Anda di halaman 1dari 22

Mata Kuliah : Budaya Batak

Pertemuan :
Dosen : Drs. Leben Panggabean, M. Pd

AGAMA MALIM DALAM PERSFEKTIF BUDAYA BATAK

1. Pengertian Ugamo Malim

Ugamo Malim sebagai sebuah agama yang dikelompokkan oleh Negara Republik
Indonesia sebagai aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan nomor
Inventarisasi: Ugamo Malim sebagai aliran kepercayaan dalam penelitian sebelumnya
cenderung menyebutnya sebagai Parmalim, secara harfiah par- adalah awalan kata yang
berarti “penganut atau orang yang menganut ajaran” sedangkan malim dalam bahasa Batak
adalah suci atau bersih rohani tidak bernoda dan bermoral tinggi, maka Parmalim adalah
pengikut ajaran malim yang suci dan bermoral tinggi.
Mengunakan kata Parmalim dalam pembahasan ini dinilai terlalu sempit, sehingga kurang
mengambarkan konstruksi dan kosmologi Ugamo Malim yang di dalamnya juga meliputi
penganutnya yaitu Parmalim. Selain itu penegasan nama Ugamo Malim juga menegaskan
bahwa Parmalim dalam lingkup kajian ini adalah Parmalim yang terhimpun dalam organisasi
Ugamo Malim Huta Tinggi. Ugamo Malim sebagai nama aliran kepercayaan telah digunakan
oleh Orang Batak sejak kelahiran Ugamo Malim di tengah-tengah masyarakat Batak oleh
penganutnya, namun Parmalim sebagai identitas pribadi penganutnya lebih populer dari
pada kata “Ugamo Malim”. Penegasan nama aliran kepercayan Ugamo Malim dalam bentuk
tertulis baru dimulai sejak 29 Maret 1987 pada Anggaran Dasar Organisasi Ugamo Malim
Bab II Pasal 1 ayat 2.
Ugamo Malim berasal dari dua kata yaitu “Ugamo” dan “Malim”. Secara harfiah istilah
Ugamo bermakna pulungan, atau ambu-ambuan Pelean (kumpulan atau ramuan dari
bermacam-macam benda yang dijadikan sebagai Pelean atau sesaji). Ramuan atau Pulungan
benda-benda yang dijadikan sebagai sesaji itu kemudian disebut Ugamo atau agama.
Sementara kata Malim bermakna ias (bersih) atau pita (suci). Dengan demikian secara
etimologis dalam bahasa Batak pengertian Ugamo Malim adalah sekumpulan atau sejumlah
pulungan atau ramuan benda-benda pelean yang bersih lagi suci. Sedangkan menurut istilah
Ugamo Malim, ugamo atau agama adalah jalan perjumpaan antara manusia dengan Debata
melalui sesaji yang bersih lagi suci (dibagas pardomuan ni hajolmaon tu Debata marhite
pelean na ias). Orang yang masuk dalam Ugamo Malim disebut Parugamo Malim (pengikut
Ugamo Malim) atau biasa disingkat dengan kata Parmalim. Parmalim berarti orang yang
menuruti ajaran malim atau berkehidupan malim yang diwujudkan dengan pengumpulan
ramuan-ramuan benda-benda pelean (sesaji) berdasarkan pada ajaran Debata Mulajadi
Nabolon

Untuk menghindari kesalah pahaman, perlu dijelaskan bahwa istilah malim mempunyai
makna yang luas yang jika dihubungkan dengan kata yang lain. Secara harfiah kata malim
adalah suci, tetapi dalam konteks yang lain boleh saja kata malim menjadi berubah makna.
Misalnya dalam istilah Harajaon Malim, akan bermakna “kerajaan yang berhubungan
dengan ajaran malim” sedangkan pengunaan kata “malim ni Debata” akan bermakna utusan
atau Nabi Debata. Demikian juga dengan kata “hamalimon” akan bermakna pengalaman
keagamaan malim (kesalehan). Oleh sebab itu kata malim boleh dierjemahkan menurut
konteksnya yang bermakna bersih, suci, beriman, beramal, bertakwa, utusan dan termaksud
nama Ugamo Malim itu sendiri.

2 Sejarah Kepercayaan Parmalim dan Perkembangannya

Raja Sisingamangaraja XII menggantikan ayahnya Raja Sisingamangaraja XI ketika beliau


