cepat, 100 kali lebih cepat dari HIV/AIDS dan dapat
menyebabkan kematian. Mengingat besarnya kerugian yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja,
maka penerapan universal precautions sangat diperlukan. Geller (2001) juga menekankan
pentingnya pendekatan perilaku yang didasari keselamatan (behavior based safety) dalam upaya
meningkatkan keselamatan kerja baik yang bersifat reaktif maupun proaktif.
Hasil studi menunjukkan bahwa faktor bahaya di instalasi gawat darurat terdiri dari bahaya fisik,
biologi, ergonomi, perilaku, dan psikologis. Faktor bahaya fisik merupakan yang dominan yaitu
jarum suntik (benda tajam) yang berdampak luka tusuk dan tertular penyakit menular dari pasien.
Nilai risiko tertinggi bahaya fisik dan biologi pada proses pekerjaan pemasangan infus pada
pasien sebesar 150 (tinggi) mengharuskan adanya perbaikan secara teknis. Nilai risiko ini
didapatkan apabila telah melakukan rekomendasi pengendalian dari peneliti.
Pada pekerjaan pengambilan sampel darah pasien memiliki satu tahap pekerjaan yaitu
mengambil darah pasien. Pengambilan darah pasien memiliki bahaya fisik menggunakan jarum
suntik yang berdampak tertusuk jarum suntik. Bahaya biologi yaitu kontak dengan darah pasien
yang berdampak tertular penyakit Hepatitis, AIDS, dan HIV. Bahaya perilaku yaitu tidak
menggunakan alat pelindung diri yang berdampak mudah tertular penyakit Hepatitis, AIDS, dan
HIV.
Pada pekerjaan pemasangan infus pada pasien memiliki dua tahap pekerjaan yaitu penusukan
jarum ke vena dan merapikan alat. Penusukan jarum ke vena pasien memiliki bahaya fisik
menggunakan jarum suntik yang berdampak tertusuk jarum suntik. Bahaya biologi yaitu kontak
dengan darah pasien yang berdampak tertular penyakit Hepatitis, AIDS, dan HIV
Pada pekerjaan injeksi obat pada pasien memiliki satu tahap pekerjaan yaitu penusukan jarum ke
vena. Penusukan jarum ke vena pasien memiliki bahaya fisik menggunakan jarum suntik yang
berdampak tertusuk jarum suntik. Kebiasaan merecap jarum suntik merupakan pemicu dampak
luka tusuk, yang seharusnya setelah selesai jarum bekas pakai dibuang ke dalam safety box.
Pada penjahitan luka pada pasien memiliki tiga tahap pekerjaan yaitu menyiapkan obat anastesi,
penjahitan luka dan merapikan alat. Menyiapkan obat anastesi memiliki bahaya fisik
menggunakan jarum suntik dan memecahkan ampulan. Dampaknya luka tusuk jarum dan luka
gores pecahan ampulan. Tahap selanjutnya dari pekerjaan penjahitan luka yaitu merapikan alat.
Merapikan alat memiliki bahaya fisik jarum jahit luka (hecting) dan instrumen tajam yang telah
digunakan dalam proses penjahitan luka. Jarum hecting tidak langsung di buang ke dalam safety
box dan meletakkan jarum bekas pakai ke dalam tempat instrumen tajam. Dampak dari bahaya
tersebut bukan hanya luka tusuk jarum suntik tetapi ada juga bahaya tertular penyakit menular
yang di derita oleh pasien

PEMBAHASAN

Kesehatan kerja merupakan suatu unsur kesehatan yang berkaitan dengan lingkungan kerja dan
pekerjaan, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi efisiensi dan
produktivitas kerja. Sedangkan, keselamatan kerja merupakan suatu sarana utama untuk
mencegah terjadinya kecelakaan kerja yang dapat menimbulkan kerugian berupa luka atau
cidera, cacat atau kematian, kerugianharta benda, kerusakan peralatan atau mesin dan kerusakan
lingkungan secara luas.
Pada hakekatnya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan suatu usaha untuk
menciptakan perlindungan dan keamanan dari berbagai risiko kecelakaan dan bahaya, baik fisik,
mental maupun emosional terhadap pekerja, perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Disamping
itu, keselamatan dan kesehatan kerja diharapkan dapat menciptakan kenyamanan kerja dan
keselamatan kerja yang tinggi.
Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) tahun 2013, satu pekerja di dunia
meninggal setiap 15 detik karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja didunia mengalami penyakit
akibat kerja (PAK). Diperkirakan 2,3 juta pekerja meninggal setiap tahun akibat kecelakaan dan
penyakit akibat kerja (PAK). Lebih dari 160 juta pekerja menderita penyakit akibat kerja dan 313
juta pekerja mengalami kecelakaan tidak fatal per tahunnya.
