Anda di halaman 1dari 5

Menurut Ajip Rosidi Secara garis besar Ajip Rosidi (1969: 13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai

berikut. I. Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa period, yaitu 1. Period awal hingga 1933 2. Period 1933-1942 3. Period 1942-1945 II. Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa period, yaitu 1. Period 1945-1953 2. Period 1953-1961 3. Period 1961-1968(sekarang) Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan adat yang sedang menghadapi akulturasi sehingga menimbulkan berbagai problem bagi kelangsungan eksistensi masingmasing, sedangkan periode 1933-1942 diwarnai pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan romantis-idealis. Perubahan terjadi pada periode 1942-1945 atau masa pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian, kegelisahan, dan peralihan, sedangkan warna perjuangan dan pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961

Angkatan 1945

Chairil Anwar pelopor Angkatan 1945

Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantikidealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpenDari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.

Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945


Chairil Anwar Kerikil Tajam (1949) Deru Campur Debu (1949)

Asrul Sani, bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar Tiga Menguak Takdir (1950)

Idrus Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948) Aki (1949) Perempuan dan Kebangsaan

Achdiat K. Mihardja Atheis (1949)

Trisno Sumardjo Katahati dan Perbuatan (1952)

Utuy Tatang Sontani Suling (drama) (1948) Tambera (1949) Awal dan Mira - drama satu babak (1962)

Suman Hs. Kasih Ta' Terlarai (1961) Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957) Pertjobaan Setia (1940)

Angkatan 1950 - 1960-an

Pramoedya Ananta Toer novelis generasi 1950-1960

Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra. Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastrarealisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia. [sunting]Penulis

dan Karya Sastra Angkatan 1950 - 1960-an


Toto Sudarto Bachtiar Etsa sajak-sajak (1956) Suara - kumpulan sajak 1950-1955 (1958) Ramadhan K.H Priangan si Jelita (1956)

Pramoedya Ananta Toer Kranji dan Bekasi Jatuh (1947) Bukan Pasar Malam (1951) Di Tepi Kali Bekasi (1951) Keluarga Gerilya (1951) Mereka yang Dilumpuhkan (1951) Perburuan (1950) Cerita dari Blora (1952) Gadis Pantai (1965)

W.S. Rendra Balada Orang-orang Tercinta (1957) Empat Kumpulan Sajak (1961)

Nh. Dini Dua Dunia (1950) Hati jang Damai (1960)

Ia Sudah Bertualang (1963)

Subagio Sastrowardojo Simphoni (1957)

Sitor Situmorang Dalam Sadjak (1950) Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954) Pertempuran dan Saldju di Paris (1956) Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953) Wadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955)

Nugroho Notosusanto Hujan Kepagian (1958) Rasa Sajang (1961) Tiga Kota (1959)

Trisnojuwono Angin Laut (1958) Dimedan Perang (1962) Laki-laki dan Mesiu (1951)

Mochtar Lubis Tak Ada Esok (1950) Jalan Tak Ada Ujung (1952) Tanah Gersang (1964) Si Djamal (1964)

Toha Mochtar Pulang (1958) Gugurnya Komandan Gerilya (1962) Daerah Tak Bertuan (1963)

Marius Ramis Dayoh Putra Budiman (1951) Pahlawan Minahasa (1957)

Purnawan Tjondronagaro Mendarat Kembali (1962)

Ajip Rosidi Tahun-tahun Kematian (1955) Ditengah Keluarga (1956) Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957) Cari Muatan (1959) Pertemuan Kembali (1961) Bokor Hutasuhut Datang Malam (1963)

Ali Akbar Navis Robohnya Surau Kami - 8 cerita pendek pilihan (1955) Bianglala - kumpulan cerita pendek (1963) Hujan Panas (1964) Kemarau (1967)

Format Baru Sejarah Sastra Indonesia


BERTOLAK pada kesepakatan ahli yang menyatakan sastra Indonesia berawal pada roman-roman terbitan Balai Pustaka tahun 1920-an, sejarahnya hingga sekarang terhitung masih sangat muda, sekitar 80 tahun. Karena itu, diperlukan buku-buku sejarah sastra yang bisa dirujuk pelajar, mahasiswa, peminat, dan ahli sastra. Karena itu, wajarlah apabila perjalanan sejarah sastra Indonesia dibagi-bagi dengan mempertimbangkan momentum perubahan sosial dan politik, seperti tampak dalam buku Ajip Rosidi (1968). Pembagian yang lebih rinci dengan angka tahun menjadi 1900-1933, 1933-1942, 1942-1945, 1945-1953, 1953-1961, dan 1961-1967 dengan warna masingmasing sebagaimana tampak pada sejumlah karya-karya sastra yang penting. Kemudian pada periode 1961-1967 tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra. Format baru Kalau momentum sosial-politik masih dipergunakan sebagai ancangan periodisasi sejarah sastra Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat format baru dengan menempatkan tiga momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial, politik, dan budaya, yaitu proklamasi kemerdekaan 17-8-1945, geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998. Analisis struktural Umar Yunus tentang perkembangan puisi Indonesia dan Melayu modern (Bhratara, Jakarta, 1981) dan telaah struktural tentang novel Indonesia (Universiti Malay, Kuala Lumpur, 1974) barangkali dapat dipergunakan sebagai rujukan untuk menjelaskan perubahan-perubahan tersebut. Dengan mempertimbangkan ketiga momentum tadi maka diperoleh empat masa perjalanan sejarah sastra Indonesia, yaitu masa pertama mencakup tahun 1900-1945, masa kedua mencakup tahun 1945-1965, masa ketiga mencakup tahun 1965-1998, dan masa keempat yang dimulai pada tahun 1998 hingga waktu yang belum dapat diperhitungkan. Dengan meminjam baju politik yang dianggap populer dan tetap mempertimbangkan nasionalisme maka penamaan keempat masa perjalanan sastra Indonesia itu bisa menghasilkan tawaran sebagai berikut: Masa Pertumbuhan atau Masa Kebangkitan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1900-1945 dengan alasan bahwa pada masa itu telah tumbuh nasionalisme yang juga tampak dalam sejumlah karya sastra, seperti sajak-sajak Rustam Efendi, Muhamad Yamin, Asmara Hadi dan lain-lain. Yang jelas, pada masa itu bertumbuhan karya sastra yang sebagian sudah bersemangat Indonesia dan sekarang memang tercatat sebagai modal awal khazanah sastra Indonesia. Masa Pemapanan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1965-1998 dengan alasan pada masa itu terjadi pemapanan berbagai sistem: sosial, politik, penerbitan, dan pendidikan yang dampaknya tampak juga di bidang sastra Indonesia. Mengingat besarnya muatan sejarah sastra Indonesia itu maka diperlukan pembagian sejarah pertumbuhan dan perkembangannya menjadi empat masa seperti tersebut tadi, yaitu (1) masa pertumbuhan atau masa kebangkitan dengan angka tahun 1900-1945, (2) masa pergolakan atau masa revolusi dengan angka tahun 1945-1965, (3) masa pemapanan dengan angka tahun 1965-1998, dan (4) masa pembebasan dengan angka tahun 1998-sekarang.

Anda mungkin juga menyukai