Anda di halaman 1dari 16

Mata Kuliah : Liturgika

Dosen : Pdt. Parsaulian Simorangkir, M.Th


Tugas : “Liturgika Masa Kini dan Masa Depan”
Nama/NIM : Endang Zalukhu/1910078, Daniel Banuarea/1910069, Daniel
Sialagan/1910070, Helenda Yulianti/1910084, Henjilawati/1910085, Kristopel
Tambunan/1810032, Yosua Briand Kelvin/1810054.

I. Pendahuluan

Liturgika membantu mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul untuk menyusaikan


diri dengan berbagai macam kebudayaan yang berbeda.Seperti juga ilmu lainnya,
liturgimenyaratkan iman.Hanya imanlah yang memungkinkan kita untuk memahami
kenyataan-kenyataan adikkrodatik yang terkandung dalam tanda-tanda liturgis dan secara
lebih umum untuk memahami sepenuhnya bahasa liturgi yang didasari oleh Wahyu.

II. Pembahasan
II.1 Liturgi Masa Lalu

Pada zaman Gereja perdana, Patristik, dan abad pertengahan, ilmu liturgis sistematis
belum ada.pada umumnya orang sudah puas dengan aneka penjelasan sederhana mengenai
arti suatu upacara liturgi, entah melalui pelajaran agama ataupun khotbah. Ilmu liturgi sebagai
suatu kegiatan ilmiah baru diolah pada akhir abad pertengahan.Pada waktu itu, kaum humanis
mempelajari liturgimenurut metode historis-kritis.Semenjak gereja terpecah karena gerakan
reformasi pada abad XVI, studi liturgi digalakkan.Seperti sudah pernah disinggung, pada abad
XVII dan XVIII terdapat usaha-usaha dari pada ahli (seperti J. Pamelius dan M. Hittorp).

Dengan terbentuknya teologi pastoral abad XVIII, perhatian terhadap liturgis semakin
meluas dan mendalam.Mulailah saat itu, suatu ilmu liturgi yang merefleksikan upacara atau
ibadat secara teologis dan sistematis.Pada abad 20 ilmu liturgi lebih berkembang lagi.Berkat
dorongan Paus Pius X, para ahli bersemangat untuk menggali kekayaan warisan liturgi gereja
dan mencari arah dan bentuk pembaharuan liturgi.Kini orang sudah menerima, bahwa ilmu
liturgi bukanlah ilmu rubric dan ilmu peraturan ibadat, melainkan termasuk bagian teologi
utama yang merefleksikan iman gereja sendiri.1

2.2 Ciri-ciri ibadah dan wujud Perjanjian Baru (PB):

 Yesus berpangkal kepada Kerajaan Allah


1
E. Martasudjita, Pr Pengantar Liturgi Makna, Sejarah dan Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1999)

1
 Ibadah Perjanjian Baru berbeda dengan Perjanjian Lama. Perjanjian Baru terbuka pada
kafir, Perjanjian Lama tidak.
 Mengenal baptisan perseorang dan persekutuan (rumah-rumah). Pembaptisan kepada
Paulus (Kis. 22:16) dan kepala perbendahaaaran dari tanah Habsji (Kis.8:16-38)
 Perjamuan Paskah ini adalah pembanding sama dengan perjamuan Tuhan dalam Injil
Sinoptik. Kesamaan dalam hal acara pesta, namun perjamuan Tuhan dengan cara
Yesus dan Murid-Nya berbaring pada meja dan minum anggur, keterangan elemen
makanann yang dipakai perjamuan paskah, dan terakhir kerinduan eskatologis dalam
injil sinoptik (sama dengan Paskah).2
2.3 Tata liturgi Perjamuan Paskah:

a. Pembukaan
o Bapa rumah tangga membuka perayaan paskah dengan mengucap
rumus tahbisan atas hari raja dan atas piala atau cawan minuman3
o Cawan pertama diminum
o Makanan dibawa masuk dan dihidangkan (belum makanan). Cawan
kedua diisi, tetapi belum diminum
b. Liturgi Paskah
o Atas pernyataan anak laki-laki bapa rumah tangga menerangkan arti
makanan yang dihidangkan (domba yang dipanggang, roti tidak
beragi, sayur, dan gulai pahit) dengan menceritakan kelapasan
bangsa Israel dari Mesir. Domba ialah lambang paskah (Kel. 12:27),
sayur dan gulai pahit melambangkan penderitaan (kepahitan) dari
orang-orang Mesir (Ul. 26:6).
o Nyanyian bagian pertama dari Hallel: Maz.113-114
o Cawan kedua diminum
c. Perjamuan yang sebenarnya
o Doa perjamuan oleh bapa rumah tangga. Ia mengambil roti, berdoa.
memecahkan dan memberikan kepada anggota rumah tangga yang
turut merayakan paskah
o Perjamuan. Roti dimakan bersama dengan makanan lain, yang
disebut tadi (domba, sayur, dan gulai pahit)

2
Abi neno, Ibadah Jemaat Perjnajian Baru, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1967), 67-89
3

2
o Pengucapan berkat atas cawan ketiga (cawan berkat/ cawan pujian)
d. Penutup
o Nyanyian bagin kedua dari Hallel: Maz.115-118
o Ucapan pujian atas cawan keempat.
 Doa Yesus berlutut (seperti di Taman Getsemani), ibadah jemaat dengan sikap
penyembahan (proskynese) sebagai wujud penghormatan manusia kepada
Allah (Why. 5:14). Di luar Yerusalem, sikap doa jemaat dengan berlutut (Kis.
20:36)
 Ibadah jemaat dengan bahasa Yunani (contoh: Maranatha).

