MAHKAMAH KONSTITUSI
DISUSUN OLEH:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2020
Quision/ Pertanyaan:
Jelaskan Sejarah Berkembangnya Mahkamah Konstitusi, Tidak hanya di Indonesia tapi juga di
negara lain?
Dapat dikatakan bahwa negara pertama di dunia yang membentuk lembaga Mahkamah
Konstitusi adalah Austria, yaitu pada tahun 1920. Sesudah itu, baru lah ide pembentukan
Mahkamah Konstitusi itu ditiru dan diikuti oleh negara-negara lain. Pada saat Indonesia
membentuk Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003, di dunia sudah tercatat ada 78 negara yang
memiliki lembaga Mahkamah Konstitusi itu yang berada di luar struktur Mahkamah Agung. Ide
pembentukan lembaga ini bermula dari usulan Prof. Hans Kelsen, seorang ahli hukum tatanegara
terkenal, yaitu ketika ia diangkat menjadi penasihat ahli dalam rangka ide perancangan konstitusi
baru Austria pada tahun 1919. Dialah yang mengusulkan dibentuknya lembaga ini yang
kemudian dinamakan “verfassungsgerichtshof” atau Mahkamah Konstitusi yang secara resmi
dibentuk dengan undang-undang pada tahun 1920.
Namun demikian, jauh sebelum gagasan pembentukan lembaga Mahkamah Konstitusi itu
dikembangkan, sebenarnya ide „constitutional review‟ (pengujian konstitusional) atau „judicial
review‟ (pengujian oleh hakim) itu sendiri sudah dipraktikkan oleh pengadilan Amerika Serikat
sejak awal abad ke-19. Tepatnya, kasus pertama yang melahirkan ide besar dalam sejarah hukum
dan peradilan di dunia yang kemudian kita kenal dengan mekanisme peradilan konstitusi itu
justru terjadi di Amerika Serikat, yaitu dalam perkara Marbury versus Madison yang diputus
oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1803. Sejak itulah ide „constitutional
review‟ dan „judicial review‟ mengundang perdebatan kontroversial dunia dan pada akhirnya
diterima sebagai keniscayaan dalam praktik di seluruh negara demokrasi modern di dunia sampai
sekarang.
Model Amerika Serikat
Dalam perkembangan selanjutnya, kasus “Judicial Review” yang didasarkan atas
pengalaman Mahkamah Agung Amerika Serikat memutus perkara Marbury versus Madison pada
tahun 1803 itu menjadi contoh dan model yang ditiru di seluruh dunia, terutama oleh negara-
negara demokrasi yang dipengaruhi oleh sistem konstitusi Amerika Serikat. Dalam model ini,
pengujian konstitusionalitas (constitutional review) dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah
Agung dengan status sebagai „the Guardian of the Constitution‟.
Di samping itu, menurut doktrin yang kemudian biasa juga disebut sebagai doktrin John
Marshall (John Marshall's doctrine), ‘judicial review‟ juga dilakukan atas persoalan-persoalan
konstitusionalitas oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan pengujian
terdesentralisasi atau pengujian tersebar (a decentralized or diffuse or dispersed review) di dalam
perkara yang diperiksa di pengadilan biasa (incidenter). Artinya, pengujian demikian itu, tidak
bersifat institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam perkara
lain yang sedang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan. Karena itu, oleh para
sarjana, model AS ini juga biasa disebut sebagai “Decentralized Model”.
Pengujian konstitusional yang dilakukan secara tersebar itu bersifat spesifik dan
termasuk kategori ‘a posteriori review’. Sedangkan, Mahkamah Agung dalam sistem tersebut
menyediakan mekanisme untuk kesatuan sistem sebagai keseluruhan (the uniformity of
jurisdiction). Dalam sistem yang tersebar, putusanputusan yang diambil hanya mengikat para
pihak yang bersengketa dalam perkara yang bersangkutan (inter partes), kecuali dalam kerangka
prinsip „stare decisis‟ yang mengharuskan pengadilan di kemudian hari terikat untuk mengikuti
putusan serupa yang telah diambil sebelumnya oleh hakim lain atau dalam kasus lain. Pada
pokoknya, putusan mengenai inkonstitusionalitas suatu undang-undang bersifat deklaratoir dan
retrospektif (declaratory and retrospective), yaitu bersifat ‘extunc’7 dengan akibat „pro
praeterito’ yang menimbulkan efektif retroaktif ke belakang. Tentu sistem demikian berbeda
sekali dengan yang diterapkan di Indonesia dewasa ini. Akan tetapi persoalan ini tidak akan
didiskusikan disini, melainkan akan dibahas dalam buku tersendiri.
