Disusun oleh:
LUTFI MADANI (15)
XI IPA 5
Masa demokrasi parlementer yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai. Pada
masa ini kelemahan demokrasi parlementer memberi peluang untuk dominasi partai-partai
politik dan DPR. Akibatnya persatuan yang digalang selama perjuangan melawan musuh
bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif sesudah
kemerdekaan.
Demokrasi parlementer (liberal) adalah suatu demokrasi yang menempatkan kedudukan
badan legislatif lebih tinggi daripada badan eksekutif.
Dinamika politik pada priode demokrasi liberal, dapat dilihat berdasarkan aktifitas politik
kenegaraan berikut:
· Awal kemerdekaan proklamasi 17 Agustus 1945,Presiden yang untuk sementara memegang
jabatan rangkap segera membentuk dan melantik Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
tanggal 29 Agustus 1945 dengan ketua Kasman Singodimedjo untuk membantu tugas –tugas
presiden.
· Untuk menghindari kekuasaan Presiden yang terpusat ,timbul usaha –usaha untuk membangun
corak pemerintahan yang lebih demokratis, yaitu ‘parlementer’.Usaha tersebut mengkristal
ketika pada 7 Oktober 1945 lahir memorandum yang ditandatangani oleh 50 orang (dari 150
orang) anggota KNIP yang berisi dua hal:
1) Mendesak presiden agar menggunakan kekuasaan istimewanya untuk segera membentuk MPR
2) Sebelum MPR terbentuk , hendaknya anggota – anggota KNIP dianggap sebagai (diberi
kewenangan untuk melakukan fungsi dan tugas) MPR.
· Pada 16 Oktober 1945, KNIP menindaklanjuti usulannya kepada pemerintah yang kemudian
disetujui dengan keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1945 yang diktumnya
berbunyi sebagai berikut:
“Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk MPR dan DPR di serahi kekuasan
legislative dan ikut menetapkan GBHN, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional
Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan yang di jalankan oleh sebuah Badan
Pekerja yang di pilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional
Pusat”.
· Untuk mendorong kearah cabinet parlementer, atas usul BP-KNIP pada 3 november 1945
dikeluarkan Maklumat Pemerintah yang pokok isinya adalah “agar aliran-aliran dalam
masyarakat segera membentuk partai politiknya sebelum di langsungkan Pemilu yang akan
diselenggarakan pada bulan Juni 1945”. Maklumat inilah yang menjadi dasar banyak partai
atau multipartai.
· Sebagai tindak lanjut Maklumat Wakil Presiden No.X tahun 1945, kemudian keluarlah
Maklumat Pemerintah 14 November 1945 tentang Susunan Kabinet berdasarkan sisitem
parlementer. Sejak saat itu,tanpa mengubah UUD 1945 sistem pemerintahan bergeser dari
cabinet presidensial ke cabinet parlementer (liberal-dmokratis).
· Pergeseran politik Indonesia kembali mengalami dinamika sejak di berlakukan Konstitusi RIS
1949 yang menerapkan “perlementerisme” dengan “ federalisme”. Sistem federalism dalam
mekanisme hubungan antara pusat dan daerah (Negara bagian) meletakkan pemerintah
pemerintah pusat dan pemerintah Negara-Negara bagian dalam susunan yang sederajat.
Sehingga untuk parlemen, terdiri dari 2 badan (bikameral) yaitu: senat (mewakili negra bagian)
dan dewan perwakilan rakyat.
· Pada 17 Agustus 1950, RIS resmi bubar dan negra Indonesia kembali kebentuk Negara
kesatuan. Namun system politik demokrasi liberal yang diterpakan menunjukkan pola
hubungan antara pemerintah dengan parlemen sebagai bureu-nomia, yaitu pemerintahn partai
– partai. Karena sejak berlakunya UUDS 1950 (kurun waktu), partai-partai melalui parlemen
seringkali menjatuhkan mosi tidak percaya kepada cabinet sehingga cabinet yang ada hanya
berumur rata-rata 1,5 tahun. Walaupun tahun 1955 pernah dilaksanakan Pemilu pertama,
namun di segala bidang kehidupan terjadi instabilitas.
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran
Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD
1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota konstituante.
Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota
konstituante . Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul
dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.
Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa :
· 269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945
· 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan.
Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak
mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.
Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut
Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 :
· Tidak berlaku kembali UUDS 1950
· Berlakunya kembali UUD 1945
· Dibubarkannya konstituante
· Pembentukan MPRS dan DPAS
Dinamika politik pada periode demokrasi terpimpin dapat dilihat berdasarkan aktivitas
politik kenegaraan sebagai berikut.
· Keluarnya dekrit presiden 5 juli 1959 telah mengakhiri system politik liberal yang kemudian
diganti dengan system”demokrasi terpimpin” dan berlakunya kembali UUD 1945.
· Dekrit presiden 5 juli 1959, selai didukung oleh angkata darat dan mahkamah agung, juga di
dukung oleh rakyat karena kegagalan konstituante dalam melaksanakan tugasnya yaitu
membuat UUD yang baru.
· Situasi politik pada era reformasi demokrasi terpimpin diwarnai oleh tarik menarik tiga
kekuatan politik utama yang saling memanfaatkan, yaitu Soekarno, Angkatan Darat dan
PKI.Soekarno memerlukan PKI untuk menghadapi Angkatan Darat yang berubah menjadi
kekuatan politik yang menyaingi kekuasaan Soekarno, PKI memerlukan Soekarno untuk
mendapatkan perlindungan dari presiden dalam melawan Angkatan Drata, sedangkan
Angkatan Darat membutuhkan Soekarno untuk mendapatkan legitimasi bagi keterlibatannya
di dalam politik.
· Demokrasi Terpimpin seperti yang tercantum di dalam Tap MPRS No. VIII/MPRS/1965,
mengandung ketentuan tentang mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan ‘musyawarah
mufakat’. Jika mufakat bulat tidak dapat tercapai, maka keputusan tentang masalah yang
dimusyawarahkan itu diserahkan kepada presiden untuk diambil keputusan.
· Pilar-pilar demokrasi dan kehidupan kepartaian serta legislative menjadi sangat lemah,
sebaliknya presiden sebagai kepala eksekutif menjadi sangat kuat. Sebagai contoh, DPR yang
dibentuk melalui Pmilu 1955 dibubarkan oleh presiden pada tahun 1960. Sebagai pengganti,
DPR-GR yang dibentuk lebih banyak sekedar membrikan legitimasi atas keinginan-keinginan
Presiden.
Berikut ini beberapa penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang terjadi semasa
Demokrasi Terpimpin
· Pembentukan MPRS melalui Penetapan Presiden No. 2/1959.
· Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh presiden.
· Presiden membubarkan DPR hasil pemilu tahun 1955.
· GBHN yang bersumber pada pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang
berjudul“Penemuan Kembali Revolusi Kita” ditetapkan oleh DPA bukan oleh MPRS.
· Pengangkatan presiden seumur hidup.
Ciri ciri periode 1959 -1965
· Penyaluran tuntutan – tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Front nas
· Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM rendah
· Kapabilitas – abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju
· Integrasi vertikal – atas bawah
· Integrasi horizontal – berperan solidarity makers,
· Gaya politik – ideolog, nasakom
· Kepemimpinan – tokoh kharismatik dan paternalistic
· Partisipasi massa – dibatasi
· Keterlibatan militer – militer masuk ke pemerintahan
· Aparat negara – loyal kepada Negara
· Stabilitas – stabil
Berdasarkan UU No. 3 Tahun 1975, Pemilu 1977 & 1982 hanya diikuti 3 (tiga) peserta :
· PPP (ke-Islaman & ideologi Islam)
· Golkar (kekaryaan dan keadilan sosial)
· PDI (demokrasi, kebangsaan/ nasionalisme dan keadilan).
Ciri ciri periode 1966 -1998
· Penyaluran tuntutan – awalnya seimbang kemudian tidak terpenuhi karena fusi
· Pemeliharaan nilai – terjadi Pelanggaran HAM tapi ada pengakuan HAM
· Kapabilitas – sistem terbuka
· Integrasi vertikal – atas bawah
· Integrasi horizontal – Nampak
· Gaya politik – intelek, pragmatik, konsep pembangunan
· Kepemimpinan – teknokrat dan ABRI
· Partisipasi massa – awalnya bebas terbatas, kemudian lebih banyak dibatasi
· Keterlibatan militer – merajalela dengan konsep dwifungsi ABRI
· Aparat negara – loyal kepada pemerintah (Golkar)
· Stabilitas stabil
Dinamika Politik pada periode Orde Baru, dapat dilihat berdasarkan aktivitas politik
kenegaraan sebagai berikut:
· Terjadinya krisis politik yang luar biasa, yaitu banyaknya demonstrasi mahasiswa, pelajar dan
ormas-ormas onderbow parpol yang hidup dalam tekanan selama era demokrasi terpimpin,
sehingga melahirkan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yaitu:
1) Bubarkan PKI,
2) Bersihkan Kabinet Dwi Kora dari PKI,
3) Turunkan harga/perbaikan ekonomi.
