Anda di halaman 1dari 5

Burhanuddin Harahap

Ini adalah nama Batak Angkola/Mandailing, marganya adalah Harahap

Burhanuddin Harahap (ejaan lama: Boerhanoeddin Harahap; 12 Februari 1917  –  14 Juni 1987) Burhanuddin Harahap
merupakan politikus Indonesia dari Partai Masyumi yang menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-9. Ia
memimpin kabinet yang memerintah antara 12 Agustus 1955 sampai 24 Maret 1956. Ia turut serta dalam
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) antara 1958 sampai 1961.

Lahir di Medan, Burhanuddin berasal dari keluarga Batak dan ayahnya merupakan pegawai pemerintah
kolonial. Ia pindah ke pulau Jawa untuk melanjutkan studi, dan mulai aktif dalam pergerakan nasional sebelum
berkuliah di Sekolah Tinggi Hukum Batavia meskipun tidak selesai karena mulainya pendudukan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, Burhanuddin menjadi anggota Masyumi dan mulai aktif berpolitik. Sebagai ketua
fraksi Masyumi di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, Burhanuddin turut menjatuhkan Kabinet Wilopo
karena persoalan hubungan bilateral dengan Uni Soviet, dan ia pernah ditunjuk sebagai formatur (pemegang
tugas penyusunan pemerintah) meskipun gagal membentuk kabinet. Ia kembali ditunjuk sebagai formatur pada
1955, dan berhasil membentuk kabinet hasil koalisi partai-partai kecil dan Nahdlatul Ulama (NU) setelah
jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo I.

Kebijakan Burhanuddin sebagai perdana menteri banyak yang berlawanan dengan kebijakan pendahulunya,
Ali Sastroamidjojo. Selama tujuh bulan pemerintahannya, Burhanuddin menjalankan kebijakan ekonomi
berhaluan liberal sembari mengeluarkan simpatisan Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia Burhanuddin Harahap pada tahun 1956
dari struktur birokratis pemerintah. Setelah Masyumi gagal memenangkan pemilihan umum 1955,
pemerintahan Burhanuddin melemah sampai akhirnya jatuh karena NU, yang tidak sepakat dengan pilihan Perdana Menteri Indonesia ke-9
Burhanuddin untuk bernegosiasi dengan Belanda dalam penyelesaian sengketa Irian Barat, mundur dari Masa jabatan
koalisi. Begitu tak lagi menjabat sebagai perdana menteri, beredar rumor bahwa dirinya akan ditangkap, 11 Agustus 1955 – 20 Maret 1956
sehingga ia melarikan diri ke Sumatra pada 1957. Di Sumatra, ia bergabung dengan PRRI bersama pemimpin
Presiden Soekarno
Masyumi lainnya. Seiring dengan penumpasan PRRI, Burhanuddin ditangkap pada Maret 1962 dan dipenjara
sampai Juli 1966. Selepas dari penjara, ia meninggalkan dunia politik, meskipun ia sempat menandatangani Pendahulu Ali Sastroamidjojo
Petisi 50 pada 1980 sebelum meninggal pada 1987. Pengganti Ali Sastroamidjojo
Menteri Pertahanan Indonesia ke-8
Masa muda Masa jabatan
12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956
Burhanuddin dilahirkan di Medan pada tanggal 12 Februari 1917.[a] Ia merupakan anak kedua dari
Mohammad Yunus dan Siti Nurfiah. Saat Burhanuddin lahir, Mohammad Yunus bekerja sebagai pegawai Presiden Soekarno
kejaksaan.[1][4] Yunus merupakan keturunan Batak dari wilayah Tapanuli Selatan,[5] tetapi sering berpindah- Pendahulu Iwa Koesoemasoemantri
pindah ke sekeliling pulau Sumatra karena pekerjaannya.[1][4] Burhanuddin, yang ikut mengiringi ayahnya, Pengganti Ali Sastroamidjojo
memulai pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (setara SD) di Bagansiapiapi.[6] Setelah lulus, ia
Informasi pribadi
melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setara SMP) di Padang[7] dan Algemene
Middelbare School (setara SMA) di Yogyakarta. Pada 1938, studinya berlanjut ke ke Rechtshoogeschool te Lahir 12 Februari 1917
Batavia (Sekolah Tinggi Hukum Batavia), tetapi tidak selesai karena serbuan Jepang ke Indonesia.[2] Medan, Hindia Belanda
Belakangan, Burhanuddin menerima gelar sarjana hukum dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1951.[8] Meninggal 14 Juni 1987 (umur 70)
Jakarta, Indonesia
Pada 1936, sewaktu belajar di Yogyakarta, ia menjadi anggota Jong Islamieten Bond (JIB). Lewat JIB,
Burhanuddin mulai aktif dalam organisasi nasionalis dan ia mengetuai ranting JIB di Yogyakarta. Begitu Kebangsaan Indonesia
pindah ke Batavia, Burhanuddin juga bergabung dengan organisasi-organisasi lain seperti Studenten Islam Partai politik Masyumi
Studie-Club (Kelompok Belajar Pelajar Islam) dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia.[2][9] Ia sempat
Profesi Politikus
aktif dalam jurnalistik dengan menerbitkan majalah berbahasa Belanda Moslim Reveil bersama sesama pelajar
Jusuf Wibisono dan Mohammad Roem. Majalah tersebut isinya mendukung nasionalisme yang berlandaskan
Islam.[10]

