Anda di halaman 1dari 10

Sejarah singkat parmalim

Secara historis, religi Parmalim pertama kali diprakarsai oleh seorang datu bernama
Guru Somaliang Pardede(Horsting 1914; Tichelman 1937; Helbig 1935), seorang yang sangat
dekat dengan Sisingamangaraja XII (raja terakhir dari dinasti Sisingamangaraja). Menurut
beberapa penulis Barat, ajaran ini dijalankan oleh para pengikut Sisingamangaraja (khususnya
oleh dua orang pemimpin perangnya, Guru Somaliang dan Raja Mulia Naipospos), dengan
tujuan untuk melindungi kepercayaan dan kebudayaan tradisional Batak Toba dari pengaruh
Kristen, Islam, dan kolonialis Belanda (Sidjabat 1983:326).

Di dalam kehidupan masa lalunya Somaliang Pardede pernah bertemu dengan Dr.
Modigliani—seorang pendeta Katolik, sekaligus juga seorang ahli tumbuhan, berkebangsaan
Itali-yang bekerja di tanah Toba sejak 1889 hinga 1891. Hubungan Somaliang dengan orang
Aceh pada dasarnya merupakan suatu kolaborasi untuk menghadapi opresi kolonial Belanda di
wilayah utara Sumatera. Karena Somaliang telah diasumsikan oleh Belanda sebagai seorang
ekstrimis yang berbahaya, ia akhirnya ditangkap dan dibuang ke Pulau Jawa pada tahun 1896.
Namun demikian, ajaran Parmalim tetap dipraktekkan oleh murid-murid Somaliang dan
pengikutnya yang lain setelah pengasingannya. Tetapi mereka menghadapi opresi yang baru,
yakni berbagai tekanan dari misionaris Kristen (Horsting 1914:163).

Tichelman (1937:27-28) menyatakan bahwa terjadinya kontak kebudayaan telah


mempengaruhi terbentuknya ajaran Parmalim, dan menghasilkan produk religi ‘sinkretis’
sebagai contoh dapat ditemukan beberapa elemen Katolik di dalamnya, seperti ‘Jahowa’
(Jehovah, nama Tuhan dalam ajaran Katolik), ‘Maria, Yesus’, dan nama-nama orang suci dalam
ajaran Katolik. Pengaruh Islam juga terdapat di dalam ajaran tersebut. Nama ‘parmalim’ itu
sendiri berasal dari kata ‘malim’, yakni dari kata Melayu ‘malim’ yang berarti “ahli dalam
pengetahuan agama’ (dalam bahasa Arab, ‘muallim’). Tidak seperti Tichelman, interpretasi
Horsting (1914) terhadap historiografi religi Parmalim sedikit berbeda. Ia menyatakan,
religi Parmalim merupakan percampuran (blend) dari ajaran Jahudi, Katolik, Islam dan
ajaran Sipelebegu9 . Tuhan mereka adalah Jehowah yang mengirim/menghadirkan Si
Singamangaraja untuk menggantikan diriNya. Setelah kematiannya, para
pengikut Parmalim percaya bahwa jiwanya mendapat tempat ‘di sisi tangan kanan dari Jahowa’
(Horsting 1914:1963-164; lihat juga Helbig 1935).

Pendapat dan pandangan mengenai keberadaan religi Parmalim juga banyak


dibicarakan oleh para peneliti penduduk asli Batak Toba sendiri; di antaranya Nurmasita R.
Gultom (1990), Bernard Purba (1986); dan Gerfarius Aritonang (1991). Gultom (1990)
menyatakan bahwa ‘agama’ tradisional Batak Toba dikombinasikan dalam beberapa organisasi
religius yang di antaranya disebut Parmalim, Si Raja Batak, dan kelompok masyarakat
tradisional yang tidak memeluk satu pun dari keduanya. Setelah agama Kristen dan Islam masuk
ke tanah Batak, sebagian masyarakat menerima dan berpindah ke salah satu dari kedua agama
tersebut. Meskipun mereka telah menganut salah satu agama, berbagai konsep berasal dari
kepercayaan tradisional tetap dipraktekkan, khususnya pada  masyarakat yang berdiam di
pedesaan. Kebanyakan masyarakat menganggap, konsep maupun perilaku tradisional tersebut
hanya sebagai ‘adat’. Kenyataannya, sulit untuk membedakan/memisahkan antara ‘adat’ dan
‘religi’ dalam kehidupan orang Batak Toba. Kedua aspek tersebut menyatu di dalam
kebudayaan spiritualnya.