· Pemerintahan Orde Baru lebih memprioritaskan pembanguan ekonomi, dan pada sisi lain rezim
ini berupaya menciptakan stabilitas politik dan keamanan. Pengalaman masa lalu dengan
demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin telah berakibat berlarut-larutnya instabilitas politik
sehingga Negara tidak memikirkan pembangunan ekonomi secara serius. Namun demikian,
upaya untuk membangun stabilitas tersebut dilakukan dengan mengekang hak-hak politik
rakyat atau demokrasi.
· Pada awal pemerintahan Orde Baru, Parpol dan Media massa diberi kebebasan unutk
melancarkan kritik dan pengungkapan realita di dalam masyarakat. Namun sejak dibentuknya
format politik baru yang dituangkan dalam UU No.15 dan 16 Tahun 1969 (tentang pemilu dan
Susduk MPR/DPR/DPRD) menggiring masyarakat Indonesia kea rah otoritarian. Dalam UU
tersebut dinyatakan bahwa pengisian 1/3 kursi anggota MPR dan 1/5 anggota DPR dilakukan
melalui pengangkatan secara langsung tanpa melalui Pemilu.
· Kemenangan Golkar pada Pemilu 1971 mengurangi oposisi terhadap pemerintah di kalangan
sipil, kareba Golkar sangat dominan, sementara partai-parti lain berada di bawah pengawasan/
control pemerintah. Kemenangan ini juga mengantarkan Golkar menjadi partai hegemonik
yang kemudian bersama ABRI dan birokrasi menjadikan dirinya sebagai tumpuan utama rezim
Orde Baru unutk mendominasi semua proses politik.
· Pada 1973 pemerintah melaksanakan penggabungan Sembilan Parpol peserta Pemilu 1971 ke
dalam 2 Parpol, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menggabungkan partai-partai
Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan partai-partai nasional
dan Kristen. Penggabungan (fusi) ini mengakibatkan merosotnya perolehan 2 Parpol pada
Pemilu 1977, sementara Golkar mendominasi perolehan suara. Dominasi Golkar ini terus
berlanjut hingga kemenangan terbesarnya diperoleh pada tahun 1997.
· Selama Orde Baru berkuasa, pilar-pilar demokrasi seperti Parpol dan Lembaga Perwakilan
Rakyat berada dalam kondisi lemah dan selalu dibayangi oleh control dan penetrasi birokrasi
yang sangat kuat. Anggota DPR selalu dibayang-bayangi oleh mekanisme recall (penggantian
anggota DPR karena dianggap telalu kritis atau karena pelanggaran lain), sementara Parpol
tidak mempunyai otonomi internal.
· Eksekutif sangat kuat sehingga partisipasi politik dari kekuatan-kekuatan di luar birokrasi
sangat lemah. Kehidupan pers selalu dibayang-bayangi oleh pencabutan Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP). Sementara rakyat tidak diperkenankan menyelenggarakan aktivitas
social dan politik tanpa izin dari Negara. Praktis tidak muncul kekuatan civil society yang
mampu melakukan control dan menjadi kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan pemerintah
Soeharto yang sangat dominan.
Komposisi Partai yang memperoleh kursi dalam Pemilu Legislatif 9 April 2009 yaitu :
1) Partai Demokrat : 148
2) Partai Golkar : 106
3) PDI Perjuangan : 94
4) Partai Keadilan Sejahtera : 57
5) Partai Amanat Nasional : 46
6) Partai Persatuan Pembangunan : 38
7) Partai Kebangkitan Bangsa : 28
8) Partai Gerakan Indonesia Raya : 26
9) Partai Hati Nurani Rakyat : 17
JUMLAH : 560