Awal karier
Selama masa pendudukan Jepang dan sepanjang perang kemerdekaan sampai 1948, Burhanuddin bekerja sebagai jaksa. Semula, ia ditempatkan di Pengadilan
Tinggi Jakarta, sebelum berpindah ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta.[2] Untuk menyalurkan pandangan politiknya, ia bergabung dengan Partai Masyumi. Semula,
ia berstatus anggota biasa. Terjadinya konflik kepemimpinan dalam partai tersebut memberikan peluang bagi Burhanuddin untuk mengambil peranan lebih dalam
struktur internal partai. Pada 1949, ia sudah menjadi anggota dewan pimpinan partai. Sebelumnya, ia sudah ditunjuk menjadi anggota Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat oleh Sutan Sjahrir pada tahun 1946.[11] Selama perang kemerdekaan, Burhanuddin beserta Kasman Singodimedjo, politikus Masyumi
lainnya, mencoba meyakinkan pihak Angkatan Darat untuk bekerja sama dengan kelompok militan Darul Islam melawan Belanda.[12]

Setelah penyerahan kedaulatan, Burhanuddin ditunjuk menjadi Ketua Fraksi Masyumi di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).[11] Meskipun saat itu
perdana menteri dijabat oleh Mohammad Natsir dari Masyumi, Burhanuddin beserta sejumlah anggota Masyumi lainnya sering berseberangan dengan Natsir dan
Burhanuddin sendiri memutuskan untuk abstain dalam mosi tidak percaya Natsir pada Oktober 1950.[13] Burhanuddin menjadi anggota Komite Eksekutif
Masyumi pada tahun 1952.[9] Pada masa Kabinet Wilopo, Burhanuddin sempat ditunjuk menjadi anggota Panitia Pusat Pemilihan pada bulan April 1953, tetapi
karena ketidaksetujuan Partai Nasional Indonesia (PNI), pembentukan panitia tersebut dibatalkan.[14] Pada akhir 1953, Burhanuddin beserta Masyumi
berseberangan dengan Kabinet Wilopo dan PNI dalam hal pembukaan hubungan diplomatis dengan Uni Soviet, hingga Burhanuddin mengancam untuk menarik
Masyumi dari koalisi pemerintahan. Burhanuddin memberikan ancaman ini karena kekhawatiran dalam Masyumi bahwa Kedutaan Besar Uni Soviet di Jakarta
dapat dijadikan "kuda troya" untuk paham komunisme.[15]

Setelah jatuhnya Wilopo, tokoh-tokoh politik dari PNI dan Masyumi dua kali gagal mencoba membentuk pemerintahan baru. Pada tanggal 8 Juli 1953,
Burhanuddin ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk membentuk kabinet. Meskipun awalnya PNI bisa berkompromi dengan Burhanuddin, keputusan
Burhanuddin untuk memilih Soemitro Djojohadikoesoemo dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) tidak bisa diterima oleh PNI. Di sisi lain, PNI ingin menempatkan
kader partai sebagai perdana menteri. Burhanuddin sempat mencoba untuk membentuk koalisi dengan Parkindo dan Partai Katolik, tetapi kedua partai tersebut
menolak bergabung apabila PNI tidak ikut dalam koalisi. Akibat kegagalan tersebut, Burhanuddin mengembalikan mandat formatur ke Soekarno sebelum batas
waktu mandatnya.[16][17] Formatur berikutnya, Wongsonegoro, berhasil menyusun Kabinet Ali Sastroamidjojo I tanpa mengikutsertakan Masyumi dalam koalisi
pemerintah.[18]