Parmalim adalah agama yang dianut khususnya di Sumatera Utara. Tuhan sebagai “debata
mulajadi nabolon”—pencipta manusia, bumi, langit, dan segala isi semesta yang disembah oleh
“Umat Ugamo Malim”.
Dari kalangan masyarakat Batak sendiri menyebutkan bahwa menurut cerita lisan yang
berkembang dilingkungan masyarakatBatak menyebutkan asal usul Parmalim itu di mulai sejak
Raja Sisingamangaraja XII yang berkuasa menggantikan kedudukan ayahnya Sisingamangaraja
XI yang meninggal dunia tahun 1875.
Dewasa ini penganut kepercayaan Parmalim yang berpusat di Hutatinggi, Laguboti, Toba
samosir, Tapanuli Utara, tersebar diberbagai wilayah di Sumatra dan di Jawa termasuk di
daerah Aceh Selatan, antara lain; di Barus, DKI Jakarta dan Kawasan Sumatra sendiri.
Dalam melaksanakan ibadah:
Parmalim melaksanakan upacara (ritual) Patik Ni Ugamo Malim untuk mengetahui kesalahan
dan dosa, serta memohon ampun dari Tuhan Yang Maha Esa yang diikuti dengan bergiat
melaksanakan kebaikan dan penghayatan semua aturan Ugamo Malim.
Sejak lahir hingga ajal tiba, seorang “Parmalim” wajib mengikuti 7 aturan Ugamo Malim dengan
melakukan ritual (doa). Ke-7 aturan tersebut adalah :
1. Martutuaek (kelahiran)
2. Pasahat Tondi (kematian)
3. Mararisantu (peribadatan setiap hari sabtu)
4. Mardebata (peribadatan atas niat seseorang)
5. Mangan Mapaet (peribadatan memohon penghapusan dosa)
6. Sipaha Sade (peribadatan hari memperingati kelahiran Tuhan Simarimbulubosi)
7. Sipaha Lima (peribadatan hari persembahan / kurban)

Selain ke-7 aturan wajib di atas, seorang “Parmalim” harus menjunjung tinggi nilai – nilai
kemanusiaan seperti menghormati dan mencintai sesama manusia, menyantuni fakir miskin,
tidak boleh berbohong, memfitnah, berzinah, mencuri, dan lain sebagainya.
Diluar hal tersebut, seorang “Parmalim” juga diharamkan memakan daging babi, daging anjing
dan binatang liar lainnya, serta binatang yang berdarah, dilarang menebang pohon
sembarangan, ritual pemandian bayi berumur satu bulan (Martutu Aek), ritual yang dilakukan
setelah sebulan saat kematian (Pasahat Tondi).

Adapun Kitab-Kitab Dalam Agama Parmalim ialah :

Kitab Batara Guru


Kitab ini berisi seluruh rahasia Allah tentang terjadinya bumi dan manusia beserta kodrat
kehidupan dan kebijakan manusia yang tercermin pada Batara Guru yang mempunyai lambang
hitam.

Kitab Debata Sorisohaliapan


Kitab ini berisi tatanan hidup manusia, mana yang dapat dilakukan dan mana yang tidak dapat
dilakukan sesuai dengan titah dan peraturan sesuai dengan budaya masing-masing.

Kitab Mangala Bulan


Kitab Mangala Bulan menerangkan tentang cerminan kekuatan Allah. Kitab ini menceritakan
kekuatan manusia dalam menjalani hidup termasuk bumi dan seni bela diri batak dalam
menjalani hidup sehari-hari. Kitab ini terbagi atas dua jenis

Debata Asi-Asi
Kitab ini menerangkan tentang inti dari Kitab Batara Guru, Debata Sorisohaliapan, Mangala
Bulan (Debata Natolu) dan induk dari segala kitab. Kitab ini juga berisi tentang ilmu
pengetahuan manusia, karena manusia adalah titisan Debata Asi-asi.

Kitab Boru Debata


Kitab ini berisikan tentang kehidupan wanita hingga memperoleh anak termasuk para putri
titisan Allah juga mengenai para ratu air.

