Republik Indonesia
Dr. Soepomo
Kelas : 7D
Dr. Soepomo
Namanya memang diabadikan di jalan Jakarta dan sejumlah kota lain di Indonesia
atas jasanya yang besar. Dr Soepomo adalah salah satu perumus dasar negara
yakni Pancasila.
Ia juga ikut menyusun Undang-undang Dasar 1945. Dikutip dari Biografi yang
disusun Direktorat Jenderal Kebudayaan, Soepomo lahir di Sukoharjo, Jawa
Tengah pada 22 Januari 1903.
Meski berasal dari kota kecil, Soepomo lahir dari keluarga yang terpandang di
sana. Ia adalah putra pertama Raden Tumenggung Wignyodipuro, pejabat Bupati
Anom Inspektur Hasil Negeri Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Kendati terlahir ningrat, Soepomo tak memiliki jiwa feodal seperti keluarga kepala
daerah umumnya. Ia digambarkan sebagai anak yang sederhana dan rendah hati.
Berprestasi di sekolah
Sebagai anak bangsawan, Soepomo mendapat kehormatan untuk bersekolah di
sekolah dasar untuk anak-anak Belanda dan bangsawan yakni Europeesche
Lagere School di Solo.
Soepomo menamatkan sekolah pada 1917, di usia yang cukup muda yakni 14
tahun. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke tingkat berikutnya di Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs (MULO) yang ada di Solo juga.
Selain aktif di pergerakan, Soepomo juga aktif di kesenian. Jiwa seninya terlihat
dari tariannya yang berbakat. Lewat berbagai pentas, Soepomo ingin
menunjukkan Indonesia adalah bangsa dengan peradaban yang tinggi.
Kendati sibuk sekolah, Soepomo muda tetap tak lupa pada pujaan hatinya semasa
sekolah di Solo. Takdir mengantarkannya bertemu kembali dengan Raden Ajeng
Kushartati.
Soepomo menilai keadaan itu hanya bisa diperbaiki lewat pendidikan. Berangkat
dari pemikiran itu, Soepomo kerap memberi penyuluhan dan bantuan kepada
masyarakat.
Seperti organisasi dan partai politik lainnya, Budi Oetomo juga mencita-citakan
kemerdekaan bangsa. Caranya, lewat pendidikan bagi seluruh anak bangsa.
Kiprah Soepomo cukup menonjol di organisasi itu. Pada 1930, ia pun dipercaya
menjabat wakil ketua.
Di sisi lain, profesinya sebagai hakim membuatnya dilematis. Saat itu, Pemerintah
Kolonial Belanda memberlakukan serangkaian aturan yang melarang orang
berkumpul dan berserikat dalam kegiatan politik.
Begitu pula Hatta, Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin, Sayuti Melik, dan banyak nama
lainnya.
Soepomo yang dalam hati mendukung pergerakan yang dilakukan para tokoh,
terikat pada pekerjaannya sebagai pegawai pemerintahan.
Jepang yang awalnya diharapkan sebagai saudara dari Timur yang akan
membebaskan Indonesia dari penjajahan, malah membuat kehidupan rakyat
makin terpuruk.
Jepang tak bisa berkelit. Untuk melunasi janjinya, mereka membentuk satu badan
yang bertugas mempersiapkan dan merancang berdirinya negara yang merdeka
dan berdaulat.
Pada 26 April 1945, badan itu, Dokoritsu Zyumbi Coosakai atau Badan Penyelidik
Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dibentuk.
Soepomo, bersama Bung Karno, Bung Hatta, AA Maramis, Abdul Wahid Hasyim,
dan Moh Yamin direkrut ke dalamnya.
Kelima prinsip sebagai dasar negara itu adalah persatuan, mufakat dan
demokrasi, keadilan sosial, serta kekeluargaan, dan musyawarah.
Menjadi menteri
Kekalahan Jepang pada Agustus 1945 mendorong Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada 17 Agustus. Keesokan harinya, PPKI menggelar sidang.
PPKI juga membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan
Keamanan Rakyat (BKR). PPKI dibubarkan dan anggotanya masuk ke KNIP.
Kemudian pada 19 Agustus 1945, Soekarno membentuk kabinet yang terdiri dari
16 menteri. Soepomo diangkat sebagai Menteri Kehakiman.
Salah satu tugas penting Soepomo yakni merumuskan aturan hukum. Ia bercita-
cita Indonesia bisa punya kodifikasi hukum sendiri alih-alih mengadopsi hukum
Belanda. Kodifikasi hukum ini, seperti keinginan Soepomo, berasal dari hukum
adat Indonesia.
Sayangnya, hingga saat ini, hukum yang dibukukan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), masih sebagian besar menganut kodifikasi era kolonial
Hindia Belanda.
Indonesia berganti-ganti bentuk
Di awal kemerdekaannya, bentuk negara serta pemerintahan Indonesia kerap
berubah-ubah.
Namun hal itu tak dirisaukannya. Ia paham akan dinamika politik. Soepomo tetap
membantu bangsa.
Ketika Ibu Kota Indonesia dipindah dari Jakarta ke Yogyakarta, Soepomo ikut. Di
sana, ia diminta membantu pendirian lembaga pendudukan tinggi setingkat
universitas.
Maka pada 3 Maret 1946, berdirilah Universitas Gadjah Mada (UGM). Soepomo
ditunjuk sebagai guru besar di Fakultas Hukum.
Kemudian pada Desember 1946 sampai Mei 1947, Soepomo diminta menjadi
anggota panitia reorganisasi Tentara Republik Indonesia.
Perjanjian itu mempersempit wilayah Indonesia menjadi hanya Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
Kemudian saat Belanda menyerang Ibu Kota Yogyakarta atau yang dikenal
sebagai Agresi Militer II Belanda pada 1949, Soepomo mengambil peran sebagai
delegasi dalam perundingan untuk membela Indonesia.
Soepomo yang terlibat dalam KMB, dipercaya sebagai Ketua Panitia Konstitusi
dan Politik. Tugasnya mengajukan rancangan konstitusi yang bisa diterima
Belanda.
Meski lewat KMB Belanda akhirnya melepas Indonesia, namun Indonesia dipaksa
merubah bentuknya menjadi Republik Indonesia Serikat.
Bagi Soepomo, apa yang dihasilkan lewat KMB sudah maksimal kendati banyak
hal yang harus direlakan. Salah satunya, mengganti bentuk negara kesatuan.
Lewat sidang itu, Indonesia dinyatakan sebagai anggota PBB dengan nomor urut
60.
Setelah itu, Soepomo diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Belanda. Tugasnya,
membina hubungan antara Indonesia dengan Belanda pasca-KMB.
Setelah Belanda, Soepomo menjadi Duta Besar untuk Inggris dari 1954 hingga
1956. Di dunia akademik, Soepomo juga diangkat sebagai profesor lalu Presiden
Universitas Indonesia.
Ia juga menjadi wakil ketua di International Comission for Scientific and Cultural
History of Mankind dan Indonesia Institute for World Affairs.
Jabatan terakhir yang diembannya adalah sebagai anggota Panitia Negara untuk
Urusan Konstitusi pada 1958.
Soepomo tutup usia pada 12 Desember 1958 usai bermain tenis di rumahnya di
Jalan Diponegoro, Jakarta. Ia meninggal karena serangan jantung.