“ OM SWASTIASTU “
Puji syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah memberikan rahmat
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Kehidupan Bangsa Indonesia
Pada Masa Demokrasi Liberal” ini tepat pada waktunya Adapun tujuan dari penulisan dari
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu Nur Azizah S.Pd pada Mata Pelajaran Sejarah
Wajib. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang bagaimana
kehidupan Bangsa Indonesia pada masa demokrasi liberal bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nur Azizah S. Pd, selaku guru Mata
Pelajaran Sejarah Wajib yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………..
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………………………………
1.4 Manfaat Penulisan………………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan politik pada masa Demokrasi Liberal………………………………
2.1.1 Sistem Pemerintahan………………………………………………………….
2.1.2 Sistem Kepartaian…………………………………………………………….
2.1.3 Pemilihan Umum……………………………………………………………..
2.2 Perkembangan ekonomi pada masa Demokrasi Liberal…………………………….
2.2.1 Pemikiran Ekonomi Nasional………………………………………………..
2.2.2 Permasalahan Ekonomi………………………………………………………
2.2.3 Kebijakan Mengatasi Masalah Ekonomi…………………………………….
2.3 Perkembangan sosial pada masa Demokrasi liberal…………………………………
2.3.1 Kondisi Sosial Masyarakat…………………………………………………….
2.3.2 Kehidupan Pendidikan…………………………………………………………
2.3.3 Kehidupan Budaya…………………………………………………………….
2.3.4 Kehidupan Pers………………………………………………………………..
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………
3.2 Saran ……………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Periode antara tahun 1950-1959 dalam sejarah Indonesia disebut sebagai sistem
Demokrasi Parlementer yang memperlihatkan semangat belajar berdemokrasi. Oleh
karena itu, sistem pemerintahan Indonesia yang dibangun mengalami kendala yang
mengakibatkan jatuh bangun kabinet. Periode ini disebut oleh Wilopo, salah seorang
Perdana Menteri di era tersebut (1952-1953) sebagai zaman pemerintahan partai-partai.
Banyaknya partai-partai dianggap sebagai salah satu kendala yang mengakibatkan
kabinet/ pemerintahan tidak berusia panjang dan silih berganti. Wilopo juga menyebut
Demokrasi Parlementer sebagai zaman liberal. Namun demikian periode tersebut
sesungguhnya tidak hanya menampilkan sisi-sisi kelemahan saja melainkan juga terdapat
berbagai segi positif sebagai bentuk pembelajaran berdemokrasi.
Ketika pemerintahan Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada Agustus 1950,
RI kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan bentuk
pemerintahan diikuti pula perubahan undang-undang dasarnya dari Konstitusi RIS ke
UUD Sementara 1950. Perubahan ke UUD sementara ini membawa Indonesia memasuki
masa Demokrasi liberal. Masa Demokrasi liberal di Indonesia memiliki ciri banyaknya
partai politik yang saling berebut pengaruh untuk memegang tampuk kekuasaan. Hal
tersebut membawa dampak terganggunya stabilitas nasional di berbagai bidang
kehidupan.
Sistem multi partai di Indonesia diawali dengan maklumat pemerintah tanggal 3
November 1945, setelah mempertimbangkan usulan dari Badan Pekerja. Pemerintah pada
awal pendirian partai-partai politik menyatakan bahwa pembentukan partai-partai politik
dan organisasi politik bertujuan untuk memperkuat perjuangan revolusi.
Pada masa Demokrasi Liberal yang berlangsung dari 1950-1959. Pada era itu ada
tujuh kabinet yang memegang pemerintahan, sehingga hampir setiap tahun terjadi
pergantian kabinet. Jatuh bangunnya kabinet ini membuat program-program kabinet tidak
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kondisi inilah yang menyebabkan stabilitas
nasional baik di bidang politik, ekonomi, sosial maupun keamanan terganggu.