Kitab Pengobatan
Kitab ini menerangkan tentang bagaimana manusia agar selalu sehat, bagi orang sakit menjadi
sembuh, bagaimana agar dekat dengan Tuhan dan bagaimana cara melaksanakan budaya ritual
agar manusia itu sehat. Dalam kehidupan orang batak segala sesuatunya termasuk mengenai
pengobatan selalu seiring dengan budaya ritual dan barang pusaka peninggalan leluhur jaman
dahulu untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada sang pencipta agar manusia
tetap sehat dan jauh dari mara bahaya. Kitab ini dibagi empat bagian.

Falsafah Batak
Kitab ini berisi tentang adat istiadat, budaya, hukum, aksara seni tari, seni musik terutama
bidang pemerintahan kerajaan sosial ekonomi.

Kitab Pane Nabolon


Sejak zaman dahulu orang batak sudah mengetahui perjalanan bulan dan bintang setiap
harinya. Parhalaan Batak adalah cerminan pane nabolon hukum alam terhadap setiap manusia.
Apa yang akan terjadi besok, kelak menjadi apa anak yang baru lahirkan , bagaimana nasib
seseorang, barang hilang serta langkah yang baik bagi orang Batak sudah merupakan kebiasaan
pada zaman dahulu kala demikian halnya dalam mengadakan pesta ritual segalanya lebih
dahulu membuka buku parhalaan (Buku Perbintangan). Kitab ini di bagi dua bagian.
Kitab Raja Uhum Manisia
Kitab ini adalah kitab yang berisi penghakiman. 

Ritual suci
Marari Sabtu, yaitu pada setiap hari Sabtu atau Samisara seluruh umat Parmalim berkumpul di
tempat yang sudah yang sudah ditentukan baik si Bale Partonggoan, Bale Pasogit di pusat
maupun di rumah parsantian di cabang/daerah untuk melakukan sembah dan puji kepada
Mulajadi Nabolon dan pada kesempatan itu para anggota diberi poda atau bimbingan agar
lebih tekun berprilaku menghayati Ugamonya.

Martutuaek, yaitu upacara yang dilakukan dirumah umat yang mendapat karunia kelahiran
seorang anak, atau pemberian nama kepada anak. Anak yang baru lahir sebelum dibawa
berpergian kemana mana harus lebih dahulu diperkenalkan dengan bumi terutama air untuk
membersihkan dan ini dilaksanakan untuk membawa anak tersebut ke umbul mata air disertai
bara api tempat membakar dupa. Kemudian baru dibawa ke dunia baru yaitu pasar dan diberi
buah buahan manis perlambang hari kedepan yang makin manis. Setelah dirumah dilanjutkan
lagi dengan upacara, bergantung kepada kemampuan keluarga tersebut. Pada saat pulang dari
pasar tadi,siapa saja diinginkan oleh keluarga si anak meminta buah buahan bawaan si anak
tadi sebagai perlambang bahwa si anak kelak akan bersifat maduma.

Mardebata, yaitu upacara yang sifatnya individual dimana seorang melaksanakan upacara
sendiri tanpa melibatkan orang lain. Ritus ini sendiri mempunyai tujuan ganda yaitu meminta
keampunan dosa atau menebus dosa dan syukuran. Seseorang yang merasa menyimpang dari
aturan patik perlu menyelenggarakan pardebataon sebagai sarana untuk menebus dosanya.
Bagi orang lain pardebataon itu mungkin pula untuk mewujudkan kaulnya. Jika upacaranya
dibuat besar besaran misalnya untuk mewujudkan niatnya harus dengan menyajikan sesaji
secukupnya dan boleh juga dihantar gendang sabangunan serta di atur oleh tata upacara resmi
sesuai dengan tata upacara dari Ihutan atau dari Uluan.

Pasahat Tondi. Upacara kematian dibagi dalam dua tahap. Pertama adalah pengurusan jenazah
menjelang pemakaman, kedua adalah pasahat tondi. Pemberangkatan jenazah dipimpin oleh
Ihutan atau Ulupunguan dengan upacara doa “Borhat ma ho tu habangsa panjadianmu”

Setelah pemakaman, dilanjutkan dengan upacara pasahat tondi yaitu upacara mengantar roh
dalam arti harfiah. Tuhan menciptakan manusia atas dua bagian yaitu badan dan roh
(pamatang dohot tondi). Apabila badan mati, roh tidak ikut mati, Ia kembali kepada
penciptanya, sesuai dengan pandangan Ketuhanan Parmalim, bahwa :”ngolu dohot hamatean
huaso ni Debata”.

