Anda di halaman 1dari 9

Barthélemy Boganda

Barthélemy Boganda (4 April 1910 – 29 Maret 1959)


adalah seorang politikus nasionalis ternama dari daerah Barthélemy Boganda
yang sekarang merupakan Republik Afrika Tengah.
Boganda terlibat aktif sebelum kemerdekaan negaranya,
sepanjang periode ketika wilayah tersebut—bagian dari
Afrika Ekuatorial Prancis—diperintah oleh Prancis
dengan nama Oubangui-Chari. Ia menjabat sebagai
Perdana Menteri pertama wilayah otonom Republik
Afrika Tengah.

Boganda lahir dalam suatu keluarga petani dengan taraf


hidup pas-pasan; ia diadopsi dan dididik oleh para
misionaris Gereja Katolik Roma. Pada tahun 1938, ia
ditahbiskan sebagai imam Katolik Roma pertama dari
Oubangui-Chari. Selama Perang Dunia II, Boganda
melayani dalam sejumlah karya misi dan setelahnya ia
diyakinkan oleh Uskup Bangui agar memasuki dunia
politik. Pada tahun 1946, ia menjadi orang Oubangui
pertama yang terpilih dalam Majelis Nasional Prancis,
Boganda pada Desember 1958
tempat ia memperjuangkan suatu platform politik yang
menentang rasisme dan rezim kolonial. Ia kemudian Perdana Menteri wilayah otonom Republik
kembali ke Oubangui-Chari demi membentuk sebuah Afrika Tengah ke-1
gerakan rakyat untuk menentang kolonialisme Prancis.
Masa jabatan
Gerakan tersebut menyebabkan didirikannya Gerakan
8 Desember 1958 – 29 Maret 1959
Evolusi Sosial Afrika Kulit Hitam (MESAN) pada
tahun 1949, yang menjadi populer di kalangan Pendahulu Abel Goumba
masyarakat desa dan kelas pekerja. Reputasi Boganda Pengganti David Dacko
sedikit ternodai ketika ia dilaisasi dari keimaman setelah
ia menikahi Michelle Jourdain, seorang sekretaris Informasi pribadi
parlemen. Meski demikian, ia terus melakukan advokasi Lahir 4 April 1910
demi kesetaraan perlakuan dan hak-hak sipil bagi kaum Bobangui, Oubangui-Chari
kulit hitam di wilayah itu hingga tahun 1950-an.
Meninggal 29 Maret 1959 (umur 48)
Pada tahun 1958, setelah Republik Keempat Prancis Boukpayanga, Republik Afrika
mulai mempertimbangkan untuk memberikan Tengah
kemerdekaan kepada sebagian besar koloninya di Kebangsaan Afrika Tengah
Afrika, Boganda bertemu dengan Perdana Menteri
Partai politik MESAN
Charles de Gaulle untuk mendiskusikan syarat-syarat
mengenai kemerdekaan Oubangui-Chari. De Gaulle Suami/istri Michelle Jourdain
menerima syarat-syarat yang diajukan Boganda, dan Anak 3
pada tanggal 1 Desember, Boganda mendeklarasikan
pendirian Republik Afrika Tengah (RAT). Ia menjadi
Perdana Menteri pertama wilayah otonom tersebut dan berniat untuk melayani sebagai Presiden RAT
independen. Ia meninggal dunia akibat suatu kecelakaan pesawat yang misterius pada tanggal 29 Maret
1959, dalam perjalanannya menuju Bangui. Para ahli menemukan jejak bahan peledak di reruntuhan
pesawat, tetapi pengungkapan detailnya dirahasiakan. Kendati pihak yang bertanggung jawab atas
kecelakaan tersebut tidak pernah diidentifikasi, orang-orang menduga kalau dinas rahasia Prancis, dan
bahkan istri Boganda, terlibat di dalamnya. Sekitar satu tahun kemudian, impian Boganda terwujud saat
Republik Afrika Tengah secara resmi memperoleh kemerdekaan dari Prancis.

