Anda di halaman 1dari 84

DAFTAR ISI

PRAKATA

Mr. Muhammad Yamin merupakan sosok Pahlawan


Nasional yang telah mempersatukan para suku
bangsa untuk kemerdekaan Indonesia. Mr. Muhammad Yamin
mendambakan Indonesia yang lebih besar dari pada Sriwijaya
atau Majapahit. Menghadapi Indonesia yang mungkin porak
poranda, ia pun menciptakan ikon Gajah Mada, yang pernah
bersumpah untuk menyatukan Nusantara. Yamin diketahui
mengambil wajah Gajah Mada dari gambar dalam pecahan
celengan yang ia temukan di Trowulan, Jawa Timur, kawasan
yang dipercaya sebagai pusat pemerintahan Kerajaan
Majapahit.Mr. Muhammad Yamin adalah orang Minang yang
terpesona pada Jawa dan kebesaran Majapahit. Ia mempelajari
kebudayaan Jawa dan menguasai bahasa Sansakerta. Ia
menggagas wilayah Indonesia hingga Semenanjung Malaya,
Kalimantan Utara, Timor Portugis, Irian dan Papua Nugini. Ia
memimpikan persatuan Indonesia lebih dari yang pernah
dibayangkan Hatta dan Sjahrir. Sejarah barangkali memiliki
kegilaannya sendiri. Karena itu, revolusi Indonesia harus
dipandang secara lebih rileks. Tak perlu ada glorifikasi karena
mozaik itu disusun oleh manusia biasa. Mr. Muhammad Yamin
hanya salah satunya (Gunawan dalam Majalah Tempo Edisi
tentang Muhammad Yamin, yang dirilis tanggal 18 Agustus
2013).
Muhammad Yamin juga adalah pencetus Sumpah Pemuda
yang telah menciptakan naskah Sumpah Pemuda, yaitu:

Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang


satu, tanah Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu,


bangsa Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan,


bahasa Indonesia.

Menggagas konsep sumpah pemuda, Mr. Muhammad


Yamin terlibat aktif dalam Kongres Pemuda I (30 April-2 Mei
1926). Dalam pertemuan pertama itu pun Mr. Yamin
mengusulkan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan. Mr. Muhammad Yamin memang gandrung pada
persatuan dan kebesaran Indonesia yang mana telah juga
diobsesikan oleh Soekarno. Tak sekadar menggagas wilayah
Indonesia dan mengusulkan Sumpah Pemuda, Yamin memiliki
andil dalam pembuatan lambang Garuda Pancasila dan syair
Indonesia Raya juga dipercaya menemukan kata “Pancasila” itu
sendiri.

Karya Yamin yang tercatat hingga kini adalah semboyan


polisi militer: Satya Wira Wicaksana, yang berarti "taat, kesa tria,
bijaksana".
MUHAMMAD
YAMIN

SI ITAM YANG
GEMAR BACA
Yamin menderita di masa kecilnya. Gemar membaca
membuatnya menguasai bahasa Melayu.

P EMATANG berkelok-kelok itu membelah sawah di Dusun


Tapian Nambar, Desa Talawi Mudiak, Sawahlunto, Sumatra
Barat, sekitar 110 kilometer dari Padang. Tempat itu menjadi
favorit anak-anak untuk bermain. Apalagi tak jauh dari situ, di
ujung jalan setapak, terdapat anak Sungai Batang Ombilin, yang
berair sejuk meski agak kecokelatan.

Yamin lahir di sini (Talawi, Sawahlunto) dengan bantuan


bidan Hafsah menjelang pergantian hari pada 22 Agustus 1903.
Ayahnya, Oesman Bagindo Chatib (1858-1925), adalah mantri
kopi yang bertugas mengurus perkebunan dan mengawasi
Gudang-gudang kopi. Selain itu, Oesman—yang dipanggil Uwo
Mantri asal Sumpur Malalo, Tanah Datar—juga dikenal sebagai
guru agama yang kerap berdakwah sampai ke luar daerah. la
bahkan mengajar sampai Bengkulu dan di sanalah dia menikahi
Siti Saudah, ibunda Yamin, menjandikannya sebagai salah satu
istrinya. Saudah kemudian di-lantak atau dijadikan orang
Minang. Namun, ada juga cerita yang mengatakan bahwa
Saudah adalah keturunan bundo kandung Pagaruyung yang
merantau ke Bengkulu, lalu kembali ke Minang. Entah versi
mana yang benar. Yang pasti, di Padang Panjang, Saudah dulu
memiliki rumah gadang. Sayang, kini rumah yang terletak di
kawasan Silaing Atas itu tidak berbentuk pumah gadang lagi, tapi
rumah tembok permanen.

Ayah Yamin memiliki enam belas anak dari lima istri,


yang hampir keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang
berpengaruh. Saudara-saudara Yamin antara lain: Muhammad
Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang
wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, pelopor korps
diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir,
juga merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Dibandingkan dengan kakak-adiknya, seperti ditulis


Welmar, seorang wartawan, dalam buku Mengenang Mahaputra
Prof. Mr. H. Muhannnad Yamin Pahlawan Nasional RI (1995),
wajah Yamin kurang tampan dan kulitnya agak hitam. Karena
kulitnya yang hitam itu, di masa tua, dia dipanggil Pak Itam oleh
Syafril dan adik-adiknya, "Iya, bentuk saya buruk, tapi lihat kelak
saya pasti jadi orang hebat," ucap Yamin seperti yang dituturkan
Welmar dalam buku itu.
Tak hanya menjadi orang hebat, Yamin diharapkan
Oesman berguna bagi bangsa. Buya Hamka menulis ihwal nama
Yamin di majalah Gema Islam saat mengenang kepergiannya.
Menurut Hamka, sementara Ahmoud Chasnawi dianugerahi gelar
"Yamin ad Daulah", yang berarti tangan kanan kerajaan, oleh
Khalifah Abbasiyah; Yamin pun patut bergelar "Yaminul
Jumhuriah", yang artinya tangan kanan Republik (Indonesia).

Dari sajaknya, "Gita Gembala", yang dimuat di majalah


Jong Sumatra, tergambar bahwa Yamin merasa menderita di
masa kecilnya, berbeda dari teman-teman sebayanya yang beribu,
berayah, dan bermamak. Dia harus berpisah dengan ayah dan
ibunya, tinggal bersama saudara, Muhammad Yaman, anak tertua
Oesman dari istri pertamanya, Hadaniah asli Talawi.

Sewaktu kecil, Yamin suka sekali memancing belut di


sungai. Yamin juga suka sekali berenang. Kadang orang-orang
kehilangan dia, dicari-cari, ujung-ujungnya ketemu di sungai.

Sejak kecil, Yamin sudah menunjukkan minat besar


terhadap ilmu, terutama bahasa, sejarah, dan hukum. Yamin
sangat rajin membaca. Beruntung ada Komisi untuk Bacaan
Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat, yang berdiri pada 1908.
Komisi ini menerbitkan banyak buku berbahasa Melayu.

Tidak hanya membaca buku bacaan, Yamin juga melahap


teks apa saja, bahkan koran bekas pembungkus makan sekalipun.
Kegemaran membaca itu membuat ia menguasai kaidah bahasa.
Tak mengherankan kalau penguasaan bahasa Melayu Yamin di
atas rata-rata. Bahkan ia sering membantu Yaman memeriksa
pekerjaan rumah pelajaran bahasa murid-murid yang dibawa
pulang ke rumah.

MUHAMMAD
YAMIN

SANG PENGELANA KECIL


Di keluarganya, Oesman Bagindo Chatib dikenal sosok yang kerap
kawin-cerai. Begitulah cerita yang kerap didengar Fadjar lbnu Thufail—
cicit Muhammad Yamin—dari neneknya. Dan Siti Saudah, ibunda
Yarnin, adalah satu dari istri-istri yang diceraikannya.

K ENYATAAN ini mendorong Yamin keluar dari rumah


dan hidup bersama kakaknya lain ibu, Muhammad
Yaman. Bersama Yaman, dimulailah petualangan Yamin cilik
berpindah-pindah tempat tinggal, mengikuti sang kakak, seorang
guru yang kerap berpindah tugas.

Tak pelak, ini berpengaruh pada pendidikan Yamin kecil.


Pendidikan sekolah rakyat dijalaninya berpindah-pindah dari
Talawi, Sawahlunto; Solok; sampai Padang Panjang.

"Dengan hidup berpindah-pindah, justru ia banyak melihat


dunia. Terekspos hal-hal yang berbeda. Di Padang Panjang,
misalnya, sangat kuat agamanya, sementara Sawahlunto kuat
dengan pengaruh Belanda," ujar Fadjar Ibnu Thufail, salah satu
keturunan dari Muhammad Yaman.
Yamin memulai pendidikan awalnya di Sekolah Dasar
Bumiputera Angka II pada usia 7 tahun. Sekolah ini
menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Ya,
"Mula-mula bahasa pengantar yang digunakan di sekolah rakyat
itu bahasa Melayu. Tapi, setelah kongres pemuda, keluar
keputusan Belanda untuk menggantinya ke bahasa Minang,” kata
sejarawan Taufik Abdullah.

Selain Sekolah Dasar Bumiputera Angka II, terdapat


Sekolah Dasar Bumiputera Angka 1, yang pada 1911 diubah
meniadi Hollandsch-lnlandsche School (HIS). Tiga tahun
kemudian, bahasa Belanda mulai menjadi bahasa pengantar
sekolah ini, diajarkan sejak kelas I, dengan guru kepala orang
Belanda. Sementara iłu, dałam buku tulisan Momon Abdul
Rahman dan Darmansyah disebutkan bahwa Belancla mendirikan
HIS ini pada 1914.

"HIS ini biasanya untuk mereka yang berpenghasilan


relatif tinggi dan pegawai kelas menengah. Adanya di kota
kabupaten,” ujar Taufik.

Mengingat kedudukan ayahnya sebagai pegawai mantri


kopi—kedudukan yang terpandang kala itu—Yamin relatif tak
sulit untuk berpindah ke HIS. Setelah mengikuti pendidikan di
Sekolah Dasar Bumiputera Angka II selama sekitar lima tahun
(dalam sumber lain disebutkan ketika Yamin dudlik di kelas IV),
ia melompat ke HIS tempat Muhammad Yaman mengajar dan
mulai mempelajari bahasa Belanda.

Untuk pendidikan tingkat dasar kala itu, mata pelajaran


yang diberikan kepada murid mencakup menulis, membaca, juga
aritmatika. Taufik Abdullah memperkirakan kecintaan Yamin
pada sastra mulai tumbuh sejak bangku sekolah, karena anak
sekolah kala iłu juga mempelajari pantun dan kaba atau cerita
rakyat berbahasa Minang, seperti Cindua Mato atau Malin
Kundang.

"Mereka juga banyak belajar lagu-lagu Minang, Yang


umumnya berisi tentang kecintaan atas kampung halaman. Dan
sajak-sajak Yamin yang pertama kan juga tentang rasa cinta pada
Sumatra,” Taufik menambahkan. Sejak kecil, masyarakat Minang
telah dididik tentang kecintaan terhadap Sumatra.

Selama empat tahun bersekolah di HIS, Yamin lulus pada


1918 pada usia 15 tahun. Artinya, ia lulus dari pendidikan
setingkat sekolah dasar setelah bersekolah 8-9 tahun. Saat itu,
waktu yang umumnya dibutuhkan untuk menyelesaikan
pendidikan dasar adalah 7 tahun. Perubahan sistem pendidikan
Belanda kala Yamin bersekolah dan tempat tinggalnya yang
berpindah-pindah diperkirakan ikut mempengaruhi hal ini.

Taufik Abdullah,
sejarawan
Meskipun Yamin sedikit terlambat menyelesaikan
pendidikan dasarnya, Restu Gunawan dalam bukunya,
Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, memperkirakan
justru Yamin memiliki keuntungan karena menjadi lebih mampu
berbahasa Melayu sekaligus Belanda. Ini berbeda dengan sekolah
HIS di tanah Jawa yang menggunakan bahasa daerah sebagai
bahasa pengantar, sementara bahasa Melayu hanya diletakkan
sebagai mata pelajaran ekstra sekali seminggu dengan tambahan
uang pembayaran sebesar setalen.

Lulus dari HIS, Yamin sempat belajar selama setahun di


Hofden School atau sekolah guru (sekolah raja) di Bukittinggi.
Namun ia akhirnya memutuskan hijrah ke Bogor begitu
menerima tawaran beasiswa sekolah pertanian (Landbouw en
Veeartsenijschool) di sana.

***

TAUFIK Abdullah menyebutkan semangat intelektual tengah


menggelegak pada masa Yamin muda hidup cli Sumatra Barat.
Dengan makin banyaknya kaum terpelajar di Sumatra Barat,
sejak akhir abad ke-19 mulai muncul kesadaran mengenai
pentingnya pendidikan untuk meinasuki dunia yang lebih maju.
Ia mencontohkan, pada 1901-1904 muncul majalah
bulanan Insulinde atas inisiatif seorang guru sekolah raja
sekaligus ahli bahasa Melayu, Van Ophuysen. Majalah ini berada
di bawah pimpinan Dja Endar Muda, editor media massa Nauli
dan Pertja Barat yang tcrbit di Padang. Para pengisinya adalah
kaum terpelajar dari tanah Sumatra dan Jawa, karena itu Taufik
memperkirakan Insulinde juga dibawa ke tanah Jawa.

"Yang ditekankan benar oleh majalah ini adalah cita-cita


kemajuan dan yang kedua adalah memasuki dunia maju,"
ujarnya. Ada pula Abdul Rivai, pelajar Minang yang bersekolah
kedokteran Belanda, yang menganjurkan hal serupa lewat
majalah Bintang Hindia, tempat ia menjadi editornya.

Selain itu, kondisi sosial-politik di Sumatra Barat memiliki


pengaruh besar. Lewat Plakat Panjang--pernyataan sikap yang
dibuat Belanda di Perang Padri—Sumatra Barat tidak diharuskan
membayar pajak kepada Belanda. Sebagai gantinya, masyarakat
Sumatra Barat diminta memperluas perkebunan kopi dan menjual
hasil bumi tersebut kepada Belanda.

Sempat menerima keuntungan dari kopi yang mencapai


puncaknya pada 1864, pendapatan Belanda dari komoditas ini
terus menurun hingga awal abad ke-20. Ini terjadi karena rakyat
Sumatra Barat mulai mengurangi menanam kopi dan
menggantinya dengan tanaman lain yang tidak masuk monopoli
Belanda.
Pada 1905, Belanda mulai berupaya agar pajak dapat
diterapkan di daerah ini dengan menggelar musyawarah bersama
tokoh masyarakat, tapi tak kunjung mendapatkan titik temu.
Pemerintah pusat kemudian memutuskan secara sepihak bahwa
pajak harus diberlakukan—mulai awal 1908.