Secara Global data WHO, dari 35 juta pekerja kesehatan, 3 juta terpajan patogen darah (2 juta
terpajan virus HBV, 0,9 juta terpajan virus HBC dan 170,000 terpajan virus HIV / AIDS), lebih
dari 90% terjadi di negara berkembang, dan 8-12% pekerja Rumah Sakit sensitif terhadap lateks.
Di Indonesia, data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, hingga akhir
2015 telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak 105.182 kasus. Sementara itu, untuk kasus
kecelakaan berat yang mengakibatkan kematian tercatat sebanyak 2.375 kasus dari total jumlah
kecelakaan kerja. Data dari Massachussetts Departement of Public Health (MDPH) USA
terdapat 2.947 orang pekerja rumah sakit mengalami cedera terkena benda tajam termasuk jarum
suntik. Sebanyak 1.060 orang tenaga perawat, 1.078 orang tenaga dokter, 511 orang tenaga
teknisi phlebotomi dan sisanya 1119 orang tenaga pelayanan pendukung lainnya.
Penelitian lain menunjukkan bahwa pekerja kesehatan berisiko terpapar darah dan cairan tubuh
yang terinfeksi (bloodborne pathogen) yang dapat menimbulkan infeksi HBV, HCV dan HIV
melalui berbagai cara, salah satunya melalui luka tusuk jarum atau benda tajam lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manajemen risiko.
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja.
Faktor risiko PAK antara lain: Golongan fisik, kimiawi, biologis atau psikososial di tempat kerja.
Faktor tersebut di dalam lingkungan kerja merupakan penyebab yang pokok dan menentukan
terjadinya penyakit akibat kerja. Faktor lain seperti kerentanan individual juga berperan dalam
perkembangan penyakit di antara pekerja yang terpajan.
Luka akibat jarum suntik dan benda tajam adalah luka yang di sebabkan oleh benda yang telah
terkontaminasi cairan tubuh orang lain. Cidera ini kebanyakan terjadi pada petugas kesehatan
yang bekerja di rumah sakit. Luka tertusuk jarum dan benda tajam dapat terjadi sebelum
digunakan, selama penggunaan, setelah menggunakan, sebelum pembuangan, dan selama atau
setelah pembuangan.
Luka tertusuk jarum dapat disebabkan oleh jarum seperti jarum suntik, jarum donor darah, jarum
infus steril, dan jarum jahit. Adapun luka akibat benda tajam berasal dari pecahan ampul,
gunting, dan pisau bedah. Petugas kesehatan memiliki resiko tinggi terpajan penyakit infeksi
blood borne seperti Human Immunodefidiensy Virus (HIV), Hepatitis B, dan Hepatitis C.
Penularan virus melalui blood borne pada kecelakaan kerja tertusuk jarum sebesar 30% virus
Hepatitis B, 3% Hepatitis C, dan 0,3 % untuk virus HIV. Penyakit infeksi tersebut berasal dari
benda terkontaminasi seperti jarum suntik bekas pakai dan benda tajam lain nya yang sumbernya
diketahui maupun tidak diketahui.
Keselamatan (safety) telah menjadi issue global termasuk juga untuk rumah sakit, ada lima (5)
issue penting yang terkait dengan keselamatan (safety) rumah sakit, yaitu : keselamatan pasien
(patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan
peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas,
keselamatan lingkunganyang berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan
“bisnis” rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Kelima aspek
keselamatan tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit.Keselamatan
bukan hanya milik pasien semata, melainkan petugas kesehatan sebagai pelaku kesehatan juga
memerlukan perlindungan keselamatan terutama dalam hal selama melakukan perawatan kepada
pasien (Iswanto 2013).
Rumah sakit merupakan suatu tempat yang berisiko terjadinya cedera. Hal ini disebabkan karena
berbagai kegiatan dirumah sakit sangat berhubungan dengan penyakitpenyakit berbahaya,
prosedur kritis dengan alat/ benda tajamdalam bekerja sehari-hari Petugas Pelayanan Kesehatan
(PPK) berhadapan dengan risiko luka tusuk jarum suntik (LTJS) di mana jarum suntik dapat
membawa serta pathogen darah seperti virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), HIV
(human immunodeficiency virus) dan dua puluh lebih pathogen lainnya, yang berdampak infeksi
di mana peluang terjangkit infeksi Hepatitis B, Hepattis C dan HIV.