Bentuk ibadah yang sangat rinci dengan segala aturannya baru kita jumpai pada
zaman Musa, sebagaimana yang tertulis dalam Kitab Keluaran 25-40, seluruh Kitab Imamat
dan sebagian Kitab Bilangan. Memang dalam kitab-kitab ini hanya kita  temukan ritus-ritus
upacara korban dan hal-hal yang terkait dengannya, dan belum kita temukan ketentuan-
ketentuan cara mengucapkan doa-doa apalagi kidungan-kidungan. Hanya ketika zaman Daud
(I Tawarikh 25) sajalah pembagian tugas-tugas penyanyi di Bait Allah mulai
diadakan.Mereka menyanyi dengan alat-alat musik di Bait Allah itu, dan dari mereka ini kita
jumpai banyak dari para pengarang kidungan ibadah yaitu Mazmur-Mazmur sebagaimana
yang kita dapati dalam Alkitab.Ketika zaman Ezra suatu bentuk ibadah tanpa musik yang
berpusat pada pembacaan Kitab Suci dan khotbah berkembang (Nehemia 8: 1-7), dengan
gerakan-gerakan ibadah dengan mengangkat tangan, berlutut dan bersujud berkembang.Inilah
yang menjadi ciri ibadah di “rumah ibadah” (synagoga) dalam abad-abad sesudah Ezra
sampai dengan zaman Perjanjian Baru.4 Sehingga ketika zaman Perjanjian Baru kita jumpai
adanya dua bentuk ibadah Yahudi yang dikenal oleh Yesus Kristus, para murid-Nya, dan
orang-orang Kristen perdana yaitu Ibadah Bait Allah dengan Korban, Imam, Ritus, dan
Kidungan-kidungan yang diiringi musik, serta ibadah di rumah ibadah (synagoga)  yang
ditandai dengan doa-doa dan kidungan tanpa musik, pembacaan Kitab Suci yang ditilawatkan,
serta khotbah-khotbah. Ibadah Gereja Kristen Perdana diambil dari Ibadah Synagoga ini,
sehingga musik tidak digunakan, namun pembacaan Mazmur dan tilawat dilakukan.Yesus dan
para murid menggunakan kidungan tanpa musik ini pada saat hidup mereka (Markus 14: 26).
Dan sesudah Gereja berkembang merekapun  membaca dan mentilawatkan “Mazmur”, 
“kidung puji-pujian”, serta “nyanyian rohani” (I Kor. 14:26), dan dalam Kitab Wahyu
4
Baca: Andrew Wilson – Dickson, A Brief History of Christian Music, (England: Lion Publishing, 1992), 32

3
disebutkan tentang semaraknya puji-pujian di Sorga, yang simbolismenya diambil dari ibadah
di Bait Allah, dan bukan di Synagoga (Wahyu 4,5,7, 15, dll.). Karena orang-orang Kristen
perdana itu pada mulanya merupakan kelompok kecil yang mengadakan ibadah rumahan,
maka otomatis bentuk ibadah synagoga itulah yang menjadi pola ibadah Kekristenan perdana
itu.Dan ciri ibadah synagoga yang tanpa musik ini pula yang akhirnya berkembang dalam
ibadah Gereja Purba lebih lanjut. Hanya sekarang mereka menyadari Synagoga mereka itu
memang sudah bersifat Mesianik, yaitu bahwa Perjanjian tentang datangnya Mesias dalam
Perjanjian Lama itu sudah digenapi di dalam Yesus Kristus. 5 Sehingga ibadah mereka yang
bertumpu dari ibadah Synagoga Yahudi itu, akhirnya mempunyai pusat “Perjamuan
Mesianik” (“Perjamuan Tuhan”, “Perjamuan Kudus”)6 sebagai cirinya yang membedakannya
dengan Synagoga Yahudi non-Kristen yang lain. Demikianlah Kristus menjadi ciri ibadah
synagoga Kristen itu, sehingga kidung-kidung Gereja Purba itu isinya adalah menceritakan
dogma dan ajaran Kristen mengenai Mysteri Kristus ini. Beberapa diantara Kidung-Kidung
Kristen Purba yang disinyalir oleh para sarjana PB sebagai yang  sempat tercatat dalam
Perjanjian Baru adalah:” Ia adalah Gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih
utama dari segala yang diciptakan…” (Kolose 1:16) “…walaupun dalam rupa Allah, tidak
menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan….dst”
(Filipi 2:6-11), “ Dia yang telah menyatakan diriNya dalam rupa manusia, dibenarkan dalam
Roh;…dst” (I Tim. 3:16), dan lain-lain. Dari permulaan Perjanjian Baru inilah terus
berkembang dalam ibadah Gereja Purba.