Biografi

Kehidupan awal

Boganda terlahir dalam keluarga petani subsisten di Bobangui, suatu desa M'Baka di cekungan Lobaye
yang terletak di tepi hutan ekuatorial sekitar 80 kilometer (50 mi) sebelah barat daya Bangui.[1] Eksploitasi
yang dilakukan Prancis atas Afrika Tengah telah mencapai suatu titik puncak pada masa sekitar lahirnya
Boganda, dan walaupun disela oleh Perang Dunia I, aktivitas itu dilanjutkan pada tahun 1920-an.
Konsorsium Prancis menggunakan sistem yang pada dasarnya merupakan suatu bentuk perbudakan—
corvée—dan salah satu di antaranya yang paling dikenal yaitu Compagnie forestière de la Sangha-
Oubangui, yang terlibat dalam pengumpulan karet di Distrik Lobaye.[2]

Pada akhir tahun 1920-an, ibu Boganda dipukuli sampai meninggal dunia oleh para pejabat perusahaan
tersebut ketika sedang mengumpulkan karet di hutan.[3] Paman Boganda, ayah dari Jean-Bédel Bokassa
yang kelak memahkotai dirinya sendiri sebagai Kaisar Republik Afrika Tengah, dipukuli hingga meninggal
dunia di kantor polisi kolonial karena ia diduga menolak untuk bekerja.[3] Ayah Boganda adalah seorang
dukun yang menggunakan ritual-ritual kanibalistik.[4]

Selama tahun-tahun awal hidupnya, Boganda diadopsi oleh para misionaris Katolik. Sebagai seorang anak
laki-laki ia menempuh pendidikan di sekolah yang dibuka di Mbaïki (pusat administratif Prefektur Lobaye)
oleh pendiri pos itu, Letnan Mayer.[5] Dari bulan Desember 1921 sampai Desember 1922, ia menghabiskan
waktu dua jam sehari dengan Monsinyur Jean-Réné Calloch untuk belajar membaca, sementara sisa
waktunya dihabiskan dengan melakukan kerja tangan. Pada tanggal 24 Desember, ia diterima dalam Gereja
Katolik dengan menggunakan nama Barthélemy,[6] untuk menghormati salah seorang dari Kedua Belas
Rasul Yesus Kristus yang diyakini berkarya sebagai misionaris Kristiani di Afrika. Pastor Gabriel Herrau
mengirim Boganda ke Sekolah Katolik Betou dan kemudian ke sekolah Misi Santo Paulus di Bangui,
tempat ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di bawah bimbingan Mgr. Calloch, yang ia pandang sebagai
bapa rohaninya.[7] Para misionaris di sana, karena melihat perilakunya yang saleh dan intelektualnya yang
menjanjikan, membantu dia melanjutkan pendidikan menengahnya di seminari kecil di Brazzaville dan
Kisantu (di bawah pengelolaan Yesuit Belgia) sebelum ia pindah ke seminari tinggi di Yaoundé. Pada
tanggal 17 Maret 1938, memenuhi ambisinya sejak usia dua belas tahun,[6] ia ditahbiskan dan menjadi
imam pribumi Katolik Roma pertama dari Oubangui-Chari, sebagaimana disebut oleh koloni tersebut. Ia
melayani di Bangui, Grimari, dan Bangassou.[8] Pada tahun 1939, uskupnya menolak permintaan dia untuk
bergabung dengan Angkatan Darat Prancis. Ia dibutuhkan di tempatnya, sebab banyak orang Prancis yang
terlibat di dalam Gereja telah dipanggil pulang ke metropolis untuk berjuang dalam Perang Dunia II,
sementara saat itu ia melayani dalam sejumlah karya misi.[9]

Awal mula dalam politik dan pernikahan

Setelah Perang Dunia II, Boganda didesak oleh Uskup Bangui Mgr. Grandin untuk melengkapi karya-
karya kemanusiaan dan sosialnya melalui aksi politik. Boganda memutuskan untuk ikut dalam pemilihan
Majelis Nasional Prancis. Pada tanggal 10 November 1946, ia menjadi orang Oubangui pertama yang
terpilih dalam majelis setelah memenangi hampir separuh dari total suara dan mengalahkan tiga kandidat
lainnya, termasuk petahana yang tersisihkan, François Joseph Reste, yang sebelumnya menjabat sebagai
Gubernur-Jenderal Afrika Ekuatorial Prancis.[9] Boganda tiba di Paris dengan jubah imamnya dan
memperkenalkan diri kepada sesamanya para legislator sebagai putra dari seorang kanibal yang
berpoligami.[10] Sejak tahun 1947 dan seterusnya, Boganda melakukan kampanye dengan penuh semangat
untuk menentang rasisme dan rezim kolonial. Tidak lama setelah menyadari keterbatasan pengaruhnya di
Prancis (ia bertugas di parlemen sampai tahun 1958 namun secara bertahap melepaskan diri dari aktivitas-
aktivitas dalam parlemen),[11] ia kembali ke Oubangui-Chari untuk mengorganisir suatu gerakan rakyat
yang terdiri dari para guru, pengemudi truk, dan produsen kecil untuk menentang kolonialisme Prancis,
kendati sebelumnya mengalami kegagalan dalam mengupayakan pendirian koperasi pemasaran di kalangan
pekebun Afrika dari etnisnya sendiri.[12][13] Pada tanggal 28 September 1949, di Bangui, ia mendirikan
Gerakan Evolusi Sosial Afrika Kulit Hitam (MESAN), suatu partai dan gerakan politik kuasi-religius yang
berupaya untuk menegaskan humanitas kaum kulit hitam dan dengan segera mendominasi politik setempat.
Keyakinan politiknya dirangkum dalam frasa Sango "zo kwe zo", yang diterjemahkan menjadi "setiap
manusia adalah seorang pribadi".[14] Secara efektif, ia mengusahakan kesetaraan perlakuan dan hak-hak
sipil bagi orang-orang berkulit hitam dalam Uni Prancis, dan bukan kemerdekaan, setidaknya untuk
sementara waktu.[15] Ia tidak membatasi massa rakyat yang besar—kaum perempuan, pemuda, pekerja,
petani miskin—supaya kreativitas rakyat Oubangui dapat keluar dengan cara menempatkan mereka di
tengah panggung dalam proses pembuatan sejarah negara mereka.[16]