meninggal tahun 1875. Berapa sarjana Barat antara lain Karl Helbig dan Pedersen
mengatakan bahwa Sisingamangaraja XII sekitar 1870 mendirikan Ugamo Malim dengan
tujuan menjaga agar unsur-unsur agama Batak kuno terbina dalam menghadapi agama
Kristen, dan penjajah Belanda. Orang yang berperan besar dalam perkembangan Ugamo
Malim ialah Guru Somalaing Pardede dari Desa Janji Maria-Balige dan Raja Mulia
Naipospos dari Desa Huta Tinggi-Laguboti.
Tetapi Raja Mulia Naipospos-lah yang mendapatkan perintah secara langsung dari
Sisingamangaraja XII untuk meneruskan ajaran Parmalim dan langsung sebagai
pemimpinnya. Sedangkan Guru Somalaing Pardede adalah seorang datu (dukun) yang
terkenal dan menjadi salah seorang panglima dan penasehat Sisingamangaraja XII.
Ada dua versi tentang siapa yang menyebarkan ajaran Ugamo Malim. Menurut golongan
yang pertama beberapa ratus tahun sebelum Agama Islam dan Kristen datang ke tanah
Tapanuli. Sebelum Ugamo Malim resmi dilembagakan kepercayaan dan ajaran keagamaan
Batak sesungguhnya sudah mulai ada, menurut kepercayaan Ugamo Malim ajaran
keagamaan dibawa oleh suruhan atau utusan Debata Mula Jadi Nabolon. Suruhan tersebut
membawa ajaran keagamaan itu dinamakan Malim Debata.
Ada empat orang yang tercatat sebagai Malim yang di utus Debata khususnya kepada suku
bangsa Batak, yaitu Raja Uti, Simaribulubosi dan Sisingamangaraja, dan Raja Nasiakbagi.
Semua mereka yang tercatat sebagi Malim Debata itu disebut sebagai orang yang memiliki
harajaon malim (kerajaan malim) di banua tonga (bumi) ini. Kerajaan Malim yang mereka
pegang itu di yakini dalam Ugamo Malim berasal dari Debata Mulajadi Nabolon.
Raja Uti sebagai Malim yang pertama adalah seorang pemimpin umat kharismatis
dan disegani di zamannya, Raja Uti yang lahir di daerah Tapanuli Tengah dekat Barus. Dia
tampil di tengah-tengah suku Batak ketika masyarakatnya pada masa itu dalam keadaan caos
yang ditandai dengan kekacauan diantara sesama suku Batak. Disamping itu suku Batak
sedang mengalami gocangan kepercayaan kepada Debata Mulajadi Nabolon dengan
mengubah kepercayaan kepada Sipelebegu (penyembah ruh-ruh) atau boleh juga di sebut
beraliran animisme. Raja Uti muncul sebagai Malim Debata dengan tujuan menyelamatkan
manusia dari kesesatan dan mengembalikan kepercayaan untuk menyembah kepada Debata
Mulajadi Nabolon. Raja Uti yang pertama membentuk ajaran “marsuhi ni appang na opat”
(ampang yang bersegi empat ) yang terdiri dari tona, poda, patik, dan uhum yang diyakini
ajaran itu telah ada di banua ginjang sebelum diturunkan ke bumi ini.
Beberapa lama setelah setelah Raja Uti, Debata mengutus Tuhan Simarimbulubosi sebagai
malim yang kedua untuk melanjutkan ajaran yang dibawa oleh Raja Uti.
Kedatanganya adalah untuk memantapkan keimanan suku bangsa Batak agar dapat
berketuhanan kepada Debata Mulajadi Nabolon. Akan tetapi, setelah Simaribulubosi
meninggalkan umatnya pergi menghadap natorasna (bapaknya) di banua gijang, kekacauan
sosial muncul kembali yang sama dasyatnya dengan yang terjadi sebelum Raja Uti didaulat
sebagai Malim Debata. Inti penyebabnya adalah karena semakin jauh dari Debata dan
berbuat kekacauan sehingga itu kemudian dikenang sebagai masa lumlam (jahiliah).
Kemudian Debata mengutus Malim-nya yang ketiga yaitu Sisingamagaraja sekitar tahun (±
450 M) untuk membina suku bangsa Batak melalui kuasa yang dimilikinya dengan maksud
agar umatnya tetap berketuhanan kepada Debata Mulajadi Nabolon.
Kehadiran Sisingamangaraja beberapa tahun setelah Simaribulubosi, tugasnya adalah
mengisbatkan adat, patik, dan uhum (hukum) bagi suku bangsa Batak sebagai panduan
hidup dalam bermasyarakat. Perlu dicatat bahwa secara fisik yang bernama Sisingamangaraja
berjumlah dua belas orang sehingga untuk menyebutnya dinamakan Sisingamagaraja I
hingga XII. Adapun nama-nama keturunan Sisingamangaraja yang menjadi raja (utusan
Debata) adalah :
1. Raja Manghuntal menjadi Sisingamangaraja I
2. Raja Tinaruan menjadi Sisingamangaraja II
3. Raja Itubungna menjadi Sisingamangaraja III
4. Raja Sorimangaraja menjadi Sisingamangaraja IV
5. Parlongos menjadi Sisingamangaraja V
6. Panghulbuk menjadi Sisingamangaraja VI
7. Ompu Tuan Lombut Menjadi Sisingamangaraja VII
8. Ompu Sotaronggal menjadi Sisingamangaraja VIII
9. Ompu Sohalopon menjadi Sisingamangaraja IX
10. Ompu Tuan Nabolon menjadi Sisingamangaraja X
11. Ompu Sohaluaon menjadi Sisingamangaraja XI
12. Ompu Pulo Batu menjadi Sisingamangaraja XII
Pada masa Sisingamangaraja XII, penjajahan Belanda mulai memasuki tanah Tapanuli.
Peperangan berlangsung selama 30 tahun yang disebut Perang Batak. Dalam suatu
penyerbuan ke tempat persembuyiannya di Pearaja pada tanggal 17 Juli 1907,
Sisingamangaraja ditembak mati oleh Hamisi seorang pasukan Masose Belanda yang
dipimpin oleh Christoffel. Pihak Belanda mengumunkan bahwa Sisingamangaraja XII telah
gugur pada 21 Juli 1907. Akan tetapi, menurut kepercayaan Parmalim Sisingamangaraja itu
bukan mati, karena tidak beberapa lama setelah peristiwa itu, dengan tiba-tiba muncul yang
bernama Nasiakbagi (yang menderita) yang tersebar di seluruh Tanah Tapanuli.
Tampilnya sosok misterius Raja Nasiakbagi tentu membawa kesan yang mengembirakan
bagi masyarakat Batak pada umumnya dan semakin mempertebal keyakinan bahwa raja
mereka Sisingamangaraja tidak benar mati. Namun kehadiran sosok yang bernama Raja
Nasiakbagi tidak begitu banyak orang yang mengenalnya, kecuali hanya murid-muridnya.
Raja Nasiakbagi hanya memfokuskan diri kepada pembinaan rohani umatnya yaitu
mengajarkan hamalimon (keagamaan). Pada suatu ketika, Raja Nasiakbagi memberikan
arahan kepada murid-muridnya. Dalam pertemuan itu dia berkata: “malim ma hamu”
(malimlah kalian). Maksudnya, “sucilah kamu atau senantiasalah suci dalam keagamaan”.
Dengan adanya pengarahan ini, makanya sejak saat itu pula ajaran yang dibawanya resmi dan
populer di sebut “ugamo malim”.
Setelah Nasiakbagi pergi meninggalkan umatnya, Ugamo Malim diwariskan kepada salah
seorang murid setianya yaitu Raja Mulia Naipospos. Dia diserahi tugas mempertahankan dan
melanjutkan penyiaran Ugamo Malim untuk masa selanjutnya. Penyerahan mandat itu
merujuk kepada pidatonya yang terakhir sekali yang didengar oleh semua murid-muridnya.
Di dalam pidato itu Raja Nasiakbagi berkata bahwa “siapa-siapa yang patuh dan taat kepada
Raja Mulia, maka samalah artinya kepatuhannya itu kepada saya”. Sejak itu Raja Mulia
Naipospos yang bertindak sebagai penyambung ajaran Raja
Nasiakbagi dalam mengembangkan Ugamo Malim.

Menurut versi lain pada abad ke-19 terjadi perubahan drastis dalam masyarakat Batak

Toba. Isolasi yang berjalan beberapa abad mulai tersingkap dengan masuknya kebudayaan
Barat. Perubahan yang dibawa oleh Islam kurang memberi warna pada masyarakat Batak.
Sebelum kebudayaan Barat menyentuh budaya Batak Toba, Islam telah lebih dulu sampai
dikawasan ini, walaupun tahun masuknya tidak dapat dipastikan, seperti hanya masuknya
Islam ke Indonesia Pada bulan syawal 1233 H/1819 Masehi, Tuanku Rao (Panglima tertinggi
tentara Padri untuk Tapanuli) dapat menaklukkan Sisingamangaraja X di Bakkara. Pada
waktu Tuanku Rao dalam perjalanan menuju Bakkara (pusat kerajaan Sisingamangaraja),
beliau menjumpai adanya masyarakat yang sudah beragama Islam, seperti di Pahae Jae.
Pengunut Islam yang dijumpai itu berbeda Mazhab dengan beliau. Tuanku Rao menganut
mahzab Hambali dan mereka menganut mazhab Syi’ah.
JPG Westhff dalam dalam risalahnya yang berjudul “Padri” menghubungkan
kepentingan ajaran Kristen dalam terpeliharanya jajahan Belanda di Indonesia. Sebagimana
dalam tulisannya “ada pendapat saya untuk memiliki tetap djajahan-djajahan kita untuk
sebagian besar adalah tergantung pada peng-kristenan dari rakyat sebagian besar belum
beragama atau yang sudah masuk Islam”.
Zending Katolik mengirim dua orang pendeta, Henry Lyman dan Samuel Munson yang
sudah ahli bahasa Batak pada Tahun 1834, untuk menasranikan masyarakat Batak Toba.
Munson adalah lulusan Bowdoin College pada tahun 1829 dan Lyman adalah lulusan
Amliherst pada tahun 1829.29 Mereka pernah berteman disekolah Anderver Theological
Seminary dan tamat pada tahun 1832, mereka juga pernah menetap di Sibolga. Ajaran yang
mereka bawa tidak dapat diterima oleh Batak Toba dan memberi reaksi yang hebat serta
membunuh kedua misionaris itu.
Pada tahun 1890, Emelio Mondigliani seorang berkebangsan Itali sampai ke Tapanuli
tepatnya di huta (desa) Sirambe didaratan tinggi selatan Balige-Laguboti. Ia adalah seorang
ahli hukum tetapi juga seorang botanis dan zoologis serta tertarik dalam bidang penelitian
benda-benda kebudayaan dan meminati ilmu-ilmu bumi di negeri-negeri jauh.
Saat berkunjung ke Bakkara Mondigliani memperkenalkan dirinya sebagai utusan Raja Rum.
Mondigliani membicarakan tentang rajanya di Italia, Raja Roma. Orang Bakkara
mengartikan Raja Rum atau Raja Rom yaitu sebutan untuk Raja Stabol (Istambul) atau Raja
Turki. Dalam Perang Aceh (1873-1904) dan Perang Batak (1878-1907) Raja Rom dari Turki
di hormati sebagai sekutu dalam perlawanan terhadap Belanda maupun oleh Orang Batak.
Berita yang bersiar tentang Mondigliani yang disebut-sebut sebagai Raja Stambul
terdengangar oleh Guru Somalaing Pardede dan mereka bertemu pada tahun 1890, dalam
perjalanan kedaerah Sigoal menuju Bandar Pulo di daerah Asahan. Mondigliani memandang
Guru Somalaing lebih sebagai sahabat yang akrab. Sehingga dalam pergaulan sehari-hari
dengan Mondigliani inilah Guru Somalaing mendapat ajaran agama Katolik.
Sesudah Guru Somalaing terpisah dengan Sisingamangaraja XII tahun 1886 dan berpisah
dengan Mondigliani pada bulan April 1891, dengan inisiatif sendiri membentuk suatu
gerakan “parmalim” didaerah Tapanuli. Guru Somalaing mulai bergerak menyebarkan
ajaran Parmalim dengan ajaran barunya ke segala penjuru di daerah Toba. Ajaran Guru
Somalaing bersifat sinkretis dengan memadukan kepercayaan Batak lama dengan trimurti
ajaran Kristen Katolik dan raja Iman Sisingamangaraja XII.
Guru Somalaing disambut dan mendapat banyak pengikut terutama di daerah Toba,
Humbang, Uluan, Samosir dan Asahan. Salah satu sebab utama keberhasilan memperoleh
banyak pengikut adalah karena posisinya sebagai mantan Datu (dukun) Sisingamangaraja
XII serta ketegasannya mengusir Belanda. Guru Somalaing sebagai pendiri Parmalim
ditangkap tahun 1896 oleh kontrolir P.A.L.E van Djik lalu dibuang ke Kalimantan. Meskipun
pemerintah Belanda sudah berjalan dan Gereja Batak Kristen Protestan secara de facto sudah
berdiri, Belanda masih cemas terhadap gerakan Parmalim. De Boer, seorang kontrolir
Belanda di Balige pada tahun 1914 melaporkan, bahwa gerakan Parmalim masih bertahan
dan tetap berkiblat pada Sisingamangaraja dan menjalankan penyesuain dalam cara bergerak.
Parmalim menjadi legal sebagai agama murni yang dilindungi oleh hukum Kolonial secara
formal pada tahun 1922.
Timbul Parmalim menurut sejarah dipengaruhi oleh beberapa unsur, termasud adat, Islam,
Kristen, dan kepercayaan Batak kuno. Dari peleburan keempat unsur ini timbullah
kepercayaan baru yang diangap sebagi kepercayaan tersendiri yang diberi nama Parmalim.
Kemudian dalam perkembangannya Parmalim terpecah menjadi 4 sekte utama, yaitu:
1. Sekte Parmalim yang merupakan sekte utama yang didirikan oleh Guru Somalaing
Pardede.
2. Sekte Nasiakbagi yaitu sekte yang didirikan oleh Raja Nasiakbagi (yang menderita),
3. Sekte Parsitekka yang didirikan dan dipimpin oleh Sitengka, dan
4. Sekte Sisingamangaraja.
5. Sekte Parhudamdam yakni sekte yang didirikan oleh Jaman Pohan.
Diantara kelima gerakan Parmalim sekte Nasiakbagi terus bertahan dibawa pimpinan