Pada era ini, Indonesia menjalankan pemilihan umum pertama yang diikuti oleh
banyak partai politik. Pemilu 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di Indonesia.
Pemilu ini dilaksanakan untuk memilih anggota Parlemen dan anggota Konstituante.
Konstituante diberi tugas untuk membentuk UUD baru menggantikan UUD sementara.
Sayangnya beban tugas yang diemban oleh Konstituante tidak dapat diselesaikan.
Kondisi ini menambah kisruh situasi politik pada masa itu sehingga mendorong Presiden
Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dekrit tersebut
membawa Indonesia mengakhir masa demokrasi parlementer dan memasuki Demokrasi
Terpimpin.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana perkembangan politik pada masa Demokrasi Liberal?
1.2.2 Bagaimana perkembangan ekonomi pada masa Demokrasi Liberal?
1.2.3 Bagaimana perkembangan sosial pada masa Demokrasi liberal?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui bagaimana perkembangan politik pada masa Demokrasi
Liberal
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana perkembangan ekonomi pada masa Demokrasi
Liberal
1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana perkembangan sosial pada masa Demokrasi
Liberal
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Siswa dapat mengetahui bagaimana perkembangan politik pada masa Demokrasi
Liberal
1.4.2 Siswa dapat mengetahui bagaimana perkembangan ekonomi pada masa
Demokrasi Liberal
1.4.3 Siswa dapat mengetahui bagaimana perkembangan social pada masa Demokrassi
Liberal
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Politik PadaMasa Demokrasi Liberal
2.1.1 Sistem Pemerintahan
Sistem kepartaian yang dianut pada masa Demokrasi Liberal adalah multi
partai. Hatta juga menyebutkan bahwa pembentukan partai politik ini bertujuan
untuk mudah dapat mengukur kekuatan perjuangan kita dan untuk mempermudah
meminta tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin barisan perjuangan.
Walaupun pada kenyataannya partai-partai politik tersebut cenderung untuk
memperjuangkan kepentingan golongan daripada kepentingan nasional. Partai-
partai politik yang ada saling bersaing, saling mencari kesalahan dan saling
menjatuhkan. Partai-partai politik yang tidak memegang jabatan dalam kabinet
dan tidak memegang peranan penting dalam parlemen sering melakukan oposisi
yang kurang sehat dan berusaha menjatuhkan partai politik yang memerintah.
Kondisi inilah yang mendorong Presiden Soekarno mencari solusi untuk
membangun kehidupan politik Indonesia yang akhirnya membawa Indonesia dari
sistem Demokrasi Liberal menuju Demokrasi Terpimpin.
2.1.3 Pemilihan Umum 1955
Pelaksanaan pemilihan umum 1955 bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat
yang akan duduk dalam parlemen dan Dewan Konstituante. Pemilihan umum ini
diikuti oleh partai-partai politik yang ada serta oleh kelompok perorangan. Pemilihan
umum ini sebenarnya sudah dirancang sejak kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli
1953-12 Agustus 1955) dengan membentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan
Daerah pada 31 Mei 1954. Namun pemilihan umum tidak dilaksanakan pada masa
kabinet Ali I karena terlanjur jatuh. Kabinet pengganti Ali I yang berhasil menjalankan
pemilihan umum, yaitu kabinet Burhanuddin Harahap.
Pelaksanaan Pemilihan Umum pertama dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang
meliputi 208 kabupaten, 2.139 kecamatan dan 43.429 desa. Pemilihan umum 1955
dilaksanakan dalam 2 tahap. Tahap pertama untuk memilih anggota parlemen yang
dilaksanakan pada 29 September 1955 dan tahap kedua untuk memilih anggota Dewan
Konstituante (badan pembuat Undang-undang Dasar) dilaksanakan pada 15 Desember
1955. Pada pemilu pertama ini 39 juta rakyat Indonesia memberikan suaranya di
kotak-kotak suara.
