0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
52 tayangan3 halaman
Profesor hukum Soepomo berjuang melawan penjajahan Belanda dan mendukung kemerdekaan Indonesia. Ia mengusulkan konsep negara integralistik di BPUPKI yang menekankan persatuan dan kekeluargaan. Konsep ini ditolak oleh beberapa anggota karena dianggap anti HAM.
Profesor hukum Soepomo berjuang melawan penjajahan Belanda dan mendukung kemerdekaan Indonesia. Ia mengusulkan konsep negara integralistik di BPUPKI yang menekankan persatuan dan kekeluargaan. Konsep ini ditolak oleh beberapa anggota karena dianggap anti HAM.
Profesor hukum Soepomo berjuang melawan penjajahan Belanda dan mendukung kemerdekaan Indonesia. Ia mengusulkan konsep negara integralistik di BPUPKI yang menekankan persatuan dan kekeluargaan. Konsep ini ditolak oleh beberapa anggota karena dianggap anti HAM.
Integralistik Mendapat kepercayaan di bidang hukum dari Pemerintahan Hindia Belanda, tak membuat Soepomo ‘buta’ akan keadaan rakyat Indonesia yang terbelenggu oleh kebodohan dan kesengsaraan. Bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaannya setiap tanggal 17 Agustus. Banyak cara yang dilakukan masyarakat dalam mengisi hari kemerdekaan seperti mengadakan lomba, mengadakan upacara bendera, berdoa, mengunjungi makam pahlawan atau mengingat kembali tokoh yang berjasa dalam merebut kemerdekaan. Untuk yang terakhir, salah satu nama yang pantas disebut adalah Prof. Dr. Mr. Soepomo. Kehadiran Soepomo di tengah-tengah bangsa Indonesia merupakan jawaban terhadap tantangan yang senantiasa mencengkeram bangsa Indonesia pada masa kolonial Belanda. Soepomo lahir di Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah, 22 Januari 1903 Setiba di Tanah Air pada 1927, Soepomo menjalani beberapa profesi hukum di antaranya Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta, Direktur Justisi di Jakarta, hingga Guru Besar hukum adat pada Rechts Hoge School di Jakarta. Profesi yang dijalaninya itu merupakan kepercayaan dari Pemerintah Hindia Belanda dan dari kalangan universitas. Namun, profesi yang digeluti Soepomo mengharuskannya ‘terjun’ langsung melihat kondisi di lapangan. Dalam kenyataannya, dia banyak melihat kesengsaraan serta kebodohan menyelimuti rakyat. Hatinya pun terbuka untuk berjuang membebaskan penderitaan tersebut. Salah satu caranya melalui penyuluhan dan pendidikan. Soepomo pemuda yang aktif dalam pergerakan. Dia bergabung dengan organisasi Boedi Oetomo, salah satu organisasi yang memiliki tujuan untuk membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. Teori Integralistik Pada tahun 1942 di masa pendudukan Jepang, Soepomo melakoni peran baru sebagai Mahkamah Agung (Saikoo Hoin) dan anggota Panitia Hukum dan Tata Negara. Tak lama berselang, ia diangkat menjadi Kepala Departemen Kehakiman (Shijobuco). Soepomo menerima pekerjaan tersebut karena saat itu para pejuang memilih tak melawan dan kooperatif dengan militer Jepang yang keras. Janji Jepang yang ketika itu ingin membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan, justru berkata sebaliknya. Keberadaan Jepang semakin membuat kehidupan rakyat Indonesia memburuk. Pada tahun 1944 Jepang terjepit dalam Perang Dunia II. Dengan kondisi itu, para pejuang termasuk Soepomo khawatir Jepang ingkar janji akan memberikan kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia. Namun, Jepang ternyata berusaha menepati janjinya dengan membuat suatu badan yang bertugas mempersiapkan dan merancang berdirinya negara yang merdeka dan berdaulat. Pada 26 April 1945 terbentuklah Dokoritsu Zyumbi Coosakai atau dikenal dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Soepomo, bersama Bung Karno, Bung Hatta, AA Maramis, Abdul Wahid Hasyim, dan Moh Yamin ada di dalamnya. Masing-masing mengemukakan pendapatnya soal pemikiran untuk menjadi dasar negara. Di hadapan sidang resmi pertama BPUPKI pada 29 Mei-1 Juni 1945, Soepomo mengusulkan lima asas negara yaitu persatuan, mufakat dan demokrasi, keadilan sosial, kekeluargaan dan musyawarah. Tak hanya tentang asas negara, pada 31 Mei 1945 Di dalam buku Risalah BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretaris Negara, Soepomo menggambarkan dua negara yang saat itu menerapkan paham integralistik, yaitu Jerman Nazi dengan persatuan antara pemimpin dan rakyatnya serta kekaisaran Dai Nippon dengan hubungan lahir batin di bawah keluarga Kaisar Tenno Heika. Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai dengan corak masyarakat Indonesia, kata Soepomo kala itu. Pada bagian lain dalam sidang BPUPKI itu pula Soepomo sempat menolak masuknya Hak Asasi Manusia (HAM) ke dalam konstitusi. Ia beranggapan konsep HAM adalah produk negara individualistik dimana HAM adalah pemberian alam dan negara. "..menurut pikiran saya aliran kekeluargaan sesuai dengan sifat ketimuran. Jadi saya anggap tidak perlu mengadakan declaration of rights,"ujar Soepomo. “Setiap orang dan golongan sudah memiliki tempat dan perannya sendiri dalam kehidupan (dharma) sesuai dengan hukum kodrat, dan individu tidak terpisahkan dari individu lainnya ataupun dari alam”. Pandangan Soepomo mengenai teori negara integralistik. Sikap Soepomo yang menentang habis paham individualistik dan produk turunannya, seperti HAM dalam sidang BPUPKI sebenarnya tak bisa dilepaskan dari keahlian Soepomo pada bidang hukum adat. Dalam bukunya berjudul Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, Soepomo menegaskan bahwa individu adalah anggota dari masyarakat. Yang primer, menurut Soepomo, bukan individu. Melainkan masyarakat yang berdiri di tengah kehidupan hukum. Kehidupan individu terutama ditujukan mengabdi kepada masyarakat. Namun, pengabdian tersebut tidak dianggap beban individu dan sebuah pengorbanan. Lantaran mengedepankan paham integralistik, Soepomo dicap sebagai penganut negara totaliter dan anti HAM. Di dalam sidang BPUPKI, Soepomo –dan belakangan Soekarno- harus berdebat dengan M. Yamin dan M Hatta tentang konsep HAM dan paham integralistik itu. Kekalahan Jepang di Perang Dunia II dimanfaatkan Bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, disusul penggelaran sidang PPKI keeseokan harinya dengan menetapkan Undang- undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara serta menetapkan Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden.
Note: Light Green: Sejarah sebagai kisah Green : Sejarah sebagai peristiwa Light Blue: Konsep ruang Blue: Konsep Waktu Red: Sinkronik Orange: Diakronik