"Bagi masyarakat Minang, semua harus dirundingkan.


Karena itu, orang Minang berontak karena tidak diajak
berunding,” ucap Taufik. Pemberontakan berdarah yang tidak
seimbang terjadi selama sekitar lima bulan di berbagai daerah di
Sumatra Barat—berakhir dengan kemenangan di pihak kompeni.

Landbouw en Veeartsenijschool di Bogor

“Pemberontakan tahun 1908, bagi Sumatra Barat, sangat


penting. Setelah kalah, orang Minang baru sadar betul bahwa
untuk mengalahkan orang Belanda tidak menggunakan otot, tapi
otak," ujar Taufik.
Selepas pergolakan tersebut, semangat masyarakat
mengejar pendidikan semakin berkobar. Anak yang bersekolah
semakin banyak. "Pada 1912, persentase orang Minang yang
bersekolah paling tinggi. Pesaingnya hanya Minahasa. Angka
perempuan yang bersekolah di Sumatra Barat juga tinggi,"
katanya.

Karena itu, Taufik menambahkan, bukan hal yang


mengherankan bila Sumatra Barat menjadi salah satu pusat
pergerakan politik nasional pada 1920-an, selain Jakarta.
MUHAMMAD
YAMIN

BELAJAR SASTRA TIMUR


DI JANTUNG JAWA
Bersekolah di AMS Solo. Membayar sebenggol kepada Poerbatjaraka
untuk kursus Sanskerta.

T ERALI biru menutup gerbang bertuliskan Fakultas


Kedokteran Program Studi Psikologi. Pintu masuk ini
terhubung langsung dengan aula kampus di kawasan Mesen,
Jebres, Solo, Jawa Tengah. Debu dan sampah berserakan di
bangunan yang terletak di Jalan Urip Sumoharjo 110 ini, Selasa,
awal Agustus 2014. Pada dinding atap menghadap jalan,
menempel papan berukuran lebih kecil bertulisan "Universitas
Sebelas Maret Kampus II”. Kampus I UNS berada di kawasan
Kentingan di dekat Bengawan Solo. Meski kampus Mesen adalah
kampus kedua, justru di sinilah cikalbakal UNS.

Di kampus dekat Stasiun Jebres ini, pada zaman penjajahan


Belanda pernah berdiri Algemene Middelbare Sehool atau AMS
Bagian A1. Sekolah yang setara dengan sekolah menengah atas
ini mempelajari Oostersch letterkundige atau sastra Timur. Di
sekolah ini, Muhammad Yamin pernah menempuh pendidikan
pada 1926 dan lulus pada 1927. Yamin menjejakkan kaki di Solo
pada 1925. "Pada periode itu, Solo merupakan jantung Pulau
Jawa," kata peneliti scjarah Kota Solo, Heri Priyatmoko.

AMS Solo didirikan W.F. Stutterheim, arkeolog masyhur


Belanda yang juga ahli kebudayaan Indonesia kuno. Saat itu
Stutterheim menyewa rumah lantaran belum memiliki gedung
sendiri. Rumah itu milik saudagar Cina kaya raya bernama Be
Kwat Koen. Peter Post, peneliti sejarah modern Asia. Jepang, dan
Indonesia, menyebutkan pemerintah Belanda memberi Be Kwat
Roen jabatan administratif sebagai Kapitan Cina di Semarang dan
mayor tituler di Surakarta.

Dia juga dekat dengan Mangkunegara VII, yang bertakhta


saat itu. "Be juga memiliki pengaruh hingga ke keluarga Raja
Chulalongkorn di Thailand, penguasa Cina, bahkan Jerman," kata
Peter Post dalam tulisannya. la menulis kajian ini di Journal of
Asia-Pacific Studies, Waseda University, Jepang, terbitan 2009.
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Kampus II di Mesen, Solo.
Untuk menyelenggarakan pendidikan AMS, Stutterhc;m
menyewa gedung itu senilai 230 gulden. AMS tidak lama
menempati bangunan tersebut. Selanjutnya, Raja Mangkunegaran
meminjamkan bangunan di kawasan Manahan untuk AMS.
Daerah itu, sesuai dengan namanya, dulu memang digunakan
untuk latihan memanah. Kini, di Manahan bangunan AMS tak
Iagi berbekas, digantikan kampus besar empat lantai milik
Universitas Sebelas Maret. Mahasiswa Jurusan Keguruan
Olahraga berkuliah di sini. Sejak 1932 AMS Solo bergabung
dengan AMS Yogyakarta.

Peneliti sejarah Heri Priyatmoko menyatakan AMS Solo


diminati masyarakat sejak mulai berdiri. Pada 1926, sekolah itu
berhasil menghimpun 100 siswa. Yamin tumbuh bersama pelajar
dari Ambon, Batak, Padang, Aceh, Betawi, Priangan, Madura,
Sumatra, Bali, dan Jawa bagian tengah, serta kelompok Tionghoa
dan Belanda. Selain Yamin, tokoh besar sepelti sastrawan Armijn
Pane, Amir Hamzah, dan Achdiat Kalta Mihardjajuga lulusan
AMS Solo.

Ada juga pakar sastra Jawa yang juga guru besar


Universitas Indonesia, Tjan Tjoe Siem. Dia seorang Cina
peranakan kelahiran Solo yang pernah menjadi asisten Profesor
Poerbatjaraka, yang dikenal sebagai ahli sastra dan budaya Jawa
kuno, termasuk bahasa Sanskerta. R. Prijono, pendiri Universitas
Gadjah Mada, juga lulusan AMS Solo. Prijono belakangan
menjadi Menteri Pendidikan di era Presiden Sukarno. "AMS
merupakan sekolah favorit pada saat itu, kata Heri Priyatmoko.

Menurut dia, di Solo, Yamin tinggal di internaat atau


asrama milik AMS. Kepala Sekolah Stutterheim melobi
pemerintah kolonial Belanda, penguasa Kerajaan Kasunanan, dan
Mangkunegaran supaya berbaik hati memberi sumbangan untuk
mendirikan asrama. Stutterheim bernapas lega karena pemcrintah
jajahan Belanda meloloskan permohonannya. Pemerintah
Kerajaan Kasunanan ikut menyokong 200 gulden dan
Mangkunegaran 100 gulden per bulan.

Selain menyediakan asrama, AMS memberikan beasiswa


kepada siswa yang cerdas. "Beşar kemungkinan Yamin juga
menikmati beasiswa itu,” kata I-leri. İni yang membuat Yamin
mampu bertahan tinggal di Solo selama tiga tahun. Bagi siswa
dari luar daerah, diperlukan ongkos yang tidak sedikit untuk bisa
menempuh pendidikan di ANIS. Setidaknya mereka harus
memiliki pasokan 50 gulden tiap bulan, dengan rincian ongkos
asrama 30 gulden, uang sekolah 12,5 gulden, dan uang saku 7,5
gulden.

Di AMS, Yamin belajar kebudayaan Indonesia dan sejarah


kesenian. Dia juga mempelajari kesusastraan Jawa dan Melayu.
Raden Tumenggung Yasawidagda, pengarang şastra Jawa yang
cukup produktif di zaman penerbit Balai Pustaka, adalah guru
sastra Jawa yang menuntun Yamin belqjar adat, tata cara, dan
bahasa Jawa. Para murid yang berminat belajar menabuh dan
menari disumbang gamelan oleh Mangkunegara VII, penguasa
pribumi yang peduli pada pendidikan. "inilah yang membuat
Yamin dekat dengan bangsawan Mangkunegaran," kata Heri.

Kemampuan Yamin mcnguasai se.jum)ah bahasa juga


terasah di AMS Solo. Dia fasih berbahasa Belanda, Jerman, dan
Prancis. Menurut Kusumo, anak angkat, Yamin berbahasa
Belanda dengan sempurna Ketika berbicara dengan ayah kandung
dia, Dardo Nitiwidjojo. Yamin dan Dardo sama-sama
mendapatkan pendidikan tinggi hukum. Kuşuma juga berkisah,
ketika melawat ke Jerman, Yamin berpidato menggunakan
bahasa Jerman.

Yang menarik, Yamin pun belajar bahasa Sanskerta kepada


Poerbatjaraka di luar jam sekolah. la membayar sebenggol atau
dua setengah sen gulden per pekan kepada Poerbatjaraka. "Duit
sebenggol bisa untuk hidup sehari, membeli telur bebek dan
beras,” kata Kusumo.

Menurut Heri Priyatmoko, selama di Solo, Yamin


merasakan rumitnya berinteraksi dengan masyarakat setempat
karena menggunakan bahasa Jawa yang bertingkat. Ada bahasa
Jawa bagongan yang digunakan di dałam keraton, ada Jawa
krama inggil, Jawa krama alus, Jawa ngoko alus, dan Jawa ngoko
ługu. Bahasa Jawa bersifat feodal, tidak egaliter. Inilah pijakan
Yamin mengusulkan Melayu agar jadi dasar bahasa Indonesia
dałam Kongres Pemuda pada 1928.
MUHAMMAD
YAMIN

JALAN PANJANG
MENUJU MEESTER
Berpindah-pindah sekolah karena cepat bosan. Akhirnya memilih
kuliah di Sekolah Tinggi Hukum karena gandrung pelajaran filsafat.

T AK banyak pilihan buat Muhammad Yamin melanjutkan


pendidikan setelah Iulus Algemene Middelbare School
(AMS)—setara dengan penggabungan sekolah menengah
pertama dan sekolah menengah atas. Fadjar Ibnu Thufail, kerabat
Yamin, mengatakan satu-satunya perguruan tinggi yang
menampung alumnus AMS hanya Rechts Hogeschool (Sekolah
Tinggi Hukum) di Jakarta.

Yamin masuk perguruan tinggi pertama di Indonesia itu


pada 1927. Sebelumnya, jenjang pendidikan kesarjanaan atau
universitas hanya ada di Belanda, misalnya Universitas Leiden.
Namun universitas di Negeri Kincir Angin itu hanya menerima
alumnus Hogere Burgerschool, sekolah sejenis AMS yang khusus
menampung siswa anak keturunan Belanda, Tionghoa, dan elite
pribumi. AMS dinilai sekolah kelas dua yang diclirikan
peme.rintall Hindia Belanda untuk pribumi bukan priayi.

Terlepas dari persyaratan itu, Yamin termasuk anak


keluarga terpandang yang tidak memuja pendidikan Barat.
Padahal, menurut Fadjar, mayoritas orang Minang memiliki
orientasi pendidikan berkiblat ke Barat. "Kalau ke Barat terus,
Indonesianya ke mana?" kata peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia ini.

Kuliah di perguruan tinggi hukum bukan berarti Yamin


gandrung akan ilmu hukum. Bagi dia, daya tarik mengenyam
pendidikan di sekolah hukum karena ada mata kuliah ilmu
filsafat. "Yamin sangat menggemari filsafat," ujar Fadjar.

Yamin tergolong telat dalam pendidikan tinggi.


Penyebabnya adalah Yamin sering berpindah sekolah saat
pendidikan dasar karena harus mengikuti orangtua dan kerabat
yang membesarkannya. Selain itu, ia tak segan-segan
memutuskan pindah sekolah lantaran tak cocok dengan pelajaran,
seperti ketika pindah ke Jawa setelah Iulus Hollandsch
Inlandsche School di Lahat, Sumatra Selatan.

Momon Abdul Rahman dalam buku Muhanunad Yanzin:


Sosok Seorang Nasionalis memaparkan pria kelahiran 22 Agustus
1903 itu mendapat beasiswa untuk belajar di Sekolah Dokter
Hewan. Rupanya, ia tidak tertarik pada pelajaran tentang binatang
dan penyakitnya. Dari mempelajari fauna, Yamin mencoba
beralih membedah kehidupan flora dengan pindah ke Sekolah
Pertanian di Bogor, Jawa Barat.

Ternyata rasa betah tak kunjung berubah. Kendati Yamin


menyukai alam pegunungan dan hamparan sawah nienghijau,
pelajaran tentang agronomi tak lantas menarik perhatiannya.
Lagi-lagi ia tak bertahan lama.

Dahaga ilmu Yamin mulai terpuaskan sejak pindah ke


AMS di Yogyakarta. Di sekolah inilah dia bertemu dengan
pelajaran yang ia minati, seperti budaya, bahasa, dan sejarah.

Rechts
Hogeschool
Batavia.

Menurut Sutrisno Kutoyo, penulis biografi Prof. H.


MuhamInad Yamin S.H., akibat aksi coba-coba sekolah, Yamin
baru menyelesaikan studi di AMS setelah menginjak usia 24
tahun. Dalam keadaan normal, rata-rata seseorang menamatkan
pendidikan menengah atas pada usia 19-21 tahun.

Masih di dalam biografi yang


ditulis Sutrisno, selama kuliah, Yamin
tinggal bersama-sama teman mahasiswa
lain yang berasal dari beragam daerah.
Mereka tinggal di asrama Indonesische
Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106,
Jakarta. Gedung asrama itu dipugar
pemerintah DRI Jakarta pada 1974 sebagai Gedung Sumpah
Pemuda.

Teman satu asrama Yamin di antaranya


Sumanang, Amir Sjarifuddin, dan Abu
Fadjar Ibnu Thufail,
kerabat Yamin. Hanifah. Kehidupan Yamin cukup
sederhana. Mereka patungan membayar
makan karena kala itu perekonomian
masyarakat sedang sulit, terutama pada
1929-1930. Suhu politik di Tanah Air
juga meninggi. Banyak pemimpin
pergerakan, seperti Sukarno dan Sjahrir,
ditahan pemerintah Belanda.

Selama menjadi mahasiswa, Yamin masih kerap menerima


kiriman uang dari keluarganya. Namun, karena ia royal, uang
kiriman itu cepat ludes. Pengeluaran rutin adalah mentraktir
teman-temannya makan di warung Padang dan menonton
bioskop. "Yamin juga kerap memborong buku,” tulis Sutrisno
dalanm biografi Yamin.

Yamin dapat menamatkan studi di Sekolah Tinggi Hukum


tepat waktu lima tahun. Pada 1932, ia lulus dan sejak itü putra
pasangan Oesman Bagindo Chatib dan Siti Saudah ini berhak
memakai gelar meester in de rechten. Nama lengkapnya menjadi
Mr Muhammad Yamin.

Tak hanya mengenyam ilmu, Yamin juga aktif berpolitik


dengan gaya nonkooperatif terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Menurut Sutrisno, para penganut asas ini mayoritas enggan
melamar sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda.
"Walaupun gajinya beşar dan kedudukannya lumayan.

"Banyak tokoh pergerakan yang pandai dan bergelar


ıneester in de rechten, doctorandus, dan insinyur memilih bekerja
sebagai pegawai swasta. Mereka ada yang menjadi pengacara;
guru di sekolah Muhammadiyah, Taman Siswa, dan Perguruan
Rakyat; wartawan; serta pemborong bangunan.