Mangan Napaet adalah upacara atau berpuasa untuk menebus dosa dilaksanakan selama 24
jam penuh pada setiap penghujung tahun kalender Batak yaitu pada ari hurung bulan
hurung. Upacara ini bersifat umum dilaksanakan di setiap cabang. Perangkat dasar upacara ini
selain pangurason dan pardupaon yang terpenting ialah mangan napaet, diramu dari beberapa
jenis buah dan daun yang pahit seperti daun pepaya, buah ingkir,babal,cabe rawit, jeruk bali
muda dan garam.

Mangan napaet merupakan pengabdian warga parmalim kepada Raja Nasiakbagi yang
menderita untuk manusia. Selain itu merupakan simbol dari kehidupan yang pahit kepada
kehidupan yang manis. Dan juga arti mangan napaet akan di akhiri dengan mangan natonggi
dan inilah permulaan hidup perilaku baru untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari hari.
Setelah mangan napaet maka dilaksanakan pula upacara persembahan kambing putih kepada
Mulajadi Nabolon.

Upacara Sipaha Sada adalah merupakan upacara yang paling hikmat dan mengandung nilai
religius yang paling dalam, bagi umat Parmalim. Pelaksanaan upacara ini disambut gembira
karena sehari sebelumnya Parmalim baru saja selesai mengadakan upacara mangan napaet
yaitu suatu acara pembebasan manusia dari dosa. Upacara sipaha sada adalah penyambutan
datangnya tahun baru Ugamo Malim atau acara pergantian tahun sekaligus dinamakan Tahun
Baru Batak.

Hari pertama sipaha Sada disebut artia. Pada hari itu ugamo Parmalim berada pada suasana
hening atau disebut robu. Ini merupakan hari perenungan akan perjalanan hidup diri sendiri
atau katakan saja dengan dialog batin. Dan hari berikutnya dinamai Suma. Pada hari itu
diperingati hari lahir Simarimbulubosi. Upacara dipusatkan di Bale Pasogit. Upacara ini
melakukan sesajen juga kepada Mulajadi Nabolon termasuk ketiga wujud pancaran kuasa yaitu
Batara guru, Debata Sori dan Debata Balabulan, seterusnya kepada Raja Nasiakbagi dihantarkan
asap dupa, dengan bunyi gendang sabangunan.

Upacara Sipaha Lima yaitu upacara yang dilakukan pada bulan kalender Batak untuk
menyampaikan pujipujian kepada Mulajadi Nabolon termasuk kepada wujud Pancaran
Kuasanya Batara guru, Debata Sori dan Debata Balabulan, seterusnya kepada Raja Nasiakbagi,
karena atas berkatnya semuanya memperoleh rahmat,sehat jasmani dan rohani. Upacara ini
disebut upacara kurban, karena sesaji yang di persembahkan adalah kurban berupa kerbau atau
lembu.
Sebenarnya upacara ini berpangkal dari persembahan hasil penuaian pertama kira kira dua liter
atau patunoma dari panen kepada Mulajadi Nabolon. Upacara dilakukan besar besaran oleh
semua umat parmalim yang datang dari segala penjuru tanah air dan ditampung di Bale
Pangaminan. Sajian pertama kepada Mulajadi Nabolon diantar dengan asap dupa, dengan
bunyi gendang sabangunan.

Upacara sipaha Lima diselenggarakan pada hari ke 12 – 13 dan 14 menjelang bulan purnama.
Hari tersebut dinamakan Boraspati, singkora,dan Samisara berkisar antara bulan Juli – Agustus
pada bulan Masehi. Upacara diadakan penuh khidmat tanda syukur kepada Mulajadi Nabolon
agar diberi keselamatan dan kesejahteraan pada hari hari berikutnya.

Tempat ibadah Umat Parmalim disebut Bale Pasogit.