Perdana Menteri

Pembentukan kabinet

Kabinet Ali I jatuh pada bulan Juli 1955 karena permasalahan dengan Angkatan Darat mengenai penggantian perwira tinggi setelah mundurnya Kepala Staf TNI
Angkatan Darat (KSAD) Bambang Soegeng.[19] Kali ini, Wakil Presiden Mohammad Hatta menunjuk trio Sukiman, Wilopo, dan Assaat sebagai formatur. Ketiga
tokoh tersebut mengusulkan Hatta dinonaktifkan sebagai Wakil Presiden agar dapat menjabat sebagai Perdana Menteri. Para tokoh Masyumi tidak setuju dengan
usulan tersebut, sehingga kabinet yang diusulkan ketiga tokoh tersebut ditolak.[20] Burhanuddin (yang masih berkerabat dengan Pelaksana Tugas KSAD Zulkifli
Lubis) ditunjuk sebagai formatur berikutnya. Sekali lagi, Burhanuddin berusaha berunding dengan PNI, dan berhasil mencapai kompromi dalam alokasi kursi
menteri, namun tidak mencapai mufakat dalam pemilihan tokoh-tokoh menteri. Burhanuddin kali ini mengundang partai-partai kecil di DPRS untuk membentuk
koalisi: PSI, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Parkindo, Partai Katolik, Partai Rakyat Nasional, Partai Buruh, Partai Indonesia Raya, dan Parindra.[21]
Koalisi ini cukup untuk membentuk pemerintahan, dan Kabinet Burhanuddin Harahap disumpah pada tanggal 12 Agustus 1955. Dalam kabinet ini, Burhanuddin
merangkap sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan.[21] Secara keseluruhan, ada 23 menteri dalam kabinet ini, lebih banyak dari kabinet-kabinet
sebelumnya.[22] Kecuali Menteri Keuangan Soemitro Djojohadikoesoemo dan Menteri Pertanian Mohammad Sardjan, para menteri kabinet itu belum pernah
menjabat sebagai menteri sebelumnya.[23]

Pemilu 1955

Pada masa jabatannya, Burhanuddin berhasil mengesahkan Undang-Undang Pemilu, sehingga memungkinkan
dilangsungkannya Pemilu 1955.[24] Meskipun beberapa menteri dalam kabinetnya menginginkan pengunduran tanggal,
Burhanuddin menetapkan tanggal yang sudah dijadwalkan (29 September 1955) tetap berlaku.[25] Kabinet
Burhanuddin sejak awal memang direncanakan untuk dibubarkan setelah hasil pemilihan umum diumumkan dan
anggota DPR baru dilantik. Oleh karena itu, Burhanuddin kesulitan menentukan kebijakan jangka panjang.[26] Selain Pamflet kampanye Partai Masyumi.
itu, partai-partai di dalam koalisi pemerintah mempunyai agenda masing-masing. Masyumi dan PSI bertekad
mengurangi pengaruh PNI dan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam struktur pemerintah, sementara partai-partai kecil
yang tidak yakin masih akan ada di DPR setelah Pemilu 1955 fokus menggalang dukungan politik.[22] Meskipun sesama
partai Islam, Nahdlatul Ulama (NU) dan PSII beragenda lain lagi dan menentang sejumlah kebijakan politik
Burhanuddin.[27][b] Menjelang hari pemungutan suara, kabinet Burhanuddin menurunkan harga bensin sebesar hampir 50
persen dan melonggarkan ketentuan impor, sehingga menekan harga pasaran.[28]

Awalnya, banyak yang berasumsi bahwa Masyumi akan memenangkan pemilu.[29] Namun, begitu hasil pemilu
diumumkan, PNI berhasil memenangkan suara terbanyak, baru disusul Masyumi. Selain itu, NU berhasil merebut banyak Masyumi (hitam) dan NU (hijau
kursi, berkebalikan dengan PSI yang kursinya turun drastis. Sejumlah partai kecil yang berkoalisi dengan Masyumi tidak muda), ditambah sejumlah partai
lagi memiliki perwakilan di DPR setelah pemilu.[30] Meskipun koalisi Masyumi-NU masih memegang mayoritas kursi, kecil, masih menguasai mayoritas
DPR setelah pemilu 1955.
posisi NU-PSII jauh menguat di dalam koalisi tersebut. Selama September dan Oktober 1955, Kabinet Burhanuddin
mencoba untuk mengesahkan suatu undang-undang antikorupsi yang kontroversial karena isinya membentuk pengadilan
khusus yang berhak menginterogasi tersangka korupsi apabila ada tidak cukup bukti untuk mendakwa. Pihak NU
menentang UU tersebut karena sejumlah anggotanya telah dituduh sebagai pelaku korupsi oleh media, dan PNI juga menentangnya karena banyak tersangka
merupakan mantan pegawai pemerintah yang juga anggota PNI. Presiden Sukarno juga memveto UU tersebut begitu Burhanuddin mencoba untuk menjadikannya
sebagai UU darurat yang tidak langsung membutuhkan persetujuan DPRS. Burhanuddin akhirnya memutuskan untuk mengalah untuk menghindari konflik
sekaligus dengan NU, PNI, dan Sukarno.[31][32] NU juga mendesak Burhanuddin untuk menunjuk Abdul Haris Nasution kembali menjadi KSAD.[33]

