Dari ketiga teori itu, Soepomo cenderung memilih teori integralistik. Di dalam buku
Risalah BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretaris Negara, Soepomo menggambarkan dua negara
yang saat itu menerapkan paham integralistik, yaitu Jerman Nazi dengan persatuan antara
pemimpin dan rakyatnya serta kekaisaran Dai Nippon dengan hubungan lahir batin di bawah
keluarga Kaisar Tenno Heika. Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai dengan corak
masyarakat Indonesia, kata Soepomo kala itu.
Pada bagian lain dalam sidang BPUPKI itu pula Soepomo sempat menolak masuknya
Hak Asasi Manusia (HAM) ke dalam konstitusi. Ia beranggapan konsep HAM adalah produk
negara individualistik dimana HAM adalah pemberian alam dan negara. ..menurut pikiran saya
aliran kekeluargaan sesuai dengan sifat ketimuran. Jadi saya anggap tidak perlu mengadakan
declaration of rights, ujar Soepomo.
Sikap Soepomo yang menentang habis paham individualistik dan produk turunannya
seperti HAM dalam sidang BPUPKI sebenarnya tak bisa dilepaskan dari keahlian Soepomo pada
bidang hukum adat. Dalam bukunya berjudul Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum
Adat, Soepomo menegaskan bahwa individu adalah anggota dari masyarakat.
Yang primer, menurut Soepomo, bukan individu. Melainkan masyarakat yang berdiri di
tengah kehidupan hukum. Kehidupan individu terutama ditujukan mengabdi kepada masyarakat.
Namun, pengabdian tersebut tidak dianggap beban individu dan sebuah pengorbanan.
3. Ir. Soekarno
Ir. Soekarno dikenal dengan bapak proklamator Indonesia karena beliau bersama Drs.
Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Soekarno lahir di Surabaya pada
tanggal 6 Juni 1901 dengan nama lahir Koesno Sasrodihardjo, namun karena sering sakit maka
ayahnya mengganti namanya menjadi Soekarno. Nama tersebut diambil dari nama seorang
panglima dalam kisaha bratha Yudha yaitu Karna, sedangkan awalan su dalam bahasa jawa
berarti baik.
Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto,
mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, ayahnya memasukan
Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja. Kemudian pada Juni 1911
Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima
di Hoogere Burger School (HBS). Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan
pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa Timur. Ia dapat
diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama Omar Said
Tjokroaminoto. Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan
kediamannya. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat
Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Muso, Dharsono, H.
Agus Salim dan Abdoel Moeis.
Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo yang
dibentuk sebagai organisasi dari Boedi Oetomo. Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti
menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918. Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian
"Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
Tamat HBS Surabaya bulan Juli 1921, bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di
HBS, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di
Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921, setelah dua bulan dia
meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali dan tamat pada tahun 1926
Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan pada Dies Natalis ke-6
tanggal 3 Juli 1926dia diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya. Prof. Jacob Clay selaku
ketua fakultas pada saat itu menyatakan "Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di
antaranya 3 orang insinyur orang Jawa". Mereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo, selain
itu ada seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang.
Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusiyang merupakan anggota
Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar
Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker yang saat itu merupakan pemimpin
organisasi National Indische Partij.
Saat sidang BPUPKI, Soekarno dikenal sebagai pemberi nama dasar Negara Indonesia dengan
nama Pancasila pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di hadapan anggota sidang BPUPKI. Oleh
karena itulah tanggal 1 Juni seringkali diperingati sebagai hari lahir nama/istilah Pancasila. Usul
Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima
prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pula-lah yang mengemukakan dan menggunakan
istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli
bahasa (Muhammad Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno
di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila.
Gambar: Bung Hatta
Apakah nilai-nilai juang yang patut kita catat dari para tokoh yang berperan dalam proses
perumusan Pancasila sebagai dasar negara itu? Paling tidak nilai-nilai juang tersebut adalah
sebagai berikut.