Ibadah dan Musik di Sinagoge banyak terpengaruh dari budaya setempat


pembuangan di Babylonia.Berbeda dengan ibadah di Bait Allah yang hanya dilakukan oleh
orang Lewi, ibadah di sinagoge dilakukan oleh orang awam yang terampil. Ibadah mereka
terdiri dari pembacaan hukum, nabi-nabi, mazmur, pengajaran, doa dan berkat dengan
penekanan mereka pada pembacaan dan perenungan Firman Tuhan.

Karena orang Kristen mula-mula melihat iman mereka sebagai kelengkapan


Yudaisme, mereka mampu melanjutkan banyak bagian dari liturgi Yahudi tetapi dengan sudut
pandang yang baru.Tradisi sinagoge berlanjut dan diserap.Menari dan instrumen dihilangkan
karena memiliki asosiasi yang kuat dengan kenajisan dan imoralitas.Ini tidak hanya dalam
kebaktian melainkan dalam kehidupan umat sehari-hari. Misal: Yesaya 5:11-12. Yesus
mendukung ibadah Perjanjian Lama terlihat dari hubungannya dengan Bait Allah. Sinagoge

6
Abineno, Ibadah Jemaat Dalam Abad-abad Pertama,( Jakarta: BPK-GM, 1985), 53

4
dan perayaan-perayaan hari raya Yahudi (Lukas 2:21-51, Yoh 7:14-49; 10:22-23) Secara rutin
Yesus pergi ke sinagoge pada hari Sabat.Yesus melihat institusi ibadah mengarah pada diri-
Nya. Yesus memandang institusi ibadah di Perjanjian Lama berhubungan dengan hidup,
kematian dan kebangkitan-Nya. Zaman Kisah Para Rasul dipengaruhi oleh tiga budaya yakni
Aramik, Yunani dan non Aramik non Yunani. 7 Seperti yang kita ketahui bahwa zaman
Perjanjian Baru sangat dipengaruhi budaya Aram.Yesus sendiri dipercaya menggunakan
bahasa Aram dalam menyampaikan pengajaran-Nya.Namun ternyata bukan hanya Injil yang
dipengaruhi oleh budaya Aram, tetapi termasuk juga Kisah Para Rasul

Dalam Kisah ParaRasul 2:46 tertulis: "di pelataran Bait Allah llah" dan "di rumah".
Mereka beribadah di pelataran Bait Allah dan rumah-rumah jemaat. Mereka beribadah di
rumah-rumah karena mereka ditentang oleh lingkungan karena percaya pada Kristus (Kis
2:42).8 Mereka melanjutkan ibadah dan tata cara Bait Allah dan menggunakan segala
kesempatan untuk memberitakan Injil (Kis 3:11-26; 4:12-13, 19-26, 42). Karena mereka tidak
pernah menginjak Bait Allah dan tidak mengenal tradisi Yahudi, orang Kristen Yunani
mengadopsi budaya, bahasa dan adat istiadat Yunani. Mereka menghilangkan ritual Bait
Allah Yahudi karena mereka berpendapat bahwa semua itu sudah digenapi dalam Kristus (I
Kor 5:7; Rom 3:25; Efesus 5:2).
Pada masa menjelang akhir Perjanjian Lama, dan memasuki zaman Kristus, bangsa
Yahudi membiarkan penyembahan mereka berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi
sangat formal. Inilah masa-masa kemurtadan dan ketidakpercayaan, sehingga penyanyi dan
alat-alat musik tidak digunakan sebagai sarana penyembahan. Hanya firman yang dilagukan
oleh pendeta dan lagu-lagu yang didendangkan oleh pemimpin biduan (penyanyi profesional)
saja yang terdengar di dalam rumah ibadah. Karena para penyembah berhala menggunakan
alat-alat musik untuk penyembahan, maka mereka dilarang oleh kaum Farisi.9 Kaum Farisi
adalah orang-orang yang paham betul ritus-ritus Yahudi, termasuk peran musik dalam ibadah
mereka. Benar apa yang diungkapkan Alfred Edersheim yang memang menggumuli
peribadatan Israel secara arkeologi histories. Beliau mengatakan,”What instrumental music
there was, served only accompany and sustain the song”. Alas an inilah yang mendasari sikap
orang Farisi menolak penggunaan musik. Musik tidak lagi untuk meyembah Yahwe, namun
jatuh ke dalam pemberhalaan. Hal ini terjadi setelah penghancuran Bait Allah pada tahun 70
SM. Secara simbolis, Paulus juga berbicara tentang musik "... suara gong dan gemerincingnya
7
Matthew Black, An Aramic Approach to The Gospels and Acts,(London: Oxford Univercity Press, 1946), 1-12
8
William Berclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari (Kitab Kisah Para Rasul),(Jakarta: BPK-GM, 2007), 42-44
9
Alfred Edersheim, The Temple (Its Ministry and Services as They Were at The Time of Jesus Christ), London:
James Clarke & CO. LTD, 1959, pg. 76