Tak terkecuali Yamin. la bekerja sebagai penulis dan


wartawan saat bersekolah di AMS. Setelah bergelar sarjaııa
hukum, ia menjadi pengajar di Sekolah Jurnalistik dan
Pengetahuan Umum yang didirikan usaha Persatuan Djurnalistik
Indonesia di Jakarta. Mata pelajaran yang dibawakan Yamin
adalah kebebasan dan pelanggaran pers.
Fadjar mengatakan, setamat kuliah, Yamin sempat bekerja
sebagai pengacara dan procureur atau ahli hukum perdata pada
konsultan hukum swasta di Jakarta. Beberapa kliennya adalah
perusalıaan asing asal Jepang. Sutrisno menambahkan, dari
profesinya sebagai konsultan hukum.

Yamin mendapatkan tambahan pendapatan dari klien yang


umumnya bergerak dalam usaha perdagangan. "Tapi kegiatan itu
tidak begitu laku," tulis Sutrisno.
MUHAMMAD
YAMIN

NAKHODA TERAKHIR
JONG SUMATRANEN
Mengikuti jejak saudara-saudara tirinya, dia aktif di organisasi
pemuda asal Sumatra. Ikut mendirikan perkumpulan Indonesia Muda.

L INGGA itu menyerupai pena setinggi meter. Bagian


bawahnya 2 x 2 meter. Semakin ke puncak, kian kecil. Di
ujung atas terdapat benda menyertpai bola berwarna biru, kontras
dengan tugu yang dominan putih. Pada sisi-sisinya tertulis:
"Peringatan Rapat Besar Kesatoe J.S.B Persatoean Pemoeda
Soematra"

Terletak di tengah area taman prasasti pemuda di


persimpangan Jalan Gereja Padang, Kota Padang, monumen ini
merupakan bangunan peringatan kongres pertama Jong
Sumatranen Bond di Padang pada 4-6 Juli 1919.

Budayawan Rusli Marzuki Saria mengatakan tugu itu tak


pernah bersalin rupa meskipun Pemerintah Kota Padang
merenovasinya pada 1970. Saat monumen itu diperbarui,
pemerintah hanya menambahkan prasasti bertulisan larik puisi
karya penyair Chairil Anwar berjudul "Siap Sedia". "Saya
usulkan puisi Chairil Anwar karena semangat keindonesiaan,"
ujar Rusli, Juli 2014.

Jong Sumatranen merupakan salah satu tonggak


keterlibatan pemuda Andalas dalam gerakan persatuan Indonesia.
Di kelompok inilah Muhammad Yamin mula-mula mengenal
organisasi dan belajar berpolitik.

Organisasi ini didirikan pada 9 Desember 1917 oleh pelajar


sekolah kedokteran STOVIA asal Sumatra di Jakarta. Mereka
mengikuti jejak para pemuda Jawa yang mendirikan Tri Koro
Dharmo—artinya Tiga Tujuan Mulia: Sakti, Budi, Bakti—pada
1915, yang belakangan berubah nama menjadi Jong Java.

Harsja W. Bachtiar, guru besar sosiologi Universitas


Indonesia, dalam arükelnya, "Mohammad Amir: Tragedi Seorang
Tokoh Pejuang Gerakan" (Juli 2006), menulis, tujuan pendirian
Jong Sumatranen di antaranya memperkukuh ikatan antarpelajar
asal Sumatra serta membangun kesadaran bahwa mereka kelak
akan menjadi pemimpin.

Yamin mengenal Jong Sumatranen dari Nazir Datuk


Pamuntjak. Hal ini dicatat Sutrisno Kutoyo dalam buku biografi
Prof. H. Muhammad Yamin, S.H. Saat itu Januari 1918, sebulan
setelah Jong Sumatranen didirikan. Nazir, pemuda asal Salayo,
Sumatra Barat, yang baru menyelesaikan pendidikan di Hoogere
Burgerschool di Jakarta, diutus ke Padang untuk
memperkenalkan organisasi baru itu kepada pemuda dan pelajar
Sumatra, sekaligus mendirikan cabang.

Di Padang, dengan bantuan Muhammad Taher Marah


Sutan, pendiri I-lollandsch-lnlandsche School (HIS) Adabiah, dia
mengumpulkan pcmuda dan pelajar Sumatra di Gedung Syarikat
Usalva. Yamin hadir dalam pertemuan itu, juga Bahder Djohan,
saudaranya, dan Mohammad Hatta, yang belakangan menjadi
proklamator dan wakil presiden pertama Republik Indonesia.
Selama sekitar satu jam Nazir menyampaikan pidato yang berapi-
api mengenai pentingnya persatuan pemuda dan pelajar Sumatra.

Seusai pertemuan malam itu, Nazir membentuk Jong


Sumatranen cabang Padang dan Bukittinggi. Dengan demikian,
pada 1919, organisasi ini telah memiliki cabang di delapan kota,
termasuk Jakarta, Bogor, Serang, Sukabumi, Bandung, dan
Purworejo.

Tak jelas benar apakah Yamin sudah menjadi anggota Jong


Sumatranen tahun itu. Soalnya, dia masih duduk di bangku HIS.
"ltu setingkat sekolah dasar, di Padang," kata Fadjar Ibnu Thufail,
peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuall Indonesia yang juga kerabat
Yamin. Menurut Fadjar, pada 1919 itu remaja asal Talawi,
Sawahlunto, Sumatra Barat, ini baru berusia 15 tahun.

Juga tidak ada catatan apakah Yamin turut berperan dalam


kongres pertama Jong Sumatranen, yang dipimpin Mohammad
Amir, yang kala itu Wakil Ketua Jong Sumatranen. Sebagaimana
Bahder D.johan, Amir merupakan saudara seayah Yamin dari lain
ibu.

Tapi yang pasti, menurut Fadjar, Yamin baru


meninggalkan Padang setahun sctelah kongres tersebut. Sellipai:
belajar di sekolah pertanian Landbouw en Veeartsenijschool di
Bogor, dia akhirnya melanjutkan pendidikan ke Algemene
Middelbare School (AMS) Surakarta. Pada masa di Jawa inilah
Yamin mulai aktif terlibat dalam Jong Sumatranen. "Boleh jadi
Yamin diajak oleh Amir dan Bahder untuk bergabung," ujar
Fadjar.

Menurut buku Prof. Muhammad Yamin, S.H., mulamula


berkecimpung di Jong Sumatranen pada awal 1920-an, Yamin
belum meyakini paham kebangsaan Indonesia. Wawasan politik
dan kebangsaannya masih seputar Andalas. Tapi, dengan
bertambahnya usia dan semakin luasnya pergaulan, cakrawala
pemikiran yarnin makin terbuka, keluar dari sekat-sekat
primordial.

Jong
Sumatranen
Bond.
Ketika Lustrum I Jong Sumatranen Bond digelar di Jakarta
pada 1923, Yamin mulai menggelorakan semangat
keindonesiaan. Dalam pidatonya yang berjudul "De maleische
taal in het verleden, heden en toekomst" ("Bahasa Melayu di
Masa Lampau, Sekarang, dan Masa Datang"), ia mengemukakan
idenya mengenai penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa
kebangsaan Indonesia—meskipun pidatonya sendiri masih
dibawakan dalam bahasa Belanda.

Seusai lustrum tersebut, Yamin dipercaya menjadi Ketua


Jong Sumatranen Bond periode 1926-1928. Padahal dia belum
lulus dari AMS. Sebelum Yamin, secara berturut-turut organisasi
ini diketum Tengloe Mansoer, Mohammacl Alnir, dan Bahder
Djohan.

Yamin baru hijrah ke Jakarta pada 1927 untuk kuliah di


sekolah tinggi hukum Rechts Hogeschool. Di Jakarta, dia tinggal
bersama pemuda dari berbagai daerah di asrama Indonesische
Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106.

Restu Gunawan, penulis biografi Yamin, mengatakan, pada


periode tersebut, pengaruh Yamin semakin penting di Jong
Sumatranen. Dia juga berpengaruh dałam Kongres Pemuda I dan
II. Restu mencatat fase penting ketika Yamin menolak peleburan
organisasi kepemudaan menjelang Kongres Pemuda II, 1928.
Mulanya dia tak setuju terhadap ide penggabungan lembaga
kepemudaan dan mengusulkan pembentukan federasi organisasi
pemuda. "Setelah kongres, justru dia yang getol mendorong
adanya fusi,” kata Restu.

Seusai Kongres Pemuda II, Jong Sumatranen berganti


nama menjadi Pemuda Sumatra, lantas lebur dałam wadah
Indonesia Muda. Organisasi ini merupakan hasil fusi sejumlah
lembaga pemuda, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong
Minahasa, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bond, Jong
Celebes, dan Sekar Roekoen.

Menyusul pembentukan Indonesia Muda, Yamin


membubarkan Pemuda Sumatra dałam suatu acara di Gedtłng
Pertemuan, Gang Kenari, Jakarta, pada 23 Maret 1930.
MUHAMMAD
YAMIN

NAKHODA TERAKHIR
JONG SUMATRANEN
Mengikuti jejak saudara-saudara tirinya, dia aktif di organisasi
pemuda asal Sumatra. Ikut mendirikan perkumpulan Indonesia Muda.

L INGGA itu menyerupai pena setinggi meter. Bagian


bawahnya 2 x 2 meter. Semakin ke puncak, kian kecil. Di
ujung atas terdapat benda menyertpai bola berwarna biru, kontras
dengan tugu yang dominan putih. Pada sisi-sisinya tertulis:
"Peringatan Rapat Besar Kesatoe J.S.B Persatoean Pemoeda
Soematra"

Terletak di tengah area taman prasasti pemuda di


persimpangan Jalan Gereja Padang, Kota Padang, monumen ini
merupakan bangunan peringatan kongres pertama Jong
Sumatranen Bond di Padang pada 4-6 Juli 1919.

Budayawan Rusli Marzuki Saria mengatakan tugu itu tak


pernah bersalin rupa meskipun Pemerintah Kota Padang
merenovasinya pada 1970. Saat monumen itu diperbarui,
pemerintah hanya menambahkan prasasti bertulisan larik puisi
karya penyair Chairil Anwar berjudul "Siap Sedia". "Saya
usulkan puisi Chairil Anwar karena semangat keindonesiaan,"
ujar Rusli, Juli 2014.

RENDANG DALAM

BAHASA PERSATUAN

Gagasan Yamin menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa


persatuan ditentang banyak pihak. Belum ada wujud bahasa
Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang


satu, tanah Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu,


bangsa Indonesia.

Kami putra dan putri Indonesia menjungjung bahasa persatuan,


bahasa melayu.

DEMIKIAN bunyi rumusan resolusi Kongres Pemuda I di


Vrijmetselaarsloge—sekarang Gedung Kimia Farma, di Jalan
Budi Utomo, Jakarta Pusat--pada Ahad, 2 Mei 1926. Tiga klausul
yang nantinya menjadi dasar Sumpah Pemuda itu disarikan
Muhammad Yamin setelah mendengarkan pidato dari perwakilan
organisasi kedaerahan, yakni Jong Java, Jong Sumatranen Bond,
Jong Islanfeten Bond, Sekar Roekoen, Jong Bataks Bond, Jong
Studeerenden, Boedi Oetomo, Indonesische Studieclub, dan
Muhammadiyah.

Muhammad Yamin (tengah, berdiri) bersama peserta Kongres


Pemuda I di Vrijmetselaarsloge, Batavia, 2 Mei 1926.

Dari tiga klausul tadi, hanya poin yang menyebutkan


bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan yang menjadi
kontroversi. Kecintaan Yamin terhadap bahasa Melayu tak lepas
dari sejarah pendidikannya. "Dia mengenyam pendidikan
pertama yang murni menggunakan bahasa Melayu,” kata cicit
Yamin, Fadjar Ibnu Thufail, dalam diskusi dengan Tempo, akhir
Juli 2014.

Yamin belajar selama lima tahun di Sekolah Dasar


Bumiputera Angka II di Talaxvi, Sawahlunto; Solok; dan Padang
Panjang, Sumatra Barat, yang tidak mengajarkan bahasa Belanda.
la mulai berbahasa Belanda ketika masuk Hollandsch-lnlandsche
School di Lahat, Sumatra Selatan.

Keadaan ini berbeda dengan sekolah-sekolah di Pulau


Jawa, yang menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Belancla dan
bahasa daerah. Tak ada pelajaran wajib bahasa Melayu. Namun
para pelajar dapat mengikuti pelajaran bahasa Melayu sebagai
tambahan sekali sepekan selama satu jam dengan membayar 25
sen atau setalen.

Sejarawan Restu Gunawan mengatakan Yamin memang


paling getol mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa
nasional. "Tapi dia bukan orang pertama," ujarnya. Ki Hadjar
Dewantara, kata dia, pernah mengusulkan bahasa Melayu sebagai
bahasa persatuan dalam Kongres Pengajaran Kolonial di Den
Haag, Belanda, 28 Agustus 1916. "Hanya, 'kampanye' Yamin
lebih intensif."

Tidak satu-dua kali saja Yamin mengutarakan bahasa


Melayu bakal menjadi bahasa besar. Dalam buku Muhammad
Yamin: Sosok Seorang Nasionalis, yang ditulis Momon Abdul
Rahman dan Darmansyah, disebutkan Yamin sering menulis
artikel tentang bahasa persatuan dalam bahasa Nielayu di majalah
Jong Sumatra pada 1920. Artikel tersebut antara Iain berjudul
"Pemandangan dalam Basa Melayu" dan "Suara Semangat".

Ketika Lustrum I Jong Sumatranen Bond digelar di


Weltevreden, Batavia, pada 1923, Yamin menyampaikan
gagasannya dalam pidato bertajuk "Bahasa Melayu di Masa
Lampau, Sekarang, dan Masa Depan". Meski pidato ini
diucapkan dalam bahasa Belanda, selama dua setengah jam

Yamin berbicara tentang pentingnya suku-suku bangsa di


Tanah Air memiliki bahasa kebangsaan, yang me.nurut kenyataan
sejarah kala itu telah diperagakan oleh bahasa Melayu.

Menurut sejarawan Universitas Indonesia, Rushdy


Hoesein, pemikiran Yamin ini didasari kondisi di hampir semua
Wilayah perairan dari Sabang sampai Merauke--bahkan lebih
luas dari itu—yang menggunakan kosakata Melayu. "Bahasa
Melayu sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) kendati setiap
daerah punya dialek sendiri-sendiri," ujarnya.

Dalam Sumpah Pemuda: Latar Sejarah dan Pengcłrł:hnya


bagi Pergerakan Nasional kałya Momon Abdul Rahman,
Darmansyah, Suswadi, Sri Sadono Wiyadi, dan Misman,
disebutkan Yamin menjadi salah satu motor penggerak perhelatan
Kongres Pemuda I. Meski namanya tak tercatat dalam susunan
kepengurusan kongres, peran Yamin sangat vital.