Jika melihat fisik bangunan rumah ibadah Parmalim, Bentuk bangunan Bale Pasogit menyerupai
gereja pada umumnya. Namun, dilengkapi lapangan yang cukup luas yang digunakan umat
Parmalim merayakan hari besar mereka. maka pada atap bangunan terdapat lambang tiga ekor
ayam. Lambang Tiga ayam ini punya warna yang berbeda, yaitu hitam lambang
kebenaran, putih lambang kesucian dan merah lambang kekuatan atau kekuasaan. merupakan
lambang ”partondion” (keimanan). Konon, menurut ajaran Parmalim, ada tiga partondian yang
pertama kali diturunkan Debata ke Tanah Batak, yaitu Batara Guru, Debata Sori dan Bala Bulan.
Sementara ayam merupakan salah satu hewan persembahan (kurban) kepada Debata.

Saat itulah tari tor-tor digelar sebagai bentuk pemujaan. Tarian itu diiringi Gondang
Sabangunan yang merupakan alat musik orang Batak. Tari tor-tor dipercaya sebagai salah satu
bentuk persembahan juga.

Ketika upacara berlangsung, laki-laki yang sudah menikah mengenakan sorban di kepala, juga
sarung dan selendang Batak, atau ulos. Sementara yang perempuan memakai sarung, juga
mengonde rambut mereka. Pujian dan persembahan dilakukan dengan hati suci, atau
hamalimon.

Dibawah ini ada beberapa pernyataan dan pengakuan dari Pimpinan Agama Parmalim yang
berada di Hutatinggi Lagu Boti Kabupaten Tobasa:

Berdasarkan sejarah, Parmalim Hutatinggi dirintis Raja Mulia Naipospos (wafat 18 Februari
1956). Saat ini Parmalim Hutatinggi dipimpin Raja Marnakkok Naipospos, cucu Raja Mulia
Naipospos. Penganut Parmalim Hutatinggi tercatat sekitar 6.000 jiwa (1.500 KK) dan tersebar di
50 komunitas di seluruh Indonesia.
Di Hutatinggi, terdapat kompleks bernama Bale Pasogit (balai asal-asul). Ada empat bangunan
berarsitek Batak yang terdapat dalam kompleks itu yakni, Bale Partonggoan (balai doa), Bale
Parpitaan (balai sakral), Bale Pangaminan (balai pertemuan), dan Bale Parhobasan (balai
pekerjaan dapur). Bagi umat Parmalim, Bale Pasogit merupakan Huta Nabadia (tanah suci).
Semua bale ini didesain dengan motof batak yang sarat dengan arti khusus.
Di kompleks itu pula, dua kali dalam setahun, umat Parmalim menggelar upacara keagamaan
besar Sihapa Sada (upacara menyambut tahun baru sekaligus memperingati kelahiran para
pemimpin spiritual Parmalim) dan Sipaha Lima (upacara syukuran atas rahmat yang diterima
dari Raja Mulajadi Nabolon). Dalam upacara syukur Doa dipimpin langsung oleh Raja
Marnakkok Naipospos, yaitu ulu panguan atau pemimpin spiritual Parmalim terbesar di Desa
Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Dalam doanya, Marnakkok
Naipospos mengucap syukur kepada Tuhan yang telah memberikan kehidupan. Ucapan syukur
dilakukan umat Parmalim setiap hari Sabtu.

Beberapa ucapan dan pengakuan Pimpinan Agama Parmalim :


Marnakkok Naipospos: “Samisara itu hari ketujuh bagi orang Batak. Diidentikkan dengan hari
Sabtu, supaya berlaku untuk selamanya. Karena kalau kita bertahan pada kalender Batak, yang
muda ini bisa bingung. Makanya kakek kita menentukan samisara ini hari Sabtu.”

Marnakkok Naipospos: “Inilah balai pasogit. Ini tempat ibadah dan menyembah setiap hari
Sabtu. Seluruh warga masuk ke rumah ini. Kira kira 1 jam kita beribadah, tergantung jemaat
yang akan memberikan wejangan. Karena mereka secara sukarela memberikan wejangan
kepada jemaat lain.”

Monang Naipospos: “Jadi Sipaha Sada inilah bulan pertama inilah tahun tanggal pertamanya, ini
lah tahun baru orang Batak. Karena pada pertengahan bulan itu adalah bulan penuh di atas,
bulan purnama, jadi pada saat itulah kita melakukan persembahan kepada mula jadi nabolon.”

Monang Naipospos: “Jadi tor-tor itu juga persembahan, karena total gerak kita harus sadar
karena untuk persembahan, sehingga gerakannya harus hati-hati, karena gerakan tor-tor
Parmalim bukan hiburan.”