Dari segi kelembagaannya, sistem pengujian konstitusionalitas yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung Amerika Serikat ini jelas berbeda pula dari tradisi yang sama di Austria.
Dalam sistem Amerika Serikat yang menganut tradisi ‘common law’, peranan hakim penting
penting dalam proses pembentukan hukum menurut asas ‘precedent’. Bahkan hukum dalam
sistem „common law‟ itu biasa disebut sebagai „judge-made law’, atau hukum buatan para
hakim. Oleh karena itu, ketika John Marshall memprakarsai praktek pengujian konstitusionalitas
undangundang oleh Mahkamah Agung dan bahwa sejak masa-masa sebelumnyapun para hakim
di semua tingkatannya di Amerika Serikat memang telah mewarisi tradisi pengujian atau
mengesampingkan berlakunya sesuatu undang-undang yang dinilai bertentangan dengan cita
keadilan dalam memeriksa setiap perkara yang dihadapkan kepada mereka, tergambar bahwa
peranan hakim di Amerika Serikat memang besar dan memang seharusnya demikian.
Lagi pula jumlah undang-undang dalam sistem demikian tidak sebanyak yang terdapat
dalam tradisi ‘civil law’ di Eropah Kontinental yang dari waktu ke waktu lembaga-lembaga
parlemennya terus memproduksi peraturan-peraturan tertulis. Karena itu, penerapan sistem
‘judicial review’ atau „constitutional review’ itu tidak memerlukan lembaga baru, melainkan
cukup dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada. Mahkamah Agung itulah
yang selanjutnya akan bertindak dan berperan sebagai Pengawal ataupun Pelindung Undang-
Undang Dasar (the Guardian or the Protector of the Constitution).
Sistem yang demikian itu, terutama karena dipengaruhi oleh sistem konstitusi Amerika
Serikat, antara lain diadopsikan oleh banyak negara, misalnya: di Eropah oleh Denmark, Estonia,
Irlandia, Normegia, dan Swedia; di Afrika oleh Botswana, Gambia, Ghana, Guinea, Kenya,
Malawi, Namibia, Nigeria, the Seychelles, Sierra Leone, Swaziland, dan Tanzania; di Timur
Tengah oleh negaranegara Iran dan Israel; di Asia oleh Bangladesh, Fiji, Hong Kong (sampai 1
Juli 1997), India, Jepang, Filipina, Kiribati, Malaysia, Negara Federal Micronesia, Nauru, Nepal,
New Zealand, Palau, Papua New Guinea, Singapura, Tibet8 , Tonga, Tuvalu, Vanuatu, dan
Samoa Barat; Sedangkan di Amerika Utara, selain AmerikaSerikat sendiri, Kanada juga tercatat
mengadopsikan prinsip-prinsip pengujian konstitusional (constitutional review) itu dalam
kewenangan Mahkamah Agung mereka.
Selain itu, sistem demikian itu juga diterapkan di kebanyakan negara-negara di kawasan
Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Negara-negara di kawasan ini cukup banyak juga yang
mempraktekkan sistem pengujian konstitusional (constitutional review) seperti yang dilakukan di
Amerika Serikat. Negara-negara tersebut antara lain adalah: Argentina, Bahamas, Barbados,
Belize, Bolivia, Dominica, Grenada, Guyana, Haiti, Jamaica, Mexico, St. Christopher/Nevis,
Trinidad dan Tobago. Semuanya mengikuti pola Amerika Serikat dalam menjalankan fungsi
pengujian konstitusional, yaitu dengan mengaitkannya sebagai kewenangan Mahkamah Agung
sebagai „the Guardian of the Constitution‟.
