Anda di halaman 1dari 12

Makalah dinamika politik negara indonesia

setelah proklamasi kemerdekaan indonesia


Tugas sejarah

Disusun oleh:
LUTFI MADANI (15)
XI IPA 5

TAHUN PELAJARAN 2017-2018


Dinamika Politik Indonesia

1. Periode 1945 -1959

Masa demokrasi parlementer yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai. Pada
masa ini kelemahan demokrasi parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai
politik dan DPR. Akibatnya persatuan yang digalang selama perjuangan melawan musuh
bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif sesudah
kemerdekaan.
Demokrasi parlementer (liberal) adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan
badan legislatif lebih tinggi daripada badan eksekutif.
Dinamika politik pada priode demokrasi liberal, dapat dilihat berdasarkan aktifitas politik
kenegaraan berikut:
· Awal kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945,Presiden yang untuk sementara memegang
jabatan rangkap segera membentuk dan melantik Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
tanggal 29 Agustus 1945 dengan ketua Kasman Singodimedjo untuk membantu tugas –tugas
presiden.
· Untuk menghindari kekuasaan Presiden yang terpusat ,timbul usaha –usaha untuk membangun
corak pemerintahan yang lebih demokratis, yaitu ‘parlementer’.Usaha tersebut mengkristal
ketika pada 7 Oktober 1945 lahir memorandum yang ditandatangani oleh 50 orang (dari 150
orang) anggota KNIP yang berisi dua hal:
1) Mendesak presiden agar menggunakan kekuasaan istimewanya untuk segera membentuk MPR
2) Sebelum MPR terbentuk , hendaknya anggota – anggota KNIP dianggap sebagai (diberi
kewenangan untuk melakukan fungsi dan tugas) MPR.
· Pada 16 Oktober 1945, KNIP menindaklanjuti usulannya kepada pemerintah yang kemudian
disetujui dengan keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1945 yang diktumnya
berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk MPR dan DPR di serahi kekuasan
legislative dan ikut menetapkan GBHN, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional
Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan yang di jalankan oleh sebuah Badan
Pekerja yang di pilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional
Pusat”.
· Untuk mendorong kearah cabinet parlementer, atas usul BP-KNIP pada 3 november 1945
dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang pokok isinya adalah “agar aliran-aliran dalam
masyarakat segera membentuk partai politiknya sebelum di langsungkan Pemilu yang akan
diselenggarakan pada bulan Juni 1945”. Maklumat inilah yang menjadi dasar banyak partai
atau multipartai.
· Sebagai tindak lanjut Maklumat Wakil Presiden No.X tahun 1945, kemudian keluarlah
Maklumat Pemerintah 14 November 1945 tentang Susunan Kabinet berdasarkan sisitem
parlementer. Sejak saat itu,tanpa mengubah UUD 1945 sistem pemerintahan bergeser dari
cabinet presidensial ke cabinet parlementer (liberal-dmokratis).
· Pergeseran politik Indonesia kembali mengalami dinamika sejak di berlakukan Konstitusi RIS
1949 yang menerapkan “perlementerisme” dengan “ federalisme”. Sistem federalism dalam
mekanisme hubungan antara pusat dan daerah (Negara bagian) meletakkan pemerintah
pemerintah pusat dan pemerintah Negara-Negara bagian dalam susunan yang sederajat.
Sehingga untuk parlemen, terdiri dari 2 badan (bikameral) yaitu: senat (mewakili negra bagian)
dan dewan perwakilan rakyat.
· Pada 17 Agustus 1950, RIS resmi bubar dan negra Indonesia kembali kebentuk Negara
kesatuan. Namun system politik demokrasi liberal yang diterpakan menunjukkan pola
hubungan antara pemerintah dengan parlemen sebagai bureu-nomia, yaitu pemerintahn partai
– partai. Karena sejak berlakunya UUDS 1950 (kurun waktu), partai-partai melalui parlemen
seringkali menjatuhkan mosi tidak percaya kepada cabinet sehingga cabinet yang ada hanya
berumur rata-rata 1,5 tahun. Walaupun tahun 1955 pernah dilaksanakan Pemilu pertama,
namun di segala bidang kehidupan terjadi instabilitas.