Pemilihan umum 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di Indonesia.
Keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum ini menandakan telah berjalannya
demokrasi di kalangan rakyat. Rakyat telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih
wakil-wakil mereka. Banyak kalangan yang menilai bahwa pemilihan umum 1955
merupakan pemilu yang paling demokratis yang dilaksanakan di Indonesia.
Presiden Soekarno dalam pidatonya di Istana Negara dan Parlemen pada 17
Agustus 1955 menegaskan bahwa “pemilihan umum jangan diundurkan barang sehari
pun, karena pada pemilihan umum itulah rakyat akan menentukan hidup kepartaian
kita yang tidak sewajarnya lagi, rakyatlah yang menjadi hakim”. Penegasan ini
dikeluarkan karena terdapat suara-suara yang meragukan terlaksananya pemilu sesuai
dengan jadwal semula.
Dalam proses pemilihan umum 1955 terdapat 100 partai besar dan kecil yang
mengajukan calon-calonnya untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 82 partai
besar dan kecil untuk Dewan Konstituante. Selain itu masih ada 86 organisasi dan
perseorangan akan ikut dalam pemilihan umum. Dalam pendaftaran pemilihan tidak
kurang dari 60% penduduk Indonesia yang mendaftarkan namanya (kurang lebih 78
juta), angka yang cukup tinggi yang ikut dalam pesta demokrasi yang pertama. (Feith,
1999)
1. Pemilihan Anggota DPR
Pemilihan umum untuk anggota DPR dilaksanakan pada tanggal 29 September
1955. Hasilnya diumumkan pada 1 Maret 1956. Urutan perolehan suara terbanyak
adalah PNI, Masyumi, Nahdatul Ulama, dan PKI. Pemilihan Umum 1955
menghasilkan susunan anggota DPR dengan jumlah anggota sebanyak 250 orang
dan dilantik pada tanggal 24 Maret 1956 oleh Presiden Soekarno. Acara pelantikan
ini dihadiri oleh anggota DPR yang lama dan menteri-menteri Kabinet Burhanudin
Harahap. Dengan terbentuknya DPR yang baru maka berakhirlah masa tugas DPR
yang lama dan penunjukan tim formatur dilakukan berdasarkan jumlah suara
terbanyak di DPR.
2. Pemilihan Anggota Dewan Konstituante
Pemilihan Umum 1955 selain memilih anggota DPR juga memilih anggota
Dewan Konstituante. Pemilihan Umum anggota Dewan Konstituante dilaksanakan
pada 15 Desember 1955. Dewan Konstituante bertugas untuk membuat Undang-
undang Dasar yang tetap, untuk menggantikan UUD Sementara 1950. Hal ini
sesuai dengan ketetapan yang tercantum dalam pasal 134 UUD Sementara 1950
yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-
sama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-undang Dasar Republik
Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini”.
Berdasarkan hasil pemilihan tanggal 15 Desember 1955 dan diumumkan pada
16 Juli 1956, perolehan suara partai-partai yang mengikuti pemilihan anggota
Dewan Konstituante urutannya tidak jauh berbeda dengan pemilihan anggota
legislatif, empat besar partainya adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI.
Keanggotaan Dewan Konstituante terdiri dari anggota hasil pemilihan umum
dan yang diangkat oleh pemerintah. Pemerintah mengangkat anggota Konstituante
jika ada golongan penduduk minoritas yang turut dalam pemilihan umum tidak
memperoleh jumlah kursi sejumlah yang ditetapkan dalam UUD S 1950.
Kelompok minoritas yang ditetapkan jumlah kursi minimal adalah golongan Cina
dengan 18 kursi, golongan Eropa dengan 12 kursi, dan golongan Arab 6 kursi.