Sebagai contoh, Moh. Hatta, Sukarno, Ahmad Subarjo, Mr. A. A. Maramis, Ki Bagus
Hadikusumo, dan lain-lain. Mereka semua berwawasan dan berpengetahuan luas. Mereka semua
juga orang-orang terpelajar serta berpendidikan.
Nah, dengan wawasan dan pengetahuan yang luas tersebut, mereka dapat berlapang dada pada
saat perbedaan-perbedaan pendapat atau mengenai rumusan Pancasila terjadi. Dengan wawasan
serta pengetahuan yang luas tersebut, mereka juga menyadari bahwa dalam proses perumusan
Pancasila harus lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan bangsa dan negara daripada
kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan.
2. Kerja Keras
Sudah dikatakan, bahwa proses perumusan Pancasila merupakan pekerjaan yang sulit dan berat.
Semua orang yang berperan di dalamnya harus memeras otak serta mengerahkan segenap
kemampuan untuk menggali dasar-dasar negara yang dapat diterima oleh segenap masyarakat
bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam golongan dan suku. Tanpa kerja keras dari
para tokoh yang terlibat dalam proses perumusan Pancasila itu, mustahil rumusan dasar negara
seperti yang ada sekarang ini terwujud.
3. Rendah Hati
Para tokoh yang berperan dalam proses perumusan Pancasila saling berdebat dalam
mengemukakan pendapat-pendapatnya tentang dasar negara. Namun demikian mereka tidak
bersikap sombong serta ingin selalu menang sendiri. Ketika di antara pendapat para tokoh itu ada
yang lebih sesuai dari segi kepentingan bangsa dan negara, merekapun menerima. Demikian di
antara pelajaran penting yang perlu kita teladani.
5. Rela Berkorban
Baik sengaja atau tidak sengaja, dalam proses perumusan Pancasila tentu bersinggungan dengan
berbagai kepentingan yang seringkali bertentangan. Ada kepentingan yang besar, yakni untuk
seluruh bangsa. Ada juga kepentingan yang kecil, yakni kepentingan-kepentingan yang bersifat
pribadi atau kelompok.
Demi kepentingan yang lebih besar, para tokoh yang berperan dalam proses perumusan
Pancasila tidak jarang mengorbankan kepentingan-kepentingan yang lebih kecil. Inilah salah satu
nilai juang para tokoh yang patut kita teladani.
Lantas, nilai-nilai apakah yang patut kamu teladani dalam kehidupan sehari-hari pada saat ini
dari para tokoh yang berperan dalam proses perumusan Pancasila? Barangkali meliputi hal-hal
seperti berikut.
Apa keteladanan yang perlu kamu ambil dari para tokoh yang berperan dalam proses perumusan
Pancasila sebagai dasar negara? Tidak lain adalah dengan belajar yang giat, rajin, serta tekun.
Dengan belajar giat, rajin, serta tekun wawasan dan pengetahuanmu akan bertambah luas.
4. Menghargai Perbedaan
Dari awal sampai akhir persidangan proses perumusan Pancasila, senantiasa terdapat perbedaan
pendapat dan pandangan. Seringkali perbedaan-perbedaan tersebut bahkan memunculkan
perdebatan sengit. Akan tetapi semua perbedaan-perbedaan tersebut dapat diselesaikan bersama-
sama dengan baik.
Mengapa segala perbedaan yang muncul tersebut dapat terselesaikan dengan baik? Tidak lain
karena para tokoh yang berperan dalam proses perumusan Pancasila itu senantiasa bersikap
menghargai perbedaan-perbedaan. Inilah di antara sikap yang patut kita teladani
5. Berjiwa Besar
Selain ada pendapat yang disetujui, dalam musyawarah proses perumusan Pancasila tentu ada
juga pendapat yang tidak disetujui. Namun demikian mereka yang pendapatnya tidak disetujui
tidak merasa kalah atau tidak dihargai. Para tokoh yang berperan dalam proses perumusan
Pancasila memang memiliki sikap berjiwa besar yang patut menjadi teladan dalam kehidupanmu
sehari-hari.