Nasiakbagi, yang dianggap sebagai Sisingamangaraja. Raja Nasiakbagi adalah Jaga


Simatupang seorang perajin emas dari Nagasaribu, dekat Siborongborong yang kemudian
menjadi pemimpin sekte Nasiakbagi.
Gerakan Parmalim Nasiakbagi menunjukkan sikap perlawanannya dengan mendirikan
organisasi-organisasi tandingan. Sikap perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda
kiranya tampak dalam sikap Jaga Simatupang mendirikan tiga buah desa baru di Batu Na
Bolon, sekitar tahun 1900. Sikap perlawanan terhadap misionaris (Kristen), dengan pencarian
justifikasi atas ajaran-ajaran Nasiakbagi. Perlawanan diwujudkan dengan pendirian usaha
tandingan yakni koperasi simpan-pinjam. Koperasi yang diberi nama Ugasan Torop ini
memberikan koperasi simpan-pinjam berupa uang dan padi tanpa bunga kepada anggota
Nasiakbagi yang miskin. Di tempat lain, seperti di Uluan, koperasi sejenis Ugasan Torop di
sebut Kongsi Porasian.
Nasiakbagi ditangkap oleh Belanda karena sikap pengikutnya yang mengangap ia adalah
Sisingamangaraja akan menjadi ancaman terhadap Belanda. Perjuangannya dilanjutkan oleh
Raja Mulia Naipospos setelah dibebaskan tahun 1920. Parmalim Nasiakbagi dapat
meneruskan gerakannya secara legal sejak dikeluarkannya sertifikat oleh kontrolir van Toba
pada tahun 1922. Parmalim tampil sebagai agama murni, yang secara damai menyebarkan
ajarannya. Mereka menghormati Sisingamangaraja sebagai pemimpin kerohanian yang
terpisah dari urusan politik.
Raja Mulia Naipospos sebelum meninggal memberikan wasiat kepada putranya Raja
Ungkap Naipospos. Isi wasiat itu antara lain adalah meneruskan Ugamo Malim dan menjaga
kesuciannya. Raja Mulia Naipospos meninggal pada tanggal 3 Mei 1965 dalam usia 120
tahun. Sepeninggal beliau kepemimpinan Parmalim dipegang oleh Raja Ungkap Naipospos
di Huta Tinggi Laguboti. Dalam masa kepemimpinannya, ia juga mengahadapi banyak
tantangan dari pihak-pihak yang anti terhadap Sisingamangaraja.
Adapun ajaran Guru Somalaing Pardede dan ajaran Raja Nasiakbagi pada dasarnya
menghormati Sisingamangaraja XII sebagai pemimpin kerohanian dan memuja Ompu Mulaji
Na Bolon sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Namun Guru Somalaing lebih mengarah kepada
gerakan messianic yang meyakini Sisingamangaraja masih hidup, yang masih
mengaharapkan munculnya kembali Sisingamangaraja dan kebesarannya. Sisingamangaraja
dianggap sebagai utusan, seorang mesias (juru selamat) bagi suku Batak, juga dianggap
sebagai gerakan yang menentang Kolonial dan penyebaran agama Kristen. Yang
membedakan keduanya terdapat adalah kadar nilai Kristen yang di kandung pada paham
Parmalim yang di ajarkannya. Ajaran Guru Somalaing memberikan pemujaan terhadap
trimurti Kristen (Jahoba, Opu Pulo Maria, dan Yesus) serta Guru Somalaing menyatakan
bahwa Wahyunya di dapat dari Jahoba. Nasiakbagi merupakan sebuah gerakan puritanisme
Parmalim hal ini tampak dari asal wahyu yang menurut Nasiakbagi di dapatnya dari Debata
Mulajadi Nabolon serta konsep dosa yang sebelumnya tidak dikenal dalam Parmalim
Somalaing.