Ciri-ciri periode 1945 -1959


· Penyaluran tuntutan – tinggi tapi sistem belum memadani
· Pemeliharaan nilai – penghargaan HAM tinggi
· Kapabilitas – baru sebagian yang dipergunakan, kebanyakan masih potensial
· Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
· Integrasi horizontal- disintegrasi, muncul solidarity makers dan administrator
· Gaya politik – ideologis
· Kepemimpinan – angkatan sumpah pemuda tahun 1928
· Partisipasi massa – sangat tinggi, bahkan muncul kudeta
· Keterlibatan militer – militer dikuasai oleh sipil
· Aparat negara – loyak kepada kepentingan kelompok atau partai
· Stabilitas – instabilitas
· Tumbuh suburnya partai-partai politik, didasarkan pada Maklumat Pemerintah tanggal 3
Nopember1945. Klasifikasi partai menurut dasar/ asasnya:

Klasifikasi partai menurut dasar/ asasnya


Ketuhanan Kebangsaan Marxisme Nasionalisme

Partai Masjumi Partai Nasional Partai Komunis Partai Demokrat


Indonesia (PNI) Indonesia (PKI) Tionghoa (PTDI)
Partai Sjarikat Partai Indonesia Partai Sosialis Partai Indonesia
Indonesia Raya (Parindra) Indonesia Nasional (PIN)
Pergerakan Tarbiyan Partai Rakyat Partai Murba IPKI
Islamiah (Perti) Indonesia (PRI)
Partai Kristen Partai Demokrasi Partai Buruh
Indonesia (Parkindo) Rakyat (Banteng)
Dan lain-lain Partai Rakyat
Nasional (PRN)
Partai Kebangsaan Permai
Indonesia (Parki)
Dan lain-lain

Alfian, mengelompokkan partai politik hasil Pemilu 1955 :


1. Aliran Nasionalis (Partai Buruh, PNI, PRN, PIR Hazairin, Parindra, SKI, dan PIR-
Wongsonegoro).
2. Partai Islam (Masjumi, NU, PSII, dan Perti).
3. Aliran Komunis (PKI, SOBSI dan BTI).
4. Aliran Sosialis (PSI, dan GTI).
5. Aliran Kristen (Partai Katolik, dan Parkindo).

2. Periode 1959 -1965


Masa Demokrasi Terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dan demokrasi
konstitusional dan lebih banyak menampilkan beberapa aspek dari demokrasi rakyat. Masa ini
ditandai dengan dominasi presiden, terbatasnya peran partai politik, perkembangan pengaruh
komunis, dan peran ABRI sebagai unsur politik, semakin meluas.
Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi dimana seluruh keputusan serta
pemikiran berpusat pada pemimpin Negara
Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno :
· Dari segi keamanan nasional: Banyaknya gerakan separatis pada masa demokrasi liberal,
menyebabkan ketidakstabilan negara.
· Dari segi perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal
menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara
utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
· Dari segi politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS
1950.

Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran
Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD
1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota konstituante.
Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota
konstituante . Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul
dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.
Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa :
· 269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945
· 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan.
Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak
mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.
Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
· Tidak berlaku kembali UUDS 1950
· Berlakunya kembali UUD 1945
· Dibubarkannya konstituante
· Pembentukan MPRS dan DPAS

