Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin
sebagai seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa
yang didapatnya itu. Dia menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya
dengan gagasan budaya yang nasionalis.
Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School
(HIS) di Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan
Peternakan dan Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS)
Sekolah Menengah Umum di Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh
pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di Bogor yang dijalaninya
selama lima tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan persiapan Yamin
untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari bahasa
Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga
tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu
prestasi yang jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari
bahasa Yunani, Yamin banyak mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari
Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds.
Backer.
Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam
perjuangan kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka
mencapai Indonesia merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah,
Yong Sumatramen Bond Organisasi Pemuda Sumatera (19261928). Dalam
Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama disepakati penggunaan
bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah Partindo (19321938).
Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern
(1981) menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan betul-betul
terasa sebagai sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat
sekali dengan syair yang memang merupakan puisi untuk mengisahkan
sesuatu.Puisi Yamin itu dapat dirasakan sebagai syair dalam bentuk yang bukan
syair, demikian Umar Junus. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat dikatakan lebih
merupakan suatu pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru. Akan
tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam,
yang membawa pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak
dapat dianggap sebagai syair baru begitu saja. Umar Junus menduga bahwa
dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan pantun, syair, dan puisi
Barat sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum terjadi
terjadi pada awal perkembangan puisi modern di Indonesia.
Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan
Yamin dengan bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat
dipisahkan dari tradisi sastra yang melingkungi Yamin pada waktu masih amat
dipengaruhi pantun dan syair. Soneta yang dikenal Yamin melalui kesusastraan
Belanda ternyata hanya menyentuh Yamin pada segi isi dan semangatnya saja.
Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu terpancar
sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat
soneta yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang terdapat didalamnya
tidak berbeda jauh dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang
disebut terakhir, yakni sifat melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan
sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada masa remajanya. Karena itu, soneta
yang baru saja dikenal Yamin dan yang kemudian digunakannya sebagai bentuk
pengungkapan estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta yang murni.
Muhammad Yamin
Pernahkah kalian mendengar potongan syair diatas? Ya, itu adalah potongan
syair Republik Indonesia karya Muhammad Yamin. Seorang tokoh nasional
sekaligus sastrawan besar pada masanya.
Muhammad Yamin lahir di Sawahlunto, Kamis 23 Agustus 1903, dari pasangan
Usman Gelar Bagindo Khatib dan Siti Sadah. Masa kecil Muhammad Yamin bisa
dibilang cukup berliku, terutama di jenjang pendidikannya. Sering beliau
berpindah-pindah sekolah dan jadwal pendidikannya pun tidak diselesaikan tepat
pada waktunya. Muhammad Yamin memulai pendidikannya di HIS. Kemudian
beliau melanjutkan sekolahnya di Algemene Middelbare School (AMS) Surakarta.
Sebelum M. Yamin masuk di AMS ini, beliau sempat mengecap pendidikan Dokter
Hewan di Bogor, namun karena merasa tidak cocok dengan bidang tersebut
akhirnya Muhammad Yamin memutuskan untuk pindah ke AMS dan mengambil
bagian AI. Setelah lulus dari AMS, beliau meneruskan pendidikannya di RHS
(Recsht Hooge School) Jakarta, sebuah sekolah hukum di Jakarta dan kemudian
mendapat gelar Mr. Muhammad Yamin (1932).
Saat muda Muhammad Yamin dikenal sebagai seseorang yang aktif di bidang
keorganisasian. Dan pada umur 16 tahun beliau termasuk salah satu tenaga
pimpinan aktif dalam perkumpulan pemuda Jong Soematranen Bond dan menjadi
ketua di periode tahun 1926-1928. Pada tahun 1928 terjadi Kongres Pemuda II,
dimana Muhammad Yamin ditunjuk sebagai Sekretaris Panitia dan beliau pun
juga membacakan pidato yang amat penting Persatuan Kebangsaan Indonesia.
Selain itu, Muhammad Yamin juga menjadi anggota dari Perhimpunan PelajarPelajar Indonesia (PPPI).
Tidak hanya bidang organisasi pemuda saja yang diminati oleh Muhammad
Yamin, namun juga bidang politik. Muhammad Yamin adalah anggota dari
Partindo atau Partai Indonesia (1932-1938). Dan semasa pendudukan Jepang
(1942-1945), Muhammad Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA),
sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Dan pada
bulan September 1943, M. Yamin diangkat menjadi penasehat di Departemen
Propaganda.
Setelah Indonesia merdeka pun, suami dari Siti Sundari ini menduduki beberapa
jabatan-jabatan penting di pemerintahan, antara lain adalah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (1950), Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran,
Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955), Menteri Sosial (1958), Ketua Dewan
Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (19611962). Dan pada tanggal 24 Desember 1958, beliau mendapat tanda jasa
tertinggi Yugoslavia Star of Yugoslavia Flag untuk urusan luar negeri dan
kebudayaan.
Sejak mudanya Muhammad Yamin sudah tertarik pada ilmu bahasa dan budaya.
Dari tangannya mula-mula lahir bentuk soneta yang kemudian diikuti oleh
penyair-penyair Pujangga Baru. Adapun karya-karya yang terlahir dari tangan
beliau, antara lain Kumpulan Soneta Indonesia Tumpah Darahku, drama Ken Arok
dan Ken Dedes, 6000 Tahun Sang Merah Putih, Sedjarah Peperangan Dipanegara,
novel Gadjah Mada dan Revolusi Amerika
Tak ada yang abadi di dunia ini, akhirnya pada tanggal 17 Oktober 1962,
tokoh besar Indonesia ini berpulang ke rakhmatullah meninggalkan istri dan
putranya, Dang Rahardian Sinajangsih Yamin. Sebelum wafat, Muhammad Yamin
berpesan agar jenazahnya dikuburkan di samping kuburan ayahnya di Talawi.
Dan jabatan terakhir yang dipegang beliau ialah Wampa Urusan Khusus Menteri
Penerangan.