5
canang." Selama berabad-abad, banyak terjadi kontroversi di dalam gereja tentang
penggunaan alat musik dan penyanyi di dalam kebaktian penyembahan.
Banyak petunjuk penting tentang musik di dalam Kitab Perjanjian Baru. Kita juga
perlu mempertimbangkan beberapa hal bila kita ingin mempelajari musik dari Alkitab. Kita
harus selalu menganggap Alkitab sebagai satu buku yang utuh. Kitab Perjanjian Baru adalah
penggenapan dari Kitab Perjanjian Lama. Paulus mengatakan kepada Timotius, "Segala
tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan
kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran."
(2Timotius 3:16) Saat Paulus menulis kepada Timotius, Perjanjian Baru belum ditulis Paulus
berbicara tentang Perjanjian Lama.
Sejauh pembicaraan berkisar tentang penyembahan dan musik, dasar untuk pelajaran
dan contoh ditulis cukup memadai dalam Perjanjian Lamadan di dalam Perjanjian Baru akan
ditambahkan beberapa aspek. Jelas sekali bahwa Daud menerima wahyu Ilahi tentang musik
yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam hubungan kita dengan Allah. Kitab
Perjanjian Baru menunjukkan tentang apa saja yang telah diwahyukan kepada Daud dan
meneruskannya. Sorakan, nyanyian, tarian, tepuk tangan, angkat tangan, nyanyian nubuatan
tidak berhenti dengan kelahiran Kristus. Ungkapan perasaan seperti itu bukan untuk orang-
orang tertentu yang mempunyai `dispensasi`, melainkan untuk siapa saja. 10 Musik adalah
ekspresi jiwa, dan jika kita berbicara tentang jiwa maka tidak akan terpisah dari roh. Roh
mengekspresikan sikap iman melalui musik dan nyanyian.Roh manusia dituntun oleh Roh
Allah yang paedagogis untuk bersama-sama dalam persekutuan yang harmonis.
Seperti yang telah kita lihat, cara-cara penyembahan di dalam hukum Taurat dan
kitab para nabi terpusat pada tabernakel Daud. Itulah pusat pewahyuan dari pujian dan
penyembahan dalam Alkitab. Paulus kemudian menyatakan bahwa dia menyembah Tuhan
dengan menggunakan prinsip-prinsip Daud. Oleh karena Roh Kudus memberi inspirasi
kepada Perjanjian Baru, pengertian dasar tentang kebebasan untuk menyanyi, bermain musik,
menari, bersujud di hadapan Allah, mengangkat tangan, bertepuk tangan, dan sebagainya
hanya ditekankan seperti yang mereka terapkan pada pemikiran khusus dari para penulis
Kitab Perjanjian Baru.

2.4 Liturgika Masa Kini

10
“Music is an expression of the soul, and affects the soul intensely”, Bnd. Sigmund Mowinckel, The Psalms In
Israel’s Worship (Vol-1),(New York: Abingdon Press, 1962), 9

6
Selamaabad 20 liturgi gereja mengalami beberapa tahap perkembangan.Perkembangan
itu terlihat dalam tahap warna ibadah dengan lahirnya berbagai bentuk simbol, didentik
verbalisme dan tahap masyarakat audiovisual.Awalnya peribadahan gereja berakar dari tradisi
oral dan ritual dizaman umat Israel dalam Perjanjian Lama. Pengajaran dibait Allah, sinagoge
dan rumah tangga cenderung dilakukan dengan ritual oleh para imam. Bentuk pengajaran
diluar ibadah cenderung dilakukan dengan cara orang-orang tua, para hakim dan para Nabi.

Sejak lahirnya gereja pertama hingga akhir abad pertengahan warna peribadahan
gereja sangat kuat pada tradisi oral, ritual dan visual dengan pemeran sentral ibadah adalah
umat11.Dan pada akhir abad pertengahan partisipasi umat dalam peribadahan lambat laun
menurun karena perdebatan teologis tentang klerus dan umat dalam gereja juga karena
perselisihan intern gereja.Pembaruan secara signifikan dalam perbibdahan protestan kembali
terjadi setelah perang dunia II dan semakin jelas setelah tahun 1950-an. Pengaruh liturgika
pantekosta cukup luas, bukan hanya bagi gereja-gereja protestan tetapi juga gereja roma
katolik, dan konsep pelayanan ini didukung oleh Weber.12

Akhir-akhir ini, banyak gereja mulai memerhatikan“cara-cara beribadah” yang


bervariasi supaya ibadah itu benar-benar bersemangat dan tidak terkesan kaku.Banyak gereja
yang telah mengubah liturgi ibadah.Bahkan banyak pula jemaat yang merasa bosan dengan
liturgi ibadah yang dianggap sudah kuno (khususnya bagi para pemuda dan remaja).
Dampaknya ialah banyak yang mencari gereja lain yang menyajikan pujian-pujian dengan
menggunakan perangkat alat musik keras. Barulah mereka merasakan apa ibadah itu.Ada
gereja yang mengutamakan khotbah dalam ibadah.Ada pula yang mengutamakan puji-
pujian.Tetapi, ada juga gereja yang mengutamakan sakramen.Perdebatan akibat perbedaan ini
membuat gereja (terutama gereja Barat) tidak benar-benar memerhatikan makna ibadah itu.

2.5 Arti Ibadah

Ada beberapa arti ibadah dalam Alkitab di antaranya:

a. Sembah sujud(Kej 18:2). Kata ini paling utama muncul dalam Alkitab, di mana
Abraham sembah sujud kepada tiga orang yang dilihatnya.
b. Mencium(Yoh 4:20-24). Artinya rasa hormat dan taat kepada Tuhan. Ada satu
perasaan ingin dekat dan mendengar serta menghormati Firman Tuhan.