Bersama Ketua Kongres Pemuda I Mohammad Tabrani;


Sekretaris Djamaloeddin, adik tiri Yamin; dan anggota dari Jong
Bataks Bond, Sanoesi Pane, Yamin bertugas menyeleksi setiap
naskah pidato dari perwakilan organisasi kedaerahan yang masuk.
Proses penyaringan naskah ini menjadi penting karena ada
Visbeen, Hoofdparker Commissaris PID atau Dinas Rahasia
Belanda, yang mengawasi jalannya kongres.

Di hari terakhir kongres, Yamin yang belum genap berusia


23 tahun itu menyampaikan pidato berjudul "Kemungkinan
Perkembangan Bahasa-bahasa dan Kesusastraan Indonesia di
Masa Mendatang”. Inti pidatonya hampir sama dengan yang
diucapkan pada Lustrum I Jong Sumatranen Bond.

Pelajar Algemene Middelbare School Jurusan Oostersch


Letterkundige (Sastra Timur) di Surakarta ini menyimpulkan
hanya dua bahasa, Jawa dan Melayu, yang bisa menjadi bahasa
persatuan. Landasannya, bahasa Jawa punya jumlah penutur
terbanyak, sedangkan bahasa Melayu sudah menjadi bahasa
pergaulan. Artinya, peluang bahasa Melayu menjadi bahasa
persatuan lebih besar ketimbang bahasa Jawa.

Tabrani menolak bahasa Melayu dijadikan bahasa


persatuan. Menurut dia, tujuan kongres adalah satu nusa, satu
bangsa, dan satu bahasa: Indonesia, Maka bahasanya juga harus
bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu. "Walaupun unsurnya
berasal dari bahasa Melayu,” kata Sutrisno Kutoyo dalam buku
Prof. H. Muhamłnad Yamin, S.H. terbitan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1985,

Yamin menentang pendapat Tabrani karena bahasa yang


ada saat itü adalah bahasa Melayu, belum ada ”wujud” bahasa
Indonesia. Akhirnya, Kongres Pemuda I menemui jalan buntu.
"Kongres Pemuda I jadi lebih bersifat akademis, yang mengulas
unsur-unsur pcrsatuan,” ujar sejarawan Taufik Abdullah.

Lambat laun, gelombang penentang Yamin soal bahasa


Melayu ini semakin besar. Argumentasinya, pertama, bahasa
persatuan tak mutlak perlu. Mereka memberi contoh Swiss, yang
rakyatnya menggunakan tiga bahasa, yakni Jerman, Prancis, dan
Italia. Kedua, negara seperti Amerika Serikat, Kanada, dan
Australia sama-sama menggunakan bahasa Inggris. Namun,
kenyataannya, ketiga negara itü terpisah dan tidak menjadi satu
bangsa dengan Inggris.

Yamin kemudian menjawab penentangan ini dalam


Kongres Pemuda II. la mengatakan argumentasi pertama tak bisa
diterapkan pada bangsa Indonesia karena di sini ada ratusan
bahasa daerah—tidak cuma tiga. Ihwal penentangan kedua,
Yamin menilai pendapat itü keblinger karena bahasa Indonesia
merupakan salah satu wujud persatuan.

Menurut Taufik, ketika menjawab itu, Yamin telah


melampaui fase transisi kebangsaan. "Dia tak lagi menyanyikan
Sumâtra atau Andalas Tanah Airku, tapi Indonesia Tanah Airku,"
kata doktor lulusan Universitas Cornell, ithaca, Amerika Serikat,
ini.

Dalam sebuah guyonan dengap pemuda asal Yogyakarta,


Jusupadi Danuhadiningrat, Yamin dan Adnan Kapau Gani—
pemuda Minangkabau yang gemar menyantap makanan
Palembang—berkelakar tentang persatuan "menu” Nusantara.
"Kalau situ dahar gudeg ame naşi, jangan lupa plus ama
pempeknya," ucap Adnan. Yamin lalu nyeletuk,

"Dan bagusan lagi, tambah rendang.”


MUHAMMAD
YAMIN

SEPENGGAL SUMPAH
DARI RUMAH KOS
Pidato-pidato Muhammad Yamin menjadi pegangan pemuda pada
akhir 1920-an. Semua dokumen Kongres Pemuda Il disita Belanda
dan tak diketahui keberadaannya.

S EPERTI rambutnya yang jarang kena sisir, pikiran


Muhammad Yamin bercabang-cabang malam itu. Ketika
gelap semakin menyelimuti Batavia pada Kongres Pemuda II, 28
Oktober 1928, pikirannya tak bisa berfokus pada pidato
pembicara.

Yamin, wakil Perhimpunan Pemuda Sumatra atawa Jong


Sumatranen Bond yang menjabat sekretaris sidang, sedang sibuk
memikirkan bahasa persatuan. Dałam kongres iłu, perwakilan
dari sepuluh organisasi pemuda se-Hindia Belanda sepakat
tentang identitas tanah air dan kebangsaan. Namun silang
pendapat terjadi soal persamaan bahasa.
Sejumlah kubu, tcrmasuk Yamin, telah menginginkan
penggunaan bahasa Melayu dałam Kongres Pemuda I, dua tahun
sebelumnya. Bahasa Melayu—tepatnya Melayu Riau—(dipilih
karena telah mennjadi bahasa pergaulan masyarakat pesisir.

Kubu lain menginginkan adanya bahasa Indonesia, sepełti


yang diutarakan Mohammad Tabrani dari Jong Java dalam
kongres pełetama. Alasannya: untuk menyamakan ”bahasa”
dengan ”nusa” dan ”bangsa” Indonesia. Kubu Yamin
menampiknya karena waktu itu belum ada bahasa Indonesia.

”Pak Yamin tidak ingin kongres berakhir tanpa keputusan


seperti kongres pertama,” ujar Kepala Bagian Koleksi Museum
Sumpah Pemuda, Misman, kepada Tempo di kantornya akhir Juli
2014.

Ketika Soenario menyampaikan pidato ”Pergerakan


Pemuda Indonesia dan Pemuda di Tanah Luaran”, tangan Yamin
menari di secarik kertas yang terletak di meja panjang ruang
kongres—sebuah rumah kos di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta
Pusat.

"lk heb een eleganterjbrmulering voor de resolutie (saya


punya rumusan resolusi yang luwes),” Yamin berbisik kepada
Soegondo Djojopoespito, pemimpin kongres, seperti dituliskan
Welmar dalam Mengenang Mahaputra Prof. Mr. H. Muhanunad
Yamin Pahlawan Nasional RI (2003). Sidang memang
berlangsung dalam bahasa Belanda, bahasa pergaulan kaum
intelektual kala itu. Potongan kertas tersebut berpindah tangan.
Soegondo mengangguk dan menuliskan paraf, lalu
mempersilakan Yamin memberikan penjelasan kepada peserta
sebelum mengesahkannya sebagai hasil kongres. Lahirlah
Sumpah Pemuda.

Misman mengatakan, di bait ketiga, Yamin menggunakan


”menjunjung tinggi bahasa persatuan” supaya bahasa daerah
tidak dihilangkan. Bahasa Indonesia diambil dari bahasa Melayu,
bahasa daerah dengan pengguna terbanyak ketiga—setelah Jawa

Muhammad
Yamin (ketiga
dari kiri, berdiri)
pada Kongres
Pemuda II di
Kramat 106,
Batavia, 28
Oktober 1928.

dan Sunda—pada saat itu, karena Yamin menganggap bahasa ini


paling berpotensi berkembang dan terstruktur. "Sudah memiliki
sajak dan gurindam, tidak hanya di level pembicaraan," ujar
Misman.

Setelah Yamin memimpin pembacaan ikrar tersebut, para


peserta kongres, yang sebagian besar tidak tertampung di ruang
tengah dan berdiri di halaman dinaungi pohon ketapang, bertepuk
tangan dan memekikkan, "Hidup persatuan”.

"Beliau sudah lama memikirkannya,” kata Misman. Sejak


Kongres Pemuda I, pemuda asal Sawahlunto itu menjadi orang
yang paling sibuk mempersiapkan Kongres Pemuda II. Di sela
kuliah hukumnya di Rechts Hogeschool Batavia—sekarang
menjadi gedung utama Kementerian Pertahanan, di Jalan Medan
Merdeka Barat, Jakarta—dia wira-wiri ke percetakan untuk
memuat maklumat tentang rapat akbar itu di surat kabar. la
menyusun kata demi kata di kamar kosnya di Kramat 106, tepat
di balik ruang lahirnya Sumpah Pemuda.

Ananda B. Kusuma, peneliti senior di Fakultas Hukum


Universitas Indonesia, menggambarkan Yamin sebagai kutu buku
yang bisa melahap 200 halaman buku per malam. Putra R.
Katjasungkana—notulis di Kongres Pemuda sekaligus teman satu
kos mengatakan Yamin tampak lebih mirip seniman ketimbang
intelektual. Rambutnya sering awut-awutan. Selain itu, "Kata
Bapak, jasnya tidak diganti selama dua bulan," ujar Ananda, 79
tahun.

Menurut Momon Abdul Rahman dan Darmansyah dalam


Muhammad Yamin: Sosok Seorang Nasionalis terbitan Museum
Sumpah Pemuda, 2005, kongres menelan biaya 250 gulden.
Kesepuluh organisasi pemuda dikenai urunan 35 gulden, tapi
banyak yang menunggak dengan alasan kas kosong.
Kongres Pemuda II berjalan dalam tiga putaran.
Pembukaan berlangsung di Katholieke Jongenlingen-Bond,
kompleks Katedral Jakarta, Sabtu, 27 Oktober 1928, mulai pukul
21:30. Gereja dipilih karena memiliki aula dengan banyak
bangku untuk menampung ratusan peserta.

Dalam pidato berjudul "Persatuan dan Kebanosaan


Indonesia", Yamin mengatakan keterikatan sebagai suatu bangsa
lahir sejak Kerajaan Sriwijaya di abad VII. "Mau atau tidak,
dalam tubuh kita mengalir darah Indonesia," katanya sepelti
dikutip dari Sosok Seorang Nasionalis.

Menurut Momon dan Darmansyah, pada saat pemikir Iain


masih berkubang dalam pergerakan berlingkup lokal, Yamin
berhasil melakukan lompatan orientasi ke pendirian Indonesia.
"Pidatonya penting karena menjadi kerangka pola keyakinan
kebangsaan para pemuda telpelajar di akhir 1920-an," ujar
Momon.

Yamin berperan di balik layar dalam rapat kedua, yang


berlangsung di gedung Oost Java Bioscoop--sekarang sekitar
Mahkamah Agung, di Jalan Medan Merdeka Utara—Ahad pagi,
28 Oktober 1928. la menerjemahkan pidato Poernamawoelan dari
bahasa Belancla ke bahasa Melayu.

la kembali menyampaikan pentingnya pe.rsatuan (lalalil


putaran ketiga pada Ahad malam, 28 ()ktober 1928, di mat 106.
"Persatuan bangsa Indonesia dimungkinkan k-ekal karena
mempunyai dasar yang kuat, yaitu persamaan kultur, bahasa, dan
hukum adat," katanya sepetti dikutip Momon dan Darmansyah
dalam Sumpah Pemuda, Latar Sejarah dan Pengaruhnya bagi
Pergerakan Nasional (2008).

Raden Ajeng Sundari, 23 tahun, dari Keputrian Indonesia


Muda, menanggapi pidato itu dengan mengatakan pentingnya
menanamkan rasa cinta tanah air di kalangan perempuan. Putri
bangsawan dari Kadilangu, dekat Demak, itu adalah tunangan
Yamin. Mereka menikah sembilan tahun kemudian.

Ketegangan memuncak karena pidato Yamin. Seorang


peserta, Inoe Martakoesoema, membalas buah pikiran Yamin
dengan mengatakan "persatuan penting supaya negara kita bisa
sejajar dengan Belanda dan tidak dijajah lagi". Mendengar
peserta menyinggung kemerdekaan, sekelompok polisi yang
dipimpin Ajun Komisaris Van der Plugt bangkit dari bangku
mereka di halaman belakang dan menghentikan pidato. Mereka
juga meminta peserta yang berusia di bawah 18 tahun
meninggalkan lokasi.

Meski sidang dibolehkan terus bergulir, menurut Misman,


kata "kemerdekaan" membuat kuping Van der Plugt cs merah.
Polisi menyita semua dokumen sidang, termasuk kertas yang
berisi Sumpah Pemuda, begitu kongres berakhir menjelang
tengah malam. Tidak ada perlawanan dari peserta. Keberadaan
dokumen tersebut tak terlacak hingga kini. Akibatnya, peristiwa
bersejarah itu hanya bisa dirangkai dari cerita lisan dan potongan
koran. "Bagi mereka, tujuan menyatukan para pemuda Indonesia
tercapai," ujar Misman. "Itu yang paling penting.”

MUHAMMAD
YAMIN

PESELANCAR POLITIK
YANG PIAWAI
Kecewa terhadap partai politik. Garis perjungannya berubah-ubah.

M UHAMMAD Yamin boleh jadi dikenal sebagai politikus


pragmatis. Dia acap berpindah partai. Yamin juga sering
berpindah haluan dari nonkooperatif menjadi kooperatif. Lelaki
Minang ini dengan mudah bekerja dalam organisasi bentukan
Belanda dan Jepang.

Saat usianya menjelang 30 tahun, pada masa sebelum


kemerdekaan, Yamin pernah masuk tiga pałtai, yakni Partai
Indonesia (Partindo), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), dan
Partai Indonesia Raya (Parindra), Ketiga partai itu berpandangan
nasionalisme sekuler. ”Meski keturunan Minang, dia bukan tipe
yang religius,” kata peminat sejarah Rushdy Hoesein, Juni 2014.
Yamin pada mulanya bergabung dengan Partindo, yang
lahir setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dibubarkan pada 25
April 1931. Partai ini didirikan oleh Sartono, bekas pemimpin
PNI.

Ketika itu, para aktivis PNI tak kuat lagi menghadapi teror
pemerintah Hindia Belanda. Sejak akhir 1929, Belanda
menangkapi para pemimpin PNI karena dianggap menyebarkan
ajaran pergerakan kemerdekaan. Beberapa tokoh yang ditangkap
di antaranya Sukarno, Gatot Mangkupraja, Soepriadinata, dan
Maskun Sumadiredja.

Tak semua eks anggota PNI maşuk menjadi anggota


Partindo. Sebagian memilih bergabung dengan PNI baru, yang
dibentuk Mohammad Hatta dan Sjahrir. Selain itu, ada yang
memilih bernaung dalam Partai Rakyat Irıdonesia di bawah
pimpinan Mohammad Tabrani, seorang wartawan.

