Anda di halaman 1dari 10

Tiga Tokoh Perumus Pancasila

1.      Prof. Muhammad Yamin, SH


Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus
1903. Ia menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Di zaman penjajahan, Yamin
termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan menengah dan
tinggi. Lewat pendidikan itulahYamin sempat menyerap kesusastraan asing, khususnya
kesusastraan Belanda.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin sebagai
seorang intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang didapatnya itu. Dia
menerima konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan budaya yang nasionalis.
Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di
Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan Pertanian
di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS), yaitu sekolah setingkat SMA di Yogya,
dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan sekolahnya di
Bogor yang dijalaninya selama lima tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya merupakan
persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia mempelajari
bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu tiga tahun saja ia
berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang jarang dicapai oleh otak
manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak mendapat bantuan dari pastor-
pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds.
Backer.
Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum
sempat berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal
dunia. Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan
ayahnya hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur
membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin melanjutkan kuliah di Recht
Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana
Hukum’ pada tahun 1932.
Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam
perjuangan kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia
merdeka yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond ‘Organisasi
Pemuda Sumatera’ (1926–1928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama
disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah Partindo (1932–1938).
Pada tahun 1938—1942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai
anggotaVolksraad ‘Dewan Perwakilan Rakyat’. Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud,
jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah Menteri
Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953–1955), Ketua
Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962).
Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun
perjuangan kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan luas.
Walaupun pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang
diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme
dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh
lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau.
Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914.
Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang
pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun
sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.
Dalam sidang BPUPKI, Muhammad Yamin benyak memainkan peran. Pada hari
pertama sidang BPUPKI pertama yaitu pada tanggal 29 Mei 1945, Muhammad Yamin
menyampaikan pidato tentang konsep dasar Negara di depan anggota BPUPKI lainnya. Rumusan
dasar Negara usulan Muhammad Yamin ini terdiri dari 5 hal pokok yaitu:
1)      Peri kebangsaan
2)      Peri kemanusiaan
3)      Peri ketuhanan
4)      Peri kerakyatan
5)      Kesejahteraan rakyat
Setelah menyampaikan pidatonya, Mr. Muhammad Yamin menyampaikan usul tertulis
naskah Rancangan  Undang-Undang Dasar. Di dalam Pembukaan Rancangan UUD itu tercantum
rumbusan lima asas dasar negara yang berbunyi sebagai berikut:
1)      Katuhanan Yang Maha Esa.
2)      Kebangsaan Persatuan Indonesia.
3)      Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
4)      Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Perumusyawaratan
Perwakilan.
5)      Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Jika diperhatikan lebih seksama, usulan tertulis Muhammad Yamin di atas sangat mirip
dengan sistematika dasar Negara Pancasila sekarang, perbedaannya terdapat pada urutan sila ke
dua dan ketiga serta beberapa kata yang dihilangkan.
Selain mengusulkan dasar Negara dalam sidang BPUPKI, Muhammad Yamin juga
dipercaya menjadi salah satu anggota panitia kecil bersama Sukarno yang bertindak sebagai
ketua panitia kecil, KH. Wachid Hasyim, A.A Maramis, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, Otto
Iskandardinata, Bagoes Hadikoesoemo. Hasil dari Panitia kecil ini adalah Piagam Jakarta dimana
rumusan dasar Negara dalam Piagam Jakarta tersebut tidak jauh berbeda dengan rumusan
Muhammad Yamin secara tertulis.
2.      Prof. DR. Soepomo
Selain Muhammad Yamin, tokoh perumus dasar Negara yang lain adalah Soepomo.
Soepomo dilahirkan di Sukoharjo, 22 Januari 1903. Kedua kakek Soepomo dari pihak ayah dan
ibu adalah bupati pada jaman pemerintahan kolonial. Sebagai keluarga terpandang, Soepomo
mendapatkan pendidikan untuk orang-orang Eropa sejak tingkat dasar. Ia mengenyam
pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) di Boyolali pada tahun 1917, kemudian MULO
(Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Solo pada tahun 1920, dan menyelesaikan pendidikan
tingginya di Bataviasche Rechtshoogeschool di Batavia pada tahun 1923.
Pada tahun 1924 Soepomo melanjutkan pendidikan ke Universitas Leiden di Belanda.
Dibimbing salah satu profesor hukum adat Indonesia dari Belanda, Van Vollenhoven, Soepomo
beroleh gelar doktor pada tahun 1927 dengan disertasi berjudul De Reorganisatie van het
Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta. Menggondol gelar doktor pada usia 24 tahun
menjadikan Soepomo sebagai pemegang rekor doktor termuda di Indonesia.
Sebagai ahli hukum generasi pertama, kontribusi Soepomo sangat besar dalam
pembentukkan dasar negara dan konstitusi bangsa ini. Di hadapan sidang resmi pertama Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei-1 Juni 1945,
Soepomo mengusulkan dasar negara Indonesia merdeka yaitu:
1) persatuan
2) kekeluargaan
3) keseimbangan lahir dan bathin
4) musyawarah
5) keadilan rakyat
 Tak hanya tentang asas negara, pada 31 Mei 1945 Soepomo juga diminta untuk
menuturkan beberapa teori tentang negara. Menurut dia, setidaknya ada tiga teori.
 
