FILSAFAT HUKUM
DISUSUN OLEH:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2020
BIOGRAFI PAKAR HUKUM ‘’ WIRJONO PRODJODIKORO’’
Kebangsaan: Indonesia
Wirjono Prodjodikoro tercatat sebagai Ketua Mahkamah Agung yang menjabat paling
lama. Selama 14 tahun dalam periode 1952-1966, ia ikut menorehkan awal sejarah Mahkamah
Agung di Indonesia. Tentu saja ada sejumlah kritik tentang kiprahnya. Namun, Wirjono dikenal
sebagai hakim yang bersih dari korupsi. Sebastiaan Pompe, peneliti Belanda yang menulis
buku The Indonesian Supreme Court : A Study of Institusional Collapse, mengakui sosok
Wirjono sebagai orang ‘lurus’. Buku tersebut adalah hasil riset mendalam tentang Mahkamah
Agung yang paling diakui hingga sekarang.
Wirjono, kata Pompe, lebih memilih menyewakan mobil dinasnya sebagai taksi. Mungkin saja
itu caranya mendapat penghasilan tambahan yang halal. Maklum, kabarnya gaji hakim terbilang
kecil kala itu. Nama Wirjono juga termasuk yang kerap muncul dalam literatur klasik di kampus-
kampus hukum. Ia menulis banyak buku hukum untuk beragam tema. Mulai dari hukum pidana,
perdata, tata negara, hingga hukum publik internasional.
Sebuah kutipan populer, setidaknya di kalangan hakim, dinisbatkan pada Wirjono: “Rasa
keadilan adalah salah satu dasar segala hukum”. Sebagai Ketua Mahkamah Agung kedua, ia pula
yang ikut mendorong agar hakim mengutamakan rasa keadilan di masyarakat alih-alih sekadar
corong undang-undang. “Apabila seorang hakim secara penafsiran yang lazim dari suatu
peraturan sampai kepada suatu simpulan, yang dirasakan hakim itu sebagai hal yang tidak
memuaskan rakyat, maka hakim harus meninjau kembali cara berpikir yang menyebabkan rasa
tidak puas itu,” tulis Wirjono dalam autobiografinya.
Bahkan Wirjono masih menyambung pernyataan itu dengan kalimat tegas, “Dalam hal
ini, kalau perlu, harus ditinggalkan pengertian-pengertian hukum yang lazimnya dipergunakan”.
Lulusan Berprestasi
Wirjono lulus dengan nilai tertinggi di Rechtsschool tahun 1922. Pada tahun itu juga ia
mulai bekerja di Landraad Surakarta dengan tugas sebagai panitera pengganti. Setahun kemudian
Wirjono mendapat tugas belajar ke Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Tahun 1926 ia
berhasil merampungkan gelar Meester in de Rechten (setara magister-red.) juga dengan pujian.
Wirjono kembali ke Indonesia dan dipindah tugas ke Landraad Klaten.
Baru tahun 1928 Wirjono mulai bertugas sebagai hakimn saat diangkat menjadi Ketua Luar
Biasa Landraad Makassar. Posisi ini bisa dikatakan semacam wakil Ketua Pengadilan tingkat
pertama. Wirjono mendampingi orang Belanda dalam memimpin pengadilan dan memutus
perkara.
Wirjono mundur sebagai pengurus Budi Utomo namun tetap bergabung sebagai anggota.
Selanjutnya ia dipindahkan beberapa kali sebagai Ketua Landraad di Tuban, Sidoarjo, dan
Tulungagung. Di lokasi tugas yang terakhir itu terjadi peralihan masa Hindia-Belanda ke masa
pendudukan Jepang. Peradilan masih bisa berjalan karena hanya pegawai kalangan Belanda saja
yang ditangkap pemerintah militer Jepang. Wirjono diminta penguasa Jepang di wilayah
Surabaya untuk memimpin pengadilan negeri di Malang. Ia terus bertugas di sana sampai
kemerdekaan diproklamasikan tahun 1945.
“Selaku anggota Partai Nasional Indonesia saya masuk Badan Pemerintahan Keresidenan
Malang,” Wirjono mengakui perannya membantu pembentukan pemerintahan daerah di awal
kemerdekaan. Ia bertugas membantu Residen Malang di bagian umum. Saat Residen pensiun,
Wirjono ikut dicalonkan untuk menggantikan. Namun ia tidak dipilih pemerintah pusat sehingga
tetap bertugas hakim. “Seandainya saya terpilih menjadi Residen Malang, karier saya akan
berbeda alih-alih akan menjabat Ketua Mahkamah Agung,” ujarnya dalam autobiografi.
Tahun 1946 menjadi awal karier Wirjono di Mahkamah Agung. Ia diangkat sebagai
hakim agung anggota di bawah kepemimpinan Mr.Kusumah Atmadja. Selanjutnya di tahun 1952
ia diangkat sebagai Ketua Mahkamah Agung menggantikan Kusumah Atmadja yang meninggal
dunia. Dukungan politik Partai Nasional Indonesia menjadi kunci kemenangan dalam
pemungutan suara di Dewan Perwakilan Rakyat kala itu. “Partai Masyumi mencalonkan
Mr.Tirtawinata, bekas Jaksa Agung dan menjabat Duta Besar di Pakistan waktu itu. Saya
dicalonkan Partai Nasional Indonesia dan Partai Sosialis Indonesia,” kata Wirjono.
Selain buka bunga rampai hukum, hukumonline mencatat 19 judul buku karya Wirjono
Prodjodikoro. Kebanyakan diberi judul ‘Azas-azas’ seperti buku Azas-azas Hukum Pidana di
Indonesia. Buku tersebut masih digunakan sebagai salah satu bahan bacaan mata kuliah hukum
pidana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Fernando Manullang, ahli filsafat
hukum FHUI yang mengampu bidang ilmu dasar hukum, menjelaskan sosok Wirjono dengan
melihat tokoh-tokoh hukum pada zamannya. “Karya tulis beliau tidak ada yang kontroversial,
misal kalau Utrecht atau Padmo Wahyono ada. Beliau tidak pernah terlibat dalam polemik,” ujar
Fernando.
Dugaan lain Fernando, Wirjono sudah begitu menghayati sikap sebagai positivis tulen.
“Orang yang berpandangan positivis memandang apa yang ada dalam sistem hukum sudah baik-
baik saja,” ujarnya. Hasilnya, semua yang sudah dituangkan dalam norma hukum negara dilihat
sebagai ukuran normal yang cukup dijalankan saja. Itu sebabnya karya-karya Wirjono ibarat
ensiklopedia yang menguraikan tanpa ada kritik atau usulan baru. Pendapat lain diberikan
Ramon Wahyudi, salah satu hakim Pengadilan Negeri Depok. Ia melihat karya-karya tulis dan
aktivitas Wirjono mengajar memang tidak direncanakan untuk berpolemik secara akademik.
“Setahu saya beliau mencari tambahan uang dari menulis buku dan mengajar,” ujar Ramon.
Selain itu Wirjono diakuinya sebagai salah satu sosok teladan bagi para hakim Indonesia.
“Beliau ini legenda,” kata Ramon.