Gerakan tersebut lebih populer di kalangan penduduk desa daripada di kalangan penduduk kota évolué,
yang dianggap sebagai perbudakan oleh Boganda dan padanya ia menerapkan istilah "Mboundjou-Voko"
("Orang Kulit Putih-Hitam") yang menghina.[17] Selain itu, ia mendirikan Intergroupe Liberal Oubanguien
(ILO) pada tahun 1953,[18] yang bertujuan untuk memilih politisi kulit hitam maupun putih dengan jumlah
setara untuk majelis, sehingga suatu dewan pemilih yang dipersatukan dapat terbentuk.[19] Aktivitas-
aktivitas MESAN membuat marah perusahaan-perusahaan perdagangan kapas, kopi, berlian, dan
komoditas lainnya, serta pemerintahan Prancis. Kamar dagang Bangui dikendalikan oleh perusahaan-
perusahaan ini, dan orang-orang yang berkumpul di klub tersebut sangat menghindari dihapuskannya kerja
paksa dan kebangkitan nasionalisme kulit hitam yang disebabkannya. Secara khusus mereka membenci
Boganda, memandangnya sebagai seorang demagog revolusioner yang berbahaya dan suatu ancaman bagi
"usaha bebas" mereka, serta bertekad untuk menyingkirkannya.[20] Mereka juga mendirikan cabang-
cabang RPF setempat untuk melawan MESAN, dan kehadiran Pertemuan Demokrat Afrika (RDA) di tiga
wilayah Afrika Ekuatorial Prancis lainnya menimbulkan sejumlah ancaman bagi MESAN, tetapi pada
tahun 1958, kendati partai-partai lainnya diizinkan, mereka menyusut menjadi kelompok-kelompok
kecil.[21] Pada banyak kesempatan, Jenderal Charles de Gaulle mengungkapkan simpatinya kepada
Oubangui-Chari, yang telah mendukung Pasukan Kemerdekaan Prancis setidaknya pada bulan Agustus
1940, dan menolak untuk mendukung intrik-intrik kasar RPF terhadap Boganda dan para pengikutnya. Ia
menerima Boganda, saat itu ketua Dewan Besar Afrika Ekuatorial Prancis dan memaksa untuk merdeka, di
Paris pada bulan Juli 1958 dan pada gilirannya ia diterima di Brazzaville pada bulan Agustus. Diskusi-
diskusi di sana menyebabkan sang jenderal menerima tuntutan Boganda akan kemerdekaan dan dukungan
dari Komunitas Prancis pada bulan September di seluruh Afrika Ekuatorial Prancis.[22]

Keterikatan Boganda dengan panggilan hidup yang dipilihnya melemah ketika ia bertemu dan jatuh cinta
dengan Michelle Jourdain, seorang wanita muda Prancis, yang bekerja sebagai sekretaris parlemen. Mereka
menikah pada tanggal 13 Juni 1950, yang karenanya Boganda terlepas dari statusnya sebagai imam dan
terputus dari dukungan hierarki Katolik. Boganda dan Jourdain kelak memiliki dua orang putri dan seorang
putra. Peristiwa tersebut mengakibatkan suatu skandal kecil di Paris, tetapi hanya sedikit berpengaruh pada
popularitasnya di hadapan rakyatnya. Dalam Majelis Nasional ia terus berjuang, meski sering kali sia-sia,
menentang sikap represif pemerintahan Prancis di Oubangui-Chari. Penangkapan sewenang-wenang, upah
rendah, budidaya kapas wajib, serta penyampingan warga kulit hitam dari restoran dan bioskop, kesemua
itu merupakan sasaran retorikanya.[20]