11
Robert Boelhke, Sejarah perkembangan Pikiran & Praqktek Pendidikan Agama Kristen(Jakarta: Gunung Mulia,
2013)
12
Robert Weber, Planing Blended Worship (Abingdom press, 1988). 13

7
c. Liturgi(Mat 4:10 dan Ibrani 9:9 & 14) mempunyai arti pelayanan dalam ibadah dan
satutata cara ibadah yang tersusun.

Matthew Simpson mengatakan ibadah orang Kristen buruk bukan karena acaranya
yang buruk, tetapi hubungan diri pribadi kita dengan Tuhanlahyang buruk.Saat ini jemaat
beribadah, mereka inginkan tata caranya terlebih dulu.Kalau seleranya cocok, ibadah itu
cocok dengan saya.Kalau seleranya tidak cocok, ibadah itu tidak cocok.Ibadah tidak
berbicara soal selera.Ibadah berbicara tentang kerohanian seseorang.Dengan cara apapun,
jemaat harus tetap bersikaphormat dan takut akan Allah. Ibadah melibatkan semua jemaat
yang hadir, bukan hanya bagi sekelompok orang yang memimpin ibadah saja.

2.6 Jenis-Jenis Liturgi

Basden mencatat bahwa tahun 1990-an di Amerika terklasifikasilima jenis gaya


ibadah(di luar Ortodoks), yaitu: Liturgis, Tradisional, Kebangunan (Revivalist), Pujian
dan Penyembahan (Praise and Worship), “Pencari Jiwa” (Seeker). Kelima gaya ibadah
yang digunakan Katolik dan Protestan ini mengklaim mendapat inspirasi dari topangan
sumber Alkitabsekalipun Alkitab tidak memberikan satu pilihan cara ibadah yang paling
benar, namun Alkitab memberikan informasi tentang kebiasaan beribadah umat.
Identifikasi kelima gaya ibadah itu adalah:

1. Liturgis

Liturgis memiliki keteraturan dan persiapan yang sudah terwarisi secara turun
temurun.Kelompok liturgis ini mengklaim sebagai pewaris tradisi aslidari zaman
Perjanjian Baru dan sejarah gereja.Oleh karenanya seringkali bertahan (status quo) dengan
alasan “patuh pada tradisi” menjadi pembenaran untuk menghadapi berbagai macam jenis
ibadah. Teratur, terencana, dan persiapan yang matang merupakan gambaran umum dari
gaya ibadah liturgis ini (lihat 1Kor.14: 33, 39). Warna ibadah yang agung dan
kontemplatif mendapat penekanan utama. Roma Katolik, Luteran, dan Anglikan berada
pada gaya ini.

2. Tradisional

Tradisional memiliki ciri formal, namun tidak terlalu formal.Perilaku ini terjadi karena
tidak adanya pegangan pelaksanaan ibadah sekalipun ada kesepakatan bersama.Gaya
ibadah tradisional ini terkadang disebut non-liturgis dan kadang disebut semi-liturgis.

8
Pada satu pihak gaya ibadah tradisional ini adalah cangkokan dari induk liturgis, pada
pihak lain terbuka pada gaya kebangunan. Perubahan dimungkinkan terjadi apabila ada
kesepakatan bersama. Kolose 3:16 dan Efesus 5:19-20 adalah salah satu aspirasi yang
mendasari gaya ibadah tradisional ini. Reformed dan Menonit berada pada kelompok ini.

3. Kebangunan (Revivalist)

Kebangunan memiliki ciri informal, meluapkan kegembiraan, khotbah yang agresif


dan bersemangat.Motivasi yang sering ditekankan adalah mencari yang terhilang dan
membawa sebanyak mungkin kepada anugerah Allah (lihat Kisah 2).Pada gilirannya umat
diarahkan untuk bersaksi bagi orang-orang yang belum percaya.Membakar semangat
berdampak langsung kepada emosi, sehingga umat mengkaim merasakan kehadiran Allah
dalam ibadah. Quaker, Metodis, dan Frontier (Baptis, Disciples of Christ, Churches of Christ)
berada dalam kelompok ini.

4. Pujian dan Penyembahan (Praise and Worship)

Pujian dan Penyembahan ini memiliki ciri informal, suara tidak terlalu keras namun
menggunakan pengeras suara. Umat mengungkapkan pengalamannya menemukan kehadiran
Allah dengan meluapkan ekspresi melalui doa, nyanyian, dan kata-kata. Kadang-kadang
menggunakan bahasa lidah, penyembuhan dan umat sering menjawab: “Oh Yesus”, “Amin”,
“Halleluya”. Ibadah adalah keterlibatan seluruh tubuh, bertepuk tangan, menari, angkat
tangan, dan berseru nyaring. Mazmur 150 dan 1Korintus 12-14 menjadi aspirasi tentang gaya
ibadah ini. Pantekosta berada dalam kelompok ini.