Monang Naipospos – Pengurus Parmalim Hutatinggi

Monang Naipospos: “Sejak raja Batak, sudah mengenal yang menciptakannya. Makanya semua
orang Batak tahu, bahwa yang menciptakan semua ini adalah Raja Mula Na bolon. Nah, ajaran
ajaran ini disebut dengan kesucian atau hamalimon.”

Begitulah umat Ugamo Malim dalam melaksanakan ritual suci mereka. Tapi pelaksanaan ritual
ini tak melulu bisa berlangsung dalam damai. Masih banyak penganut Parmalim yang mendapat
diskriminasi, bahkan di Tanah Batak, tanah kelahiran agama Parmalim ini. Monang Naipospos,
pengurus Pusat Parmalim:

Monang Naipospos: “Begitu datang agama Kristen, cara-cara ibadah hamolimun menjadi


tersingkir, mereka mulai menganggap bahwa hamalimun adalah animisme. Bahkan Belanda
mensyaratkan bagi masyarakat yang ingin bekerja, sekolah dan bertani, harus terlebih dahulu
dibaptis. Akibatnya, umat parmalim inilah yang bertahan tidak mau dibaptis.”

Memaknai upacara sipaha sada


Pada perayaan sipaha sada para penganut ogamo malim datang dari berbagai penjuru yang
tersebar di 50-an komunitas dan sekitar 1500 KK. Dari jumlah itu mereka tidak sekedar hadir,
tetapi mereka aktif-partisipatif dalam seluruh rangkaian upacara karena mereka meyakini
bahwa Bale Pasogit adalah Huta Nabadia (Tanah Suci).

Upacara Sipaha Sada dilaksanakan di dalam ruangan Bale Pasogit, sementara upacara Sipaha
Lima diadakan di luar karena teknis pelaksanaannya besar dan berciri kosmis. Menurut Raja
Marnangkok Naipospos, pimpinan umum ugamo malim saat ini upacara Sipaha Sada
merupakan pembuka tahun dan hari yang baru bagi penganut parmalim Huta Tinggi. “Inti pesta
Sipaha Sada ialah menyambut kelahiran dan kedatangan Tuhan Simarimbulu Bosi dan para
pengikut setianya yang telah menderita dalam mengembangkan ajaran Ugamo Malim ini,” jelas
Raja Marnangkok. Si Marimbulu Bosi bagi penganut parmalim adalah nama Tuhan bangsa
Batak.

Menurut generasi ketiga dari keturunan perintis ugamo malim ini setiap aturan yang
dilaksanakan di Bale Pasogit harus dihadiri oleh seluruh umat parmalim. Maka tidaklah
mengherankan upacara tahun baru parmalim ini sungguh menjadi momen penting
sebagaimana hari natal bagi penganut agama Kristen. Untuk itu, dua hari sebelum upacara
Sipaha Sada, diadakan juga mangan napaet (makan sesuatu yang pahit) yakni menyantap
makanan simbolik untuk mengenang kepahitan dan penderitaan Raja Nasiak Bagi, sang
penebus mereka. Bahan-bahan makanan tersebut merupakan paduan antara daun pepaya
muda, cabe, garam, dan nangka muda yang ditumbuk dengan halus. Ritus mangan napaet
berlangsung sebagai pembuka dan penutup puasa yang mencapai waktu sampai 24 jam.
Itulah bagi penganut parmalim sebagai bulan permenungan, pertobatan dan bulan penuh
rahmat. “Makna hakikinya, bahwa parmalim pada saat sebelum Sipaha Sada ini sudah
melaksanakan upacara pengampunan dosa,” jelas Raja Marnangkok yang sudah mengemban
kepemimpinan ugamo malim selama dua puluh lima tahun, sejak 1981.
Dengan demikian bisa dikatakan perayaan Sipaha Sada dapat dianggap sebagai jantung ritus
dalam upacara keagamaan Parmalim Huta Tinggi. Perayaan itu memuncak dalam tonggo-
tonggo (doa-doa) yang dilambungkan pada hari kedua. Ritus itu berlangsung selama lima jam,
mulai jam dua belas siang hingga pukul lima sore. Upacara religius itu diselang-selingi oleh
tonggo-tonggo, dengan iringan ritmis musik tradisional gondang hasapi, tortor, dan
penyampaian persembahan.
Satu hal yang menarik ialah bahwa mereka tetap mempertahankan aturan-aturan ni
panortoran. Sesuai dengan catatan Thomson Hs, seorang penyair dan penggiat budaya Batak
Toba dan praktek pelaksanaan upacara religius Sipaha Sada baru-baru ini ada sepuluh jenjang
doa yang disampaikan.