Kebijakan

Selama memerintah, Burhanuddin mencabut sejumlah kebijakan kabinet Ali.[22] Pemerintahan di bawah Burhanuddin melakukan restrukturisasi birokrasi dan
mengganti sejumlah pejabat. Selain itu, Burhanuddin juga meluncurkan program amnesti untuk anggota pemberontakan DI/TII di Jawa Barat. Pemerintahan di
bawah Ali Sastroamidjojo cenderung menggunakan kekerasan dalam menumpas DI/TII.[34][c] Setelah hasil pemilihan umum diumumkan, Burhanuddin
melanjutkan restrukturisasi birokrasi dan pencopotan pegawai negeri pro-PNI/PKI, meskipun terkadang tindakan ini mengganggu kinerja institusi pemerintah.[36]
Pada Desember 1955, Burhanuddin menunjuk Komodor Sujono menjadi anggota komando tinggi TNI Angkatan Udara. Kepala Staf TNI Angkatan Udara,
Soerjadi Soerjadarma, tidak setuju dengan keputusan tersebut dan memutuskan untuk mengundurkan diri. Saat upacara penyumpahan, sejumlah perwira muda
TNI AU menyerbu upacara dan memukuli Sujono. Setelah peristiwa ini, Burhanuddin memerintahkan agar Soerjadarma dijadikan tahanan rumah. Presiden
Soekarno melakukan intervensi, dan akhirnya penunjukan Sujono dan pengunduran diri Soerjadarma dibatalkan.[37] Selain itu, sejumlah menteri dalam kabinet
Ali ditahan atas tuduhan korupsi: Menteri Perdagangan Iskak Tjokroadisurjo dan Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo.[38]

Dalam bidang ekonomi, kabinet Burhanuddin cenderung menerima investor dan modal asing karena alasan pragmatis, sehingga sejumlah kebijakan ekonomi
kabinet Ali dicabut. Impor barang yang sebelumnya dibatasi untuk menekan defisit dilonggarkan demi melawan inflasi.[39] Hasil kebijakan ini tidak langsung
terlihat karena banjir yang melanda wilayah pertanian pada tahun 1955, tetapi inflasi mulai terkendali pada tahun 1956.[40] Program Benteng yang memihak
pengusaha pribumi dalam impor barang juga dihapuskan. Kabinet Burhanuddin juga memutuskan untuk tidak lagi membayar utang Indonesia yang ditentukan
dalam Konferensi Meja Bundar, yang saat itu tersisa 3 miliar gulden.[41] Aceh disetujui sebagai daerah otonomi selama pemerintahan Burhanuddin, meskipun
status tersebut baru diberikan oleh pemerintahan berikutnya.[42]

Kebijakan luar negeri Burhanuddin berfokus untuk menggalang dukungan internasional, khususnya Amerika Serikat dan Blok Barat, dalam sengketa Irian
Barat.[43] Karena Masyumi cenderung anti-komunis, pihak AS lebih terbuka selama masa pemerintahan Burhanuddin dan cenderung mendukung
pemerintahannya.[44] Menteri Luar Negeri Mohammad Roem berhasil meyakinkan Australia untuk tidak mendukung Belanda dan mendorong agar sengketa Irian
dibahas dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).[45] Upaya diplomatis ini dilakukan sembari proses negosiasi dengan Belanda, dan pemerintah
memutuskan untuk melepaskan sejumlah tawanan Belanda di Indonesia untuk menunjukkan niat baik. Sebelum pemilihan umum selesai, kabinet Burhanuddin
lebih berhati-hati dalam melangsungkan kebijakan luar negeri, karena adanya resiko politik dalam negeri.[46] Setelah pemilu, Soekarno dan PNI mendorong
Burhanuddin agar mundur dari perundingan dengan Belanda, tetapi Burhanuddin memutuskan untuk melanjutkan proses negosiasi.[47] Karena keputusan
Burhanuddin ini, NU dan PSII memutuskan untuk mundur dari koalisi pemerintah, sehingga, kalaupun persetujuan dapat dicapai dengan pihak Belanda, DPR
tidak akan meratifikasi perjanjian tersebut.[48][49] Negosiasi pun gagal, dan Burhanuddin memutuskan untuk menarik Indonesia dari Uni Indonesia-Belanda pada
12 Februari 1956.[50]