Dinamika politik pada periode demokrasi terpimpin dapat dilihat berdasarkan aktivitas
politik kenegaraan sebagai berikut.
· Keluarnya dekrit presiden 5 juli 1959 telah mengakhiri system politik liberal yang kemudian
diganti dengan system”demokrasi terpimpin” dan berlakunya kembali UUD 1945.
· Dekrit presiden 5 juli 1959, selai didukung oleh angkata darat dan mahkamah agung, juga di
dukung oleh rakyat karena kegagalan konstituante dalam melaksanakan tugasnya yaitu
membuat UUD yang baru.
· Situasi politik pada era reformasi demokrasi terpimpin diwarnai oleh tarik menarik tiga
kekuatan politik utama yang saling memanfaatkan, yaitu Soekarno, Angkatan Darat dan
PKI.Soekarno memerlukan PKI untuk menghadapi Angkatan Darat yang berubah menjadi
kekuatan politik yang menyaingi kekuasaan Soekarno, PKI memerlukan Soekarno untuk
mendapatkan perlindungan dari presiden dalam melawan Angkatan Drata, sedangkan
Angkatan Darat membutuhkan Soekarno untuk mendapatkan legitimasi bagi keterlibatannya
di dalam politik.
· Demokrasi Terpimpin seperti yang tercantum di dalam Tap MPRS No. VIII/MPRS/1965,
mengandung ketentuan tentang mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan ‘musyawarah
mufakat’. Jika mufakat bulat tidak dapat tercapai, maka keputusan tentang masalah yang
dimusyawarahkan itu diserahkan kepada presiden untuk diambil keputusan.
· Pilar-pilar demokrasi dan kehidupan kepartaian serta legislative menjadi sangat lemah,
sebaliknya presiden sebagai kepala eksekutif menjadi sangat kuat. Sebagai contoh, DPR yang
dibentuk melalui Pmilu 1955 dibubarkan oleh presiden pada tahun 1960. Sebagai pengganti,
DPR-GR yang dibentuk lebih banyak sekedar membrikan legitimasi atas keinginan-keinginan
Presiden.
Berikut ini beberapa penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang terjadi semasa
Demokrasi Terpimpin
· Pembentukan MPRS melalui Penetapan Presiden No. 2/1959.
· Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh presiden.
· Presiden membubarkan DPR hasil pemilu tahun 1955.
· GBHN yang bersumber pada pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang
berjudul“Penemuan Kembali Revolusi Kita” ditetapkan oleh DPA bukan oleh MPRS.
· Pengangkatan presiden seumur hidup.
Ciri ciri periode 1959 -1965
· Penyaluran tuntutan – tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas
· Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM rendah
· Kapabilitas – abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
· Integrasi vertikal – atas bawah
· Integrasi horizontal – berperan solidarity makers,
· Gaya politik – ideolog, nasakom
· Kepemimpinan – tokoh kharismatik dan paternalistic
· Partisipasi massa – dibatasi
· Keterlibatan militer – militer masuk ke pemerintahan
· Aparat negara – loyal kepada Negara
· Stabilitas – stabil

3. Periode 1966 -1998


Masa demokrasi Pancasila era Orde Baru yang merupakan demokrasi konstitusional yang
menonjolkan sistem presidensial. Landasan formal periode ini adalah Pancasila, UUD 1945
dan Ketetapan MPRS/MPR dalam rangka untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap
UUD 1945 yang terjadi di masa demokrasi terpimpin. Namun, dalam perkembangannya peran
presiden semakin dominan terhadap lembaga-lembaga negara lain.
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru
hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada
masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,
ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik
korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan
miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai
presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983,
1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis
mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada
akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi
anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia
"bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam
kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966,
tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru.
Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang
yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar
Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai
pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau
Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan
administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut
dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan
menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan
MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan
militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat
sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD
tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang
pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966
dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi
politik dan ekonomi dengan dwi tujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan
pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga
pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik
dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan
pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan
ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang
kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.

Parpol peserta Pemilu 1971 :


· Golongan Karya (Golkar),
· Partai Nasional Indonesia (PNI),
· Nahdatul Ulama (NU),
· Partai Katolik,
· Partai Murba,
· Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),
· Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI),
· Partai Kristen Indonesia (Parkindo),
· Partai Muslimin Indonesia (Parmusi),
· Partai Islam Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah).
· Hasil Pemilu 1971, menunjukkan kemenangan Golkar.