3. Sidang– sidang Dewan Kosntituante
Dalam sidang-sidang Dewan Konstituante yang berlangsung sejak tahun 1956
hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak menghasilkan apa yang diamanatkan oleh
UUD S 1950. Dewan memang berhasil menyelesaikan bagian-bagian dari
rancangan UUD, namun terkait dengan masalah dasar negara, Dewan Konstituante
tidak berhasil menyelesaikan perbedaan yang mendasar di antara usulan dasar
negara yang ada.
Pembahasan mengenai dasar negara mengalami banyak kesulitan karena
adanya konflik ideologis antar partai. Dalam sidang Dewan Konstituante muncul
tiga usulan dasar negara yang diusung oleh partai-partai; Pertama, Dasar negara
Pancasila diusung antara lain oleh PNI, PKRI, Permai, Parkindo, dan Baperki.
Kedua, Dasar negara Islam diusung antara lain oleh Masyumi, NU dan PSII.
Ketiga, Dasar negara Sosial Ekonomi yang diusung oleh Partai Murba dan Partai
Buruh. Ketiga usulan dasar negara ini kemudian mengerucut menjadi dua usulan
Pancasila dan Islam karena Sosial ekonomi tidak memperoleh dukungan suara
yang mencukupi, hanya sembilan suara.
Dalam upaya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat terkait dengan masalah
dasar negara, kelompok Islam mengusulkan kepada pendukung Pancasila tentang
kemungkinan dimasukkannya nilai-nilai Islam ke dalam Pancasila, yaitu
dimasukkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai pembukaan undang-undang
dasar yang baru. Namun usulan ini ditolak oleh pendukung Pancasila. Semua
upaya untuk mencapai kesepakatan di antara dua kelompok menjadi kandas dan
hubungan kedua kelompok ini semakin tegang. Kondisi ini membuat Dewan
Konstituante tidak berhasil menyelesaikan pekerjaannya hingga pertengahan 1958.
Kondisi ini mendorong Presiden Soekarno dalam amanatnya di depan sidang
Dewan Konstituante mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945. Konstituante
harus menerima UUD 1945 apa adanya, baik pembukaan maupun batang tubuh
UUD 1945 tanpa perubahan.
4. Lahirnya Dekrit Presiden 1959
Menyikapi usulan Presiden, Dewan Konstituante mengadakan musyawarah
dalam bentuk pemandangan umum. Dalam sidang-sidang pemandangan umum ini
Dewan Konstituante pun tidak berhasil mencapai kuorum, yaitu dua pertiga suara
dari jumlah anggota yang hadir. Tiga kali diadakan pemungutan suara tiga kali
tidak mencapai kuorum, sehingga ketua sidang menetapkan tidak akan
mengadakan pemungutan suara lagi dan disusul dengan masa reses (masa tidak
bersidang). Ketika memasuki masa sidang berikutnya beberapa fraksi tidak akan
menghadiri sidang lagi. Kondisi inilah mendorong suasana politik dan psikologis
masyarakat menjadi sangat genting dan peka. Kondisi ini mendorong KSAD,
Jenderal Nasution, selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu) dengan persetujuan
dari Menteri Pertahanan sekaligus Perdana Menteri Ir. Djuanda, melarang
sementara semua kegiatan politik dan menunda semua sidang Dewan Konstituante.
Presiden Soekarno mencoba mencari jalan keluar untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada dengan mengadakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh
pemerintahan, anggota Dewan Nasional, Mahkamah Agung dan pimpinan
Angkatan Perang di Istana Bogor pada 4 Juli 1959. Hasil dari pembicaraan itu esok
harinya, Minggu 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menetapkan Dekrit Presiden 1959
di Istana Merdeka. Isi pokok dari Dekrit Presiden tersebut adalah membubarkan
Dewan Konstituante, menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 dan menyatakan
tidak berlakunya UUD Sementara 1950. Dekrit juga menyebutkan akan
dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu sesingkat-singkatnya.
