Anda di halaman 1dari 3

Muhammad Rafa Fasya

X.12

No. 19

Kisah Perjuangan Soepomo dan Konsep Negara


Integralistik
Mendapat kepercayaan di bidang hukum dari Pemerintahan Hindia Belanda, tak
membuat Soepomo ‘buta’ akan keadaan rakyat Indonesia yang terbelenggu oleh
kebodohan dan kesengsaraan.
Bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaannya setiap tanggal 17
Agustus. Banyak cara yang dilakukan masyarakat dalam mengisi hari
kemerdekaan seperti mengadakan lomba, mengadakan upacara bendera, berdoa,
mengunjungi makam pahlawan atau mengingat kembali tokoh yang berjasa
dalam merebut kemerdekaan. Untuk yang terakhir, salah satu nama yang pantas
disebut adalah Prof. Dr. Mr. Soepomo.
Kehadiran Soepomo di tengah-tengah bangsa Indonesia merupakan jawaban
terhadap tantangan yang senantiasa mencengkeram bangsa Indonesia pada masa
kolonial Belanda. Soepomo lahir di Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah, 22 Januari
1903
Setiba di Tanah Air pada 1927, Soepomo menjalani beberapa profesi
hukum di antaranya Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta, Direktur
Justisi di Jakarta, hingga Guru Besar hukum adat pada Rechts Hoge
School di Jakarta. Profesi yang dijalaninya itu merupakan kepercayaan dari
Pemerintah Hindia Belanda dan dari kalangan universitas.
Namun, profesi yang digeluti Soepomo mengharuskannya ‘terjun’ langsung
melihat kondisi di lapangan. Dalam kenyataannya, dia banyak melihat
kesengsaraan serta kebodohan menyelimuti rakyat. Hatinya pun terbuka untuk
berjuang membebaskan penderitaan tersebut. Salah satu caranya melalui
penyuluhan dan pendidikan.
Soepomo pemuda yang aktif dalam pergerakan. Dia bergabung dengan
organisasi Boedi Oetomo, salah satu organisasi yang memiliki tujuan untuk
membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan.
Teori Integralistik
Pada tahun 1942 di masa pendudukan Jepang, Soepomo melakoni peran
baru sebagai Mahkamah Agung (Saikoo Hoin) dan anggota Panitia
Hukum dan Tata Negara. Tak lama berselang, ia diangkat menjadi Kepala
Departemen Kehakiman (Shijobuco). Soepomo menerima pekerjaan
tersebut karena saat itu para pejuang memilih tak melawan dan kooperatif
dengan militer Jepang yang keras. Janji Jepang yang ketika itu ingin
membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan, justru berkata
sebaliknya. Keberadaan Jepang semakin membuat kehidupan rakyat
Indonesia memburuk.
Pada tahun 1944 Jepang terjepit dalam Perang Dunia II. Dengan kondisi
itu, para pejuang termasuk Soepomo khawatir Jepang ingkar janji akan
memberikan kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia. Namun, Jepang
ternyata berusaha menepati janjinya dengan membuat suatu badan yang
bertugas mempersiapkan dan merancang berdirinya negara yang merdeka
dan berdaulat. 
Pada 26 April 1945 terbentuklah Dokoritsu Zyumbi Coosakai atau dikenal
dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Soepomo, bersama Bung Karno, Bung Hatta, AA Maramis,
Abdul Wahid Hasyim, dan Moh Yamin ada di dalamnya. Masing-masing
mengemukakan pendapatnya soal pemikiran untuk menjadi dasar negara.
Di hadapan sidang resmi pertama BPUPKI pada 29 Mei-1 Juni 1945, Soepomo
mengusulkan lima asas negara yaitu persatuan, mufakat dan demokrasi,
keadilan sosial, kekeluargaan dan musyawarah. Tak hanya tentang asas negara,
pada 31 Mei 1945
Di dalam buku Risalah BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretaris Negara, Soepomo
menggambarkan dua negara yang saat itu menerapkan paham integralistik, yaitu
Jerman Nazi dengan persatuan antara pemimpin dan rakyatnya serta kekaisaran
Dai Nippon dengan hubungan lahir batin di bawah keluarga Kaisar Tenno
Heika. Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai dengan corak
masyarakat Indonesia, kata Soepomo kala itu.
Pada bagian lain dalam sidang BPUPKI itu pula Soepomo sempat menolak
masuknya Hak Asasi Manusia (HAM) ke dalam konstitusi. Ia beranggapan
konsep HAM adalah produk negara individualistik dimana HAM adalah
pemberian alam dan negara. "..menurut pikiran saya aliran kekeluargaan sesuai
dengan sifat ketimuran. Jadi saya anggap tidak perlu mengadakan declaration
of rights,"ujar Soepomo.
“Setiap orang dan golongan sudah memiliki tempat dan perannya
sendiri dalam kehidupan (dharma) sesuai dengan hukum kodrat, dan
individu tidak terpisahkan dari individu lainnya ataupun dari alam”.
Pandangan Soepomo mengenai teori negara integralistik.
Sikap Soepomo yang menentang habis paham individualistik dan produk
turunannya, seperti HAM dalam sidang BPUPKI sebenarnya tak bisa dilepaskan
dari keahlian Soepomo pada bidang hukum adat. Dalam bukunya
berjudul Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, Soepomo
menegaskan bahwa individu adalah anggota dari masyarakat.
Yang primer, menurut Soepomo, bukan individu. Melainkan masyarakat yang
berdiri di tengah kehidupan hukum. Kehidupan individu terutama ditujukan
mengabdi kepada masyarakat. Namun, pengabdian tersebut tidak dianggap
beban individu dan sebuah pengorbanan.
Lantaran mengedepankan paham integralistik, Soepomo dicap sebagai penganut
negara totaliter dan anti HAM. Di dalam sidang BPUPKI, Soepomo –dan
belakangan Soekarno- harus berdebat dengan M. Yamin dan M Hatta tentang
konsep HAM dan paham integralistik itu.
Kekalahan Jepang di Perang Dunia II dimanfaatkan Bangsa Indonesia
untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, disusul
penggelaran sidang PPKI keeseokan harinya dengan menetapkan Undang-
undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara serta menetapkan Soekarno
dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden.

Note:
Light Green: Sejarah sebagai kisah
Green : Sejarah sebagai peristiwa
Light Blue: Konsep ruang
Blue: Konsep Waktu
Red: Sinkronik
Orange: Diakronik

Anda mungkin juga menyukai