Awalnya, kabinet Burhanuddin direncanakan akan dibubarkan pada bulan April 1956, sebelum dipercepat ke bulan Maret. Sepanjang Februari, banyak terjadi
mutasi staf dan peminjaman dana pemerintah ke pihak swasta. Hal-hal ini menyebabkan terjadinya walk out anggota DPRS, termasuk ketua DPRS Sartono, pada
28 Februari. Burhanuddin mengembalikan mandat sebagai perdana menteri ke Soekarno pada 3 Maret, meskipun ia masih menjabat perdana menteri selama tiga
minggu berikutnya sembari pemerintahan baru dibentuk.[51][52] Pemerintahan berikutnya, di bawah Kabinet Ali Sastroamidjojo II, mencakup Masyumi dan NU,
tetapi hampir semua menteri dalam kabinet Burhanuddin tidak diperbolehkan menjadi menteri kembali.[53]

Pemberontakan PRRI
Pada bulan Januari 1957, Masyumi mundur dari koalisi pemerintah karena gesekan dengan partai-partai lainnya. Sebelum jatuhnya kabinet Ali II pada bulan
Maret, Burhanuddin sempat mencoba mencari kompromi dengan mengusulkan agar Soekarno lebih aktif turun dalam pemerintahan sehari-hari.[54] Pada akhir
tahun itu juga, sidang umum PBB memutuskan untuk tidak membahas urusan Irian Barat, sehingga Soekarno memerintahkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan
milik Belanda. Hal ini diikuti percobaan pembunuhan Soekarno (Peristiwa Cikini) oleh sejumlah pemuda yang merupakan anggota organisasi Gerakan Anti-
Komunis (GAK). Beberapa pemuda yang terlibat juga merupakan anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia, sayap organisasi pemuda Masyumi.[55][56] Karena
hubungan para tersangka dengan Masyumi, ditambah kebijakan Masyumi yang mendukung investasi asing, Burhanuddin dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya
seperti Mohammad Natsir dan Syafruddin Prawiranegara menjadi sorotan media. Sejumlah koran pro-PNI dan pro-PKI mulai menuding bahwa Burhanuddin dan
rekan-rekannya terlibat dalam Peristiwa Cikini, dan para tokoh Masyumi mulai menerima teror psikologis. Burhanuddin didesas-desuskan telah meninggal, dan
bahkan sejumlah anggota keluarganya dari Sumatra "melayat" Burhanuddin di Jakarta.[55][56] Pada Desember 1957, Burhanuddin memutuskan untuk melarikan
diri ke Sumatra begitu ia mendengar bahwa ia akan ditangkap. Tak lama kemudian, para tokoh Masyumi lainnya juga ikut mengungsi.[55][57]

Burhanuddin sudah berada di Padang pada pertengahan Januari 1958, dan ia turut menghadiri pertemuan dengan sejumlah perwira militer yang berniat
memberontak di Sungai Dareh, Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat.[58] Burhanuddin belakangan menulis bahwa para perwira tersebut berniat memisahkan
Sumatra sebagai negara sendiri, sementara Burhanuddin beserta para pemimpin Masyumi lainnya ingin Sumatra tetap menjadi bagian Indonesia.[59][60] Soekarno
sedang berada di luar negeri pada waktu itu, dan Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja mencoba berunding dengan pihak-pihak di Sumatra. Tokoh Masyumi
yang masih berada di Jakarta seperti Mohammad Roem juga mencoba membujuk Burhanuddin dan rekan-rekannya untuk tidak membentuk pemerintah
tandingan.[61][62] Meskipun begitu, pihak militer di Sumatra di bawah Kolonel Ahmad Husein mengirimkan ultimatum ke pemerintah pusat pada tanggal 10
Februari 1958, yang isinya menuntut pembubaran Kabinet Djuanda dan pembentukan kabinet baru di bawah Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono
IX.[62][63] Setelah ultimatum tersebut ditolak pemerintah pusat, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 di
Padang. Dalam struktur kabinet PRRI, Burhanuddin ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan dan Menteri Keadilan.[62][63] Menurut Burhanuddin, ia tadinya setuju
menjadi Menteri Dalam Negeri dan masih ragu-ragu untuk membentuk pemerintah tandingan, tetapi sayap militer PRRI melakukan perombakan kabinet tanpa
berbicara dengan Burhanuddin.[64][65]