2.2 Perkembangan Ekonomi Pada Masa Demokrasi Liberal
2.2.1 Pemikiran Ekonomi Nasional
Pemikiran ekonomi pada 1950-an pada umumnya merupakan upaya mengubah
struktur perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional. Hambatan yang
dihadapi dalam mewujudkan hal tersebut adalah sudah berakarnya sistem perekonomian
kolonial yang cukup lama. Perkembangan ekonomi pada masa Demokrasi Liberal tidak
menunjukkan arah yang stabil. Anggaran pemerintah mengalami defisit. Defisit itu
disebabkan pengeluaran pemerintah yang semakin meningkat karena tidak stabilnya
situasi politik dan pemerintah tidak berhasil meningkatkan produksi dengan
menggunakan sumber-sumber yang masih ada. Kehidupan ekonomi Indonesia hingga
tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan yang menghadangnya cukup berat.
2.2.2 Permasalahan Ekonomi
Pada masa demokrasi liberal Indonesia mengalami berbagai permasalahan
ekonomi yang diantara penyebabnya adalah hasil dari Koferensi Meja Bundar.
Indonesia memiliki hutang yang sangat tinggi.
Permasalahan ekonomi yang terjadi diantaranya :
Masalah jangka pendek : pemerintah harus mengurangi jumlah uang yang
beredar dan mengatasi kenaikan biaya hidup.
Masalah jangka panjang : pertambahan penduduk tidak terkendali dan
kesejahteraan penduduk rendah.
Indonesia mengalami defisit dalam anggarannya karena pengeluaran yang
semakin membengkak akibat situasi politik yang tidak stabil.
Defisit yang dialami pemerintah dipengaruhi oleh :
Tidak adanya kontinuitas dalam penerimaan karena hanya bergantung
pada pajak.
Penerimaan yang sedang berjalan meningkat akibat perluasan program
pemerintah, perluasan birokrasi, dan pekerjaan yang tidak efisien.
2.2.3 Kebijakan Mengatasi Masalah Ekonomi
Perhatian terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh
Soemitro Djojohadikusumo. Ia berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia
pada hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru. Oleh karena itu, bangsa Indonesia
harus sesegera mungkin menumbuhkan kelas pengusaha pribumi, karena pengusaha
pribumi pada umumnya bermodal lemah. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya
membantu dan membimbing para pengusaha tersebut dengan bimbingan konkret dan
bantuan pemberian kredit. Jika usaha ini berhasil maka secara bertahap pengusaha
pribumi akan dapat berkembang maju dan tujuan mengubah struktur ekonomi kolonial di
bidang perdagangan akan berhasil.
Namun, pemerintah telah mencoba upaya untuk memperbaiki ekonomi melalui
langkah-langkah berikut ini:
a) Gunting Syafruddin
Pemerintah selain melakukan upaya perbaikan jangka panjang, juga melakukan
upaya perbaikan jangka pendek untuk menguatkan perekonomian Indonesia. Salah
satunya adalah mengurangi jumlah uang yang beredar dan mengatasi defisit
anggaran. Untuk itu pada tanggal 20 Maret 1950, Menteri Keuangan, Syafruddin
Prawiranegara mengambil kebijakan memotong uang dengan memberlakukan nilai
setengahnya untuk mata uang yang mempunyai nominal Rp2,50 ke atas. Kebijakan
ini dikenal dengan istilah Gunting Syafruddin.
b) Gerakan Benteng
Secara umum, bangsa Indonesia belum memiliki konsep pembangunan ekonomi
nasional yang jelas. Beberapa pemimpin nasional yang berpengaruh menganjurkan
pengembangan ekonomi nasional menurut pola sosialis untuk menggantikan struktur
ekonomi kapitalis yang eksploitatif yang telah diwarisi dari zaman kolonial.