Dalam perkembangan selanjutnya gerakan Parmalim ini tidak lagi tampak proses
penyebaranya, yang lebih dominan adalah usaha untuk mempertahankan dan memelihara
keutuhan Parmalim yang ada. Gerakan Parmalim sebagai gerakan keagamaan kemudian
terpecah dan terbagi dalam empat aliran utama yaitu:
1. Parmalim dibawah pimpinan Raja Mulia Naipospos pusatnya di Huta Tinggi
Laguboti
2. Malim Sumumba Malim pusatnya di Sigaol
3. Malim Putih pusatnya di Balige
4. Malim Beringin Batak, pusatnya di Pulau Samosir
Keempat bagian ini adalah sekte Parmalim yang mempunyai kesamaan namun berbeda
ornaginasinya. Tujuannya satu yaitu menantikan kembalinya Sisingamangaraja, namun
dalam pengajaranya terdapat perbedaan. Perbedaan yang terjadi adalah karena Parmalim
kedaerah tersebut diajarkan secara lisan dan tidak memiliki kitab seperti agama lain.
Dalam proses perkembangannya Parmalim memperoleh banyak kesulitan yang berasal dari
luar maupun dari dalam Parmalim itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari gencarnya pengaruh
agama lain agar memeluk agama yang disebarkan dan meninggalkan Parmalim. Disamping
itu, dalam proses menjalanakan ibadahnya Parmalim tidak mendapat keleluasaan. Mereka
dianggap sebagai penyembah setan dan harus bertobat. Selain itu penganut Ugamo Malim
banyak yang pindah ke ajaran agama lain sebagai akibat dari perkawinan dengan orang yang
telah menganut salah satu agama yang telah diakui maupun karena terpengaruh oleh syiar
misi Kristen di tengah-tengah masyarakat Toba.
Dalam kepemimpinan Raja Ungkap Naipospos, memimpin misi penguatan ajaran Ugamo
Malim bagi para pemeluknya. Raja Ungkap melakukan sejumlah langkah pembaharuan
dalam tubuh Parmalim, sebagai generasi ihutan yang mendapat pendidikan modern Raja
Ungkap mendokumentasikan tona, poda, patik, dan uhum yang biasanya di lafalkan dalam
tonggo-tonggo yang disebut pustaha parguruon (buku pedoman belajar) dalam buku “Rintis
Parguruan Ugamo Malim” pada tahun 1947. Rintis Parguruan Ugamo Malim kemudian
menjadi pedoman bagi Parmalim dalam menjalankan ajaran Ugamo Malim dalam
kesehariannya.
Tidak hanya pendokumentasian ajaran Parmalim, Raja Ungkap juga menyadari salah satu
penyebab kemunduran jumlah Parmalim adalah kurangnya pemahaman generasi muda
(naposo) Parmalim terhadap ajaran Ugamo Malim. Paham-paham lama yang dirasa Raja
Ungkap menhambat pertumbuhan ajaran hamalimon diluruskan. Generasi muda diberi
kesempatan untuk memimpin peribadatan dan memberikan bimbingan melalui pengajaran
kepada generasi dibawahnya. Adapun amanat beliau terkait posisi generasi muda dalam
Parmalim yakni “naposo tundun di jolo osang-osang di pudi” maksudnya, “generasi muda
adalah penerus orangtunya untuk meneruskan keimanan Parmalim. Himpunan remaja
putraputri remaja parmalim pun dibina beliau, disebut “Tunas Naimbaru” tahun 1953.41 Peran
remaja sangat penting dalam setiap upacara dan proses pembelajaran ajaran Ugamo Malim.
Melalui Tunas Naimbaru para remaja Parmalim belajar tentang ajaran Malim dan budaya 41
Wawancara dengan Maradu Naipospos ketua Tunas Naimbaru Parmalim Tanggal 23 Oktober 2012.
Batak melalui kegiatan yang disebut Marguru. Dalam aktivitas marguru biasanya anak muda
parmalim mengoranisasikan dirinya untuk belajar ajaran malim dengan dipimpin oleh salah
seorang diantara mereka yang dituakan, dimana orang tersebut dianggap memiliki
pengetahuan yang lebih baik diantara pemuda lainnya.
Melalui proses yang panjang dan usaha memperjuangkan Parmalim sebagai agama resmi,
pada tanggal 4 juni 1980 akhirnya Parmalim terdaftar sebagai aliran kepercayaan dibawah
naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang disebut Direktorat Bina Haayat.
Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayan kemudian menerbitkan surat
keterangan (certificate) sebagai bukti pendaftaran pada tahun 1980 dengan No.
I.136/F.3/N.II/1980. Bagi penganut Parmalim hal ini dapat dikatakan sebagai awal
kebangkitan Parmalim. Meski di sebahagian tempat didapati penganut Parmalim yang tidak
puas karena mereka menuntut pengakuan yang sama seperti enam agama terdahulu. Aliran
kepercayaan Ugamo Malim digolongkan dalam “Himpunan Kepercayaan” menjadi kelompok
minoritas di tengah-tengah penduduk yang mayoritas Islam dan Kristen.
Perjalanan sejarah Ugamo Malim semenjak kelahirannya pada masa lalu, aliran kepercayaan
ini tampaknya memiliki perjalanan sejarah yang panjang dan menarik. Sebab, disamping
kelahirannya bersamaan dengan kolonialisasi di tanah Batak dan masuknya aga Kristen ke
Tapanuli, Ugamo Malim mengalamai hambatan dari pihak pemerintah Belanda dalam hal
mengamalkan ajaran yang dikandunginya. Perlakuan seperti ini berlangsung sampai
Indonesia merdeka penuh tahun 1949. Setelah Indonesia merdeka Ugamo Malim masih
memiliki hambatan dalam menjalankan ajarannya. Meskipun demikian, ajaran ini masih tetap
bertahan di tengah-tengah masyarakat Batak yang ditandai dengan masih banyaknya
penganutnya di berbagai cabang mengamalkan ritualnya dan teguh mempertahankan identitas
agamanya.
Salah satu indikasi yang bisa dianggap sebagai penghambat kelangsungan hidup Ugamo
Malim ialah sejak keluarnya Pepres NOMOR 1/PNPS Tahun 1965, dimana adanya keharusan
pihak penganut Ugamo Malim untuk meminta izin dan melaporkan setiap aktivitas
upacaranya kepada pihak kejaksaan negeri setempat yang berkedudukan di Tarutung (Ibu
Kota Tapanuli Utara). Upacara yang harus dilaporkan itu ialah upacara keagamaan tahunan
yang bersifat nasional yaitu upacara yang wajib dihadiri seluruh anggota Parmalim
seIndonesia seperti upacara mangan na paet, sipaha Sada dan sipaha lima. Pengawasan
seperti ini tetap diberlakukan hingga tahun 1978.
Selanjutnya, pada tahun 1980 tepatnya setelah Ugamo Malim mendapat pengakuan resmi
sebagai sebuah aliran kepercayaan, pihak pemerintah memberikan keleluasaan kepada
Parmalim untuk mempertahankan dan menjalankan kepercayaannya. Segala peraturan dan
ketentuan yang dianggap diskriminatif seperti keharusan untuk meminta izin dan member
laporan dalam setiap melakukan upacara agama dicabut.
Pada 3 September 1981 Raja Ungkap Naipospos meninggal, kemudian kepemimpinan
Ugamo Malim beralih ke anaknya Raja Marnagkok Naipospos sampai sekarang. Delapan
tahun setelah kepemimpinan Raja Marnagkok Naipospos muncul UndangUndang RI No. 8
Tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan. Isi dari UU RI No.8 Tahun
1985 diantaranya mewajibkan seluruh organisasi kemasyarakat untuk menganut asas
Pancasila sebagai satu-satunya asas yang boleh dianut oleh seluruh organisasi
kemasyarakatan. Selain “kewajiban” mengunakan Pancasila sebagai asas organisasi UU RI
No.8 Tahun 1985 juga mewajibkan agar setiap organisasi menetapkan struktur, tujuan dan
sifat organisasinya. Raja Mulia Naipospos berserta seluruh jemaat parmalim sesuai anjuran
UU RI No.8 Tahun 1985 kemudian membentuk musyawarah yang dikenal dalam Ugamo
Malim sebagai Ria Godang. Musyawarah ini menghasilkan Pedoman Dasar dan Pedoman
Pelaksanaan pada tanggal 29 Maret 1987. (lihat lampiran)