5. “Pencari Jiwa” (Seeker)

“Pencari Jiwa” memiliki ciri ketergantungan kepada satu atau dua orang pemimpin
yang dinilai memiliki karisma.Tidak ada ciri yang seragam di antara gaya-gaya ibadah ini.
Yang satu mengindahkan musik kontemporer, yang lainmenarik jiwa melalui baptisan; yang
satu mengarahkan gaya hidup kudus setiap individu, yang lain pada minyak urapan.
Kis.17:16-34 menjadi salah satu inspirasi gaya ibadah ini.13

2.7 Masa Kini dan Masa Depan Gereja Dalam Persepsi Kristen

Salah seorang teolog yang pikirannya banyak dikutip tentang masa kini dan masa
depan gereja dalam persepsi ini adalah Augustinus. Uskup dari Karthago ini berpendapat
13
E. Martasudjita, Pr Pengantar Liturgi Makna, Sejarah dan Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1999)

9
bahwa pada dasarnya gereja adalah realitas sorgawi. Benar bahwa gereja ada di bumi dan
bergumul dalam sejarah, tetapi hakikat terdalam dari gereja adalah sorga. Persekutuan yang
bernama gereja itu meliputi baik manusia maupun para malaikat. Apa yang kita temui di bumi
yang kita namakan gereja dengan segala kekurangan dan keterbatasannya adalah antisipasi
dari keberadaannya di sorga yang merupakan realitas final dari gereja. Gereja yang di bumi
memang bukanlah the city of God. Tetapi keberadaan gereja membuka mata kita untuk
melihat the city of God, yang merupakan tujuan dari ziarah yang sedang gereja jalani saat ini
di bumi. Di kota Allah ini gereja yang di bumi mendapat wujud yang baru.

Jelas bahwa ada dua modus keberadaan gereja dalam pikiran Augustinus tentang
gereja, betapapun esensi dari gereja itu hanya satu. Esensi gereja adalah Yesus Kristus,
sedangkan wujudnya dua: gereja yang di bumi (masa kini) dan gereja yang di sorga (masa
depan). Bertolak dari Yohanes 21:22 dst Augustinus menggambarkan dua bentuk (duae vitae)
dari gereja itu sebagai berikut:

Bentuk yang pertama hidup dalam iman, bentuk yang lain telah berhadapan muka
dengan muka; yang satu masih sebagai peziarah di negeri asing, yang lain sudah menetap di
rumah yang kekal; yang satu berada dalam perjuangan, yang lain menikmati perhentian; yang
satu adalah kaum musafir, yang lain telah berada di kampung halaman; yang satu masih
menjalankan tugas yang lain telah menerima upah atas pekerjaannya; yang satu terus
berperang melawan yang jahat dan melakukan yang baik, yang lain tidak perlu lagi berperang
karena tidak lagi berjumpa dengan kejahatan; yang satu mengalami tekanan dengan adanya
keinginan daging, yang lain telah bebas dan menikmati kehidupan dalam roh; yang satu
berada dalam kebutuhan akan pertolongan karena kekurangan yang dimilikinya, yang lain
tidak lagi membutuhkan pertolongan karena telah hidup dalam kelimpahan; yang satu terus
berdoa memohon pengampunan dosa sebagaimana mereka mengampuni dosa sesamanya,
yang lain tidak perlu lagi memohon pengampunan karena dosa sudah tidak lagi dikenal."

Augustinus menggambarkan dua bentuk dari gereja ini dengan mengangkat Petrus dan
Yohanes; Marta dan Maria sebagai ilustrasi. Gereja yang sejati haruslah menampilkan diri
sebagai Gereja Petrus dan Gereja Yohanes atau Gereja Marta dan Gereja Maria. Petrus dan
Marta menggambarkan keberadaan gereja dalam wujud yang pertama, gereja dalam dunia.
Gereja Petrus mewartakan Yesus kepada orang lain dengan perkataaan, sementara Gereja
Marta melayani Yesus dengan perbuatan. Ini realita masa kini Gereja. Pada sisi lain, Yohanes
dan Maria mencerminkan wujud kedua dari gereja sebagai umat yang sudah masuk dalam

10
kehidupan masa depan, di sorga. Yohanes menjadi murid yang dikasihi Yesus sedangkan
Maria dipuji-puji oleh Yesus.

Menjawab pertanyaan: "Seperti apakah gereja pada kini dan masa depan? Keyakinan
iman klasik sebagaimana yang disuarakan oleh Augustinus memberi jawaban demikian:
Gereja di mana kini harus menampilkan diri sebagai komunitas yang bekerja dalam kata dan
perbuatan untuk memperlihatkan kemanusiaan baru yang telah terwujud pada paskah dan
pentakosta, sedangkan Gereja di masa depan adalah beristrahat dari semua kepenatan, duduk
di kaki Yesus untuk memperoleh penghiburan dan ambil bagian dalam persekutuan kasih
dalam Allah. Dari keadaan seperti Petrus dan Marta yang bekerja dan sibuk melayani selama
di bumi, Gereja akan menjadi seperti Yohanes dan Maria yang duduk mendengarkan Yesus
dan menerima penghargaan atas jerih lelahnya.

2.8 Masa Kini Gereja Dalam Persepsi Filosofis-Sosiologi

Masa kini dalam persepsi filosofis-sosiologis mengandaikan keberadaan dalam satu


rentang waktu dalam melaksanakan satu aktivitas. Manakala pengandaian ini diterapkan pada
gereja, maka masa kini Gereja di Indonesia dapat digambarkan sebagai rentang waktu di
mana gereja melakukan tugas kesaksian. Konteks Indonesia di mana Gereja menjalankan
mandat kerasulannya bersifat sangat kompleks. Dalam kompleksitas konteks itu ada satu hal
yang mudah terdeteksi; yakni perubahan.