Tidak lama setelah deklarasi PRRI, operasi militer TNI mendesak PRRI ke luar dari kota-kota besar di Sumatra. Pada bulan Mei 1958, Padang, Medan, dan
Pekanbaru sudah direbut kembali oleh pemerintah. Kinerja militer PRRI yang mengecewakan juga menyebabkan dukungan asing (khususnya Amerika Serikat)
surut.[66][67] PRRI mulai meluncurkan perang gerilya, dan Burhanuddin mendampingi Kolonel Dahlan Djambek di basisnya sekitar Kabupaten Agam.[68]
Operasi militer pemerintah pusat perlahan-lahan memaksa Burhanuddin dan Dahlan untuk mundur lebih lanjut ke hutan, sampai markas terakhir PRRI di Koto
Tinggi direbut pemerintah pada bulan Juli 1960. Setelah tidak lagi bermarkas tetap, para pemimpin sipil PRRI tidak lagi mengendalikan pergerakan tersebut.[69]

Mulai tahun 1961, KSAD Abdul Haris Nasution meluncurkan program amnesti sembari berunding dengan para perwira militer PRRI. Ahmad Husein menyerah
pada tanggal 21 Juni 1961, dan setelah itu para pemimpin sipil menyadari bahwa PRRI sudah kalah. Pada peringatan hari kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus
1961, Soekarno menawarkan amnesti untuk semua anggota PRRI yang menyerah sebelum tanggal 5 Oktober. Setelah mendengar tawaran tersebut, Burhanuddin
bersama Syafruddin Prawiranegara dan Assaat memutuskan untuk menyerah. Pada akhir bulan Agustus, ketiga tokoh tersebut meminta pasukan PRRI untuk
menyerah melalui siaran radio sebelum mereka sendiri turun gunung dan menyerahkan diri ke pihak pemerintah di Padangsidempuan.[70][71] Pemberontakan
PRRI berakhir tidak lama kemudian, setelah tewasnya Dahlan Djambek dan menyerahnya Mohammad Natsir pada bulan September.[72]

Setelah PRRI berakhir, Burhanuddin awalnya tinggal di Medan sebagai warga bebas. Meskipun begitu, pada bulan Maret 1962 Burhanuddin beserta pemimpin
sipil PRRI lainnya ditangkap dan dibawa ke Jakarta. Para pemimpin tersebut kemudian dipisahkan dan dipenjara masing-masing; Burhanuddin mendekam di
penjara selama dua tahun di Kabupaten Pati. Ia kemudian dipindahkan ke Jakarta pada tahun 1964, dan baru dilepaskan setelah Soeharto berkuasa di bulan Juli
1966.[73]

Orde Baru dan kematian


Setelah Burhanuddin dan para pemimpin Masyumi dibebaskan, beberapa pihak mencoba untuk membentuk kembali Partai Masyumi yang telah dibubarkan
sebelumnya. Bersama mereka, Burhanuddin turut serta dalam pertemuan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada bulan Agustus 1968. Namun, Soeharto tidak
memperbolehkan tokoh-tokoh pemimpin Masyumi menjadi pemimpin di Parmusi.[74] Burhanuddin sendiri kurang berminat menjadi pemimpin di struktur
Parmusi, karena ia lebih fokus ke bidang lain seperti jurnalisme dan dakwah. Ia berhasil mendirikan kembali surat kabar Abadi, dan Burhanuddin menjadi
pemimpin Abadi sampai surat kabar tersebut dibredel tahun 1974. Ia juga aktif di Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia.[75][76] Selain itu, setelah Soeharto
memaksakan Pancasila menjadi dasar ideologis semua organisasi di Indonesia, termasuk organisasi keagamaan, Burhanuddin ikut menandatangani Petisi 50
beserta banyak tokoh Muslim dan ABRI lainnya.[77]

Burhanuddin meninggal pada tanggal 14 Juni 1987 di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta Barat. Sebelum meninggal, Burhanuddin sudah menderita
penyakit jantung sejak tahun 1976. Ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan.[3]