Asas perjuangan Partindo sama dengan PNI lama dan PNI


baru. Keduanya mengusung Perjuangan nonkooperatif dan massa
aksi. Yamin mendukung partai ini karena ia memiliki
pandangan yang sama dalam taktik nonkooperatif atau tak mau
bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda.

Kongres PB Parindra, 1930-an


Namun tak mudah bagi Partindo menjalankan aksi
politiknya karena mereka terus diawasi pemerintah Belanda.
Polisi rahasia gencar mengadakan razia. Hingga akhirnya pada
November 1936, Partindo terpaksa dibubarkan.

Pengalaman pahit ini tak menyurutkan langkah Yamin.


Dengan garis perjuangan yang sama, ia mendirikan Gerindo pada
24 Mei 1937, bersama Wilopo, Amir Sjarifuddin, Sumanang,
Adnan Kapau Gani, dan Adam Malik. Partai ini dipimpin oleh
A.K. Gani dan Yamin menjadi salah satu pengurus.

Menurut Restu Gunawan, pengarang buku Muhammad


Yamin dan Cita-cita Persatuan, Gerindo berkembang menjadi
pergerakan kebangsaan sayap kiri yang kuat. Sejak awal, anggota
partai ini cenderung sosialis dan memiliki orientasi internasional.
Perjuangan memperoleh kemerdekaan bangsa dipandang sangat
bergantung pada hasil pertentangan antara kekuatan fasis dan
antifasis.

Lantaran terus diawasi Belanda, Gerindo berbalik arah


dengan memilih bekerja sama dengan Belanda. Partai ini
membantu pemerintah Hindia Belanda dengan berpartisipasi
dalam Volksraad (Dewan Rakyat). Meskipun mengambil sikap
kooperatif, Gerindo tidak mempunyai wakil di Dewar. Rakyat.
"Setiap pemilihan selalu dikalahkan oleh Parindra, Pasundan, dan
lainnya," kata Restu.

Menghadapi situasi yang tak berubah, Yamin ingin


menjadi anggota Volksraad, "Tapi tidak melalui partainya karena
partainya selalu kalah oleh partai lain," ujar Restu. la ingin masuk
melalui perwakilan daerah. Menurut Restu, saat itu yang memilih
anggota Volksraad dari daerah hanya empat badan, yaitu
Minangkabau Raad, Gemeenteraad Bukittinggi,

Onderafdeling Raad Padang Panjang, dan Gemeenteraad


Sawahlunto.

Namun Belanda tak ingin Yamin masuk Volksraad. la


dilarang pulang ke Padang mendekati anggota gemeente yang
alan memilih perwakilannya di Volksraad. Yamin dianggap
merah oleh Belanda.

Tak hilang akal, menurut pengarang buku biografi


Muhammad Yamin, Sutrisno Kutoyo, Yamin memilih cara lain,
yakni dengan rajin menulis di beberapa media massa di daerah
itu. Lewat cara ini, ia dikenal oleh masyarakat Minang dan
akhirnya terpilih sebagai anggota Volksraad.

Perubahan sikapnya menjadi kooperatif dan bersedia


masuk Volksraad ini menimbulkan banyak kritik dari koleganya
yang masih mengambil sikap nonkooperatif. Yamin menanggapi
kritik, kata Restu, dengan berpendapat bahwa pergerakan terbagi
atas beberapa taktik dan keyakinan, yaitu atas dasar kooperatif
dan nonkooperatif.

Rushdy menyebut langkah politik Yamin sebagai bentuk


pragmatisme, Sedangkan Restu menilai aksi Yamin
menggambarkan kecerdasan dalam mengambil langkah politik,
"Dia orang yang piawai dan lihai melihat kesempatan,” ucapnya.

Masuknya Yamin ke Volksraad bukan sebagai utusan


partai membuat pimpinan Gerindo meradang. la diberi opsi:
menolak keinginan rakyat Minangkabau dan tetap menjadi
pemimpin partai atau bertahan di Volksraad tapi keluar dari
Gerindo. Yamin memilih bertahan di Volksraad dan ia pun
dipecat dari Gerindo. "Dia dianggap mengkhianati partainya,”
kata Restu.

Pemecatan ini tak membuat Yamin berkecil hati. Bersama


anggota Gerindo lain, dia mendirikan partai baru, yakni Partai
Persatuan Indonesia (Parpindo). Partai ini menolak bekerja sama
dengan Belanda. Menurut Sutrisno, Parpindo bukanlah parta:
hesar. Anggotanya tidak banyak dan jarang disebut dałam buku
sejarah Indonesia. Di partai ini, hanya Yamin yang tergolong
berpendidikan tinggi.
MUHAMMAD
YAMIN

SANG PEMECAH
BELAH ABADI
Kenyang sebagai politikus "jalanan”, Muhammad Yamin akhirnya
memilih taktik politik kooperatif. Di Volksraad, dia kerap berbenturan
dengan kawan seperjuangan.

P OLITIK nonkooperatif, alias menolak kerja sama dengan


pemerintah Belanda, sejatinya merupakan jalan panjang
yang telah ditempuh Muhammad Yamin. Karena itu, ketika
Yamin menyatakan bosan menjadi "politikus jalanan” pada 1937,
dua karibnya, Chaerul Saleh dan Djamaloeddin Adinegoro,
sempat terheran-heran.

Kawan-kawan pergerakan yang kurang dekat dengan


Yamin juga tak sedikit yang mengkritik rencana Yamin masuk
Volksraad alias Dewan Rakyat.. Mereka menganggap per.ubahan
pilihan sikap Yamin tak hanya terlalu cepat, tapi juga
mencurigakan.
Kecurigaan teman-teman seperjuangan Yamin tak
berlebihan. Volksraad adalah semacam dewan perwakilan rakyat
Hindia Belanda. Dewan itu dibentuk pada 16 Desember 1916
oleh pemerintah Belanda. Pembentukan Dewan diprakarsai
Gubernur Jenderal J.P. van Limburg Stirum bersatna Menteri
Urusan Koloni Belanda Thomas Bastiaan Pleyte.

Semula Volksraad hanya memiliki kewenangan sebagai


penasihat. Baru pada 1927, Volksraad memiliki kewenangan ko-
legislatif bersama gubernur jenderal yang ditunjuk Belanda. Itu
pun, karena gubernur jenderal memiliki hak veto, kewenangan
Volksraad tetap terbatas. Wajar bila banyak tokoh pergerakan
sangsi perjuangan melalui Volksraad bakal membawa perubahan.

Beberapa bulan sebelum menyatakan ingin masuk


Volksraad, Yamin masih menolak keras petisi sejumlah anggota
Volksraad yang menuntut otonomi khsus untuk Indonesia.
Dimotori Sutardjo Kartohadikusumo, tuntutan itu dikenal sebagai
Petisi Sutardjo. Pendukung petisi pada 15 Juli 1936 itu antara lain
Kasimo, Dt. Tumenggung, Ratulangie, Ko Kwat Tiong, dan
Soeroso.

Petisi itu meminta diselenggarakan suatu konferensi untuk


mengatur otonomi Indonesia di dalam wadah uni Indonesia-
Belanda selama kurun sepuluh tahun. Bentuk otonomi yang sarna
diberikan Amerika Serikat kepada Filipina pada 1933. Lewat
pemberian otonomi itu, pemerintahan persemakmuran Filipina
akhirnya terbentuk pada 1935.

Sebenarnya yang diusulkan dalam Petisi Sutardjo sudah


diatur dalam attran Belanda. Hanya, dalam praktiknya, orang
Indonesia tak ditempatkan pada posisi pertama dalam setiap
kesempatan. Karena itu, Sutardjo dan kawan-kawan melihat
perlunya tekanan kepada Kerajaan Belanda untuk melaksanakan
aturan tersebut.

Yamin menentang secara terbuka Petisi Sutardjo dalam


tulisannya di surat kabar Kebangoenan, 11 Agustus 1936.
Menurut Yamin, pembicaraan di Volksraad sering
mengecewakan karena kerap keluar dari cita-cita rakyat
Indonesia. Katanya, "Sering udara yang dikeluarkan Dewan

Volksraad,
1936.

Rakyat sudah basi dan dingin.”


Menurut Yamin, yang harus dituntut orang pribumi bukan
otonomi khusus atau dominion status. Alasannya, status khusus
iłu masih dałam kungkungan hubungan tanah jajahan dengan ibu
negeri, seperti yang terjadi di Inggris. Padahal dominion status
tak ada dałam hukum dasar Belanda dan tak menjadi cita-cita
rakyat Indonesia. "Untuk iłu janganlah minta barang yang sudah
ada dan barang yang tidak ada perlunya.” Yamin menambahkan,
"Dałam berpolitik, kita harus awas dengan taktik tawar-menawar.
Kalau sudah ada dominion status, maka mintalah status yang
lebih tinggi lagi.”

Gara-gara tulisan Yamin yang mendapat banyak dukungan


di luar Volksraad, suara Fraksi Nasional (orang pribumi) di
Volksraad pun pecah. Setelah melalui perdebatan selama dua
termin, Petisi Sutardjo diputuskan lewat pemungutan suara pada
28 September 1936. Hasilnya, 26 suara mcncrima lawan 20 suara
vuenolak. Anggota Fraksi National yang nerima petisi antara iain
Oetomo Oetoyo, Soangkoepon, Iskandar Dinata, Jahja, dan
Abdul Rasjid. Sedangkan yang mcnolak antara lain Tadjuddin
Noor dan Wiwoho.

Tak mendapat dukungan total di Volksraad, pada 16


November 1938, Petisi Sutardjo akhirnya ditolak pemerintah
Kerajaan Bclanda.

Restu Gunawan, penulis buku biografi Muhammad Yamin


dan Cita-cita Persatuan, mengungkapkan, selama menjadi
anggota Volksraad, Yamin dijuluki sebagai "pemecah belah
abadi". Dia dipandang sebagai biang keladi perpecahan dalam
Fraksi Nasional yang didirikan Muhammad Husni Thamrin.
Setahun masuk Volksraad, pada masa sidang 1939, Yamin
langsung mengkritik Fraksi Nasional dari dalam. Menurut dia,
Fraksi Nasional jangan bekerja hanya untuk Jawa. Fraksi juga
harus memperhatikan kepentingan luar Jawa.

Karena usulnya tak disambut hangat Fraksi Nasional, pada


10 Juli 1939, Yamin mendirikan kelompok Golongan Nasional
Indonesia (GNI). GNI bukan gabungan wakil partai. GNI
merupakan wadah penampung Wakil utusan daerah. Kebetulan
Yamin masuk ke Volksraad bukan atas nama partai, melainkan
sebagai wakil distrik Sumatra Barat.

Penulis biografi Yamin lainnya, Sutrisno Kutoyo,


menyrebutkan Yamin kerap dijuluki "perusak aturan permainan"
oleh lawan-lawan politiknya. Julukan itu, misalnya, dilekatkan
sejumlab tokoh Gabungan Politik Indonesia (Gapi). Alasan
mereka, karena Yamin pernah mengajukan petisi untuk
membentuk suatu parlemen di luar kemauan partaipartai yang
berhimpun dalam Gapi.

Perbedaan pandangan politik baru satu hal. Hal lain adalah


kepribadian Yamin. Menurut Sutrisno, Yamin memiliki banyak
lawan politik karena "kata-katanya yang tajam dan penanya yang
runcing”. Ketika berdebat, umpamanya, Yamin kerap
menunjukkan sikap meremehkan pendapat orang lain. ”ltu
mungkin karena dia percaya sekali pada kemampuan sendiri,”
tulis Sutrisno.

Meşki sering berseberangan dengan sesama anggota


Volksraad, Yamin dalam isu-isu pokok kerap berpandangan sama
dengan tokoh lain. Misalnya ketika Kerajaan Belanda bertekuk
lutut di depan bala tentara Jerman pada 10 Mei 1940. Yamin dan
Thamrin kontan menggugat keabsahan pemerintahan Belanda
yang pusatnya kala itu dipindahkan ke London.

Kedua tokoh juga punya pandangan mirip soal pentingnya


mempromosikan bahasa Indoneşia. Yamin dan Thamrin
mengusulkan agar dalam setiap sidang Volksraad digunakan
bahasa pemersatu itu. Alhasil, cara pandang pada cabang kasus
boleh saja berbeda. Tapi, ketika sampai pada pokok perkara,
yakni Indonesia merdeka, "Mereka selalu satu kata,” ujar Restu.
MUHAMMAD
YAMIN

MONDAR-MANDIR
DI DEBAT DASAR
NEGARA
Peran Muhammad Yamin ketika menyusun dasar negara menuai
kontroversi. Acap dibela Sukarno.

D EBAT hangat itu berlangsung di pengujung sidang


Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai selepas asar, 11 Juli 1945, di
Gedung Tyuoo Sangi-In, Pejambon, kini kompleks Kementerian
Luar Negeri. Sang ketua, Dr Radjiman Wedyodiningrat, baru saja
membagi anggota menjadi tiga panitia (bunkakai), yaitu
perancang huk-um dasar, keuangan, dan pembelaan tanah air.
Muhammad Yamin, yang semula diperkirakan masuk ke panitia
hukum dasar negara, justru "dibuang" ke panitia keuangan.
Sukarno, ketua panitia hukum dasar, mendadak sontak
memprotes. "Mohon hormat supaya Tuan Yamin diberikan
kepada kami. Sebab, kami anggap beliau salah satu ahli hukum
yang pikirannya perlu kami pakai," kata Sukarno. Seorang
anggota, Abikusno, meminta Yamin masuk ke panitia pembelaan.
Radjiman teguh pendirian.

Yamin berang dan menolak bergabung dengan panitia


keuangan. Alasannya, "Karena kurang pengetahuan apa-apa, jadi
saya tak ada sumbangan buat panitia." Radjiman berkukuh.
Keputusan tak bisa diubah lagi. "Sudah selesai," 1.1jar Radjiman.
Yamin menyergah, "Saya tidak terima!"

Sejarawan Ananda B. Kusuma menduga Radjiman


mangkel. Dia bertahan pada keputusannya karena Yamin
terlampau eksentrik. "Yamin itu pintar, tapi banyak omong dan
sering menambah-nambah," kata Kusuma saat berdiskusi
pertengahan Juli 2014.

Masalah Yamin rupanya tak selesai. Dalam rapat panitia


hukum dasar, Sukarno menyampaikan penyesalan tak mampu
menarik Yamin. Dia lalu meminta persetujuan agar Yamin tetap
bisa bergabung. Ide ini disepakati oleh panitia perancang hukum
dasar. Mereka pun menugasi Latuharhary membuat surat ke
perwakilan Jepang. Tapi permintaan ini pun tetap ditolak.