Sementara, Dr. Sumitro Djojohadikusumo (Menkeu Kabinet Natsir) menyatakan
bahwa pembaruan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional harus dilakukan
dengan menghidupkan kegiatan perdagangan dan menumbuhkan kelas pengusaha.
Pada waktu itu, keadaan pengusaha pribumi sangat lemah dan pengusaha nonpribumi
sudah kuat kedudukan dan modalnya. Oleh karena itu, Sumitro menggagas gerakan
benteng, yaitu melindungi pengusaha pribumi dalam persaingan dengan pengusaha
nonpribumi dengan memberikan kredit. Berkaitan dengan gagasan tersebut,
pemerintah mengucurkan dana pinjaman yang diberikan kepada 700 pengusaha
pribumi. Di samping itu, pemerintah melaksanakan industrialisasi yang dituangkan
dalam Rencana Sumitro, dengan sasaran seperti berikut.
Mengembangkan industri dasar dengan mendirikan pabrik semen,
pemintalan, karung dan percetakan.
Meningkatkan produksi pangan, perbaikan prasarana, dan penanaman
modal asing.
c) Nasionalisasi De Javansche Bank
Usaha mengatasi krisis moneter dilakukan pula oleh Kabinet Sukiman dengan
cara nasionalisasi De Javansche Bank, Kendati mengalami krisis moneter, pemerintah
melalui Menteri Keuangan Yusuf Wibisono masih memberikan perhatian kepada para
pengusaha dan pedagang nasional golongan ekonomi lemah. Dengan pemberian
bantuan itu diharapkan para pengusaha yang merupakan produsen dapat menghemat
devisa dengan mengurangi volume impor
Seiring dengan peraturan membagi dua uang kertas, diadakan pula peraturan
sertifikat deviden, yaitu suatu usaha untuk memberikan dasar yang sewajarnya bagi
nilai rupiah. Sertifikat-sertifikat itu tidak pernah diperjualbelikan sebagai kertas
berharga yang sebenarnya. Nilainya ditentukan oleh bank dan uang yang diterimanya
diberikan atau dibayarkan kepada mereka yang berhak menerimanya. Pada tanggal 19
Juni 1951 dibentuk panitia nasionalisasi De Javansche Bank. Tugas panitia adalah
mengajukan usul mengenai nasionalisasi, rencana undang-undang nasionalisasi, serta
merencanakan undang-undang yang baru mengenai bank sentral. Pemerintah
mengangkat Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden De Javansche Bank.
d) Sistem Ali Baba
Pada masa Kabinet Ali-Wongso, Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo
melaksanakan sistem ekonomi baru yang disebut Sistem Benteng sebagaimana
digagas oleh Sumitro Djojohadikusumo. Sistem ini sering disebut sebagai Sistem Ali
Baba. Ali menggambarkan pengusaha pribumi, sedangkan Baba menggambarkan
pengusaha nonpribumi, khususnya Cina. Menurut Iskaq, pengusaha pribumi harus
bekerja sama dengan pengusaha nonpribumi dalam memajukan perekonomian
Indonesia. Untuk itu, pemerintah akan menyediakan kredit melalui bank. Namun,
sistem mengalami kegagalan karena pengusaha nonpribumi lebih piawai dari
pengusaha pribumi,
e) Persetujuan Finansial dan Ekonomi (Finek)
Persetujuan Finansial dan Ekonomi (Finek) Pada masa Kabinet Burhanuddin
Harahap dikirim delegasi ke Jenewa. Tujuannya untuk merundingkan masalah
finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Perwakilan Finek di
Jenewa adalah Anak Agung Gde Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai
kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi seperti berikut.
Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh
diikat oleh perjanjian
lain antara kedua belah pihak. Pemerintah Belanda tidak mau menandatangani
kesepakatan tersebut. Akibatnya, Indonesia mengambil langkah secara sepihak.
Tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran
Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari
keterikatan ekonomi dengan Belanda. Akhirnya, Presiden Soekarno menandatangani
undang undang pembatalan KMB pada tanggal 3 Mei 1956, Dampaknya adalah
banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha
pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
f) RPLT dan Munap
Pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II, pemerintahan membentuk Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro
ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai Menteri
Perancang Nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun
(RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui
DPR pada tanggal 11 November 1958. Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar
rupiah. RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena hal berikut.
Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir
tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan
negara merosot.
Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi
perusahaan perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak
ekonomi.
Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang
melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Dalam upaya menghadapi pergolakan daerah, pemerintah menyelenggarakan
musyawarah nasional (Munas) pada tanggal 14 September 1957. Pada Munas itu
dibahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang
serta pembagian wilayah Republik Indonesia. Ketegangan yang terjadi antara pusat
dan daerah serta antarkelompok masyarakat berhasil diatasi dengan baik. Sebagai
upaya mewujudkan keputusan Munas, maka pada bulan Desember 1957
diselenggarakan musyawarah nasional pembangunan (Munap). Dalam Munap ini
disusun rencana pembangunan yang dapat memenuhi harapan daerah.
2.3 Perkembangan Sosial Pada Masa Demokrasi Liberal
1. Kondisi Sosial Masyarakat
Pada masa ini taraf hidup masyarakat semakin naik daripada di masa revolusi.
Indikatornya adalah jumlah penduduk bertambah, kesejahteraan meningkat, dan kota-
kota semakin berkembang. Adapun kondisi sosial masyarakatnya sebagai berikut:
a. Kondisi Demografi
Salah satu indikator kemajuan pada masa demokrasi liberal adalah pertambahan
penduduk.
b. Antusiasme Rakyat dalam Politik
Sebelum Pemilu tahun 1955, pemimpin negara seperti Presiden Soekarno dan
Mohammad Hatta sering memberikan pematangan berpolitik kepada masyarakat.
Menjelang Pemilu, panitia terus memberikan pengetahuan pada masyarakat
bagaimana cara menyalurkan suara kepada masyarakat. Sosialisasi terus
dilancarkan kepada masyarakat baik itu melalui surat kabar, mobil-mobil
kampanye, dan lain sebagainya. Partai politik pun tidak saling menyerang, bahkan
tokoh-tokoh politik bersedia menemui langsung masyarakat. Hingga pada
pelaksanaan Pemilu berlangsung secara demokratis karena antusiasme masyarakat
menyalurkan hak pilihnya tanpa intervensi.
2. Kehidupan Pendidikan
a. Sistem Pendidikan
Pada masa Demokrasi Liberal sistem pendidikan yang dilaksanakan adalah
dengan sistem desentralisasi yang mana SD dan SMP menjadi urusan pemerintah
daerah (provinsi) dengan supervisi dari pemerintah pusat. Sedangkan untuk SMA
ditanggung oleh pemerintah baik masalah keuangan maupun mata pelajaran.
Namun, perhatian terhadap pendidikan dirasa masih kurang karena anggaran yang
dikeluarkan dari APBN masih cukup sedikit, yaitu 5,1% APBN pada tahun 1950
dan masih kalah pada masa kolonial Belanda yang mencapai kisaran 9,3%.
b. Perguruan Tinggi
Pendidikan tinggi menjadi fokus utama pemerintah untuk membentuk generasi
bangsa yang kompeten. Atas dasar tersebut Menteri Pendidikan Abu Hanifah
menetapkan bahwa setiap provinsi memiliki satu universitas negeri. Sehingga
pada tanggal 19 Desember 1949 didirikan Universitas Gajah Mada. Selanjutnya
berdiri Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Padjajaran,
Universitas Hassanuddin, dan Universitas Sumatra Utara.