Kehidupan pribadi
Burhanuddin dikenal sebagai seorang tokoh yang gemar makan sambal, dan berhobi bermain tenis sejak masa sekolah di Yogyakarta.[76][78] Burhanuddin
menikah dengan Siti Bariyah, yang merupakan putri dari pegawai negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta.[79][80] Saat Burhanuddin meninggal, ia telah
mempunyai seorang putra dan putri.[80]

Catatan kaki
a. Sesuai dengan tanggal yang tercantum di biografi[1] dan biodata resmi.[2] Di batu nisan Burhanuddin tercantum tanggal 12 Maret 1917.[3]
b. Basis suara Masyumi pada waktu itu berada di Jawa Barat (etnis Sunda) dan luar Jawa, sementara basis NU/PSII merupakan etnis Jawa.[27]
c. Burhanuddin dan Zulkifli Lubis sudah berunding melalui surat-menyurat dengan Kartosoewirjo, pemimpin DI/TII, sejak 1952.[35]

Referensi
1. Busyairi 1989, hlm. 6. 39. Thuỷ 2019, hlm. 135-136.
2. Kami perkenalkan. Kementerian Penerangan Republik Indonesia. 40. Feith 2006, hlm. 461.
1952. hlm. 94. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 April 2022. 41. Thuỷ 2019, hlm. 147-148.
Diakses tanggal 6 April 2022. 42. Madinier 2015, hlm. 160-161.
3. "Menjelajahi Rumah Terakhir 10 Mantan Perdana Menteri". 43. Lucius 2003, hlm. 131-132.
detiknews. 16 Agustus 2006. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5
44. Lucius 2003, hlm. 148.
November 2021. Diakses tanggal 5 April 2022.
45. Madinier 2015, hlm. 182-183.
4. Fogg 2019, hlm. 173.
46. Penders 2021, hlm. 251.
5. Kahin 2012, hlm. 126.
47. Penders 2021, hlm. 253-254.
6. Busyairi 1989, hlm. 8.
48. Madinier 2015, hlm. 141-142.
7. Busyairi 1989, hlm. 9.
8. Busyairi 1989, hlm. 14. 49. Penders 2021, hlm. 256.
9. Madinier 2015, hlm. 47-48. 50. Feith 2006, hlm. 455.
10. Ardanareswari, Indira. "Pemilu Pertama Indonesia Terlaksana 51. Feith 2006, hlm. 456-459.
Berkat Burhanuddin Harahap". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli 52. Busyairi 1989, hlm. 186.
tanggal 12 Maret 2021. Diakses tanggal 6 April 2022. 53. Feith 2006, hlm. 467.
11. Fogg 2019, hlm. 176-177. 54. Madinier 2015, hlm. 232-237.
12. Fogg 2019, hlm. 118-119. 55. Kahin 1999, hlm. 204-205.
13. Feith 2006, hlm. 152. 56. Madinier 2015, hlm. 248-249.
14. Feith 2006, hlm. 280-281. 57. Madinier 2015, hlm. 249.
15. Feith 2006, hlm. 291-292. 58. Madinier 2015, hlm. 250.
16. Feith 2006, hlm. 331-336. 59. Busyairi 1989, hlm. 145.
17. Karma 1987, hlm. 16. 60. Madinier 2015, hlm. 251.
18. Feith 2006, hlm. 336-339. 61. Kahin 1999, hlm. 208.
19. Feith 2006, hlm. 398-402. 62. Madinier 2015, hlm. 252.
20. Feith 2006, hlm. 416-417. 63. Kahin 1999, hlm. 210-211.
21. Feith 2006, hlm. 417-419. 64. Busyairi 1989, hlm. 153.
22. Lucius 2003, hlm. 130-131. 65. Madinier 2015, hlm. 253.
23. Thuỷ 2019, hlm. 126. 66. Kahin 1999, hlm. 214-216.
24. Kahin 2012, hlm. 85. 67. Madinier 2015, hlm. 257.
25. Feith 2006, hlm. 424-425. 68. Kahin 1999, hlm. 218.
26. Feith 2006, hlm. 421-422. 69. Kahin 1999, hlm. 225.
27. Lucius 2003, hlm. 133-135. 70. Madinier 2015, hlm. 260.
28. Feith 2006, hlm. 426. 71. Kahin 1999, hlm. 226.
29. Kahin 1999, hlm. 177. 72. Kahin 1999, hlm. 227.
30. Feith 2006, hlm. 434-436. 73. "Orde Lama, Syahrir, Natsir, Hamka:Penjara Tanpa Proses Hukum".
31. Feith 2006, hlm. 437-439. Republika. 19 Januari 2019. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14
November 2021. Diakses tanggal 5 April 2022.
32. Lucius 2003, hlm. 136.
74. Ward 2010, hlm. 62-68.
33. Feith 2006, hlm. 442-443.
75. Ward 2010, hlm. 64.
34. Formichi 2012, hlm. 163.
76. Karma 1987, hlm. 17.
35. Madinier 2015, hlm. 174.
77. Kahin 2012, hlm. 198-199.
36. Feith 2006, hlm. 446.
78. Busyairi 1989, hlm. 11.
37. Feith 2006, hlm. 447-448.
79. Busyairi 1989, hlm. 30-31.
38. Feith 2006, hlm. 422-423.
80. Karma 1987, hlm. 18.