3 Pola Ajaran Kepercayaan Ugamo Malim

3.1 Ajaran Tentang Ketuhanan

Salah satu unsur dalam struktur agama ialah kepercayaan kepada Tuhan atau kuasa
Supranatural. Kepercayaan ini merupakan dasar dalam suatu bangunan agama termaksud
dalam setiap melakukan ritual agama. Mengingat Ugamo Malim adalah sebuah
“kepercayaan”, maka sangatlah penting diuraikan disini tentang system kepercayaan yang
mencakup dari semua aspek-aspeknya.
Dimulai dari kepercayaan kepada superanatural seperti kepecayaan kepada Tuhan atau
dewa-dewa yang kesemuanya disebut partohap harajaon malim di banua ginjang (si pemilik
kerajaan Malim di langit). Selain itu akan dijelaskan pula tentang keberadaan para utusan
Tuhan Debata (Nabi) yang diyakini sebagi perantara dalam membawa Ugamo Malim. Dalam
istilah Ugamo Malim, semua utusan Debata ini dinamakan Malim Debata yang disebut juga
partohap harajaon malim di banua tonga (si pemilik kerajaan malim di bumi). Selain
kepercayaan kepada partohap harajaon malim di banua ginjang dan partohap harajaon
malim di banua tonga, Parmalim juga kepercayaan kepada ruh-ruh yang tugasnya adalah
sebagai pembantu Debata dalam urusan tertentu. Ruh-ruh yang dimaksudkan adalah
Habonaron. Para habonaron ini secara operasional bertugas untuk mengamati semua
kelakuan manusia sekaligus memberikan nasihat melalui “gerak hati” seseorang manusia.
Apabila manusia melakukan pekerjaan yang tergolong melanggar peraturan, maka
habonaron ini akan memberikan peringatan (pissang-pissang) kepada manusia melalui
pendampingnya yang disebut ulubalang.
1. Kepercayaan Kepada Si Pemilik Kerajaan Malim di langit (Surga) (Partohap
Harajaon Malim Banua Ginjang).
Apabila kita menyebut kerajaan malim di banua Ginjang, yang dimaksudkan adalah kerajaan
yang ada hubungannya dengan dimensi keagamaan. Menurut Ugamo Malim, sumber
wujudnya sesuatu agama dapat dipastikan berasal dari si pemilik Kerajaan Malim yang
berkedudukan di Banua Ginjang. Agama apa pun yang ada dipermukaan bumi ini semua
berasal dari Partohap Harajaon Malim. Oleh karena itu, Ugamo Malim adalah agama yang
khusus diturunkan kepada suku bangsa Batak yang dipercayai bersumber dari Debata
Mulajadi Nabolon. Agama ini diserahkan melalui para Malim Debata (utusan atau Nabi)
yang berdiam di banua Tonga (bumi). Dari sanalah semua asal ajaran itu ada yang kemudian
oleh Malim Debata disampaikan kepada umat manusia di banua tonga (bumi).
Menurut kepercayaan Ugamo Malim, sebelum manusia diciptakan melalui tangan Siboru
Deakparujar sesungguhnya kerajaan Malim itu sudah lebih dulu ada di banua ginjang.
Kemudian Debata menciptakan dewa-dewa lainnya dan mengangkat mereka sebagai
pembantunya sekaligus mengikutsertakan mereka dalam barisan si pemilik kerajaan malim di
banua ginjang. Adapun nama-nama dewa yang dimaksud adalah Debata Natolu (Batraguru,
Sorisohaliapan, dan Balabulan), Siboru Deakparujar, Nagapadohaniaji dan Siboru
Saningnaga.
Perlu dikemukankan bahwa asas untuk memercayai semua “Si pemilik kerajaan malim di
banua ginjang” ini bukanlah bersumber dari sebuah kitab suci, melainkan merujuk kepada
bunyi tonggo-tonggo (doa-doa) yang disusun oleh Raja Nasiakbagi. Dengan kata lain,
melalui doa-doa itulah para penganut Ugamo Malim mengimani dan sekaligus
menjadikannya sebagi refrensi dalam meaksanakan berbagai ritual.
Ibrahim Gultom mengatakan bahwa bentuk teologi Ugamo Malim ini boleh dikategorikan
sebagai monoteisme campuran. Disamping memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa yaitu Debata Mulajadi Nabolon, agama ini juga mengajar adanya kepercayaan kepada
kuasa superanatural lainnya yaitu sejenis dewa-dewa. Tapi dewa-dewa ini bukanlah disebut
dewa yang maha tinggi atau dewa yang sama drajatnya dengan Debata Mulajadi Nabolon.
Mereka adalah ciptaan Debata yang fungsinya hanya sebagai pembantunya semata dan bukan
sebagai penentu dalam alam semesta. Dalam kepercayaan Ugamo Malim dewa-dewa tersebut
wajib dihormati dan disembah melalui upacara agama.
2. Kepercayaan Kepada Si Pemilik Kerajaan Malim (Partohap Harajaon Malim di
Banua Tonga).
Istilah harajaon (kerajaan) dalam Ugamo Malim berbeda dengan pemahaman umum yang
berarti “kerajaan atau negara”. Dalam Ugamo Malim, Harajaon bukanlah bermakna politik
melainkan lebih bermakna keagamaan. Sehubungan dengan ini, apabila kita menyebut “raja”
dalam konteks Ugamo Malim, maka yang dimaksud bukanlah raja dalam arti sesungguhnya
yaitu seorang pemimpin negara, akan tetapi “raja” atau pemimpin yang tugasnya sebagai
pembawa agama. Jika dilihat dari segi tugas dan peranannya, raja seperti ini lazim disebut
priestking. Oleh karena itu, raja dalam Ugamo Malim memiliki makna yang sangat tinggi dan
sakral.
Dalam Ugamo Malim ada empat orang tercatat sebagai Malim Debata yang sengaja di utus
Debata khusus kepaa manusia suku Batak, yaitu Raja Uti, Simaribulubosi, Raja
Sisingamangaraja, dan Raja Nasiakbagi. Keempat raja ini diyakini merupakan perpanjangan
tangan Debata untuk menyampakan ajaran keagamaan kepada manusia suku Batak dengan
maksud supaya mereka berketuhanan (mardebatahon) dan beramal ibadat (marmalimon).
Oleh karena itu merekalah yang diangkat untuk menyampaikan ajaran agama kepada suku
Batak, maka mereka pulalah yang disebut sebagai partohap harajaon malim di banua tonga
(bumi). Dengan demikian kerajan malim dapat diartikan kekuasaan dalam hal membina dan
mengelola sebuah agama khusus di tanah Batak.
Azas untuk mempercayai semua pesuruh Debata ini tidaklah seperti pada agamaagama lain
yang bersumber pada kitab sucinya masing-masing, melainkna bersumber dari bunyi doa-
doa. Di dalam doa-doa (tonggo-tongggo) itulah secara tegas dinyatakan keberadaan, fungsi
dan tugas mereka sebagai utusan Debata atau Anak Debata. Oleh karena itu, kedudukan doa-
doa dalam Ugamo Malim bukan hanya sekedar doa yang bermakna permohonan, tetapi lebih
dari itu Ia merupakan rujukan atau azas dalam mempercayai semua partohap harajaon
malim baik yang di banua ginjang maupun di banua tonga .
Sebagai perwujuan rasa hormat kepada para Malim Debata, nama mereka wajib dipanggil
dalam setiap upacara ibadat dengan maksud itulah ruh-ruh mereka ikut turut hadir dalam
upacara. Di dalam upacara itulah mereka dipuja dengan cara mempersembahkan sejumlah
sesaji (pelean). Kehadiran Malim Debata pada upacara diangap sebagai perantara dalam
menampung segala bentuk permohonan yang dituangkan dalam bentuk doa-doa.

3.2 Ajaran Tentang Alam Semesta

Alam semesta adalah ciptaaan Debata Mulajadi Nabolon, prosesnya terjadi berkaitan dengan
penciptaan Debata atas bumi. Penciptaan bumi dalam Ugamo Malim tidak terlepas dari
mitologi Batak yang kemudian dijadikan suatu kepercayaan tetap dalam Ugamo Malim yakni
mitologi tangan gaib Siboru Deakparujar. Kepada Boru Deakparujar Debata memberikan
ilmu pengetahuan dalam proses penciptaan bumi melalui tanda-tanda di alam seperti
matahari, bulan dan bintang. Terjadinya pergantian musim, pergantian tahun, pergantian
bulan dan hari semua diberikan Tuhan Yang Maha Esa melalui pergerakan bendabenda
langit. Tanda-tanda bagi aliran Parmalim menjadi patokan untuk menentukan hari baik,
bulan baik, dan saat melaksanakan upacara penghayatan yang bersifat umum di luar hari
Sabtu (mar arisabbtu) yang telah menjadi acuan tetap sebagai hari ibadah.
Alam semesta sebagai wujud kebenaran Debata yang dapat dilihat, dapat dinikmati oleh
umat manusia. Menghormati, menghargai dan menikmati alam semesta ini adalah
perwujudan kecintaan kepada Debata Mulajadi Nabolon. Bumi dan air merupakan tempat
manusia sekaligus sebagai sumber hidup manusia. Memanfaatkan bumi dan air untuk
kepentingan manusia harus didasari bahwa Debata telah memberikan dan menyampaikan
kuasa kepada Nagapadoaji dan Boru Saningnaga.
Kepercayaan Ugamo Malim memberikan tuntutannya kepada penganutnya agar setiap
pemanfaatan tanah untuk kepentingan manusia, terlebih dahulu menyatakan penghormatan
serta memohon izin kepada Nagapadoaji dan pemafaatan air menyatakan penghormatan
kepada Boru Saniangnaga dengan mengatakan “kami bukan hendak merusak”. Merusak
bumi dan air akan menyebabkan petaka bagi manusia.