Terjadi penyederhanaan partai politik ;


· Partai berbasis Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam) menjadi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP);
· Partai berbasis sosialis dan nasionalis (Parkindo, Partai Katolik, PNI, Murba dan IPKI) menjadi
Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Berdasarkan UU No. 3 Tahun 1975, Pemilu 1977 & 1982 hanya diikuti 3 (tiga) peserta :
· PPP (ke-Islaman & ideologi Islam)
· Golkar (kekaryaan dan keadilan sosial)
· PDI (demokrasi, kebangsaan/ nasionalisme dan keadilan).
Ciri ciri periode 1966 -1998
· Penyaluran tuntutan – awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
· Pemeliharaan nilai – terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
· Kapabilitas – sistem terbuka
· Integrasi vertikal – atas bawah
· Integrasi horizontal – Nampak
· Gaya politik – intelek, pragmatik, konsep pembangunan
· Kepemimpinan – teknokrat dan ABRI
· Partisipasi massa – awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
· Keterlibatan militer – merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
· Aparat negara – loyal kepada pemerintah (Golkar)
· Stabilitas stabil

Dinamika Politik pada periode Orde Baru, dapat dilihat berdasarkan aktivitas politik
kenegaraan sebagai berikut:
· Terjadinya krisis politik yang luar biasa, yaitu banyaknya demonstrasi mahasiswa, pelajar dan
ormas-ormas onderbow parpol yang hidup dalam tekanan selama era demokrasi terpimpin,
sehingga melahirkan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yaitu:
1) Bubarkan PKI,
2) Bersihkan Kabinet Dwi Kora dari PKI,
3) Turunkan harga/perbaikan ekonomi.
· Pemerintahan Orde Baru lebih memprioritaskan pembanguan ekonomi, dan pada sisi lain rezim
ini berupaya menciptakan stabilitas politik dan keamanan. Pengalaman masa lalu dengan
demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin telah berakibat berlarut-larutnya instabilitas politik
sehingga Negara tidak memikirkan pembangunan ekonomi secara serius. Namun demikian,
upaya untuk membangun stabilitas tersebut dilakukan dengan mengekang hak-hak politik
rakyat atau demokrasi.
· Pada awal pemerintahan Orde Baru, Parpol dan Media massa diberi kebebasan unutk
melancarkan kritik dan pengungkapan realita di dalam masyarakat. Namun sejak dibentuknya
format politik baru yang dituangkan dalam UU No.15 dan 16 Tahun 1969 (tentang pemilu dan
Susduk MPR/DPR/DPRD) menggiring masyarakat Indonesia kea rah otoritarian. Dalam UU
tersebut dinyatakan bahwa pengisian 1/3 kursi anggota MPR dan 1/5 anggota DPR dilakukan
melalui pengangkatan secara langsung tanpa melalui Pemilu.
· Kemenangan Golkar pada Pemilu 1971 mengurangi oposisi terhadap pemerintah di kalangan
sipil, kareba Golkar sangat dominan, sementara partai-parti lain berada di bawah pengawasan/
control pemerintah. Kemenangan ini juga mengantarkan Golkar menjadi partai hegemonik
yang kemudian bersama ABRI dan birokrasi menjadikan dirinya sebagai tumpuan utama rezim
Orde Baru unutk mendominasi semua proses politik.
· Pada 1973 pemerintah melaksanakan penggabungan Sembilan Parpol peserta Pemilu 1971 ke
dalam 2 Parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menggabungkan partai-partai
Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan partai-partai nasional
dan Kristen. Penggabungan (fusi) ini mengakibatkan merosotnya perolehan 2 Parpol pada
Pemilu 1977, sementara Golkar mendominasi perolehan suara. Dominasi Golkar ini terus
berlanjut hingga kemenangan terbesarnya diperoleh pada tahun 1997.
· Selama Orde Baru berkuasa, pilar-pilar demokrasi seperti Parpol dan Lembaga Perwakilan
Rakyat berada dalam kondisi lemah dan selalu dibayangi oleh control dan penetrasi birokrasi
yang sangat kuat. Anggota DPR selalu dibayang-bayangi oleh mekanisme recall (penggantian
anggota DPR karena dianggap telalu kritis atau karena pelanggaran lain), sementara Parpol
tidak mempunyai otonomi internal.
· Eksekutif sangat kuat sehingga partisipasi politik dari kekuatan-kekuatan di luar birokrasi
sangat lemah. Kehidupan pers selalu dibayang-bayangi oleh pencabutan Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP). Sementara rakyat tidak diperkenankan menyelenggarakan aktivitas
social dan politik tanpa izin dari Negara. Praktis tidak muncul kekuatan civil society yang
mampu melakukan control dan menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan pemerintah
Soeharto yang sangat dominan.