Praktik di Indonesia
Dari telaah perbandingan tersebut di atas, kita dapat memperoleh gambaran mengenai
prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam mekanisme pengujian konstitusional di pelbagai
negara, khususnya di Austria, Perancis, dan Amerika Serikat. Dari semua praktik yang
dikembangkan di pelbagai negara, kita juga harus mencatat bahwa awal mula terbentuk ide
„constitutional review‟ itu di dunia, justru dimulai dari kasus Marbury vs Madison pada tahun
1803 di Amerika Serikat.
Dengan memahami perkembangan gagasan aslinya, kita diharapkan dapat lebih mengerti
apa yang mesti dikembangkan di tanah air setelah kita mengadopsikan ide pengujian
konstitusional itu dalam sistem ketatanegaraan kita berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 setelah Perubahan Keempat (Tahun 2002). Seperti diketahui,
sistem dan mekanisme pengujian konstitusional (constitutional review) itu sendiri baru saja kita
adopsikan ke dalam sistem konstitusi negara kita dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi
pada bulan Agustus 2003. Pengujian konstitusional itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa
UUD sungguh-sungguh dijalankan atau ditegakan dalam proses penyelenggaraan negara sehari-
hari. Pengujian terhadap lembaga lain oleh lembaga yang berbeda apakah yang bersangkutan
sungguh-sungguh melaksanakan UUD atau tidak merupakan mekanisme yang sama sekali baru.
Sebelumnya memang tidak dikenal dalam sistem hukum dan konstitusi negara kita.
Percobaan pertama yang kita adakan dapat dikatakan barulah muncul setelah era
reformasi, yaitu dengan ditetapkannya Ketetapan MPR-RI No. III/MPR/2000 yang memberikan
kepada MPR kewenangan aktif untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Sebelum ini,
prosedur pengujian (judicial review) oleh Mahkamah Agung hanya dibatasi pada objek peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang. Dengan demikian,
pengujian oleh Mahkamah Agung itu bukanlah pengujian mengenai konstitusionalitas,
melainkan hanya pengujian mengenai legalitas peraturan perundang-undangan.
Pengujian aktif (active review) yang seyogyanya akan dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat berdasarkan TAP No. III/MPR/2000 tersebut, sampai masa berlakunya
ketetapan MPR tersebut berakhir, tidak pernah dilaksanakan karena memang tidak ada
mekanisme yang memungkinkannya secara teknis dapat dilaksanakan. Sekiranyapun hal itu
dapat dilaksanakan, maka niscaya apa yang dilakukannya tidak dapat disebut dengan istilah
‘judicial review’, melainkan merupakan ‘legislative review‟ karena organ MPR itu sendiri
termasuk cabang kekuasaan judisial. Betapapun juga, meskipun bukan sebagai legislator atau
lembaga pembentuk undang-undang, MPR adalah lembaga yang termasuk kategori cabang
kekuasaan legislatif dalam arti luas. Karena itu, pengujian konstitusional (constitutional review)
yang seyogyanya akan dilakukan lebih tepat disebut sebagai ‘legislative review on the
constitutionality of law’ atau pengujian legislatif atas konstitusionalitas undang-undang.
Pengujian konstitusional dalam arti „judicial review on the constitutionality of law‟ atau
pengujian judisial atas konstitusionalitas undang-undang baru kita adopsikan mekanismenya ke
dalam sistem ketatanegaraan kita dengan diterimanya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tidak seperti negara-
negara dengan tradisi „common law‟ seperti Amerika Serikat, Indonesia dengan tradisi „civil
law‟, mengikuti pola Kelsenian atau model Eropah Kontinental dalam mengembangkan
kelembagaan Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di luar dan sederajat dengan Mahkamah
Agung.
Ketentuan umum mengenai Mahkamah Konstitusi ini dalam UUD 1945 dicantumkan
dalam Pasal 7B ayat (1), (3), (4), (5), dan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5),
dan ayat (6) sebagai hasil perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001. Kemudian ditambah
Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil perubahan keempat UUD 1945 pada tahun 2002.
Berdasarkan Aturan Peralihan inilah, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia benar-benar
dibentuk sebelum tanggal 17 Agustus 2003. Undang-Undang yang mengatur lebih lanjut
ketentuan mengenai mahkamah ini selesai disusun dan disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003
menjadi Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (LN-RI Tahun 2003
No. 98, dan TLN-RI No. 4316), dan Keputusan Presiden yang menetapkan 9 (sembilan) orang
hakim konstitusi yang pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia ditetapkan pada tanggal 15
Agustus 2003 dengan Keputusan Presiden No. 147/M Tahun 2003.
Pengucapan sumpah jabatan kesembilan hakim dilakukan dengan disaksikan oleh
Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara pada hari Sabtu, tanggal 16 Agustus 2003,
persis 1 hari sebelum tenggang waktu yang ditentukan oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD
1945. Keesokan harinya, Minggu, 17 Agustus adalah hari libur, dan hari Senin, 18 Agustus 2003,
adalah hari upacara kenegaraan. Mulai hari Selasa, tanggal 19 Agustus 2003, kesembilan hakim
konstitusi mulai bekerja dengan mengadakan rapat pemilihan ketua dan wakil ketua, serta hal-hal
lain berkenaan dengan pelembagaan lembaga baru ini.
Dengan telah terbentuk dan berfungsinya Mahkamah Konstitusi sejak tanggal 19 Agustus
2003, maka mekanisme pengujian konstitusionalitas oleh lembaga peradilan yang tersendiri
dapat diselenggarakan dengan sebaik-baiknya. Namun, dalam Aturan Peralihan Pasal III UUD
1945 ditentukan pula bahwa “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17
Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”.
Artinya, sejak disahkannya naskah Perubahan Keempat UUD 1945 pada tanggal 10 Agustus
2002 sampai dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi, kewenangan judisial untuk melakukan
pengujian konstitusional (constitutional review) itu sudah berlaku dan untuk sementara waktu
dijalankan oleh Mahkamah Agung yang bertindak selaku Mahkamah Konstitusi Sementara.
Terbukti pula bahwa selama masa 1 (satu) tahun sebelum Mahkamah Konstitusi
dibentuk, di Kepaniteraan Mahkamah Agung telah pula diregistrasi 14 buah berkas perkara
pengujian undang-undang yang diajukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Itu berarti,
mekanisme pengujian konstitusional itu tidak saja diadopsikan mekanismenya dalam ketentuan
konstitusi sejak tahun 2000, tetapi juga telah mulai diterapkan dalam kenyataan praktek sejak itu.
Sekarang, kita bersyukur sudah berada di tahun 2012. Sejak dibentuknya pada tahun 2003, usia
Mahkamah Konstitusi yang kita bangun dan kembangkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
kini sudah hampir mencapai 9 tahun. Saya bersama 8 hakim konstitusi generasi pertama sangat
bersyukur dapat menyelesaikan tugas sejarah mendirikan dan membangun Mahkamah Konstitusi
itu di Indonesia dengan kokoh dan berwibawa menjalankan kewenangan konstitusionalnya
dalam mengawal demokrasi dan konstitusi sesuai dengan harapan masyarakat dan tuntutan
sejarah.
Dapat dikatakan, Mahkamah Konstitusi telah dengan baik menjalankan fungsinya sebagai
(i) pengawal konstitusi (the guardian of the constitution),
(ii) pengawal demokrasi (the guardian of democracy),
(iii) pelindungan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara (the protector of human
rights and the citizens’ constitutional rights), dan
(iv) penafsir final konstitusi negara (the final interpreter of the constitution).
Fungsi-fungsi itu dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dengan 5 (lima) kewenangan
konstitusional, yaitu memeriksa dan memutus permohonan (1) pengujian konstitusionalitas
undang-undang (judicial review of the constitutionality of law), (2) perselisihan hasil pemilihan
umum, (3) sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, (4) pembubaran partai
politik, dan (5) perkara „impeachment’’ terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.