Permasalahan utama muncul saat ini adalah mengenai prosedur pajanan jarum yang sering
diabaikan apabila terjadi insiden. Pedoman Pencegahan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit
dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya tentang Perlindungan Petugas Kesehatan
menyebutkan bahwa Petugas atau orang yang terpapar pajanan harus mendapat penanganan lebih
lanjut untuk mencegah dan atau mengobati dari resiko penularan infeksi dari pasien dalam waktu
4 jam paska pajanan (Kemenkes RI,2011).
Kemudian Paska pajanan wajib dilaporkan ke Tim Patient Safety, akan tetapi pemberian
profilaksis setelah 72 jam tidak dianjurkan. Upaya untuk mengurangi kecelakaan akibat bekerja
perlu mendapatkan perhatian. Dalam tindakan menyuntik misalnya petugas kesehatan perlu
dibekali pengetahuan, sikap dan ketrampilan tentang standar operasional presedur yang berlaku
di rumah sakit dan prinsip-prinsip pencegahan infeksi yang berfungsi sebagai pedoman dalam
melaksanakan suatu tindakan dalam menyuntik yang aman karena tindakan sekecil apapun yang
berhubungan dengan nyawa manusia dapat menimbulkan resiko terhadap petugas kesehatan dan
pasien (Potter dan Perry, 2006).
Salah satu penularan HIV melalui transisi non seksual adalah transisi parenteral melalui jarum
suntik yang sering terpapar oleh tenaga dan mahasiswa kesehatan. Pelaksanaan APD dalam
upaya pencegahan penularan HIV oleh instansi pendidikan dan rumah sakit sudah berlangsung
gencar. Menurut Harwasih (2008), upaya pengendalian diri (controling), alat pelindung diri
sesungguhnya merupakan hirarki terakhir dalam melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga
kerja dari potensi bahaya yang kemungkinan terjadi pada saat melakukan pekerjaan, setelah
pengendalian teknik dan administratif tidak mungkin lagi diterapkan.
Luka jarum suntik sering terjadi pada lingkungan pelayanan kesehatan yang melibatkan jarum
sebagai alat kerjanya. Peristiwa ini menjadi perhatian bagi pelayanan rumah sakit karena risiko
untuk menularkan penyakit melalui darah, seperti virus Hepatitis B (HBV), virus Hepatitis C
(HCV), dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Kemenkes RI ,2011).
Keamanan Kerja dan Pelayanan Kesehatan (Occupational Safety and Health Administation,
OSHA), pada tahun 2001 mengeluarkan sebuah mandat tindakan kewaspadaan yang disebut
kewaspadaan standar (Standart Precaution) yang menyatakan bahwa institusi harus
menyediakan alat pelindung untuk pegawai guna mencegah penularan pathogen yang ditularkan
melalui darah, karena rute pajanan penyakit yang ditularkan melalui darah paling sering berasal
dari jarum suntik (Bohony, 2003).
Pencegahan tersebut penting sebab selama ini di rumah sakit petugas kesehatan kerap mengalami
kecelakaan tertusuk jarum bekas pakai. Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur
penyuntikan adalah pada saat petugas berusaha memasukkan kembali jarum suntik bekas pakai
kedalam tutupnya.Oleh karena itu, sangat tidak dianjurkan untuk menutup kembali jarum suntik
tersebut, melainkan langsung saja dibuang ketempat penampungan sementara tanpa menyentuh
atau memanipulasi bagian tajamnya seperti dibengkokkan, dipatahkan atau ditutup kembali. Jika
jarum terpaksa ditutup kembali (recapping), gunakanlah cara penutupan jarum dengan satu
tangan (one-hand scoop) untuk mencegah jari tertusuk jarum (Depkes, 2003). Cedera akibat
tusukan jarum pada petugas kesehatan merupakan masalah yang signifikan dalam institusi
pelayanan kesehatan dewasa ini maka diharapkan petugas kesehatan memahami prosedur
penatalaksanaan needle stick injury.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya LTJS bervariasi di setiap tempat kerja. Faktor
predisposisi, factor penguat (reinforcing factor), factor pemungkin (enabling factor), yang
memepengaruhi prilaku seseorang pada prilaku dan gaya hidup sehat, misalnya kepatuhan dan
keamanan menyuntik, dapat dipakai sebagai dasar unutk menjelaskan kejadian LTJS. Paramedis
yang bertugas di rumah sakit terpajan risiko LTJS dengan dampak infeksi yang menjadi kendala
keselamatan kerja dan kesehatan bagi mereka sekaligus tanggung jawab rumah sakit unutk
menjamin keselamatan dan kesehatan kerja paramedis.
Berdasarkan studi literatur di atas tentang kejadian dan penatalaksanaan needle stick injury di
Rumah Sakit maka sangat diperlukan suatu terobosan baru untuk mengatasi kejadian needle stick
injury. Strategi untuk meningkatkan pengetahuan petugas kesehatan dalam kewaspadaan
Universal adalah dengan memberikan edukasi dan pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan petugas kesehatan tentang presedur penatalaksanaan needle stik injury.