Daftar pustaka
Busyairi, Badruzzaman (1989). Boerhanoeddin Harahap: pilar Kahin, Audrey (2012). Islam, Nationalism and Democracy: a
demokrasi. Bulan Bintang. ISBN 978-979-418-207-9. Diarsipkan Political Biography of Mohammad Natsir (dalam bahasa Inggris).
dari versi asli tanggal 6 April 2022. Diakses tanggal 6 April 2022. NUS Press. ISBN 978-9971-69-571-2. Diarsipkan dari versi asli
Feith, Herbert (2006). The Decline of Constitutional Democracy in tanggal 6 April 2022. Diakses tanggal 6 April 2022.
Indonesia (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 978- Karma, D. S. (1987). "Perdana Menteri Tanpa Dasi". Melihat
979-3780-45-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 April 2022. Pembentukan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDDI) dan
Diakses tanggal 6 April 2022. Kontribusinya. Tempo Publishing. ISBN 978-623-339-495-6.
Fogg, Kevin W. (2019). Indonesia's Islamic Revolution (dalam Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 April 2022. Diakses tanggal
bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-1-108- 6 April 2022.
48787-0. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 April 2022. Diakses Lucius, Robert E. (2003). "A House Divided: The Decline and Fall of
tanggal 6 April 2022. Masyumi (1950-1956)" (PDF) (dalam bahasa Inggris). Naval
Formichi, Chiara (2012). Islam and the Making of the Nation: Postgraduate School. Diakses tanggal 6 April 2022.
Kartosuwiryo and Political Islam in 20th Century Indonesia (dalam Madinier, Remy (2015). Islam and Politics in Indonesia: The
bahasa Inggris). BRILL. ISBN 978-90-04-26046-7. Diarsipkan dari Masyumi Party between Democracy and Integralism (dalam bahasa
versi asli tanggal 6 April 2022. Diakses tanggal 6 April 2022. Inggris). NUS Press. ISBN 978-9971-69-843-0. Diarsipkan dari versi
Kahin, Audrey (1999). Rebellion to Integration: West Sumatra and asli tanggal 6 April 2022. Diakses tanggal 6 April 2022.
the Indonesian Polity, 1926-1998 (dalam bahasa Inggris).
Amsterdam University Press. ISBN 978-90-5356-395-3. Diarsipkan
dari versi asli tanggal 6 April 2022. Diakses tanggal 6 April 2022.
Penders, C. L. M. (2021). The West New Guinea Debacle: Dutch Ward, Ken (2010). The Foundation of the Partai Muslimin Indonesia
Decolonisation and Indonesia, 1945-1962 (dalam bahasa Inggris). (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 978-602-8397-
BRILL. ISBN 978-90-04-48723-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 01-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 April 2022. Diakses
6 April 2022. Diakses tanggal 6 April 2022. tanggal 6 April 2022.
Thuỷ, Phạm Văn (2019). Beyond Political Skin: Colonial to National
Economies in Indonesia and Vietnam (1910s-1960s) (dalam bahasa
Inggris). Springer. ISBN 978-981-13-3711-6. Diarsipkan dari versi
asli tanggal 8 Januari 2022. Diakses tanggal 6 April 2022.

Jabatan politik
Didahului oleh: Perdana Menteri Indonesia

Ali Sastroamidjojo 1955–1956 Diteruskan oleh:


Didahului oleh: Menteri Pertahanan Indonesia
Ali Sastroamidjojo
Hamengkubuwana IX 1955–1956

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Burhanuddin_Harahap&oldid=21619076"

Anda mungkin juga menyukai