1)      Pertama, teori negara individualistik yang dikembangkan Thomas Hobbes, John Locke, JJ
Rousseau dan Herbert Spencer yang berlaku di Eropa Barat dan Amerika. Di sini negara harus
melakukan kontrak sosial dengan warganya dan konstitusinya amat sarat dengan kepentingan
individualisme.
2)      Kedua, teori pertentangan kelas ala Marx, Engel dan Lenin yang menyebutkan kaum buruh
harus menguasai negara diktator proletariat-, agar negara tak lagi dijadikan kaum borjuis sebagai
mesin penindas.
3)     Sementara teori ketiga adalah teori integralistik yang diajarkan Spinoza, Hegel dan Adam
Muller yang mengedepankan kesatuan (integralistik) negara dengan masyarakat sehingga negara
tak diperkenankan memihak golongan warga tertentu.

 Dari ketiga teori itu, Soepomo cenderung memilih teori integralistik. Di dalam buku
Risalah BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretaris Negara, Soepomo menggambarkan dua negara
yang saat itu menerapkan paham integralistik, yaitu Jerman Nazi dengan persatuan antara
pemimpin dan rakyatnya serta kekaisaran Dai Nippon dengan hubungan lahir batin di bawah
keluarga Kaisar Tenno Heika. Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai dengan corak
masyarakat Indonesia, kata Soepomo kala itu.
 Pada bagian lain dalam sidang BPUPKI itu pula Soepomo sempat menolak masuknya
Hak Asasi Manusia (HAM) ke dalam konstitusi. Ia beranggapan konsep HAM adalah produk
negara individualistik dimana HAM adalah pemberian alam dan negara. ..menurut pikiran saya
aliran kekeluargaan sesuai dengan sifat ketimuran. Jadi saya anggap tidak perlu mengadakan
declaration of rights, ujar Soepomo.
 Sikap Soepomo yang menentang habis paham individualistik dan produk turunannya
seperti HAM dalam sidang BPUPKI sebenarnya tak bisa dilepaskan dari keahlian Soepomo pada
bidang hukum adat. Dalam bukunya berjudul Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum
Adat, Soepomo menegaskan bahwa individu adalah anggota dari masyarakat.
 Yang primer, menurut Soepomo, bukan individu. Melainkan masyarakat yang berdiri di
tengah kehidupan hukum. Kehidupan individu terutama ditujukan mengabdi kepada masyarakat.
Namun, pengabdian tersebut tidak dianggap beban individu dan sebuah pengorbanan.