4. Periode 1999 - sekarang


Masa Demokrasi Pancasila era Reformasi dengan berakar pada kekuatan multi partai yang
berusaha mengembalikan perimbangan kekuatan antar lembaga negara, antara eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Pada masa ini peran partai politik kembali menonjol, sehingga iklim
demokrasi memperoleh nafas baru. Perkembangan berikutnya masih akan kita tunggu
Era Pasca Soeharto atau Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998,
tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil
presiden BJ Habibie.
Latar belakang
Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin
besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat
itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi
mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang
kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas
hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri,
Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Dinamika politik pada periede era Reformasi, dapat dilihat berdasarkan aktivitas politik
kenegaraan sebagai berikut:
· Kebijakan pemerintah yang member ruang gerak lebih luas terhadap hak-hak untuk
mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan yang terwujud dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Misalnya dikeluarkannya UU No. 2/1999 tentang Partai Politik yang
memungkinkan multipartai, UU No. 12/1999 tentang Pegawai Negeri yang menjadi anggota
Parpol, dan sebagainya.
· Upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN, berwibawa dan bertanggung jawab
dibuktikan dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No.IX/MPR/1998. Ketetapan MPR ini
ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan sebagainya.
· Lembaga legislative dan organisasi social politik sudah memiliki keberanian unutk menyatakan
pendapatnya terhadap eksekutif yang cenderung lebih seimbang dan proporsional.
· Satu hal yang membanggakan kita dalam reformasi politik adalah adanya pembatasan jabatan
Presiden, dan untuk pemilu 2004 Presiden dan Wakil Presiden tidak dipilih lagi oleh MPR
melainkan dipilih langsung oleg rakyat. Demikian juga untuk anggota legislative, mereka telah
diketahui secara terbuka oleh masyarakat luas. Selain itu dibentuk pula Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) untuk mengakomodasi aspirasi daerah.

Komposisi Partai yang memperoleh kursi dalam Pemilu Legislatif 9 April 2009 yaitu :
1) Partai Demokrat : 148
2) Partai Golkar : 106
3) PDI Perjuangan : 94
4) Partai Keadilan Sejahtera : 57
5) Partai Amanat Nasional : 46
6) Partai Persatuan Pembangunan : 38
7) Partai Kebangkitan Bangsa : 28
8) Partai Gerakan Indonesia Raya : 26
9) Partai Hati Nurani Rakyat : 17
JUMLAH : 560

Ciri ciri periode 1999 - sekarang


· Penyaluran tuntutan – tinggi dan terpenuhi
· Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi
· Kapabilitas – disesuaikan dengan Otonomi daerah
· Integrasi vertikal – dua arah, atas bawah dan bawah atas
· Integrasi horizontal – nampak, muncul kebebasan (euforia)
· Gaya politik – pragmatic
· Kepemimpinan – sipil, purnawiranan, politisi
· Partisipasi massa – tinggi
· Keterlibatan militer – dibatasi
· Aparat negara – harus loyal kepada negara bukan pemerintah
· Stabilitas – instabil

Anda mungkin juga menyukai