3. Kehidupan Budaya
a. Penyempurnaan Ejaan Bahasa Indonesia
Pada tahun 1954 pemerintah mengeluarkan gagasan untuk menyempurnakan
ejaan Bahasa Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober - 2 November 1954 pemerintah
mengadakan Kongres Bahasa Indonesia di Medan. Hasil keputusannya adalah
agar usaha penyelidikan dan penetapan dasar-dasar ejaan diserahkan kepada suatu
badan pemerintah yang bertugas menyusun ejaan praktis Indonesia. Hingga
dibentuklah Panitia Pembahasan Ejaan Bahasa Indonesia melalui Surat Keputusan
Menteri PP dan K No. 448/S tanggal 19 Juli 1956. Panitia tersebut dipimpin oleh
Prof. Dr. Prijono.
b. Perkembangan Sastra
Pada masa Demokrasi Liberal, mulai muncul beberapa sastrawan lokal seperti
Sitor Situmorang dan Pramoedya Ananta Toer yang memengaruhi perkembangan
karya di Indonesia. Peran mereka mampu menggeser peran sastrawan asing yang
digandrungi masyarakat. Para sastrawan pada saat itu menjalankan fungsinya
dengan menangkap berbagai masalah kemanusiaan dibalik peristiwa getir akibat
perang
Para sastrawan tidak hanya dipengaruhi oleh gaya Eropa tetapi juga gaya Melayu
seperti Amir Hamzaah, gaya Sunda seperti Ajip Rosidi, Rusman Sutiasumarga,
dan Ramadhan K.H, dan gaya Jawa seperti W.S. Rendra, Kirdjomuljo, dan
Soeripman.
4. Kehidupan Pers
Pada masa Demokrasi Liberal pers tumbuh dengan subur menyuarakan realitas dalam
masyarakat dan pemerintahan. Selain sebagai sumber informasi pers juga berperan
sebagai kontrol sosial. Selanjutnya bermunculanlah berbagai surat kabar hingga pada
tahun 1954 di Indonesia terdapat 105 surat kabar. Selain surat kabar, sarana pers
lainnya adalah radio yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Salah satu ciri yang nampak dalam masa Demokrasi Parlementer adalah
seringnya terjadi penggantian kabinet, mulai dari Kabinet Natsir, Kabinet
Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sastroamijoyo I, Kabinet Burhanuddin
Harahap, Kabinet Ali Sastroamijoyo II, dan Kabinet Djuanda. Penyebab utama
seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa Demokrasi Parlementer adalah
karena adanya perbedaan kepentingan di antara partai-partai yang tidak pernah
dapat terselesaikan dengan baik. Pada masa ini, sistem kepartaian yang
diterapkan memang bersifat multi partai.
Pemilu pertama di Indonesia berhasil dilaksanakan pada masa Demokrasi
Parlementer, dan menampilkan empat partai besar dalam perolehan kursi hasil
pemilu: PNI, Masyumi, NU dan PKI. Dalam bidang ekonomi, kebijakan
ekonomi yang diterapkan pada 1950an umumnya merupakan upaya untuk
menggantikan struktur perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional.
Perkembangan Sosial pada masa Demokrasi Liberal juga dapat dilihat dari
beberapa aspek yakni kondisi social masyarakat, kehidupan
Pendidikan,kehidupan budaya dan juga kehidupan pers
3.2 Saran
Mempelajari sistem demokrasi parlementer yang berlangsung di Indonesia
pada tahun 1950-an, dapat memberikan pembelajaran pada kita tentang
bagaimana bangsa Indonesia belajar berdemokrasi pada masa awalnya. Hal ini
tentu saja dapat menjadi hikmah bagi kita di tengah kehidupan demokratis yang
kini tengah berlangsung. Begitu pula dengan sistem ekonomi nasional yang
diberlakukan. Penerapan kebijakan di bidang ekonomi dalam suasana demokratis
seperti pada tahun 1950-an tentu dapat menjadi pembelajaran kesejarahan yang
positif bilamana kita hendak membandingkannya dalam konteks kekinian.
DAFTAR PUSTAKA