PENUTUP

Faktor risiko yang paling besar pengaruhnya terhadap kejadian kecelakaan adalah faktor
pelatihan, sehingga memiliki risiko 3,566 kali lebih besar mengalami kejadian kecelakaan.
Disarankan kepada pemilik perusahaan untuk mengadakan pelatihan/training tentang pencegahan
luka tusuk jarum secara berkala dan memprioritaskan perawat yang baru atau yang belum pernah
mengikuti, serta memonitoring dan mengevaluasi kinerja perawat setelah mengikuti training.
Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari pekerjaan, apapun jenis pekerjaan selalu dilakukan
dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari, mulai dari pekerjaan berisiko rendah hingga
berisiko tinggi.
Disamping itu pemahaman dan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) masih kurang di
perhatikan oleh pekerja formal maupun informal. Pada hal faktor K3 sangat penting dan harus
diperhatikan oleh pekerja dan hal ini menjadi tanggung jawab bersama, perlu adanya kerja sama
antara pemerintah, perusahaan dan pekerja agar terhindar dari Kecelakaan Akibat Kerja (KAK)
dan Penyakit Akibat Kerja (PAK).
Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan upaya perlindungan tenaga kerja dari bahaya,
penyakit dan kecelakaan akibat kerja maupun lingkungan kerja. Penegakan diagnosis spesifik
dan sistem pelaporan penyakit akibat kerja penting dilakukan agar dapat mengurangi dan atau
bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan
efisiensi dan produktivitas kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Indragiri, S. Yuttya, T. (2018). Manajemen Risiko K3 Menggunakan Hazard Identification Risk


Assessment and Risk Control (HIRARC). Jurnal Kesehatan, 9(1), 39-52.
Mapanawang, S, Pandelaki, K & Panelewen, J. (2017). Hubungan Antara Pengetahuan,
Kompetensi, Lama Kerja, Beban Kerja Dengan Kejadian Tertusuk Jarum Suntik Pada
Perawat Di RSUD Liun Kendage Tahuna. Jurnal Pascasarjana Ilmu Kesehatan
Masyarakat, 5(3), 4336-4344.
Maria, S.P.I. Wiyono, J. Candrawati, E. (2015). Kejadian Kecelakaan Kerja Perawat
Berdasarkan Tindakan Tidak Aman. Jurnal Care, 3(2), 9-17.
Meilawati, I. Prapancha, Y. Wiyono, T. (2019). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Luka Tusuk Jarum Suntik Pada Perawat Di Rumah Sakit Bhayangkara Brimob
Tahun 2018. Jurnal Bidang Ilmu Kesehatan, 9(1), 24-36.
Puspitasari, S. Supriyanto. Ginanjar, R. (2019). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kecelakaan Kerja Tertusuk Jarum Suntik atau Benda Tajam Lainnya Pada Perawat di
RSUD Leuwiliang Kabupaten Bogor Tahun 2018. Promotor Jurnal Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat, 2(2), 163-171.
Putri, O. Z. Ariff, T. M. Kasjono, H. S. (2017). Analisis Risisko Keselamatan dan Kesehatan
Kerja pada Petugas Kesehatan Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Akademik UGM.
Jurnal Kesehatan, 10(1), 1-12.
Ramdan, I. M. Rahman, A. (2017). Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada
Perawat. JKP, 5(3), 229-241.
Salawati, Liza. (2015). Penyakit Akibat Kerja dan Pencegahan. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala,
15(2), 91-95.
Simamora, R. H. (2017). A strengthening of role of health cadres in BTA-Positive Tuberculosis
(TB) case invention through education with module development and video approaches
in Medan Padang bulan Comunity Health Center, North Sumatera
Indonesia. International Journal of Applied Engineering Research, 12(20), 10026-10035.
Simamora, R. H., & Saragih, E. (2019). Penyuluhan kesehatan terhadap masyarakat: Perawatan
penderita asam urat dengan media audiovisual. JPPM (Jurnal Pendidikan dan
Pemberdayaan Masyarakat), 6(1), 24-31.
Umar, JE, Doda, VD & Kekenusa, JS. (2017). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Cedera Tertusuk Jarum Suntik Pada Perawat Di Rumah Sakit Liunkendage
Tahunan. Jurnal Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, 2(4).
Yuantari, M. C. Nadia, H. (2018). Analisis Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada
Petugas Kebersihan di Rumah Sakit. Faletehan Health Journal, 5(3), 107-116.

Anda mungkin juga menyukai