Kejadian itu juga mungkin yang menyebabkankan Yamin


tidak berdiri ketika ketua sidang besar Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)

Radjiman pada 16 Juli 1945 meminta peserta sidang untuk


menyetujui rancangan Updang-Undang Dasar. Mengamati
respons hadirin, Radjiman berkata, "Sekalian anggota, kecuali
Tuan Yamin berdiri. Dengan suara terbanyak diterima Undang-
Undang Dasar ini."

Dokuritsu Junbi Cosakai (dituliskan Dokuritzu Zyunbi


Tyoosakai) atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia dibentuk pada 29 April 1945. Badan ini
berdiri sebagai janji penguasa militer Jepang dengan tujuan
mempelajari kemerdekaan Indonesia. Tyoosakai memiliki 62
anggota, termasuk pimpinan ditambah enam anggota tambahan.
Pada era pendudukan Jepang, hampir semua tokoh republik mesti
bekerja sama dengan Jepang. Yamin, misalnya, seperti
diceritakan dalam buku biografi karya Sutrisno Kutoyo, sehari-
hari menjadi pegawai tinggi pada Sendenbu, yaitu Djawatan
Penerangan dan Propaganda Pemerintah Jepang.

Untuk menarik hati tokoh republik, Jepang membentuk


Pusat Tenaga Rakyat atau Putera pada 1 Maret 1943. Di
organisasi ini, Yamin duduk sebagai anggota Dewan Pena,sihat.
Dia kerap memberikan ceramah mengenai upaya kemerdekaan
untuk pemuda. Namun pendiri republik justru menggunakan
Putera untuk menyongsong kemerdekaan.

Jepang sadar gagasan dilencengkan sehingga memilih


membubarkan Putera. Mereka kemudian membentuk Jawa

Rapat PPKI
Agustus 1945

Hokokai atau Himpunan Kebaktian Jawa. Agar tak ditelikung


tokoh republik, Jepang memilih orang-orangnya sebagai Rapat
PPKI pimpinan organisasi. Tapi dinamika politik berubah terlalu
Agustus 1945. cepat. Pada 7 Juli 1943, Perdana Menteri Jepang
Hideki Tojo datang ke Jakana. Dia menjanjikan peran tokoh
Indonesia di pemerintahan.

Pada September 1943, Yamin diserahi jabatan sanyo atau


penasihat di Sendenbu. Itu berarti Yamin menjadi salah satu dari
tujuh pejabat tertinggi berkebangsaan Indonesia di zaman Jepang.
Pada 1944, Jepang makin tcrdesak. Untuk merebut simpati
Indonesia, pemimpin Jepang memberi janji kemerdekaan. Karena
itulah akhirnya Jepang membentuk BPUPKI. Awal nya badan ini
hanya dimaksudkan sebagai badan riset gagasan Indonesia
merdeka. Tapi BPUPKI justru berhasil merancang sebuah hukum
dasar republik.

Anggota BPUPKI dilantik pada 25 Mei 1945. Yarnin


duduk sebagai anggota nomor urut 2 setelah Sukarno. Dalam
Sidang lembaga inilah sikap Yamin menuai kontroversi. Pada
sidang pertama, 29 Mei 1945, Yamin menguraikan gagasannya
tentang dasar negara. Pimpinan sidang menganggap apa yang
disampaikan Yamin bukanlah dasar negara, melainkan tentang
terbentuknya Indonesia merdeka. Dalam pidatonya, ia juga
menyebut melampirkan rancangan undangundang dasar, yang
ternyata tidak tercatat dalam notulen rapat.

Mohammad Hatta jengkel terhadap sikap Yamin. Ketika


terjadi perdebatan panas antara kelompok Islam dan nasionalis
mengenai dasar negara, Hatta mengatakan, "Yamin hanya
mondar-mandir.” Ada lagi pangkal kekesalan Hatta. Dalam
sidang pertama, sebenarnya ada 30 orang yang berpidato. Namun
Yamin hanya memasukkan tiga nama dalam bukunya. Karena
itulah Hatta menyebut koleganya tersebut memalsukan sejarah,
"Dia menghilangkan banyak orang yang ngomong dalam sidang,”
kata Restu.
Meskipun menyisakan kontroversi, sumbangan Yamin
terhadap masuknya gagasan hak asasi manusia ke konstitusi tak
bisa dipandang sebelah mata. Dalam sidang BPUPKI pada 11 Juli
1945, misalnya, Yamin mengusulkan agar rancangan konstitusi
perlu memasukkan declaration of human rights and
independence.

Rujukannya adalah naskah konstitusi Amerika Serikat.


Yamin mengingatkan konstitusi yang sedang mereka susun
adalah konstitusi yang penduduknya mendekati 100 juta jiwa.
"Negara yang kita susun bukan negara kecil, melainkan negara
sehebat-hebatnya,” ujar Yamin.

Dalam soal pemerintahan, Yamin memimpikan negara


yang dipimpin kepala negara yang bertanggung jawab kepada
majelis musyawarah. Majelis ini, kata dia, menjadi majelis
permusyawaratan dan pemegang kekuasaan setinggi-tingginya
bagi republik. Yamin menegaskan, majelis ini dipilih dengan
bebas dan merdeka oleh rakyat berdasarkan suara terbanyak,

Peran Yamin yang lain adalah memasukkan luas wilayah


Indonesia. Dalam konteks ini, gagasan Yamin senapas dengan
Sukarno. Yamin dan Sukarno mengajukan ide bahwa rumpun
Bangsa Indonesia, di samping bekas jajahan Belanda, juga
Semenanjung Melayu, Kalimantan bekas jajahan Inggris, Timor
bekas jajahan Portugis, dan Papua.
Gagasan ini ditentang Hatta. Menurut dia, wilayah
İndonesia adalah jajahan Hindia Belanda tidak termasuk Papua,
Pulau Timor, dan Semenanjung Malaka. Namun, Hatta
menggarisbawahi, Papua bergabung jika dikehendaki oleh
rakyatnya. Dia lebih suka jika Malaka menjadi negara merdeka
sendiri. "Tetapi, kalau sekiranya rakyat Malaka ingin bersatu
dengan kita, saya tak melarang," ucap Hatta.

Sejarawan Taufik Abdullah menilai Sukarno dan Yamin


punya kesamaan dalam memandang kegemilangan masa lalu.
"Saya menyambungkan keduanya sebagai romantic historian,”
kata Taufik. Toh, gagasan Indonesia ala Yamin dan Sukarno ini
tak diterima oleh BPUPKI. Sang ketua, Dr Radjiman,
memutuskaıı wilayah Indonesia hanyalah bekas jajahan Hindia
Belanda, Indonesia hari ini.
MUHAMMAD
YAMIN

KISAH YAYAH
DAN RAINAH
Yamin sempat dianggap tak pantas buat Sundari, yang ningrat
dan pintar. Sebab, dia masih duduk di sekolah menengah.

S EBUAH pendapa berdiri gagah di perkampungan


Dipowinatan. Bangunan seluas 6.500 meter persegi ini
adalah bagian utama Ndalem Jayadipuran, tak jauh dari Keraton
Kasultanan Yogyakarta, tepatnya di Jalan Brigadir Jenderal
Katamso 23. Kini kompleks gedung ini digunakan sebagai kantor
Balai Pelestarian Nilai Budaya, nłilik Ke.menterian Pendidikan
dan Kebudayaan. Pohon sawo teduh mengelilingi.
Ndalem Jayadipuran menjadi saksi Kongres Perempuan
Pertama pada 22-25 Desember 1928. Sebuah prasasti Kongres
Perempuan Pertama terpampang di tembok pendapa. Kemudian
setiap 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.

Ndalem Jayadipuran berdiri pada


1867. Bangunan ini pada mulanya bernama
Ndalem Dipawimala, sesuai dcngan nama
pemiliknya, Kanjeng Raden Tumenggung
Dipawimala. Setelah Dipawimala
meninggal, bangunan ini oleh Sultan
Hamengku Buwono VII dihadiahkan
kepada menantunya yang bernama Kanjeng
Raden Tumenggung Jayadipura. Dia
dikenal sebagai seniman.

Di gedung ini, tunangan—yang nantinya menjadi istri-


Muhammad Yamin bernama Raden Ayu Siti Sundari, 23 tahun,
tampil memukau peserta kongres. Di situ Sundari untuk pertama
kali berbicara tentang pentingnya bahasa persatuan Indonesia.
Sundari, yang biasa berbahasa Bclanda dan Jawa krama inggil,
memaksakan diri berbicara dalam bahasa Melayu dalam kongres
penting ini.

Di pendapa itu, Sundari, yang berparas ayu, tampil


bergelora. Pengajar di Kweekschool (Sekolah Guru) di Surakarta
itu membawakan pidato berjudul "Kewadjiban dan Tjita-tjita
Poetri Indonesia". Sundari adalah satu dari 15 pembicara dalam
kongres itu. Para pembicara datang dari beragam organisasi,
seperti Wanita Oetomo, .Aisjiah, dan Wanita Taman Siswa.
Pidato Sundari, yang Keputrian Indonesia Muda, menjadi
penanda penting bagi komitmen penggunaan bahasa Indonesia.

Sundari mengawali pidato bernada penjelasan dan


permintaan maaf. "Sebeloem kami memoelai membitjarakan ini,
patoetlah rasania kalaoe kami terangkan lebih dahoeloe, mengapa
kami tidak memakai bahasa Belanda ataoe bahasa Djawa. Boekan
sekali-kali karena kami hendak merendahkan bahasa ini atau
mengoerangkan nilainja. Sama sekali tidak." Hadirin terkesima.

Sundari tergolong pendatang baru untuk urusan berbahasa


Indonesia. Dalam Kongres Pemuda II, Oktober 1928, di Kramat
Raya, Jakarta, ia masih berbahasa Belanda. Baru dalam Kongres
Perempuan itu ia tampil berbahasa Indonesia. ”Hanya dalam dua
bulan, sebuah perubahan dahsyat terjadi,” tulis Dr Keith
Foulcher, pengajar jurusan Indonesia di Universitas Sydney,
Australia, dalam jurnal Asian Studies Review, September 2000.

Tak hanya melepaskan bahasa tanah kelahirannya.


Sundarijuga melepaskan bahasa intelektualnya, bahasa Belanda.
Demi persiapan pidato yang mengesankan tadi, Foulcher
mencatat Sundari dibantu seorang penerjemah. Tak jarang dia
terbata-bata ketika mengucapkan kosakata bahasa Indonesia.
Usaha keras Sundari layak dipuji, begitu tulis Foulcher, yang juga
pengamat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Inilah simbol
bangkitnya nasionalisme.

Kongres Pemuda di Jalan Kramat 106 itu membekas dalam


ingatan Sundari. Bukan hanya lantaran Muhammad Yamin
menjadi motor penting dalam peristiwa itu, melainkan karena,
”Untuk pertama kalinya dinyanyikan lagu 'lndonesia Raya',”
katanya kepada Kompas, 21 Oktober 1967. Apalagi, menurut
Sundari, W.R. Soepratman, pencipța lagu itu, memberikan sendiri
catatan asli notasi lagu ”lndonesia Raya” kepadanya.

Sundari lahir di Semarang pada 25 Agustus 1905. la


mengenal Yamin ketika bekerja sebagai guru Kweekschool di
Surakarta, Jawa Tengah. Pemuda Yałnin waktu itu masih duduk
di kelas I Algemene Middelbare School (AMS)—setingkat
sekolah menengah atas—di Surakarta. Tiga bulan setelah
perker.alan, mereka beftunangan. Hubungan mereka awalnya
ditentang keluarga Sundari, bangsawan asal Kadilangu, Demak,
Tengah. Buat keluarganya, Sundari yang ningrat dan sudah
bergaji selayaknya menikah dengan dokter atau pegawai
kantoran, bukan dengan Yamin yang berasal dari ”seberang” dan
masih duduk di sekolah menengah.

Resepsi
Pernikahan
Muhammad
Yamin dan Siti
Sundari di
Kramat Betawi,
14 Juli 1934.
Setamat AMS, Yarnin hijrah ke Jakarta dan melanjutkan
pendidikan di Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).
Sundari memilih bermukim di Bandung, mengajar di sekolah
Ardjuna, dan memberikan pelajaran mengetik di Lembang. Di
sela kegiatannya itu, dia aktif di organisasi bernama Istri
Pendidik, juga di Jong Java. Sedangkan Yamin aktif di Jong
Sumatranen Bond. Setelah Sumpah Pemuda, organisasiorganisasi
pemuda sektoral melebur jadi Indonesia Muda. Sundari dan
Yamin pun bergabung. Sundari menjadi anggota Keputrian
Indonesia Muda.

Pada 1934, Sundari hijrah ke Turen, Malang, Jawa Timur,


dan menjadi guru. Kepindahan ini tak lepas dari aksi Yamin.
Setelah menamatkan sekolah hukum dan meraih gelar meester in
'de rechten, Yamin pergi ke Surabaya. Di sana dia ditangkap
pemerintah Belanda gara-gara pidato yang dianggap menghasut
rakyat. Demi sang tunangan, Sundari mencari tahu lokasi
penahanan Yamin. Beruntung, Yamin tak ditahan lama. Pada
tahun itu pula Yamin dan Sundari menikah. Chaerul Saleh—
belakangan jadi menteri pada era Presiden Sukarno—menjadi
wakil keluarga Yamin untuk meminang Sundari.

Kembali ke Jakarta, pengantin baru ini menyewa kamar di


Orange Boelevard 56, sekarang Jalan Diponegoro. Ketika
diwawancarai Koınpas tiga dasawarsa kemudian, Sundari
menyatakan bahagia mempunyai suami idealis. "la tidak pernah
korupsi, apalagi beristri lebih dari satu,” ucapnya. Sundari wafat
pada 12 April 1973.

Tak banyak yang tahu asal-usul Sundari. Dia disebutsebut


keturunan dari Sunan Kalijaga. Menurut Wiedjayanto, 59 tahun,
anggota Kasepulıan Ahli Waris Sunan Kalijaga, Kadilangu,
Demak, hubungan keturunan Sundari dengan Sunan Kalijaga
tidak tercatat dalam silsilah. Namun dia yakin Sundari keturunan
Sunan Kalijaga karena istri Yamin itu, pada 1963, pernah
mengumpulkan semua anggota keluarga keturunan Sunan
Kalijaga di Istana Bogor untuk mendengarkan rencana Bung
Karno merenovasi kompleks makam Sunan Kalijaga. "Saat itu
saya masih kelas IV sekolah dasar,” kata Wiedjayanto kepada
Tempo awal Agustus 2014. Kala itü Wiedjayanto datang bersama
ayahnya, RM Sudyoko. Basuki, 75 tahun, juru kunci makam
Sunan Kalijaga, juga punya keyakiaan yang sama. Di kalangan
Ikatan Keluarga Kadilangu, yang sekarang beynama Paguyuban
Ahli Waris Sunan Kalijaga, Sundari lebih dikenal sebagai Ibu
Muhammad Yamin. "Beliau keturunan yang tinggal di Kudus,”
ujarnya. Basııkj memperkirakan Sundari merupakan keturunan
ke-14 Sunan Kalijaga, sama dengan dirinya. Menurut dia, tidak
ada nama Sundari dalam silsilah Sunan Kalijaga karena
perempuan itü tidak lahir dan tidak pernah tinggal di Kadilangu.
Menantu Sundari, Gusti Raden Ayu Retno Satuti,
mengenal sang mertua sebagai orang yang tak banyak bicara.
Satuti adalah putri Puro Mangkunegaran Solo. Dia janda
Rahadian Yamin, pelopor dunia fashion Indonesia dan anak
tunggal pasangan Yamin-Sundari. Rahadian tewas dalam
kecelakaan lalu lintas pada 1979.

Yamin dan Sundari selalu bertutur dengan bahasa yang


bagus. Yamin memanggil istrinya dengan sebutan Inah, dari kata
Rainah, panggilan kehormatan untuk perempuan, dari bahasa
Sanskerta. Sedangkan Sundari kerap menyapa Yamin dengan
sebutan Yayah, panggilan kehormatan untuk laki-laki, juga dari
bahasa Sanskerta.

Setiap pagi Sundari menyiapkan sarapan dan kopi untuk


sang suami, bahkan sebelum Yamin bangun tidur. Jika bepergian,
Yamin juga suka mengajak Sundari. Sungguh hubungan yang
sangat indah.
MUHAMMAD
YAMIN

KEMBALI KE HARIBAAN
TANAH TALAWI
Berpuluh tahun berada di tanah Jawa, Yamin berwasiat minta
dimakamkan di samping kuburan bapaknya. Sebelum
meninggalj minta dipertemukan dengan Hamka.

AMPU-LAMPU di sekitar Rumah Sakit Pusat Angkatan

Dayat (RSPAD) mulai menyala Rabu malam, 17 Oktober


1962. Dokter mencatat waktu kematian pasien yang terbaring di
kamar yang pernah ditempati Letııan Jenderal Gatot Soebroto
(almarhum) itü menunjuk ke. angka 19.28. "Pak Yamin
meninggal tidak lama setelah putranya datang,” ujar Kusumo,
pria yang dianggap anak angkat oleh keluarga Muhammad
Yamin, ketika ditemui di rumah keluarga Yamin di Jalan
Diponegoro 10, Jakarta Pusat, Senin, awal Agustus 2014. Ingatan
Kusumo, kini 78 tahun, masih segar tentang detik terakhir
kematian ayah sahabatnya, Dang Rahadian Sinayangsih Yamin.

Pada hari yang sama sekitar pukul empat sore, Kusumo


menjemput Rahadian, yang baru pulang dari Amerika

ARSIP

Serikat, di Bandar Udara Kemayoran. Dari sana, Rahadian

langsung meluncur ke rumah sakit dan mencium tangan

ayahnya. Sentuhan Rahadian seperti pertanda bagi pria ke-

lahiran Talawi, Sumatra Barat, itu. "Satu jam kemudian,


rekam jantung Pak Yamin menunjukkan sudah lemah," kata
Kusumo. Akhirnya Yamin meninggal selepas waktu magrib pada
usia 59 tahun setelah empat hari dirawat karena komplikasi
berbagai penyakit.

Karakter Yamin yang serius mendadak luruh di pengujung


ınasa hidupnya. "Saya habis di rumah sakit, ditusuk-tusuk di
sini,” ujar Kuşl mo menirukan komentar Yaınin yang lucu
tcntang ketakutannya terhadap jarum suntik, Yamin juga sempat
mengeluhkan aroma tubuh perawat yang disebutnya ada yang
baunya seperti tempe. Kata-kata tersebut tak pernah didengar
Kusumo selama mengenal Yamin. Dua hari sebelum kematiannya
pun Yamin berbaikan dengan terunya di Dewan Konstituante,
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka, Oleh Yamin,
Kusumo memang diminta menjemput Hamka di kediamannya di
dekat Masjid Al-Azhar, Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan.

Selisih paham itu disebabkan oleh perbedaan pandang soal


dasar negara Indonesia. Hamka bersama Mohammad Natsir,
Mohanımad Roenı, dan Isa Anshari berkukuh bahwa syariaü
İslam menjadi dasar negara. Adapun Yamin berdalih Pancasila
lebih tepat untuk dasar negara. Pandangan Hamka yang kukuh itü
dilontarkan dalam sidang paripurna, bahwa jika menggunakan
dasar Pancasila sama saja menuju jalan neraka.

Mendadak sontak kalimat itü menggemparkan anggota


sidang, yang menyebabkan Yamin langsung ke luar ruangan.
Sejak itulah, kata İrfan Hamka, putra kelima Hamka, kepada
Tempo, akhir Juni 2014, Yamin menunjukkan gelagat tak
bersahabat dengan ayahnya. "Rupanya, bukan hanya wajahnya
yang memperlihatkan kebenciannya kepada saya. Hati nuraninya
pun ikut membenci saya,” qjar Hamka kepada Isa Anshari dalam
bükü Ayalı tulisan İrfan Hamka.

Toh, Hamka tak menolak ketika Kusumo menyampaikan


keinginan Yamiıı agar dia datang ke rumah sakit. Selepas asar,
Hamka mandi, kemudian bersalin dengan pakaian sarung,
kemeja, dan Jas—menuju RSPAD. Kedatangan Hamka disambut
air mata oleh Yamin. "Dampingi saya," kata Yamin lirih kepada
Hamka, seperti yang dikutip dalam buku Ayah. Dua kali Hamka
datang menemui Yamin di rumah sakit. Pada persuaan terakhir,
Irfan mengatakan, Hamka membantu Yamin melafalkan kalimat
syahadat dan surat Al-Fatihah. Menurut Irfan, meski tak ada
pernuhtaan maaf secara resmi, permohonan kehadiran Hamka
sudah menunjukkan Yamin ingin berdamai.

Hamka ikut memandikan jenazah, mengimami salat


jenazah, dan mengiringi pemakaman Yamin hingga di tanah
kelahirannya, Talawi, Sawahlunto. "Pak Yamin tidak begitu
disukai orang di kampungnya karena dia mengutuk tindakan
'PRRI," ujar Irfan, menunjuk gerakan Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) pada 1958 yang terjadi di Sumatra
Barat. Karisma Hamka sebagai ulama besar dinilai bisa meredam
kemarahan warga.

Sejarawan Taufik Abdullah tak menampik pernyataan


Irfan. Ketika bertandang ke Sumatra Barat pada akhir 1959,
Taufikjuga melihat ada sentimen negatif penduduk terhadap
Yamin. "Dia termasuk orang yang dibenci orang Ä'linang pada
waktu itu," tutur sejarawan dan peneliti pada Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia ini.

Yamin, kata Taufik, dinilai sebagai orangnya Sukarno


Yang membuat orang Sumatra Barat terjajah di negerinya sendiri.
Itu karena, pasca-PRRI, jabatan kepala daerah di Sumatra Barat
banyak diduduki orang dari Pulau Jawa. Namun kebencian warga
Minang terhadap Yamin, Taufik melanjutkan, sebenarnya
setengah hati. Itu lantaran, semasa menjabat Menteri Pengqjaran,
Pendidikan, dan Kebudayaan (1953-1955), Yamin mendirikan
Perguruan Tinggi Pendidikan Guru di Batusangkar, sekitar 20
kilometer dari Talawi.

"Dia cinta benar Pada kampungnya," ujar Taufik. Ini juga


alasan Yamin ingin dikuburkan di samping makam ayahnya.
Kepada istri, anak, dan Kusumo, ia menyatakan jika meninggal
ingin dimakamkan di Talawi. "Sudah dekat waktunya kita
berpisah. Terbayang Bapak sedang men.jemput. Berjuanglah
terus. Dan saya ingin diberangkatkan dari rumah Jalan
Diponegoro 10 dan dimakamkan di samping Bapak di Talawi,"
demikian tutur Yamin seperti yang ditulis Ramana Oesman
dalam In Memoriam Prof. Hadji Muhammad Yamin S.H. pada 17
Oktober 1966.

Sepeninggal Yamin, Siti Sundari tidak pernah menikah


lagi. Tapi ada kebiasaan lama yang kembali dilakoni putri
bangsawan dari Kadilangu, Demak, Jawa Tengah, ini. "Dia
mendalami kembali teosofi," kata Gusti Raden Ayu Retno Satuti
Suryohadiningrat, menantu Yamin. Di rumahnya di Jalan
Diponegoro 10, tempat Satuti juga tinggal, ia kerap menyaksikan
ibu mertuanya itu berkumpul bersama temantemannya di lantai
dua.

Di mata Satuti, yang menikah dengan Dang Rahadian pada


1966, Sundari adalah perempuan penyabar, pendiam, dan tidak
pernah mau merepotkan siapa pun. Bicaranya perlahan dengan
tutur kata halus. "Dia mengajari saya untuk selalu bersikap
ikhlas," ucap sulung Mangkunegara VIII ini.

Demi tak mau membebani siapa pun, Sundari berwasiat,


jika meninggal, ia ingin jenazahnya dikremasi. Pernyataan itu
terlontar di depan Satuti, Kusumo, dan beberapa rekan satu
perkumpulan jauh sebelum dia meninggal pada 1973. Saat
Sundari meninggal, jenazahnya kemudian dikremasi di rumah
duka Jelambar, Jakarta Barat.

Kusumo mengenang saat itu hanya beberapa mobil yang


mengantar perempuan yang terkenai dengan pidato ber judul
"Kewadjiban dan Tjita-tjita Poetri Indonesia" pada Kongres
Perempuan Indonesia, 22 Desember 1928, itu ke krematorium.
"Bukan kami yang mengurusi. Saya kira Bu Yamin sendiri yang
sudah mengatur dan mengurus semua ini. Mungkin dengan
teman-temannya itu," kata Kusumo. Abu Sundari dimasukkan ke
guci dan kemudian ditanam di kebun rambutan miliknya di
kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ketika kebun itu
beberapa tahun kemudian dijual, abu Sundari disebar ke pantai di
sekitar Ancol.

Muhammad Yamin meninggal di Jakarta pada 17 Oktober 1962


pada usia 59 tahun. "Sebelum meninggal, dia berpesan agar
dimakamkan di Talawi, di samping makam bapaknya.
Mr. Yamin mendapat penghargaan PUSaKO (Pusat Studi
Konstitusi) pada tahun 2013, penghargaan itu dinamakan “Anugerah
Konstitusi Mr. Muhammad Yamin”. Alasanya karena Yamin berjasa
mendesain dasar hukum tata Negara Indonesia. Sebagaian gagasan Mr.
Yamin menjadi bagian dari batang tubuh UUD Negara Repulik
Indonesia 1945 (Saldi dalam Tempo: 2014). Tak hanya itu, dari
berbagai riset ditemukan bahwa Mr. Yamin juga pencetus ide adanya
pengujian Undang-Undang terhadap UU Dasar.Gagasan itu dilontarkan
Mr. Yamin dalam BPUPKI pada 15 Juli 1945) pada saat itu ide Mr.
Yamin ditolak, namun kini pemikiran Mr. Yamin justru diadopsi
menjadi pilar penting dalam hukum ketatanegaraan Indonesia dan
dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi.

Penghargaan Mr. Yamin juga tidak hanyak itu, ia juga mendapat


banyak penghargaan, diantaranya: 1) Gelar Pahlawan Nasional pada
tahun 1973 sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973. 2) Gelar
Bintang Maha Putra RI. 3) Gelar Tanda Penghargaan dari Corps Polisi
Militer sebagai pencipta lambing Gadjah Mada dan Pancadarma Corps.
4) Gelar Tanda Penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya
menciptakan Petaka Komando Strategi Angkatan Darat.

B. Karya dan Kiprah Mr. Muhammad Yamin

1. Karya Mr. Muhammad Yamin yaitu Gadjah Mada

Mr. Muhammad Yamin mungkin lahir pada era ketika Indonesia


hanya punya dua pilihan yaitu bersatu atau porak poranda sama sekali.
Karena itu, ia menciptakan ikon: Gadjah Mada, maha patih yang pernah
bersumpah untuk menyatukan nusantara. Lebih dari sekedar memetik
gagasan panglima perang majapahit itu, Yamin merasa perlu mencari
raut wajah Gadjah Mada. Ia memungutnya dari gambar yang tertera
pada celengan tera kota yang dipercaya datang dari era Majapahit. Raut
itulah yang kita kenal sekarang sebagai wajah Gadjah Mada. Wajah
Gadjah Mada yang dipopulerkan Mr. Yamin dan disosialisasikan ke
sekolah-sekolah itu dianggap salah kaprah oleh para arkeolog. Wajah
pada salah satu celengan terakota yang ada di Museum Majapahit di
Trowulan, Jawa Timur itu berpipi gembil dan bermata sipit, alis kanan
dan kirinya tersambung melengkung dramatis seperti ombak, sedangkan
bagian bibirnya tersenyum samar melebarkan dagu yang tebal. Itulah
celengan yang beberapa puluh tahun lalu dilihat Mr. Muhammad Yamin
dan kemudian dibuatnya sebagai paras Gadjah Mada. Wajah itu
menurut penyair Sapardi Djoko Damono, mirip dengan raut muka Mr.
Yamin sendiri.

Wajah Gadjah Mada yang disodorkan Mr. Yamin menjadi


ketetapan umum setelah ia menjabat Mentri Pengajaran, Pendidikan dan
Kebudayaan pada tahun 1953. Saat itulah tafsir Mr. Yamin soal wajah
Gadjah Mada masuk kurikulum pendidikan dan menyusup ke buku-
buku sejarah. Karena Mr. Yamin sudah memberi intruksi, ketetapan
wajah Gadjah Mada secara legal kuat sekali, jadi walaupun ia salah apa
yang diucapkanya mempengaruhi opini masyarakat (Djafar dalam
Majalah Tempo Edisi Mr. Muhammad Yamin yang dirilis 18 Agustus
2014, hal. 102).

Dalam segepok literature soal Majapahit, Mr. Yamin makin jatuh


hati pada karakter Gadjah Mada.Ia pun kian getol menambang informasi
soal Gadjah Mada baik dari prasasti maupun datang langsung ke
Trowulan. Semangat nasionalisme Mr. Yamin ini dinilai sejalan dengan
kondisi Indonesia yang ketika itu tengah butuh sejarah untuk modal
pergerakkan nasional. Bagi Mr. Yamin benar atau tidaknya sejarah yang
dia dapat itu urusan belakangan, yang penting sejarah tersebut bisa
dipakai untuk acuan pergerakan nasional.Interprestasi Mr. Yamin
terhadap wajah Gadjah Mada bermula dari ketidaksengajaan. Pada awal
1940-an, ia menyambangi situs Majapahit di Trowulan, namun ia datang
bukan untuk mencari wajah Gadjah Mada melainkan karena penasaran
terhadap tempat berdirinya kerajaan yang dikaguminya itu. ketika
menjelajahi Trowulan itulah Mr. Yamin menemukan pecahan-pecahan
celengan. Salah satunya adalah wajah pria berambut ikal dan berpipi
tembem. Di mata Mr. Yamin, yang faham ilmu fisiologi atau ilmu
membaca karakter seseorang dari wajah, guratan wajah pada terakota
tersebut merepresentasikan Gadjah Mada, yakni sosok yang tabah,
berkemauan keras, dan gagah berani. Mr. Yamin menganggap Gadjah
Mada cocok berwajah seperti itu (Munandar dalam Majalah Tempo
Edisi Mr. Muhammad Yamin yang dirilis 18 Agustus 2014, hal. 104).

Sepulang dari Trowulan, Mr. Yamin meminta seniman Henk


untuk melukis wajah Gadjah Mada berdasarkan wajah pria dicelengan.
Lukisan itu lalu dipampangkan Mr. Yamin sebagai sampul bukunya,
yang berjudul “Gadjah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara” yang
diterbitkan Balai Pustaka pertama kali pada tahun 1945. Jika ada yang
tidak sepakat dengan tafsirnya, Mr. Yamin meminta mereka balik
membuktikan bahwa wajah pada terakota bukan rupa si Gadjah Mada.
Menurut Hasan, tafsir Yamin tidak tepat karena mustahil wajah tokoh
sebesar Gadjah Mada dipampang di celengan, yang memungkinkan
ialah Gadjah Mada dibuatkan arca, tapi hingga kini tidak terindefikasi.
Adapun Agus Aris, penulis Gadjah Mada: Biografi Politik, menganggap
patung Bima dan Brajanata lebih mewakili sosok Gadjah Mada.
Brajanata adalah tokoh cerita rakyat zaman Majapahit.Ia digambarkan
sebagai sosok kakak pelindung Raden Panji yang diduga sebagai
personifikasi Hayam Wuruk Raja Majapahit yang tersohor. Ada pula
yang berpendapat wajah Gadjah Mada lebih mirip Bima yang diarcakan
itu.menurutnya menjelang keruntuhan Majapahit pada abad ke-15 di
Trowulan banyak di baut arca Bima. Sosok Bima yang berperawakan
besar dan berkekuatan luar biasa menyimbolkan Gadjah Mada.
Kendati demikian, Agus menilai
tafsir Mr. Yamin terhadap wajah
Gadjah Mada tak perlu berlebihan
dipertentangkan. Apalagi sampai
menuduh Mr. Yamin sengaja memilih
wajah pada terakota yang mirip wajah
dirinya sebagai personifikasi Gadjah
Mada. Agus juga meyakini pada
dasarnya Mr. Yamin adalah pengabdi
republik yang terkagum-kagum pada
Majapahit dan Gadjah Mada karena
cita-cita persatuan nusantaranya.

2. Pelopor Soneta-soneta Nasionalis Mr. Muhammad Yamin adalah


perintis puisi Indonesia modern.Dalam perkembangan sastra dialah
penyair yang mempopulerkan bentuk soneta. Pada batasan, Bukit
Barisan Memandang aku, ke bawah memandang Tampaklah hutan,
rimba, dan ngarai Lagipun sawah, sungai yang permai Serta gerakan,
lihatlah pula Langit yang hijau bertukar warna Oleh pucuk, daun kelapa
Itulah tanah, tanah airku Sumatera namanya, tumpah darahku Bait
pertama dari tiga bait puisi legendaris karya Mr. Muhammad Yamin itu
berjudul “Tanah Air”. Puisi yang ia tulis ketika ia berusia 17 tahun ini
menyuarakan gagasanya tentang konsep tanah air dan tumpah darah
yang dibayangkanya. Muatan pesan puisi itu menekankan semangat
cinta tanah air tapi dalam puisi tersebut masih merujuk ke Sumatera
bukan Indonesia.Tanah air menjadi tonggak perjalanan Yamin sebagai
sastrawan. Dan ketika muncul di Jong Sumatera majalah yang
berbahasa Belanda yang diterbitkan organisasi pemuda sumatera, Jong
Sumateranen Bond, Nomor IV tahun III, 1920, puisi itu menyentak
jagad sastra di tanah air. Mr. Yamin memperkenalkan bentuk puisi baru
yang tidak mengikuti pakem lama yang berjumlah enam atau delapan
baris. Puisi “Tanah Air” terdiri atas tiga bait. Satu bait bisa Sembilan
baris, atau jumlah ganjil bukan genap. Bunyi rima barisnya juga aa-bb-
cc-dd dan bukan ab-ab (Pradopo dalam Majalah Tempo Edisi Mr.
Muhammad Yamin yang dirilis 18 Agustus 2014, hal. 98).

Bentuk puisi baru yang disuguhkan Mr. Yamin dikenal dengan soneta.
Ini merupakan sajak yang lahir di Italia pada sekitar abad ke-12 dan
berkembang di Eropa hingga sekarang. Yamin adalah pelopor yang
mengimpor soneta dan kemudian mempopulerkanya di jagad sastra
Indonesia. Saat itu para penyair di Tanah Air baik penyair Melayu
ataupun Melayu Tionghoa belum ada secara serius memilih bentuk
soneta dalam sajak-sajaknya. Yamin-lah orang pertama yang paling
setia dengan bentuk soneta dalam karya-karya puisinya. Pilihan Mr.
Yamin pada bentuk soneta juga cukup nyeleneh. Pada saat itu, banyak
penyair di Tanah Air yang terpukau oleh gaya puisi prosa Rabindranath
Tagore, sastrawan asal india. Tapi Mr. Yamin tetap memilih bentuk
soneta asal Italia dan ia berhasil dengan pilihan tersebut. Soneta
memaksa penulisnya bisa mengendalikan perasaan. Sebab penulis harus
mengikuti aturan ketat dan bentuk yang rumit dari soneta. Misalnya
aturan rima dan jumlah baris dalam setiap baitnya. Mr. Yamin sangat
rapih dalam menulis puisi, dan jelas itu tidak mudah tetapi yamin tetap
memilih bentuk tersebut. Karena itu, sumbangan Mr. Yamin yang
sangat penting dalam dunia sastra Indonesia adalah bentuk soneta yang
digunakan dalam sajak-sajaknya. Soneta-soneta Mr. Yamin dimuat di
Jong Sumatera pada tahun 1920-an. Selain membuat puisi “Tanah Air”,
Mr. Yamin menulis soneta seperti puisi “Permintaan”, “Cita-cita” dan “
Niat”. “Tanah Air” sendiri kemudian diterbitkan dalam buku puisi yang
berjudul Tanah Air pada 9 Desember 1922. Buku ini terdiri atas 30 bait
dan tiap bait terdiri atas 9 baris. Penerbitan buku ini dipersembahkan
Yamin untuk menyambut peringatan lima tahun berdirinya Jong
Sumateranen Bond (Damono dalam Majalah Tempo Edisi Mr.
Muhammad Yamin yang dirilis 18 Agustus 2014, hal. 98).

Pada 26 Oktober 1928, dua hari menjelang kongres pemuda, yang


melahirkan Sumpah Pemuda, Mr. Yamin menerbitkan buku puisinya
yang kedua: “Indonesia Tumpah Darahku”. Buku itu terdiri atas 88 bait
dan tiap bait terdiri atas 7 baris. Yang menarik puisi-puisi Mr. Yamin
dalam buku yang kedua terjadi perubahan pesan tema nasionalisme
yang disampaikanya. Di dalamnya tanah air dan tanah tumpah darah
Mr. Yamin tidak lagi sebatas Sumatera, tapi berubah menjadi Indonesia.
Karya-karya soneta Mr. Yamin pun kemudian kian populer dan diikuti
oleh para penyair Pujangga Baru, yang muncul bersamaan dengan
terbitnya majalah Pujangga Baru pada Juli 1933, yang dipelopori Sutan
Takdir Alisjahbana. Bisa dikatakan Mr. Yamin adalah salah satu
pelopor puisi Indonesia modern. Sebab jauh sebelum majalah Pujangga
Baru terbit, dia telah menulis puisi dengan pakem modern. Bila
dipetakan dalam jagad sastra Indonesia, Mr. Yamin berada diantara
sastrawan Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Kesamaan Mr. Yamin
dengan para penyair Pujangga Baru, kecenderungan kea rah
romantisisme Eropa. Romantisisme itu mengagungkan alam, jadi alam
merupakan tumpuan dan pemikiran mereka. Alam sebagai satu kesatuan
yang utuh. Di dalamnya ada pohon, hewan, manusia, dan kekuatan
adikodrati (Sapardi dalam Majalah Tempo Edisi Mr. Muhammad
Yamin yang dirilis 18 Agustus 2014, hal. 98).

Kecintaan Mr. Yamin pada dunia sastra bertunas saat dia masih sejak
belia. Lingkungan Nagari Talawi, Sawahlunto Minangkabau, tempat
kelahiran Mr. Yamin, ikut berpengaruh. Mr. Yamin kecil tumbuh dalam
lingkungan tradisi yang telah mengakar, Mr. Yamin juga tumbuh dalam
tradisi bercerita tambo atau hikayat (Abdullah dalam Majalah Tempo
Edisi Mr. Muhammad Yamin yang dirilis 18 Agustus 2014).

Sejak kecil Mr. Yamin memang gemar sekali membaca. Terlebih buku
yang ditulis menggunakan gaya bahasa nan indah. Dia tidak mau
melepaskan buku itu sebelum selesai dibaca. Saat malam hari ia kerap
membaca buku di bawah lampu penerangan di pinggir jalan. Dan
kecintaan Mr. Yamin terhadap sastra kian menemukan jalannya ketika
ia memasuki AMS di Surakarta pada tahun 1929. Mr. Yamin sangat
tertarik pada mata pelajaran sastra romantik yang telah berkembang di
Eropa. Mr. Yamin juga aktif menerjemahkan karya penulis asing salah
satunya karya klasik William Shakespeare dan menerjemahkan karya-
karya barat lainya. Sayangnya, periode Mr. Yamin dalam dunia sastra
relative singkat, sejak masuk dalam anggota Volksraad (Dewan
Perwakilan Rakyat Hindia Belanda) pada tahun 1939, ia tidak lagi
banyak menulis karya sastra, terutama puisi. Karena waktunya
kemudian lebih banyak dicurahkan di dunia politik.
3. Mr. Muhammad Yamin, Bahasa dan Bangsa Salah satu bait sajak Mr.
Muhammad Yamin yang ditulis ketika usianya masih belasan tahun di
majalah Jong Sumatera berbunyi: Sampai mati berkalang tanah Lupa ke
bahasa tiadakan pernah Ingat pemuda, Sumatera malang Tiada bahasa,
bangsa pun hilang Ada tiga kata kunci dalam kutipan itu: “bahasa”,
“Sumatera”, dan “Bangsa”. Majalah yang memuat sajak Mr. Yamin itu
adalah media dari sebuah organisasi pemuda asal Sumatera, yang pada
awalnya memang mendasarkan pandanganya pada prinsip teritorialisme
dan bukan primodialisme. Sumatera adalah sebuah teritori yang
mencangkup sejumlah suku bangsa yang masing-masing memiliki adat,
bahasa dan teritori. Masalah dasar yang boleh diperkarakan berkenaan
dengan organisasi itu adalah justru aspek bahasa. Jong Sumateranen
Bond itu merupakan bahasa Belanda, bahasa yang disuratkan dalam
sajak Yamin tentulah bahasa melayu. Sajak itu mengajak pemuda
Sumatera menggunakan bahasa Melayu dalam komunikasi, bukan
bahasa Belanda yang mereka pelajari di sekolah, meski tetap digunakan
sebagai nama organisasi. Bangsa yang dikaitkan dengan bahasa dalam
sajak itu adalah Melayu. Bahasa itu dianggap berlaku untuk semua suku
bangsa karena dalam kenyataanya suku-suku bangsa yang memiliki
bahasa berlainan harus sepakat menggunakan sebuah bahasa sebagai
sarana komunikasi. Dalam sajak yang sama Mr. Yamin menulis: Dalam
bahasa sambungan jiwa Di mana Sumatera, di situ bangsa Di mana
perca, di situ bahasa Mula-mula memang demikian adanya bahasa yang
diperjuangkan agar menjadi pilihan pemuda dalam organisasinya hanya
dikaitkan dengan Sumatera dan Perca. Namun, pikiran yang masing
kosong diisinya dengan pengetahuan, pengalaman, dan penghayatan
baru yang pada akhirnya mengubah pikiranya hingga ketahap yang
paling mendasar. Bahasa adalah komunikasi, kebudayaan adalah
komunikasi, jadi bahasa adalah kebudayaan. Itulah sebenarnya masalah
kita saat ini, yang dicoba diselesaikan dalam kongres pemuda pada
tahun 1928 dengan menyatakan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan itu sebabnya harus dijunjung tinggi. Butir ketiga keputusan
kongres itu adalah “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Kongres tidak pernah mengatakan bahasa Indonesia sebagai satu-
satunya bahasa. Mr. Yamin sangat berperan dalam memecahkan
masalah gawat tersebut, ketika itu ia merupakan sekertaris kongres
pemuda dengan ketua Djojopoespito. Dalam proses semacam itu, yamin
bisa dijadikan contoh mewakili anak muda cerdas yang datang dari
berbagai daerah ke Jawa untuk belajar. Ia belajar segala jenis ilmu yang
disediakan pemerintah. Masa lampau memang berlangsung di mana-
mana tapi di Jawa para pujangga sejak mengenal aksara telah
merekamnya lebih dari yang terjadi di daerah lain. Itu tentu tak lain
argumentasi yang bisa diberikan mengapa Mr. Yamin menulis buku
seperti: Gadjah Mada, Pangeran Di Ponegoro, Ken Arok dan Ken Dedes
dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata.Namun, sumbangan ia yang sangat
penting bagi perkembangan sastra Indonesia adalah bentuk soneta yang
digunakannya dalam sebagian besar sajaknya. Sejak Mr. Yamin
menyiarkan sajak sonata-sonetanya dalam majalah Jong Sumatera pada
1920-an, hampir tidak ada penyair di majalah Pujangga Baru yang luput
dari ciptanya. Karya-karya dan kiprah Mr. Muhammad Yamin yang
sangat luar biasa itu membuat penulis dan semua rakyat Indonesia
bangga akan semua jasa-jasa beliau. Dalam perkembangan sastra
Indonesia, beliau adalah sosok yang pertama kali mempopulerkan
bentuk soneta dalam sajak-sajaknya.Sebagai sejarawan dan penyair,
beliau dapat dibilang sangat produktif

Anda mungkin juga menyukai