Peningkatan popularitas dan pergerakan menuju otonomi


Pada tanggal 29 Maret 1951, Boganda dihukum dua bulan penjara[23] menyusul penangkapannya pada
tanggal 10 Januari karena "membahayakan kedamaian" setelah intervensinya dalam suatu perselisihan di
pasar setempat ("insiden Bokanga" di Lobaye).[24] Istrinya dihukum 15 hari penjara, tetapi tidak satu pun
dari mereka yang menjalani hukuman sesuai putusan. Pada tanggal 17 Juni, ia terpilih kembali dalam
Majelis Nasional dengan perolehan suara 48% sekalipun terdapat kendala-kendala dalam perjalanannya
karena administrasi dan penentangan keras oleh para otoritas, kolonis, dan misi, dengan dua kandidat
terkemuka Prancis berusaha untuk menjatuhkannya.[9] Pada saat itu, ia tampil sebagai seorang pahlawan
mesianis rakyat yang luar biasa populer dan nasionalis terkemuka negaranya; MESAN menjadi partai
mayoritas dalam pemilihan Majelis Wilayah pada bulan Maret 1952. Pada periode ini ia membagi waktu
antara mengurus perkebunan kopinya, posisi-posisi politik baru, dan karya emansipasinya.[9] Pada bulan
April 1954, suatu insiden yang memperlihatkan daya tarik dan talenta Boganda dalam menghadapi
keramaian massa terjadi di Berbérati. Seorang agen pekerjaan umum berkulit putih, yang baru saja ditegur
karena kekejamannya terhadap orang Afrika, mengumumkan bahwa juru masaknya dan istri sang juru
masak telah meninggal dunia.[19] Kerusuhan segera terjadi dan gubernur mengirim pasukan penerjun
payung sementara kendaraan-kendaraan lapis baja berpatroli di jalan-jalan. Boganda ragu-ragu untuk
tampil di suatu desa yang bukan termasuk salah satu basis kekuatannya, namun ia melakukannya pula dan
menyatakan di hadapan para pelaku kerusuhan bahwa keadilan harus sama bagi orang kulit hitam dan
orang kulit putih. Setelah mendengar kata-kata Boganda, kerumunan tersebut menjadi tenang dan
membubarkan diri.[25]

Ia berperan penting saat permulaan otonomi internal (1956–


1958), kendati Boganda yang relatif konservatif tetap
bersimpati pada kepentingan Prancis dan masih belum
memperjuangkan kemerdekaan segera.[26][27] Bagi Boganda,
pemilu tahun 1956, yang di dalamnya ia meraih 89% suara
dengan menghadapi orang Oubangui lain, merupakan suatu
platform pembicara yang tak terbantahkan membuat
pemerintahan kolonial sampai pada kesepakatan; Prancis telah
menyadari bahwa menentang dia akan berbahaya dan
berusaha untuk mengakomodasi dia. Pada tahun tersebut ia
menyetujui perwakilan Eropa berkenaan dengan daftar-daftar
pemilihan demi dukungan finansial para pemimpin bisnis
Prancis, dan pada tanggal 18 November, ia terpilih sebagai
wali kota pertama Bangui. Pada tanggal 31 Maret 1957,
Peta Afrika Latin Serikat yang diusulkan:
MESAN memenangi semua kursi dalam pemilu Majelis
Republik Afrika Tengah bersama negara-
Wilayah; pada tanggal 18 Juni, Boganda terpilih sebagai
negara yang saat ini dikenal sebagai
presiden Dewan Besar Afrika Ekuatorial Prancis (suatu forum
Angola, Burundi, Kamerun, Chad,
yang ia manfaatkan untuk menyebarkan pandangan-
Republik Demokratik Kongo, Republik
pandangannya tentang persatuan Afrika)[28] dan pada bulan Kongo, Guinea Ekuatorial, Gabon, dan
Mei diangkat sebagai wakil presiden Dewan Pemerintah Rwanda.
Oubangui-Chari (gubernur Prancis masih menjadi
presidennya). [29]