Dan setiap doa disertai dengan iringan musik tradisional Batak Toba. Doa-doa tersebut ialah:
1. Doa untuk Mulajadi Nabolon, Tuhan Pencipta langit dan bumi.
2. Doa untuk Debata Natolu, (Batara Guru, Debata sori, dan Bala Bulan).
3. Doa untuk Siboru Deak Parujar, yang memberi sumber pengetahuan dan keturunan.
4. Doa untuk Naga Padoha Niaji, penguasa di dalam tanah.
5. Doa untuk Saniang Naga Laut, penguasa air dan kesuburan
6. Doa untuk Raja Uti yang diutus Tuhan sebagai perantara pertama bagi manusia (Batak).
7. Doa untuk Tuhan Simarimbulu Bosi yang hari kelahirannya sekaligus menjadi momentum
perayaan Sipaha Sada.
8. Doa untuk Raja Naopat Puluh Opat yakni semua nabi yang diutus Tuhan kepada bangsa-
bangsa melalui agama-agama tertentu, termasuk Sisingamangaraja yang diutus bagi orang
Batak.
9. Doa untuk Raja Sisingamangaraja, raja yang pernah bertahta di negeri Bakkara.
10. Doa untuk Raja Nasiak Bagi, yang dianggap sebagai penyamaran atau inkarnasi Raja
Sisingamangaraja. Pseudonominya biasa disebut Patuan Raja Malim.
Jadi, secara “teologis” bisa dikatakan bahwa ugamo malim juga menganut paham monoteistik,
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena tujuan akhir semua doa mereka tetap
diarahkan kepada debata Mulajadi Nabolon. Usai doa-doa itu dipanjatkan dilanjutkanlah
“kotbah” atau renungan yang disampaikan oleh pimpinan, Raja Marnangkok Naipospos.
Kemudian mereka manortor secara bergiliran mulai dari keluarga Raja sampai naposo bulung
(muda-mudi).

Kesimpulan tentang Agama Parmalim:


1. Tuhan: Mulajadi Na Bolon (Yang Maha Besar tempat semua makhluk berasal)
2. Tempat Ibadah: Bale Parpitaan dan Bale Partonggoan
3. Kita Suci: Tumbaga Holing
4. Pembawa Agama/Tokoh Spiritual: Raja Uti
5. Pantangan: Riba, Makan Darah, Babi dan Anjing serta Monyet
6. Hari Suci: Sabtu
7. Pertama kali berdiri: 497 Masehi atau 1450 tahun Batak
Sandaran Teologis
Filosofi Teologis dalam pemahaman Parmalim adalah tentang sebuah eksistensi. Eksistensi
manusia harus didasarkan pada komunikasi pada alam. Tanpa itu keseimbangan tidak dapat
dipertahankan. Salah satu ujud dari komunikasi kepada alam akan membentuk penyadaran diri
sebagai makhluk yang lemah.
Kegulauan dalam pikiran yang menimbulkan pertanyaan dalam diri akan mendapat jawaban
dari diri itu sendiri, sebagai sebab akibat, bahwa segala sesuatu itu ada karena ada yang
mengadakannya atau yang membuatnya ada.
Siapa yang mengadakan sesuatu itu tidak dapat dijelaskan dengan alam pikiran manusia. Tetapi
ada suatu kuasa. Kuasa yang Maha Besar dan agug yang tidak dapat dibandingkan.
Tuhan
Ugamo malim menyebut kuasa itu adalah Mulajadi na Bolon. Mulajadi na Bolon adalah Tuhan
Yang Maha Esa yang tidak bermula dan tidak berujung.
Keberadaannya adalah kekal untuk selama-lamanya. Keberadaan Mulajadi Nabolon itu dalam
ajaran malim dapat dipahami dari tonggo-tonggo atau ayat-ayat doa berikut ini;
Ompung Mulajadi nabolon.

Anda mungkin juga menyukai