3.3 Ajaran Kemanusiaan

Manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa bermoral tinggi, berbudi pekerti luhur dan
mempunyai tata susila dalam pergaulan sesama manusia. Pandangan terhadap manusia,
terhadap alam lingkungannya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri bersumber kepada
kepercayaan terhadap Debata Mulajadi Nabolon. Aliran kepercayan Ugamo Malim
mengakui dan mempercayai sesuai dengan mitologi Batak kuno, bahwa asal mula manusia
adalah hasil perkawinan putra dan putri dari banua ginjang, yaitu Raja Odap-Odap dan Putri
Boru Deakparujar, yaitu seorang putra dan seorang putri yang lahir kembar bernama Raja
Ihat Manisisa dan Boru Ihat Manisia.
Setelah mereka dewasa Debata Mulajadi Nabolon berkenan turun dari yang maha tinggi
untuk menjodohkan mereka menjadi suami istri dan kepada mereka diberi hidup untuk
menghuni bumi ini dengan syarat mereka senantiasa melakukan hubungan dengan Debata
Mulajadi Nabolon melalui persembahan suci (pelean) serta dilarang memakan daging babi,
anjing, darah dan yang tercemar uap bangkai. Atas kuasa yang diterima, Raja Ihat Manisia
dan Boru Ihat Manisia dapat melaksanakan kehendak dan menjadi larangan Debata Mulajadi
Nabolon serta kepada keturunannya sabda ini diteruskan menjadi amanah yang disebut
dengan poda.
Dalam mitos ini disebutkan bahwa Boru Deakparujar dan Raja Odap-Odap kembali bersama
dengan Debata Mulajadi Nabolon ke banua ginjang. Akan tetapi karena kecintaan mereka
terhadap putra dan putrinya Debata Mulajadi Nabolon menempatkan Boru Deakparujar di
bulan dan Raja Odap-Odap di matahari, agar mereka berdua selalu dapat melihat anak-
anaknya serta keturunannya.
Debata Mulajadi Nabolon menciptakan manusia agar manusia menghuni bumi ini dan
menyembah kepadanya. Tuhan menyediakan segala kebutuhan manusia di dalam alam. Ia
juga memberikan pengetahuan serta kemampuan untuk memanfaatkan alam bagi
kelangsungan hidup manusia.
Melaksanakan hukum (kehendak) Debata Mulajadi Nabolon, menyembah dan memuji
namanya dalam keadaan apapun adalah kewajiban manusia. Hidup dan mati manusia adalah
atas kehendak Debata Mulajadi Nabolon. Hal ini disebutkan dengan tegas dalam patik ni
Debata : ngolu dohot hamaten huasi ni Debata (hidup dan kematian merupakan kuasa
Debata Mulajadi Nabolon.
Ajaran kepercayaan Ugamo Malim dalam patik menyebutkan: haholongan dongan jolma
(agar mengasihi sesama manusia). Kewajiban untuk saling mencintai manusia dipertegas lagi
dalam patikNya yang mengatakan: “songon holong ni rohaniba di diriniba, songon ima
holong niro tu dongan” (bahwa kita wajib mencintai sesama manusia seperti kita mencintai
diri kita sendiri). Manusia adalah sama derajatnya dan martabatnya di hadapan Debata
Mulajadi Nabolon. Perbedaan suku, bangsa, daerah, bahasa, dan budaya adalah atas
kehendak Sang Pencipta.
Untuk menumbuhkan rasa cinta kasih sesama manusia diajarkan dalam Ugamo Malim
sebagai berikut: “unang holan diri niba sinarihon, ai naringkot didongan dang ni
parrohahon” (agar janganlah kiranya mementingkan diri sendiri, sedangkan kepentingan
orang lain diabaikan). Melaksanakan ajaran kasih (holong) dengan menjauhkan semua
larangan-larangan akan mewujudkan saling mencintai, mengasihi, menghargai, dan saling
menghormati yang akan bermuara kepada kedamaian dan kesatuan.
Kebahagiaan dunia lahir dan batin adalah cita-cita hidup manusia di dunia. Beragam usaha
dilaksanakan untuk mencapai harapan-harapan ini, namun sampai kapanpun manusia tidak
akan memperolehnya manunsia dalam hidupnya selalu mengalami masa sulit seperti hati
yang resah, gelisah, tidak puas, sakit, dan menghadapi maut. Ajaran kepercayaan Ugamo
Malim memaknai hidup adalah penyerahan diri secara utuh kepada Debata. Hidup adalah
persembahan suci kepada Debata dan akhir dari kehidupan manusia adalah kembali kepada
Sang Pencipta.
Ugamo Malim menyatakan tujuan manusia (Parmalim) adalah:

1. Manopoti dosa dohot mangido pasu-pasu, (memohon keampunan dosa dan memohon
berkat dari Debata)
2. Mangalului haholongan ni tondi (memperbanyak pengalaman dalam hidup untuk
kelak menjadi berkat dalam kehidupan yang abadi)
3. Marpangirimon di ari nanaing ro (kebahagian “dihari kemudian”)

3.4 Konsep Kesucian Diri

Ugamo Malim sebagai jalan pertemuan dimaksud bahwa melalui Ugamo Malim inilah para
penganutnya dapat melakukan hubungan dengan Debata baik pada waktu melakukan ibadah
maupun diluar ibadat.
Di dalam ajaran Ugamo Malim ada sejumlah ajaran dan ibadat yang wajib di amalkan oleh
setiap Parmalim. Apa bila ajaran dan ibadat itu diamalkan dengan baik dan sempurna maka
orang yang telah mengamalkan itu disebut telah memiliki apa yang disebut dengan kesucian
diri (tondi hamalimon). Artinya pada dirinya telah tertanam ruh atau cahaya kesucian dari
Debata Mulajadi Nabolon sebagai akibat dari pengamalan ajaran yang sempurna itu. Inilah
konsep kesucian diri yang paling tinggi.
Untuk sampai kepada tingkat tondi hamalimon sesorang harus melewati fase roha
hamalimon (perasan yang suci) dan ngolu hamalimon (berkehidupan suci) apa bila dua fase
tersebut telah diamalkan dengan baik maka seseorang akan berpeluang masuk ke taraf tondi
hamalimon. Taraf pengamalan agama yang demikian inilah disebut dengan Takwa- suatu
sebutan peringkat tertinggi dalam diri manusia Parmalim. Jika orang telah mencapai tingkat
yang demikian, maka orang tersebut telah terpelihara dari perbuatan dosa karena dirinya
tidak pernah lepas dari pengawasan roha hamalimon itu sendiri. Dalam setiap aktifitasnya
dirinya akan selalu terhindar dari dosa dan perbuatan yang dapat merugikan disinya dan
orang lain.
Untuk mencapai roha hamalimon dan ngolu hamalimon seseorang harus menjaga diri
(marsolam diri) setiap saat dimanapun ia berada dan mengawal diri dari segala perbuatan
yang dapat menimbulkan dosa (marsolam ngolu) serta membatasi diri dari rayuan dan
kematan dunia serta menghindarkan diri dari segala yang dapat merusak kekusyukan
beribadah (marsolam tondi). Orang yang sudah mampu marsolam diri, marsolam ngolu dan
marsolam tondi ia akan masuk dalam peringkat manusia yang paripurna yang disebut dengan
martondi hamalimon (berjiwa kesucian) atau juga disebut takwa sejati. Ciri orang yang
bertakwa sejati adalah ditandai dengan adanya perasaan haus untuk berbuat kebajikan baik
sesama manusia, kepada alam dan dalam hal beribadat.
Orang yang memiliki tondi hamalimon dipercaya bahwa diri telah dibungkus dengan tondi
debata yang disebut dengan tondi porbadia (ruh yang suci). Dirinya terlindungi dari segala
pengaruh yang dapat merusak dirinya dan segala macam godaan sibolis (iblis) tidak akan
pernah merajai dirinya.