3.      Ir. Soekarno
Ir. Soekarno dikenal dengan bapak proklamator Indonesia karena beliau bersama Drs.
Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Soekarno lahir di Surabaya pada
tanggal 6 Juni 1901 dengan nama lahir Koesno Sasrodihardjo, namun karena sering sakit maka
ayahnya mengganti namanya menjadi Soekarno. Nama tersebut diambil dari nama seorang
panglima dalam kisaha bratha Yudha yaitu Karna, sedangkan awalan su dalam bahasa jawa
berarti baik.
Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto,
mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut.  Di Mojokerto, ayahnya memasukan
Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja. Kemudian pada Juni 1911
Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima
di Hoogere Burger School (HBS). Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan
pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa Timur. Ia dapat
diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama Omar Said
Tjokroaminoto. Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan
kediamannya. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat
Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Muso, Dharsono, H.
Agus Salim dan Abdoel Moeis.
Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo yang
dibentuk sebagai organisasi dari Boedi Oetomo. Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti
menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918. Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian
"Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
Tamat HBS Surabaya bulan Juli 1921, bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di
HBS, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng  (sekarang ITB) di
Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921, setelah dua bulan dia
meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali dan tamat pada tahun 1926
Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan pada Dies Natalis ke-6
tanggal 3 Juli 1926dia diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya. Prof. Jacob Clay selaku
ketua fakultas pada saat itu menyatakan "Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di
antaranya 3 orang insinyur orang Jawa". Mereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo, selain
itu ada seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang.
Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusiyang merupakan anggota
Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar
Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker yang saat itu merupakan pemimpin
organisasi National Indische Partij. 
Saat sidang BPUPKI, Soekarno dikenal sebagai pemberi nama dasar Negara Indonesia dengan
nama Pancasila pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di hadapan anggota sidang BPUPKI. Oleh
karena itulah tanggal 1 Juni seringkali diperingati sebagai hari lahir nama/istilah Pancasila. Usul
Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima
prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pula-lah yang mengemukakan dan menggunakan
istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli
bahasa (Muhammad Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno
di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila.

Tokoh-tokoh yang Berperan dalam Proses Perumusan Pancasila


Siapa tokoh-tokoh yang berperan dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara itu?
Tidak lain adalah mereka yang bergabung dalam badan yang bernama BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
BPUPKI berdiri tanggal 1 Maret 1945. Anggota-anggotanya ada 67 orang (termasuk di
dalamnya ada orang-orang Jepang). Anggota-anggota tersebut dilantik pada tanggal 28 Mei
1945. 

Susunan anggota-anggota BPUPKI adalah sebagai berikut:


Ketua : Dr. KRT Radjiman Widyodiningrat
Ketua Muda I : Ichibangase (anggota luar biasa, bangsa Jepang)
Ketua Muda II : Raden Pandji Suroso (merangkap kepala tata usaha)
Anggota : 60 orang (tidak termasuk ketua dan ketua muda)

Nama-nama anggota BPUPKI


 menurut nomor urutan tempat duduknya adalah sebagai berikut:
1. Ir. Sukarno
2. Mr. Muh. Yamin
3. Dr. R. Kusumah Atmadja
4. R. Abdulrahim Pratalykrama
5. R. Aris
6. K. H. Dewantara
7. Ki Bagus Hadikusomo
8. B. P. H. Bintoro
9. A. K. Muzakkir
10. B. P. H. Purbojo
11. R. A. A. Wiranatakusuma
12. Ir. Ashar Sutedjo Munandar
13. Oeij Tiang Tjoei
14. Drs. Moh. Hatta
15. Oei Tjong Hauw
16. H. Agus Salim
17. M. Sutardjo Kartohadikusuma
18. R. M. Margono Djojohadikusumo
19. K. H. Abdul Halim
20. K. H. Masykur
21. R. Sudirman
22. Prof. Dr. P. A. Husen Djayadiningrat
23. Prof. Dr. Soepomo
24. Prof. Ir. R. Rooseno
25. Mr. R. Pandji Singgih
26. Mr. Ny. Maria Ulfah Santoso
27. R. M. T. A. Surjo
28. R. Ruslan Wongsokusumo
29. Mr. R. Susanto Titoprodjo
30. Ny. R. S. S. Sunarjo Mangunpuspito
31. Dr. R. Buntaran Martoadmodjo
32. Liem Koen Hian
33. Mr. J. Latuharhary
34. Mr. R. Hindromartono
35. R. Sukardjo Wirjopranoto
36. H. Ahmad Sanusi
37. A. M. Dasaat
38. Mr. Tan Eng Hoa
39. Ir. R. M. P. Surachman Tjokroadisurio
40. R. A. A. Sumitro Kolopaking Purbonegoro
41. K. R. M. T. H. Wuryadiningrat
42. Mr. A. Subardjo
43. Prof. Dr. R. Djenal Asikin Widjadjakusuma
44. Abikusno Tjokrosujoso
45. Parada Harahap
46. Mr. R. M. Sartono
47. K. H. M. Mansoer
48. Drs. K. R. M. A. Surodiningrat
49. Mr. R. Suwandi
50. K. H. A. Wachid Hasyim
51. P. F. Dahler
52. Dr. Sukiman
53. Mr. K. R. M. T. Wongsonegoro
54. R. Otto Iskandar Dinata
55. A. Baswedan
56. Abdul Kadir
57. Dr. Samsi
58. Mr. A. A. Maramis
59. Mr. R. Samsudin
60. Mr. Sastromuljono