Perubahan yang sedang terjadi dalam konteks kita adalah: Berkembangnya iptek,
dunia politik dicirikan oleh kemerdekaan demokrasi dan hak azasi manusia, dunia ekonomi
ditandai dengan persaingan global dan eksploitasi SDA. Dunia sosial menjadi makin sempit
oleh globalisasi tetapi serentak juga dibangunnya tembok-tembok kesukuan, dunia hukum
membuat kaburnya batas antara yang benar dan salah. Dunia keagamaan mulai bercorak
individualistis dan seremonil - liturgis.

Dalam konteks yang serba berubah ini, gereja tetap harus mengerjakan tugas
memberitakan injil yang tidak berubah. Demi mendaratkan Injil yang tidak berubah dalam
dunia yang terus berubah ini, gereja perlu melakukan apa yang saya sebut: meng-hari-ini-kan
dirinya. Bukan maksud kita mendorong gereja untuk menyesuaikan diri dengan zeitsgeist,
melainkan membuat gereja peka terhadap persoalan-persoalan manusia masa kini, supaya injil
yang diberitakan gereja kepada dunia merupakan berita tentang keselamatan masa kini.

11
Upaya gereja untuk meng-hari-ini-kan dirinya dimulai dengan keseriusan gereja untuk
melakukan gerakan kembar (rangkap dua), yakni: gereja perlu memahami diri secara lain,
sekaligus menampilkan diri secara lain. Berbeda dengan Israel, gereja tidak lagi hidup dalam
mono cultural society. Pentas kehidupan gereja dicirikan oleh kehidupan yang berkarakter
multy culture. Gereja harus selalu membaharui dirinya dalam dunia yang terus berubah
supaya ia tetap ada sebagai gereja. Mengatakan ini kami teringat seruan Paulus yang cukup
terkenal itu: "Berubahlah oleh pembaharuan budimu" (Rm. 12:2).

Gerakan yang pertama berkaitan dengan pemahaman diri gereja secara baru. Dunia di
mana gereja berada mengalami perubahan dalam skala yang cepat dan masif. Dalam upaya ke
arah itu Gereja perlu meninggalkan paham lama tentang dirinya sebagai institusi keselamatan
dan mulai melihat dirinya sakramen keselamatan. Gereja bukan lagi sekedar sebuah lembaga
dengan organisasi, struktur dan aturan-aturan. Gereja harus lebih menampilkan diri sebagai
tanda yang menghadirikan citra rasa kehidupan yang baru dan memancarkan terang sukacita
di dalam masyarakat. Artinya, gereja bukan pemilik atau sumber keselamatan. Ia adalah tanda
yang menujuk kepada keselamatan. Ia juga bukan satu-satunya tanda, melainkan hanya salah
satu tanda keselamatan. Gereja bukan sekedar sebuah domain yang terpisah dari bidang hidup
manusia. Ia harus lebih menampilkan diri sebagai cara hidup yang baru di dalam dunia yang
lama. Gereja juga bukan biro perjalanan ke sorga, tetapi adalah laboratorium di mana
keselamatan itu ditumbuh-kembangkan, untuk kemudian diteruskan kepada sesama. Dalam
arti ini gereja juga merupakan penerima keselamatan dan karena itu Gereja merupakan bentuk
yang kelihatan dari keselamatan itu.

Gereja juga patut melakukan reorientasi pengharapan dan pemberitaannya. Tidak


cukup gereja hanya berbicara mengenai the salvation history. Ia juga harus berbicara tentang
salvation in history. Keselamatan bukan realitas yang berdampingan atau berada bersama-
sama dengan dunia, tetapi merupakan realita yang mendunia atau berada di dalam dunia.
KeseIamatan berinkarnasi dalam kehidupan dunia dan realitas manusia dalam segala
pergumulan dan harapannya. Keselamatan (salvation) mengambil rupa duniawi. Dalam
proses pengambilan rupa itu, wajah religius dan ilahi dari keselamatan tidak lagi nampak.
Yang terlihat hanyalah wajah sosial.

Adalah penting bagi gereja dalam rangka memberitakan injil yang tidak berubah mencermati
berbagai ritus, mitos, simbol, keyakinan, spiritualitas, institusi, organisasi serta management,

12
peluang usaha dan kesempatan kerja dalam masyarakat sambil mengembangkan sikap
kepekaan hermeneutik atas semua itu; jangan-jangan keselamatan yang disediakan Allah juga
menjelma dalam ritus, mitos, simbol, keyakinan, spiritualitas, institusi, organisasi serta
management, peluang usaha dan kesempatan kerja itu. Gereja harus melihat perangkat-
perangkat ini bukan semata-mata sebagai sebuah pranata sosial-anthropologis. Pranata-
pranata tadi patut juga diperlakukan sebagai referensi religius-teologis yang mengandung
sejumlah nilai yang berguna sebagai point of contact, tapi juga sebagai salah satu sumber
otentik dalam upaya gereja untuk memberitakan keselamatan kepada dunia. Inilah yang saya
maksudkan dengan salvation in history.

Ini mengandaikan bahwa gereja perlu meninggalkan pandangan dan sikap pengkafiran
terhadap budaya dan berbagai pranata sosial dan religius masyarakat di mana berita paskah
dan pentakosta hendak diberitakan. Sebagai ganti gereja perlu mengembangkan pendekatan
transformatif terhadap budaya dan berbagai pemahaman dan keyakinan religius masyarakat.
Pendekatan terhadap budaya dari sudut pandang penebusan, yang berangkat dari asumsi
bahwa semua yang terdapat dalam sejarah membutuhkan sesuatu dari luar sejarah untuk
dapat menjadi medium bagi pewartaan keselamatan, harus dilengkapi dengan pendekatan
terhadap budaya dari sudut pandang penciptaan. Asumsi pokok dari pendekatan ini ialah
penciptaan, penyelamatan dan penebusan bukan pekerjaan-pekerjaan yang berdiri sendiri,
terpisah satu sama lain. Allah melakukan karya penciptaan dengan tujuan penyelamatan. Itu
berarti keselamatan sudah mulai diantisipasi dalam karya penciptaan. Gereja perlu
mengembangkan kewaspadaan sosial dalam menyikapi seluruh realitas ciptaan untuk
menangkap sinyal-sinyal keselamatan dari Allah yang dipancarkan di dalamnya dan karena
itu mengambil langkah-langkah konkret untuk mendayagunakan sinyal itu bagi keselamatan
manusia di dalam dunia.

Ada banyak pengangguran di kalangan pemuda warga gereja, sementara lapangan


kerja di sektor informal seperti bisnis cukur rambut dan kuliner di kota-kota cukup
menjanjikan keselamatan bagi warga masyarakat. Peluang ini justru diisi oleh angkatan kerja
yang datang dari luar daerah. Gereja mempunyai mata tetapi tidak dapat melihat peluang kerja
ini sehingga persembahan jemaat dibiarkan menganggur di bank-bank. Pelatihan ketrampilan
mencukur dan tata boga yang bisa saja dilakukan gereja terhadap angkatan mudanya untuk
dapat merebut peluang usaha ini terlewatkan begitu saja. Mengapa ini terjadi. Karena gereja

13
masih menyibukkan diri berbicara tentang the salvation history. Salvation in history yang
disediakan Allah melalui peluang-peluang usaha ini belum terpikirkan oleh Gereja.14

https://kupang.tribunnews.com/2012/02/04/gereja-masa-kini-dan-masa-depan. Diakses pada


14

Selasa, 20 April 2021 jam 14.00

14
III. KESIMPULAN

Dari pemaparan makalah kami mambahas liturgi masa lalu dan masa kini dan kami
memberikan kesimpulan bahwa ibadah masa kini lebih komplit dan lebih bervariasi dari pada
ibadah masa lalu, karena liturgis pada masa lalu lebih kristis dari pada masa skarang, dan
liturgis pada masa lalu terlalu banyak aturan.

Dalam upaya ini Gereja perlu melakukan gerakan pembaharuan dalam


pemberitaannya. Maksudnya, gereja perlu mewartakan injil sebagai berita tentang
keselamatan masa kini, bukan melulu bersaksi tentang injil sebagai berita tentang keselamatan
masa depan. Yang dipersoalkan di sini bukan bentuk gereja, melainkan arti fungsional dari
bentuk itu. Bukan bentuknya melainkan keselamatanlah yang harus dinampakkan lewat
semua bentuk pelayanan, persekutuan dan kesaksian gereja. Masalahnya bukanlah mati-
matian mempertahankan bentuk-bentuk tertentu (ibadah, penggunaan mimbar, modus
pelayanan baptisan, tata cara pembagian roti dan anggur dalam perjamuan kudus) tetapi
sejauh mana dalam bentuk yang konkret itu orang dapat menghayati imannya secara otentik,
dan membantu orang untuk menghayati imannya sebagai realitas yang hidup, atau menghayati
agama tangan pertama bukan tangan kedua. Jadi bukan sekedar membangun persahabatan
seluas-luasnya tetapi persahabatan yang berfungsi memperlihatkan keselamatan dan damai
sejahtera kepada warga gereja dan juga warga masyarakat.

15
IV. DAFTAR PUSTAKA
Martasudjita E, Pr Pengantar Liturgi Makna, Sejarah dan Teologi Yogyakarta: Kanisius,
1999.
Neno Abi, Ibadah Jemaat Perjnajian Baru, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1967.
Wilson Andrew – Dickson, A Brief History of Christian Music, England: Lion Publishing,
1992.
Black Matthew, An Aramic Approach to The Gospels and Acts,London: Oxford Univercity
Press, 1946
William Berclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari (Kitab Kisah Para Rasul), Jakarta: BPK-
GM, 2007.
Mowinckel Sigmund, The Psalms In Israel’s Worship Vol-1, New York: Abingdon Press,
1962.
Boehke Robert, Sejarah perkembangan Pikiran & Praqktek Pendidikan Agama Kristen
Jakarta: Gunung Mulia, 2013.
Weber Robert, Planing Blended Worship. Abingdom press, 1988.
Sumber Lain
https://kupang.tribunnews.com/2012/02/04/gereja-masa-kini-dan-masa-depan.

16

Anda mungkin juga menyukai