3.5 Konsep Dosa Menurut Ugamo Malim.

Dosa dalam Ugamo Malim digambarkan sebagai perbuatan yang menjijikan. Kriteria
perbuatan yang menjijikan itu bisa dikenali apa bila perbuatan itu tidak sesuai dengan uhum
(hukum) Debata sebagaimana tertuang dalam peraturan baik yang berbentuk
suruhan/perintah maupun larangan. Suruhan atau perintah berarti mengamalkan segala
perintah Debata yang berkaitan dengan ibadat seperti memuji Debata melalui ritual ibadat
dan amalan-amalannya. Sedangkan larangan adalah berkaitan dengan segala perbuatan yang
dapat merugikan manusia, seperti perbuatan mencuri, membunuh, berzina, membungakan
uang , mengejek orang cacat, memakan daging babi, meminum darah, menyesatkan orang
lain dan lain-lain.
Timbulnya dosa pada diri seseorang pada hakikatnya berawal dari adanya sifat dan
perbuatan jahat (hagataon) yang disebabkan oleh terlalu cinta terhadap dunia atas dorongan
nafsu serakah yang tak terkendali. Sifat demikian menyebabkan orang lupa akan Tuhannya,
keadaan lupa itu menyebabkan dirinya dikuasai oleh iblis sehingga perbuatanya cenderung
kepada perbuatan yang mendatangkan dosa.
Dalam ajaran Ugamo Malim ada dua macam dosa yaitu dosa na metmet dan dosa nab balga.
Dosa na metmet seperti mencuri, menghina, dan lain-lian, sedangkan dosa yang tergolong
besar adalah perbuatan yang dikategorikan diluar batas kemanusiaan seperti membunuh
orang lain. Untuk memperoleh keampunan dosa kecil dari Debata seseorang harus menebus
dosanya dengan cara memohon keampunan dosa pada saat upacara keagamaan sambil
berjanji untuk bertobat. Bagi orang yang melakukan dosa besar seperti membunuh tidak
cukup dengan upacara biasa, melainkan dengan cara menebus dosa melalui upacara
keagamaan yang disebut mardebata.

4 Sumber Hukum Ugamo Malim

Ugamo Malim memilki kitab suci yang disebut dengan Pustaha Habonaron. Pustaha
Habonaron adalah sebuah kitab yang ditulis langsung oleh Sisingamangaraja XII dengan
aksara Batak. Kitab ini disebut Pustaha Naimbaru (kitab yang baru) yang jumlahnya hanya
satu dan hingga kini masih tetap tersimpan di Bale Pasogit Partongoan Ugamo Malim yang
berpusat di Huta Tinggi.
Jika ditinjau dari segi isinya, kitab ini dapat dikelompokan kepada tiga bagian. Pertama,
peraturan (patik) yang mengatur hubungan antar manusia dengan Debata dan hubungan
manusia dengan sesamanya. Kedua, peraturan yang berkaitan dengan harajaon, terutama
pemberian hukuman bagi anggota masyarakat yang bersalah termaksud pemimpin formal
maupun pemimpin informal. Ketiga, adalah peraturan yang berkaitan dengan pengaturan
lingkungan alam sekitar dan pertanian.
Keseluruhan peraturan yang terkandung dalam pustaha habonaron dapat disebut pedoman
dalam cara hidup dengan maksud agar tercipta hubungan antara manusia dengan sesamanya
dan antara manusia dengan sang pencipta alam yaitu Debata Mulajadi Nabolon. Selain itu,
ajaran yang tertuang dalam pustaha habonaron pada hakikatnya bertujuan agar manusia
memiliki rasa takut (marhabiaran) kepada Debata. Apabila manusia memiliki rasa takut,
maka diharapkan manusia dapat mengawasi dirinya dari segala perbuatan yang dapat
dikategorikan “melanggar hukum”. Dampak ketaatan kepada hukum akan membawa kepada
keharmonisan dan kedamaian dalam masyarakat.

1 Tona, Poda, Patik dan Uhum

Sumber hukum lain yang juga dijadikan sebagai pedoman dalam pengamalan Ugamo

Malim ada empat yaitu tona, poda, patik dan Uhum. Tona dalam bahasa Batak bermakna
“pesan”, namun dalam istilah Ugamo Malim, kata tona bermakna ajaran yang diterima
manusia dari Debata Mulajadi Nabolon. Tona ini pertama sekali diterima langsung oleh Raja
Ihat Manisia dan Siboru Ihat Manisia. Ada tiga hal isi dalam Tona yang dipesankan Debata
kepada Raja dan Siboru Ihat Manisia yaitu, pertama; perkara suruhan/perintah dan larangan
yang tertuang dalam satu bunyi ayat yaitu “yang boleh dan yang tidak boleh dikerjakan (na
jadi dohot naso jadi). Kedua; memesankan tentang cara hubungan yang baik antara manusia
dengan Debata termaksud semua partohap harajaon malim pesan tersebut dituangkan dalam
sebutan dalam sebuah ayat yang berbunyi; “agar terjadi hubungan tali yang akrab antara
kalian yang berada di banua tonga dengan kami yang berada di banua ginjang hendaklah
dilakukan dengan melalui pemberian pelean (sesaji) dalam setiap bersembahyang dan yang
memberikan persembahan itupun harus bersih lagi “malim” (suci)”. Sedangkan yang ketiga
adalah memesankan secara tegas kepada mereka berdua bahwa tidak boleh makan daging
babi, anjing, bangkai, dan darah. Khusus mengenai darah sembelihan diperuntukkan bagi
dewa Nagapadohaji setiap kali terjadi penyembelihan hewan. Poda pada istilah Ugamo
Malim dapat di artikan sebagai ”nasehat” atau “sabda”.
Ditinjau dari segi sumbernya, poda itu pada mulanya berasal dar para malim (utusan)
Debata, misalnya poda dari Raja Uti, Simaribulubosi, Raja Sisingamangaraja dan Raja
Nasiakbagi. Semua pesan ajaran agama yang keluar dari mulut mereka (perkataan) dianggap
sebagi suara Debata yang tidak pernah diragukan kebenarannya. Jika tidak berlebihan, ajaran
mereka sampaikan itu bisa disamakan dengan istilah “sabda”. Semua ajarang yang
terkandung dalam poda itu menjadi pedoman hidup sekaligus sebagi salah satu sumber dalam
pengamalan ajaran Ugamo Malim.
Salah satu poda yang selalu disebut-sebut dalam setiap upacara keagamaan terutama pada
upacara mararisabtu ialah poda “poda yang lima” yang lazim disebut dengan poda
hamalimon (ajaran keagamaan Malim). Poda yang lima ini sifatnya bernada suruhan yang
wajib diamalkan oleh setiap warga parmalim dalam kehidupan sehari-hari. Kelima poda
tersebut adalah sebagai berikut;
1. Ikon malim parhundulun (harus suci dalam setiap duduk). Ayat ini bermakna luas
karena duduk yang dimaksudkan disini bukan hanya sekedar “cara duduk yang baik”
atau “ kekuasaan. Inti yang terdapat dalam pesa ayat pertama ini adalah memelihara
diri agar terhindar dari koridor etiket yang tidak baik dan jangan bersikap sombong
dan berbuat kesalahan yang dapat mengundang orang lain untuk membencinya.
2. Ikkon maim parmanganon (harus suci dalam setiap makan). Sama dengan ayat yang
pertama yang juga bermakna luas karena pesan yang terkandung dalam ayat ini bukan
hanya keharusan tertib dan sopan saja dalm setiap waktu makan, akan tetapi makna
yang lebih dalam lagi adalah menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela seperti
mencuri, berbuat korupsi dan perbuatan lain yang sefatnya dapat mengorbankan
orang lain.
3. Ikkon malim parmerengon (harus suci dalam setiap melihat). Maknanya adalah
membatasi diri dalam setiap melihat sesuatu objek dengan maksud agar jangan
menimbulkan masalah baik terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain. Batasan
dalam melihat itu dapat di ukur dengan indikator larangan seperti melihat dengan rada
marah, mata membelalak dan beberapa cara memandang lainnya yang masuk dalam
kategori yang tidak sopan. Apabila amalan ini tidak dapat diamalakan, maka
kemungkinan besar akan membawa malapetaka kepada manusia yang bersangkutan.
4. Ingkon malaim panghataion (harus suci dalam setiap perkataan). Maksudnya adalah
memelihara diri dari perkataan yang kurang baik seperti perkataan kotor, menghina,
berdusta, membodohi dan sejumlah perkataan lainnya yang tergolong perkataan
buruk dan kurang patut.
5. Ingkon malim pardalanan (harus suci setiap berjalan). Maksudnya iayalah
memelihara diri dari segala bentuk penampilan yang kurang sopan dan kurang terpuji
baik dalam cara berjalan maupun cara berpakaian.
Patik, arti harfiahnya bermakna “peraturan” atau “kaidah”. Patik terdiri dari
pasalpasal yang mengandung peraturan yang tujuannya untuk mengatur kehidupan manusia.
Patik ini dapat dibagi kepada dua bagian yaitu, pertama; patik yang mengatur hubungan
manusia dengan Debata dan patik yang ,mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.
Kedua, adalah patik yang berkaitan dengan hukum dan ketentuan dalam pelaksanaan upacara
keagamaan.