Gambar: Bung Hatta

Apakah nilai-nilai juang yang patut kita catat dari para tokoh yang berperan dalam proses
perumusan Pancasila sebagai dasar negara itu? Paling tidak nilai-nilai juang tersebut adalah
sebagai berikut.

1. Wawasan dan Pengetahuan yang Luas


Tidak mungkin orang-orang yang bodoh dan berwawasan sempit dapat bekerja merumuskan
dasar negara. Cobalah kamu simak, para tokoh yang berperan dalam merumuskan Pancasila,
mereka adalah orang-orang yang memiliki wawasan dan berpengetahuan luas.

Sebagai contoh, Moh. Hatta, Sukarno, Ahmad Subarjo, Mr. A. A. Maramis, Ki Bagus
Hadikusumo, dan lain-lain. Mereka semua berwawasan dan berpengetahuan luas. Mereka semua
juga orang-orang terpelajar serta berpendidikan.

Nah, dengan wawasan dan pengetahuan yang luas tersebut, mereka dapat berlapang dada pada
saat perbedaan-perbedaan pendapat atau mengenai rumusan Pancasila terjadi. Dengan wawasan
serta pengetahuan yang luas tersebut, mereka juga menyadari bahwa dalam proses perumusan
Pancasila harus lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan bangsa dan negara daripada
kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan.

2. Kerja Keras
Sudah dikatakan, bahwa proses perumusan Pancasila merupakan pekerjaan yang sulit dan berat.
Semua orang yang berperan di dalamnya harus memeras otak serta mengerahkan segenap
kemampuan untuk menggali dasar-dasar negara yang dapat diterima oleh segenap masyarakat
bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam golongan dan suku. Tanpa kerja keras dari
para tokoh yang terlibat dalam proses perumusan Pancasila itu, mustahil rumusan dasar negara
seperti yang ada sekarang ini terwujud.

3. Rendah Hati
Para tokoh yang berperan dalam proses perumusan Pancasila saling berdebat dalam
mengemukakan pendapat-pendapatnya tentang dasar negara. Namun demikian mereka tidak
bersikap sombong serta ingin selalu menang sendiri. Ketika di antara pendapat para tokoh itu ada
yang lebih sesuai dari segi kepentingan bangsa dan negara, merekapun menerima. Demikian di
antara pelajaran penting yang perlu kita teladani.

4. Kuatnya Jiwa Persatuan


Perhatikan kembali saat terjadi perbedaan pendapat antara golongan yang berpaham kebangsaan
dengan Islam tentang dasar negara. Ketika itu golongan yang berpaham kebangsaan
menghendaki kebangsaan harus menjadi dasar negara. Di pihak lain, golongan Islam juga
menghendaki agar ajaran Islam mendasari dalam pendirian negara. Perhatikan juga saat wakil-
wakil Protestan dan Katolik di wilayah Indonesia bagian Timur menyatakan keberatan terhadap
rumusan sila pertama pada teks Pancasila Piagam Jakarta.

