Anda di halaman 1dari 8

Dalam permohonan a quo PEMOHON I dan PEMOHON II secara bersama – sama

disebut sebagai…………………………………………………………………….…
PARA PEMOHON;

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 10 November 2020, PARA PEMOHON


memberikan Kuasa kepada:

1. Dr. Didin Hidayat, S.H.


2. Rahmatia, S.H., M.H.
3. Taufik Asrianto, S.H.

Kesemuanya adalah Advokat/ Pegiat hukum yang tergabung dalam Tim Hukum
Buruh Menggugat Undang - Undang Cipta Kerja ( THBM CIPTA KERJA ),
beralamat di Jalan H.E.A Mokodompit Kec. Kambu Kendari, yang baik sendiri–
sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa;

Dalam hal ini PARA PEMOHON mengajukan Permohonan pengujian materiil


sebagian ketentuan dalam pasal Pasal 51, Pasal 53, Pasal 57, dan Pasal 89A Undang-
Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6573 (Selanjutnya disebut “UU CIPTA
KERJA”) terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Selanjutnya disebut “UUD 1945);

A. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan:


“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;

2. Bahwa selanjutnya Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945


menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik
dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”;
3. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Mahkamah Konstitusi mempunyai hak
atau kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang (UU) terhadap
UUD yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD NRI
tahun 1945”;

4. Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pelindung konstitusi.


Apabila terdapat undang-undang yang berisi atau terbentuk bertentangan
dengan konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi dapat memperbaikinya
dengan cara membatalkan keberadaan UU tersebut secara menyeluruh
ataupun per pasalnya;

5. Bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang


terhadap Undang-Undang Dasar meliputi Pengujian Formil dan/atau
Pengujian Materil sebagai mana dinyatakan dalam pasal 1 angka 1 Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
dalam perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut “PMK PUU”)
yang berbunyi; “ Pengujian adalah Pengujian Formil dan/atau Pengujian
Materiil sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat (3) huruf a dan b Undang-
Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

6. Bahwa permohonan para Pemohon adalah permohonan Pengujian


Konstitusionalitas Bab IV Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6537 ) terhadap
UUD 1945. Karenanya, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a
quo;

B. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON

1. Bahwa sudah menjadi hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan satu indikator
perkembangan ketatanegaraan yang positif yang merefleksikan adanya
kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip Negara Hukum;
2. Bahwa Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, menyatakan
para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat yang sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah
diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara
berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-
hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
3. Bahwa oleh karena itu, Para Pemohon menguraikan kedudukan hukum (Legal
Standing) Para Pemohon dalam mengajukan permohonan dalam perkara a
quo, sebagai berikut :

Pertama, Kualifikasi sebagai Para Pemohon. Bahwa kualifikasi Pemohon I


sampai dengan pemohon II sebagai Anggota Lembaga Bantuan Hukum
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia dan Anggota Lembaga Penggerak
Demokrasi Indonesia Cabang Kendari.

Kedua, Dalam Kerugian Konstitusional Para Pemohon. Mengenai parameter


kerugian konstitusional, MK telah memberikan segala pengertian dan batasan
tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-
undang harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagaimana Putusan MK Perkara
Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007, yaitu
sebagai berikut :
a. adanya hak dan/atau kewenangan Konstitusional pemohon yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945;

b. bahwa hak dan/atau kewenangan Konstitusional pemohon tersebut


dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-
Undang yang diuji;

c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan Konstitusional pemohon


yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya
bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan


berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka


kerugian dan/atau kewenangan Konstitusional yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi.

5. Bahwa Bab IV UU CIPTA KERJA, yang oleh Pemerintah dan menjadi


pengetahuan masyarakat disebut Klaster Ketenagakerjaan, mengatur syarat-
syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha serta peran
serikat pekerja/serikat buruh dalam segala aspek hubungan industrial;
6. Bahwa berdasar uraian tersebut diatas dan memperhatikan pasal 51 ayat (1)
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi, maka
para Pemohon memiliki Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) untuk
mengajukan permohonan ini dan oleh karenanya Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi beralasan untuk mempertimbangkan pokok perkara a quo;
C. ALASAN-ALASAN PENGAJUAN PERMOHONAN UJI MATERIIL
Permohonan Uji Materiil Pasal 51, Pasal 53, Pasal 57, dan Pasal 89A
Bagian Kelima Bab IV Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja

1. Bahwa:
 Pasal 51 Bagian Kelima Bab IV UU Cipta Kerja berbunyi sebagai
berikut;
(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 huruf b wajib memiliki izin yang
memenuhi Perizinan Berusaha dan diterbitkan oleh Pemerintah
Pusat.
(2)  Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan
dan dipindahtangankan kepada pihak lain.
(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
oleh Pemerintah pusat.
 Pasal 53 Bagian Kelima Bab IV UU Cipta Kerja berbunyi sebagai
berikut;
(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia dapat
membentuk kantor cabang di luar wilayah domisili kantor
pusatnya.
(2) Kegiatan yang dilakukan oleh kantor cabang Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia menjadi tanggung jawab
kantor pusat Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia.
(3) Kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah
Daerah provinsi.
(4) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.
 Pasal 57 Bagian Kelima Bab IV UU Cipta Kerja berbunyi sebagai
berikut;
(1) Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus
menyerahkan pembaruan data paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja.
(2) Dalam hal Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia
tidak menyerahkan pembaruan data sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia
diizinkan untuk memperbarui izin paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja dengan membayar denda keterlambatan.
(3) Ketentuan mengenai denda keterlambatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
 Pasal 89A Bagian Kelima Bab IV UU Cipta Kerja berbunyi sebagai
berikut;
“Pada saat berlakunya Undang-Undang tentang Cipta Kerja,
pengertian atau makna SIP3MI dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2Ol7 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
menyesuaikan dengan ketentuan mengenai Pertzinan Berusaha”
2. Bahwa dalam RUU Cipta Kerja tidak ada tercantum pasal 51, pasal 53,
pasal 57, dan pasal 89A tersebut. Demikian juga naskah dan kajian
akademiknya, tidak ada. Begitu juga dalam pertemuan Tripartit dari unsur
pemerintah, unsur pengusaha, dan unsur pekerja/buruh selama 10 hari
diantara tanggal 10-23 Juli 2020 di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Pusat
yang membahas pasal perpasal RUU Cipta Kerja, 4 (empat) pasal tersebut
tidak ada. Karenanya, para Pemohon menilai proses pembentukan pasal
51, pasal 53, pasal 57, dan pasal 89A Bagian Kelima pada Bab IV UU
Cipta Kerja mengandung cacat formil, dan beralasan menurut hukum
proses pembentukan 4 (empat) pasal tersebut dinyatakan tidak memenuhi
ketentuan Undang-Undang berdasarkan UUD 1945;
3. Bahwa para Pemohon sangat khawatir pasal 51, pasal 53, pasal 57, dan
pasal 89A Bagian Kelima Bab IV UU Cipta Kerja berpotensi menjadi
norma yang mempermudah dan memperluas perdagangan manusia
(human trafficking), eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi sejak dari
masa rekrutment hingga kepulangan pekerja migran. Padahal perdagangan
manusia, eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi sangat bertentangan
dengan nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia yang berlandaskan pada
Pancasila. Pasal-pasal tersebut mengurangi perlindungan hukum dan
sosial kepada pekerja/buruh migran yang dijamin konstitusi. Pengurangan
itu terjadi karena pengawasan terhadap izin usaha perusahaan penempatan
pekerja migran Indonesia diperlonggar;
4. Bahwa kekhawatiran para Pemohon sangat beralasan karena dengan
norma pasal 51, pasal 53, pasal 57 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2017 tentang Perlindungan Pekarja Migran Indonesia (UU PPMI) dan
tidak ada norma pasal 89A tersebut jaminan perlindungan hukum dan
sosial terhadap para pekerja/buruh migran, yaitu “hadirlah negara
melindungi nasib buruk kami”. Namun itu sampai sekarang belum
terwujud;
5. Bahwa kemudian UU Cipta Kerja mengubah UU PPMI maka nasib buruk
pekerja/buruh migran akan semakin memburuk, baik di Indonesia maupun
di luar negeri. Sangat beralasan jika dikhawatirkan misalnya Pasal 89A
berpotensi merelaksasi pengetahuan aturan P3MI (Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia) atas nama kemudahan berusaha
dan investasi, dan melumpuhkan sprit pasal-pasal pengawasan ketat bagi
operasional perusahaan swasta. Semua tahu bahwa selama ini, proses
perekrutan secara ugal-ugalan demi keuntungan bisnis tanpa
memperhatikan keselamatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia;
6. Bahwa kemudian misalnya pasal 53 yang mengatur bahwa Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) dapat membuka kantor
cabang diberbagai daerah. Ini akan berimplikasi pekerja/buruh migran
direkrut perusahaan ke kantong-kantong buruh migran. Padahal amanat
yang dibangun pada UU PPMI adalah untuk mengeliminasi perekrutan
melalui calo. Perekrutan dapat dilakukan setelah melalui proses di LTSA
menjadi kabur. Dan termasuk proses perekrutan, pelatihan sampai
pemberangkatan pekerja/buruh migran tidak lagi dibawah tanggung jawab
pemerintah melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA);
7. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas maka Pemohon menilai
Pasal 51, pasal 53, pasal 57, dan pasal 89A Bagian Kelima Bab IV UU
Cipta Kerja bertentangan dengan pasal 28D ayat (2) UUD 1945;

D. PETITUM

Berdasarkan fakta-fakta dan dasar hukum tersebut diatas, maka dengan ini
Pemohon dengan penuh harapan memohon kepada Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Permohonan Uji Materiil
ini sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal Pasal 51, pasal 53, pasal 57, dan pasal 89A Bagian Kelima
Bab IV UU Cipta Kerja bertentangan dengan pasal 28D ayat (2) UUD 1945;

Atau setidak-tidaknya:

Pasal 89A Bagian Kelima Bab IV Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020


Tentang Cipta Kerja, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020
Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 653)
bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;

3. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik


Indonesia sebagaimana mestinya;

Atau

Apabila Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, maka


Pemohon memohon untuk diberikan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan
nilai-nilai kepastian hukum dan keadilan yang berlaku (ex aequo et bono).

Hormat Kami.

Kuasa para Pemohon

Dr. Didin Hidayat, S.H. Rahmatia, S.H., M.H.

Taufik Asrianto, S.H.

Anda mungkin juga menyukai