Boganda yang pragmatis berbicara di hadapan majelis setempat pada tanggal 30 Desember 1957, memuji
Comité de Salut Economique yang baru, yang memvisualisasikan administrasi ekonomi bersama antara
koloni Prancis dan para anggota dewan wilayah MESAN (ia menyebutnya "perserikatan modal dan tenaga
kerja Oubangui"), tetapi ketiadaan investasi Prancis dan penentangan oleh masyarakat Oubangui segera
membuatnya berpaling dari gagasan itu.[30] Seiring dengan dibuatnya berbagai deklarasi kemerdekaan di
banyak wilayah Afrika berbahasa Prancis, Boganda memberitahukan bahwa Oubangui-Chari yang
independen akan menghadapi permasalahan ekonomi besar sejak awalnya. Sebaliknya, ia mengadvokasi
kemerdekaan seluruh Afrika Ekuatorial Prancis dan integrasinya ke dalam Afrika Latin Serikat yang terdiri
dari koloni-koloni Prancis, Belgia, dan Portugis di Afrika Tengah;[24] ia berharap agar Oubangui-Chari
menjadi suatu unit federal di dalam struktur tersebut. Namun, federasi seperti itu terbukti tidak realistis,
terpuruk akibat ambisi pribadi dan kecemburuan regional,[31] dan Boganda akhirnya menerima suatu
konstitusi yang hanya mencakup Oubangui-Chari sebagai Republik Afrika Tengah. Dengan demikian,
setelah 1 Desember 1958, ketika Boganda mendeklarasikan pendirian Republik Afrika Tengah sebagai
suatu anggota otonom Komunitas Prancis, nama tersebut hanya diterapkan pada wilayah yang sebelumnya
adalah Oubangui-Chari.[23] Pada tanggal 8 Desember, pemerintah pertama RAT terwujud dengan Boganda
sebagai perdana menteri; seorang gubernur Prancis tetap berada di negeri itu tetapi mendapat sebutan
komisaris tinggi. Pemerintah baru tersebut mulai mengadopsi suatu hukum yang melarang ketelanjangan
dan pergelandangan; pendidikan misionaris Boganda masih tampak di antaranya.[32] Bagaimanapun, tugas
utamanya adalah menyusun suatu konstitusi, yang demokratis dan meniru Prancis sampai batas tertentu;
majelis menyetujuinya pada tanggal 16 Februari 1959. Kemerdekaan secara formal baru diperoleh di
kemudian hari, pada tanggal 13 Agustus 1960.[33]

Wafat dan dampaknya

Boganda bersiap menjadi presiden pertama RAT yang independen ketika ia naik pesawat di Berbérati
untuk terbang menuju Bangui pada tanggal 29 Maret 1959, sesaat sebelum pemilu legislatif. Pesawat itu
meledak di udara di atas Boukpayanga, di sub-prefektur Boda (sekitar 160 kilometer sebelah barat Bangui),
menewaskan seluruh penumpang dan awaknya.[34][35] Tidak ada penyebab jelas yang pernah dipastikan
terkait kecelakaan misterius tersebut,[23] dan tidak pernah dibentuk suatu komisi penyelidikan;[35] secara
umum diduga terjadi sabotase.[36] Bangsa tersebut terkejut ketika menyadari wafatnya sang pemimpin yang
sangat dihormati, yang pemakamannya pada tanggal 2 April di Katedral Notre-Dame de Bangui diliputi
dengan suatu luapan kesedihan besar dari ribuan orang Oubangui.[37] Edisi 7 Mei dari mingguan Paris
L'Express mengungkapkan bahwa para ahli telah menemukan bekas bahan peledak di reruntuhan pesawat,
tetapi komisaris tinggi Prancis melarang penjualan majalah edisi itu ketika muncul di RAT. Banyak yang
menduga kalau para pengusaha asing dari kamar dagang Bangui, kemungkinan dibantu oleh dinas rahasia
Prancis, berperan dalam kecelakaan tersebut.[32] Michelle Jourdain juga diduga terlibat: pada tahun 1959,
hubungan antara Boganda dan istrinya semakin memburuk, dan ia berpikir untuk meninggalkan dia dan
kembali pada keimaman. Sang istri memiliki suatu polis asuransi bernilai besar yang mempertanggungkan
hidup Boganda, yang ia peroleh hanya beberapa hari sebelum kecelakaan tersebut. Menurut Brian Titley,
penulis Dark Age: The Political Odyssey of Emperor Bokassa, terdapat alasan-alasan bagus untuk
mencurigai keterlibatan sang istri dalam kecelakaan pesawat itu.[32]

Abel Goumba, wakil perdana menteri dan menteri keuangan yang dideskripsikan Tittley sebagai "cerdas,
jujur, dan sangat nasionalistis",[38] tampil sebagai penerus yang semestinya dari Boganda. Namun, sepupu
dan orang kepercayaannya, menteri dalam negeri David Dacko, yang lebih mungkin untuk memimpin
suatu rezim dengan rasa hormat pada kepentingan asing, didukung oleh komisaris tinggi, Kolonel Roger
Barberot, dengan dukungan dari kamar dagang dan Michelle Jourdain.[39] Dengan demikian ia
mengesampingkan Goumba dan pada tahun 1962 telah menutup oposisinya, sehingga MESAN menjadi
partai tunggal di negara itu.[40] Peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah wafatnya Boganda sangat
mengingatkan pada upaya-upaya lainnya dari Prancis untuk mempertahankan dominasi ekonomi dengan
cara memastikan bahwa pemimpin-pemimpin yang patuh berkuasa di daerah-daerah bekas koloninya.[41]
Prancis juga dianggap merampas seorang pemimpin karismatik negara dengan karakter seperti Houphouët-
Boigny ataupun Senghor, yang prestisenya saja mungkin sudah cukup untuk mempertahankan kekuasaan
sipil, yang berakhir ketika Bokassa menjatuhkan Dacko yang tidak populer itu pada tahun 1966.[42]

Peninggalan
Boganda tidak hanya dianggap sebagai pahlawan dan bapak
bangsanya tetapi juga salah seorang pemimpin besar dekolonisasi di
Afrika; setelah Boganda wafat, sejarawan Georges Chaffard
mendeskripsikan dia sebagai "yang paling bergengsi dan yang paling
mampu dari orang-orang politik Ekuatorial",[23] sementara sejarawan
politik Gérard Prunier menyebutnya "mungkin yang paling berbakat
dan paling inventif dari generasi politikus dekolonisasi Afrika
Prancis".[43] Di antara beragam tempat yang dinamai dengan namanya
adalah sebuah jalan di Bangui, salah satu sekolah menengah terbesar
di kota itu, Stadion Barthélemy Boganda dan Château Boganda.
Tanggal 29 Maret, yaitu peringatan wafatnya, adalah Hari Boganda,
suatu hari libur bersama. Boganda juga desainer dari bendera Republik
Afrika Tengah, yang awalnya dimaksudkan untuk Afrika Latin
Serikat.[44]

Boganda adalah salah satu orang yang berada dalam barisan panjang
pemimpin politik Afrika yang, dalam upaya mengembangkan secara Perangko pertama negaranya,
khusus budaya politik nasional, disajikan (atau menyajikan diri mereka dari tahun 1959, melukiskan
sendiri) sebagai pemimpin besar nasional, diagungkan dan terkadang Boganda yang didampingi dengan
hampir-hampir dituhankan. Mereka dipuji sebagai para bapak bangsa bendera Republik Afrika Tengah
mereka dan dianggap bijaksana dalam cara mereka memahami rancangannya. Ia
kepentingan terbaik rakyat mereka. Orang lain yang menjadi objek mengombinasikan warna merah,
tertentu pemujaan-pahlawan misalnya Léopold Sédar Senghor, Félix putih, dan biru dari triwarna
Houphouët-Boigny, Moktar Ould Daddah, Ahmed Sékou Touré, Prancis dengan warna-warna
Modibo Keïta, Léon M'ba and Daniel Ouezzin Coulibaly.[45] Pan-Afrika: merah, hijau, dan
Boganda berbuat sedikit untuk mencegah peredaran luas cerita-cerita kuning.
mengenai kekuatan supranaturalnya, dugaan akan kekebalannya, dan
bahkan keabadian. Sesaat sebelum wafatnya, banyak orang yang
menanti di tepi Sungai Ubangi untuk melihat dia menyeberang dengan berjalan di atas air. Ia tidak muncul,
tapi rupanya masih banyak orang yang percaya bahwa ia dapat melakukan penyeberangan secara ajaib
itu.[45] Lebih dari sekadar pemimpin politik yang karismatik, ia dipandang sebagai "Kristus kulit hitam",
seorang tokoh agama besar yang memiliki kekuatan luar biasa. Sama seperti Fulbert Youlou dari Kongo-
Brazzaville, yang tetap seorang imam saat menjadi presiden, Boganda tidak terlalu peduli dengan misi
keagamaannya setelah ia memasuki dunia politik, tetapi ia tanpa malu-malu memanfaatkan rasa hormat
publik yang besar kepada Gereja dan kaum klerus demi kepentingan politik. Ia berhasil memanipulasi
simbol-simbol religius (busana klerikal, salib, baptisan, para murid, akolit, dll.) untuk tujuan politik.[46]

Setelah ia wafat, berkembang nuansa mistik yang dihubungkan dengannya: ia adalah seorang martir
nasional, dan berbagai mukjizat kerap diatribusikan padanya. Mitos Boganda tetap melekat kuat dalam
benak banyak orang di RAT, dan telah sering dimanfaatkan oleh para penerusnya sebagai daya tarik
mereka untuk persatuan nasional. Mereka yang terkait dengannya, sekalipun hanya sedikit, seperti Bokassa
(yang berasal dari kelompok etnis minoritas dan desa yang sama, putra dari paman ibunya, menjustifikasi
kudetanya menggunakan nama Boganda dan menciptakan kultus Boganda sebagai pendiri partai dan
negara),[21] atau juga Dacko (yang berpose sebagai penerus ideologis Boganda dengan memperjuangkan
"rekonsiliasi nasional" selama pemilu tahun 1981) mampu menangkap sejumlah auranya dan menggunakan
itu demi kepentingan mereka.[32][45]

Catatan
1. Titley, p. 7.
2. Titley, p. 6.
3. Chirot, p. 378.
4. "Death of a Strongman". Time. 1959-04-13. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-01-04.
Diakses tanggal 2008-02-22.
5. Kalck (2005), p. 26.
6. Bradshaw, Richard A. (2006-12-10). "Bibliography and Reference Work for the Central
African Republic: Letra C". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-01-04. Diakses tanggal
2008-02-22.
7. Kalck (2005), p. 37.
8. Kalck (1971), p. 75.
9. "Biographies des députés de la IV République: Barthélémy Boganda" (dalam bahasa
Prancis). National Assembly of France. Diakses tanggal 2008-02-29.
10. Titley, p. 12.
11. Setelah menjadi seorang deputi MRP sampai tahun 1950, Boganda lalu menjadi seorang
independen. Ia hanya berbicara dua kali, pada tahun 1947 mengenai pelanggaran-
pelanggaran kolonialisme dan pada tahun 1950 mengenai kurangnya keadilan sosial di
Afrika Ekuatorial Prancis. Setelah tahun 1956, ia praktis tidak lagi hadir dalam parlemen.
Biografi Majelis Nasional Prancis.
12. Clark and Gardinier, p. 111.
13. Ini adalah Société Coopérative Oubangui, Lobaye, Lesse (SOCOULOLE), yang bertujuan
menyediakan makanan, pakaian, pemondokan, perawatan kesehatan, dan pendidikan.
SOCOULOLE dibubarkan setelah beberapa bulan didirikan. Biografi Majelis Nasional
Prancis; Kalck (2005), p. 179.
14. Pembukaan Konstitusi RAT tahun 2004 sebagian berbunyi, 'Dijiwai oleh keinginan untuk
memastikan kepada manusia martabatnya sesuai dengan prinsip "ZO KWE ZO" yang
dinyatakan oleh Pendiri Republik Afrika Tengah Barthélemy BOGANDA'. Heyns, Christoph
(ed.) (1999). Human Rights Law in Africa. The Hague: Martinus Nijhoff Publishers. hlm. 77.
ISBN 90-411-0287-6.
15. Ia menyatakan bahwa tujuan MESAN adalah "untuk memajukan evolusi sosial, ekonomi,
dan politik kaum Afrika kulit hitam, untuk mendobrak hambatan-hambatan kesukuan dan
rasisme, untuk menggantikan gagasan subordinasi kolonial yang merendahkan dengan
yang lebih manusiawi dalam persaudaraan dan kerja sama." Biografi Majelis Nasional
Prancis. Ia juga menyatakan bahwa MESAN "dimaksudkan untuk mengembangkan dan
membebaskan ras kulit hitam melalui evolusi damai dan progresif, dicapai dengan upaya-
upaya gabungan dari semua negro di seluruh dunia. Setiap kelompok etnis ataupun
administratif, setiap keluarga, klan ataupun suku, setiap distrik, wilayah, divisi, provinsi
ataupun departemen, setiap teritori, setiap federasi, akan mengorganisir sendiri masing-
masing cabang, federasi, dan komitenya." Kalck (1971), p. 79.
16. Clark and Gardinier, p. 122.
17. Kalck (2005), p. 134.
18. Olson, p. 122.
19. Kalck (1971), p. 89.
20. Titley, p. 13.
21. Kalck (2005), p. 136.
22. Kalck (2005), pp. 83-84.
23. Kalck (2005), p. 27.
24. Appiah and Gates, p. 277.
25. Kalck (1971), p. 90.
26. Appiah and Gates, p. 398.
27. Hingga akhir April 1958, di ambang berakhirnya Republik Keempat Prancis, ia membentuk
kelompok yang meliputi mayoritas pemimpin Afrika berbahasa Prancis yang masih mencari
formula berserikat yang entah bagaimana berupaya mempertahankan hubungan-hubungan
realistis antara Prancis dan kekaisaran di Prancis. Bagi mereka, "kemerdekaan" berarti
otonomi dalam bentuk-bentuk tertentu komunitas politis Prancis, bukan penolakan
sepenuhnya atas Prancis dan segala hal yang berkenaan dengannya. Hal ini tidak terlalu
mengejutkan, karena pemimpin-pemimpin tersebut telah berpartisipasi dalam kelahiran
Republik, membantu menulis undang-undang dan konstitusinya, serta berpartisipasi dalam
berbagai partai politik dan badan legislatifnya. Le Vine, pp. 122, 127.
28. Kalck (2005), p. xxxi.
29. Kalck (2005), p. 90.
30. Kalck (2005), p. 44.
31. Pada tanggal 29 September, atas undangan Boganda, 98% pemilih dari Oubangui
mendukung referendum yang membentuk Komunitas Prancis. Namun, pada Konferensi
Brazzaville tanggal 24–25 November para pemimpin dari Chad, Kongo-Brazzaville, dan
khususnya Gabon (yang telah melihat pendapatannya dialihkan demi pengembangan
Kongo Tengah), bertekad untuk berjalan sendiri-sendiri, dan bangsa mereka masing-masing
menjadi republik-republik otonom di dalam Komunitas Prancis pada tanggal 28 November
1958. Kalck (2005), p. xxxi.
32. Titley, p. 16.
33. "Central African Republic (03/08)". United States Department of State. March 2008.
Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 March 2008. Diakses tanggal 2008-03-05.
34. Di dalam pesawat terdapat empat awak dan lima penumpang, termasuk kepala informasi
pemerintah dan seorang anggota parlemen."African Leader Found Dead in Crashed Plane".
The New York Times. 1959-04-01. hlm. 10.
35. Prunier, p. 103.
36. Gérard Prunier menulis pernyataannya pada catatan kaki, "probabilitas [terjadinya]
permainan kotor sangat tinggi," katanya, tanpa menuduh secara langsung, "Kaum kulit putih
yang bekerja untuk apa yang masih tersisa dari Konsesi-Konsesi Grandes Compagnies
membenci Boganda, yang telah berjasa membuat kerja wajib pada akhirnya dilarang pada
tahun 1946. Mereka juga membenci kecerdasannya, yang meresahkan dalam pandangan
mereka tentang inferioritas kulit hitam." Prunier, pp. 103 & 393
37. Kalck (1971), p. 106.
38. Titley, p. 15.
39. Kalck (1971), p. 107.
40. Titley, pp. 16-17.
41. Titley, p. 18.
42. Titley, p. 31.
43. Prunier, p. 102.
44. Kalck (2005), p. 74.
45. Le Vine, p. 106.
46. Le Vine, p. 182.

Referensi
Appiah, K. Anthony; Gates, Henry Louis, Jr., ed. (1999). Africana: The Encyclopedia of the
African and African American Experience. New York City: Basic Books. ISBN 0-465-00071-
1.
Chirot, Daniel (1996). Modern Tyrants: The Power and Prevalence of Evil in Our Age.
Princeton: Princeton University Press. ISBN 0-691-02777-3.
Clark, John F.; Gardinier, David E., ed. (1997). Political Reform in Francophone Africa.
Boulder: Westview Press. ISBN 0-8133-2785-7.
Kalck, Pierre (1971). Central African Republic: A Failure in De-Colonisation. translated by
Barbara Thomson. London: Pall Mall Press. ISBN 0-269-02801-3.
Kalck, Pierre (2005). Historical Dictionary of the Central African Republic. translated by
Xavier-Samuel Kalck (edisi ke-3rd). Lanham: The Scarecrow Press. ISBN 0-8108-4913-5.
Le Vine, Victor T. (2004). Politics in Francophone Africa: The States of West and Equatorial
Africa. Boulder: Lynne Rienner Publishers. ISBN 1-58826-249-9.
Olson, James S. (ed.) (1991). Historical Dictionary of European Imperialism. Westport:
Greenwood Press. ISBN 0-313-26257-8.
Prunier, Gérard (2009). Africa's World War: Congo, the Rwandan Genocide, and the Making
of a Continental Catastrophe. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-537420-9.
Titley, Brian (1997). Dark Age: The Political Odyssey of Emperor Bokassa. Montreal: McGill-
Queen's University Press. ISBN 0-7735-1602-6.

Pranala luar
(Prancis) Biografi Grioo.com (http://www.grioo.com/info7957.html)

Jabatan politik
Didahului oleh:

Perdana Menteri Republik Afrika


Abel Goumba Diteruskan oleh:

Tengah

Sebagai Perdana Menteri David Dacko


1958–1959
Oubangui-Chari

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Barthélemy_Boganda&oldid=20823120"

Anda mungkin juga menyukai