5. Rela Berkorban
Baik sengaja atau tidak sengaja, dalam proses perumusan Pancasila tentu bersinggungan dengan
berbagai kepentingan yang seringkali bertentangan. Ada kepentingan yang besar, yakni untuk
seluruh bangsa. Ada juga kepentingan yang kecil, yakni kepentingan-kepentingan yang bersifat
pribadi atau kelompok.

Demi kepentingan yang lebih besar, para tokoh yang berperan dalam proses perumusan
Pancasila tidak jarang mengorbankan kepentingan-kepentingan yang lebih kecil. Inilah salah satu
nilai juang para tokoh yang patut kita teladani.

Meneladani Nilai Juang Para Tokoh Dalam proses Perumusan


Pancasila
Perhatikan kembali bagaimana liku-liku proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara?
Perhatikan juga para tokoh yang berperan di dalamnya. Berbagai peristiwa yang mencerminkan
sikap-sikap misalnya, kerja keras, rendah hati, mengutamakan kepentingan bangsa serta negara,
dan lain-lain banyak terjadi.

Lantas, nilai-nilai apakah yang patut kamu teladani dalam kehidupan sehari-hari pada saat ini
dari para tokoh yang berperan dalam proses perumusan Pancasila? Barangkali meliputi hal-hal
seperti berikut.

1. Mau Bekerja Keras


Setiap orang memiliki cita-cita serta keinginan-keinginan. Untuk mewujudkan cita-cita serta
keinginan tersebut seseorang harus mau bekerja keras. Apakah kamu sudah membiasakan kerja
keras dalam mewujudkan cita-cita serta berbagai keinginanmu?
2. Belajar dengan Giat, Rajin, dan Tekun
Para tokoh yang berperan dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara adalah orang-
orang yang memiliki wawasan serta pengetahuan luas. Dengan wawasan serta pengetahuan yang
luas mereka pun sukses mempersembahkan suatu karya yang tak ternilai harganya untuk bangsa
dan negara.

Apa keteladanan yang perlu kamu ambil dari para tokoh yang berperan dalam proses perumusan
Pancasila sebagai dasar negara? Tidak lain adalah dengan belajar yang giat, rajin, serta tekun.
Dengan belajar giat, rajin, serta tekun wawasan dan pengetahuanmu akan bertambah luas.

3. Mau Bertanggung Jawab


Dalam setiap sidang proses perumusan Pancasila tidak semua pendapat para tokoh itu diterima.
Namun demikian para tokoh yang berperan dalam proses perumusan Pancasila tersebut tetap
melaksanakan apa yang sudah menjadi keputusan sidang. Inilah contoh sikap tanggung jawab
yang perlu kita teladani.

4. Menghargai Perbedaan
Dari awal sampai akhir persidangan proses perumusan Pancasila, senantiasa terdapat perbedaan
pendapat dan pandangan. Seringkali perbedaan-perbedaan tersebut bahkan memunculkan
perdebatan sengit. Akan tetapi semua perbedaan-perbedaan tersebut dapat diselesaikan bersama-
sama dengan baik.
Mengapa segala perbedaan yang muncul tersebut dapat terselesaikan dengan baik? Tidak lain
karena para tokoh yang berperan dalam proses perumusan Pancasila itu senantiasa bersikap
menghargai perbedaan-perbedaan. Inilah di antara sikap yang patut kita teladani

5. Berjiwa Besar
Selain ada pendapat yang disetujui, dalam musyawarah proses perumusan Pancasila tentu ada
juga pendapat yang tidak disetujui. Namun demikian mereka yang pendapatnya tidak disetujui
tidak merasa kalah atau tidak dihargai. Para tokoh yang berperan dalam proses perumusan
Pancasila memang memiliki sikap berjiwa besar yang patut menjadi teladan dalam kehidupanmu
sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai