Anda di halaman 1dari 5

Tugas Individu

FILSAFAT HUKUM

DISUSUN OLEH:

AHMAD SOBARI (H1A118486)

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2020
BIOGRAFI PAKAR HUKUM ‘’ WIRJONO PRODJODIKORO’’

Nama Lengkap: Wirjono Prodjodikoro

Jenis Kelamin: Laki-laki

Tempat Tanggal Lahir: Surakarta, 15 Juni 1903

Meninggal: April 1985

Kebangsaan: Indonesia

Pendidikan: Rijksuniversiteit Leiden

Buku: Asas-asas hukum pidana di Indonesia, Perbuatan melanggar hukum, dipandang


dari sudut hukum perdata, Asas-asas hukum tata negara di Indonesia, Hukum Acara
Pidana di Indonesia dan lain-lain.

Wirjono Prodjodikoro tercatat sebagai Ketua Mahkamah Agung yang menjabat paling
lama. Selama 14 tahun dalam periode 1952-1966, ia ikut menorehkan awal sejarah Mahkamah
Agung di Indonesia. Tentu saja ada sejumlah kritik tentang kiprahnya. Namun, Wirjono dikenal
sebagai hakim yang bersih dari korupsi. Sebastiaan Pompe, peneliti Belanda yang menulis
buku The Indonesian Supreme Court : A Study of Institusional Collapse,  mengakui sosok
Wirjono sebagai orang ‘lurus’. Buku tersebut adalah hasil riset mendalam tentang Mahkamah
Agung yang paling diakui hingga sekarang.

Wirjono, kata Pompe, lebih memilih menyewakan mobil dinasnya sebagai taksi. Mungkin saja
itu caranya mendapat penghasilan tambahan yang halal. Maklum, kabarnya gaji hakim terbilang
kecil kala itu. Nama Wirjono juga termasuk yang kerap muncul dalam literatur klasik di kampus-
kampus hukum. Ia menulis banyak buku hukum untuk beragam tema. Mulai dari hukum pidana,
perdata, tata negara, hingga hukum publik internasional.

Sebuah kutipan populer, setidaknya di kalangan hakim, dinisbatkan pada Wirjono: “Rasa
keadilan adalah salah satu dasar segala hukum”. Sebagai Ketua Mahkamah Agung kedua, ia pula
yang ikut mendorong agar hakim mengutamakan rasa keadilan di masyarakat alih-alih sekadar
corong undang-undang. “Apabila seorang hakim secara penafsiran yang lazim dari suatu
peraturan sampai kepada suatu simpulan, yang dirasakan hakim itu sebagai hal yang tidak
memuaskan rakyat, maka hakim harus meninjau kembali cara berpikir yang menyebabkan rasa
tidak puas itu,” tulis Wirjono dalam autobiografinya.

Bahkan Wirjono masih menyambung pernyataan itu dengan kalimat tegas, “Dalam hal
ini, kalau perlu, harus ditinggalkan pengertian-pengertian hukum yang lazimnya dipergunakan”.

Lulusan Berprestasi

Silsilah Wirjono menunjukkan dirinya adalah cicit dari Bupati-Anom Kasunanan


Surakarta bernama Raden Ngabehi Martodipuro. Ayah Wirjono pegawai di Kasunanan Surakarta
dan beberapa kali beralih nama karena kenaikan pangkat dan pindah jabatan. Mas Ngabehi
Reksodiprodjo adalah nama terakhir ayahnya sampai meninggal dunia. Nama Wirjono pun
awalnya hanya satu kata saat dilahirkan 15 Juni 1903 di Surakarta. Baru setelah lulus
Rechtsschool ia mendapatkan tambahan nama dari ayahnya menjadi Wirjono Prodjodikoro.
Perubahan nama saat mulai bekerja adalah salah satu tradisi di masanya.

Wirjono lulus dengan nilai tertinggi di Rechtsschool tahun 1922. Pada tahun itu juga ia
mulai bekerja di Landraad Surakarta dengan tugas sebagai panitera pengganti. Setahun kemudian
Wirjono mendapat tugas belajar ke Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Tahun 1926 ia
berhasil merampungkan gelar Meester in de Rechten (setara magister-red.)  juga dengan pujian.
Wirjono kembali ke Indonesia dan dipindah tugas ke Landraad Klaten.

Baru tahun 1928 Wirjono mulai bertugas sebagai hakimn saat diangkat menjadi Ketua Luar
Biasa Landraad Makassar. Posisi ini bisa dikatakan semacam wakil Ketua Pengadilan tingkat
pertama. Wirjono mendampingi orang Belanda dalam memimpin pengadilan dan memutus
perkara.

Aktivis Sejak Muda


Tak banyak yang tahu bahwa Wirjono terlibat gerakan pro kemerdekaan sejak muda. Ia menjadi
pengurus Jong Java bersama dengan Soepomo (Menteri Hukum pertama-red.)  dan Soekarno
semasa sekolah di Rechtsschool. Ia juga bergabung dalam pergerakan politik Budi Utomo sejak
mulai bekerja di Surakarta. Bahkan saat kuliah di Leiden pun ia bergabung dalam Perhimpunan
Indonesia/Indonesische Vereniging. Suatu saat Wirjono dipromosikan sebagai Ketua Landraad
Purworejo. Ia menjalankan tugasnya sambil menjadi ketua cabang Budi Utomo di Purworejo, hal
yang membuatnya ditegur Hooggereechtshof Jakarta. “Saya menerima teguran yang mencurigai
kesetiaan saya kepada Pemerintah Hindia-Belanda,” tulis Wirjono dalam autobiografinya.

Wirjono mundur sebagai pengurus Budi Utomo namun tetap bergabung sebagai anggota.
Selanjutnya ia dipindahkan beberapa kali sebagai Ketua Landraad di Tuban, Sidoarjo, dan
Tulungagung. Di lokasi tugas yang terakhir itu terjadi peralihan masa Hindia-Belanda ke masa
pendudukan Jepang. Peradilan masih bisa berjalan karena hanya pegawai kalangan Belanda saja
yang ditangkap pemerintah militer Jepang. Wirjono diminta penguasa Jepang di wilayah
Surabaya untuk memimpin pengadilan negeri di Malang. Ia terus bertugas di sana sampai
kemerdekaan diproklamasikan tahun 1945.

Hampir Melepas Karier Hakim

“Selaku anggota Partai Nasional Indonesia saya masuk Badan Pemerintahan Keresidenan
Malang,” Wirjono mengakui perannya membantu pembentukan pemerintahan daerah di awal
kemerdekaan. Ia bertugas membantu Residen Malang di bagian umum. Saat Residen pensiun,
Wirjono ikut dicalonkan untuk menggantikan. Namun ia tidak dipilih pemerintah pusat sehingga
tetap bertugas hakim. “Seandainya saya terpilih menjadi Residen Malang, karier saya akan
berbeda alih-alih akan menjabat Ketua Mahkamah Agung,” ujarnya dalam autobiografi.

Tahun 1946 menjadi awal karier Wirjono di Mahkamah Agung. Ia diangkat sebagai
hakim agung anggota di bawah kepemimpinan Mr.Kusumah Atmadja. Selanjutnya di tahun 1952
ia diangkat sebagai Ketua Mahkamah Agung menggantikan Kusumah Atmadja yang meninggal
dunia. Dukungan politik Partai Nasional Indonesia menjadi kunci kemenangan dalam
pemungutan suara di Dewan Perwakilan Rakyat kala itu. “Partai Masyumi mencalonkan
Mr.Tirtawinata, bekas Jaksa Agung dan menjabat Duta Besar di Pakistan waktu itu. Saya
dicalonkan Partai Nasional Indonesia dan Partai Sosialis Indonesia,” kata Wirjono.

Ensiklopedis yang Positivis Tulen

Selain buka bunga rampai hukum, hukumonline mencatat 19 judul buku karya Wirjono
Prodjodikoro. Kebanyakan diberi judul ‘Azas-azas’ seperti buku Azas-azas Hukum Pidana di
Indonesia. Buku tersebut masih digunakan sebagai salah satu bahan bacaan mata kuliah hukum
pidana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Fernando Manullang, ahli filsafat
hukum FHUI yang mengampu bidang ilmu dasar hukum, menjelaskan sosok Wirjono dengan
melihat tokoh-tokoh hukum pada zamannya. “Karya tulis beliau tidak ada yang kontroversial,
misal kalau Utrecht atau Padmo Wahyono ada. Beliau tidak pernah terlibat dalam polemik,” ujar
Fernando.

Fernando menjelaskan bagaimana sosok Padmo Wahyono berpolemik soal gagasan


negara integralistik. Di sisi lain pemikiran Utrecht soal pengayoman sebagai tujuan hukum
cukup menjadi sorotan. Fernando menambahkan nama G.J.Resink yang menggunakan
pendekatan hukum internasional saat menolak bahwa Indonesia dijajah selama 350 tahun.
“Dugaan saya beliau lebih bersikap sebagai hakim dibandingkan sebagai ilmuwan,” Fernando
menambahkan. Fernando mengakui nama Wirjono sebagai penulis buku hukum klasik muncul di
banyak bidang hukum.

Dugaan lain Fernando, Wirjono sudah begitu menghayati sikap sebagai positivis tulen. 
“Orang yang berpandangan positivis memandang apa yang ada dalam sistem hukum sudah baik-
baik saja,” ujarnya. Hasilnya, semua yang sudah dituangkan dalam norma hukum negara dilihat
sebagai ukuran normal yang cukup dijalankan saja. Itu sebabnya karya-karya Wirjono ibarat
ensiklopedia yang menguraikan tanpa ada kritik atau usulan baru. Pendapat lain diberikan
Ramon Wahyudi, salah satu hakim Pengadilan Negeri Depok. Ia melihat karya-karya tulis dan
aktivitas Wirjono mengajar memang tidak direncanakan untuk berpolemik secara akademik.
“Setahu saya beliau mencari tambahan uang dari menulis buku dan mengajar,” ujar Ramon.
Selain itu Wirjono diakuinya sebagai salah satu sosok teladan bagi para hakim Indonesia.
“Beliau ini legenda,” kata Ramon.

Anda mungkin juga menyukai