5 Ritual Ugamo Malim

Ugamo Malim adalah sebuah agama yang memiliki beberapa upacara agama (ritual) yang
dijakan sebagai jalan untuk ”bertemu” dengan Debata Mulajadi Nabolon. Jika ditinjau dari
segi waktu pelaksanaannya, upacara agama itu dapat digolongkan kepada dua bagian besar,
yaitu upacara yang terjadwal dan yang tidak terjadwal. Golongan yang pertama adalah
upacara yang terdiri dari upacara mingguan seperti upacara yang dilaksanakan pada setiap
tahun (annual cycle) yang rujukannya berdasarkan pada kalender Batak, misalnya upacara
agama mangan napaet (makan yang pahit), sipaha sada (hari kelahiran Simaribulubosi) dan
sipaha lima (persembahan sesaji besar atau sacrificial ritual).
Golongan yang kedua adalah upacara yang bukan musiman (tidak terjadwal) melainkan
upacara yang berdasarkan pada fase yang dilalui sepanjang hidup manusia yang dianggap
sebagi masa yang genting atau krisis (life crisis). Upacara seperti ini ada karena datangnya
suatu masa atau atau peristiwa tertentu bagi seseorang manusia dalam kehidupannya.
Upacara yang dimaksud iyalah, upacara kelahiran (martutuaek), perkawinan (mamasumasu)
dan upacara kematian (pasahat tondi). Di samping itu, ada juga upacara khusus yang sifat
dan latar belakanganya berbeda dengan upacara lainnya, yaitu upacara pensucian
(manganggir) dan mardebata (menyembah Debata). Upacara mananggir terjadi disebabkan
adanya perpindahan agama, sedangkan mardebata terjadi lebih karena adanya nazar
seseorang atau karena ada kasus berat sehingga perlu mendapat keampunan dosa dari Debata.
Bagi Ugamo malim, persembahan pelean (sesaji) dan pelafalan doa-doa (tonggotonggo)
adalah hal yang wajib dalam setiap upacara agama. Selain itu, ada juga upacara agama yang
mengharuskan adanya persembahan tari-tarian (tor-tor) yang diiringi dengan gendang
(gondang) tradisional Batak. Semua ini merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan
dalam upacara Ugamo Malim.
Gondang wajib dibunyikan pada waktu upacara agama berlangsung, terutama pada upacara
sipaha sada, sipaha lima dan mardebata. Membunyikan gendang dalam upacara Ugamo
Malim bukanklah hanya sekedar pelengkap saja, gondang itu berfungsi sebagai perantara
sekaligus suara hati seseorang selama upacara itu berlangsung. Artinya melalui gendang
itulah niat dan hajat para peserta upacara tersampaikan kepada Debata Mulajadi Nabolon.
Sedangkan tor-tor termaksud bagian penting dalam agama terutama upacara yang
mengunakan persembahan Gondang. Tor-tor itu sendiri dalam adalam upacara agama sama
dengan gondang yang berfungsi sebagai perantara untuk menyampaikan niat dan suara hati
masing-masing peserta kepada Debata Mulajadi Nabolon.
Berikut ini akan dijelaskan satu persatu keseluruhan upacara agama yang dimaksud
sekaligus mengetengahkan dasar hukum dan proses pelaksanaannya masing-masing. Namun
penjelasan berikut ini tidaklah menurut pengolongan seperti yang disebutkan di atas
melainkan menurut urutan yang baku dalam Ugamo Malim.
a. Upacara Mararisabtu adalah salah satu upacara agama (ibadah) yang terpenting
dalam Ugamo Malim ibadat ini wajib dilaksanakan sekali dalam sepekan yaitu hari
Sabtu. Penetapan hari Sabtu sebagai hari peribadatan berasal dari sejarah dimana
tepat pada hari ketujuh (sabtu), Siboru Deakparujar mengunakan hari itu sebagai hari
beristirahat atau sebuah hari tanpa aktivitas.
b. Upacara Martutuaek dalam ajaran Ugamo Malim adalah “menyambut kehadiran
tondi”. Ruh (tondi) yang ada pada manusia berasal dan Debata dan pada suatu masa
nanti ruh itu akan kembali kepada-Nya. Berdasarkan kepada ajaran itu, Ugamo
Malim manganut paham bahwa dalam setiap penyambutan seorang anak yang baru
lahir sepatutnyalah berangkat dari segi tondi-nya dan bukan semata-mata jasmaninya
Upacara ini dilakukan pada anak yang telah berusia sebulan (30 hari) dan orang tua
wajib melaksanakan upacara martutuaek.
c. Upacara pasahat tondi adalah suatu upacara Ugamo Malim yang bermaksut
menampaikan atau menyerahkan ruh seseorang manusia yang sudah meninggal dunia
kepada Debata Mulajadi Nabolon sekaligus memohon kepada-Nya agar orang yang
yang bersangkuan dapat diampunidosanya dan ditempatkan Debata di sisi-Nya serta
memohon keampunan dosa keluarga yang ditinggalkan.
d. Upacara Mardebata adalah salah ritual penyembahan kepada Debata dengan
perantaraan sesaji (pelean) yang bersih yang diantarkan melalui bunyi-bunyian
gendang selengkapnya (gondang sabagunan) sebagaimana telah diisbatkan dalam
Ugamo Malim. Pada hakikatnya hukum mardebata tidakalah wajib, melainkan hanya
semacam tambahan ibadat berdasarkan niat yang muncul dari seseorang Parmalim.
Namun boleh saja hukum mardebata ini meningkat menjadi wajib apabila seseorang
melakukan kasus yang dapat dikategorikan melanggar patik dan hukum yang berat.
Meski mardebata merupakan hajatan keluarga, namun diharuskan juga dihadiri oleh
anggota Parmalim cabang lain. Dengan kata lain amalan ibadat ini bisa menjadi
perbadatan bersama yang nilai ibadatnya bukan untuk suhut (tuan rumah) saja, tetapi
kepada semua peserta yang terlibat dalam upacara itu.
e. Upacara Mangan Na Paet dalam Ugamo Malim adalah suatu aturan (ibadat) yang
wajib diamalkan oleh setiap warga Parmalim pada akhir tahun. Kewajiban
melaksanakan ibadat ini adalah sebagai wujud pengakuan bahwa setiap manusia tidak
luput dari segala perbuatan dosa sejak awal tahun hingga akhir tahun. Untuk
menghapus “dosa tahunan” diwajibkan bagi Parmalim untuk melaksanakan ibadat
Mangan na Paet sebagi wadah penyampain keampunan dosa kepada Debata. Upacara
ini berupa upacara dengan mengkomsumsi sayuran yang berasa pahit. Upacara
Managan na Paet dilakukan sebanyak dua tahap yakni Mangan na Paet parjol
(pertama) dan Mangan na Paet Paduahon (kedua). Upacara mangan napaet ini
ditutup dengan upacara mangan na tonggi. Mangan na Paet Parjolo dilakukan pada
awal bulan sepahasapuludua (bulan ke duabelas) kemudian disusul dengan Mangan
na Paet Paduahon setelah tigapuluh hari kemudian. Mangan na Paet paduahon dan
Mangan na Tonggi dilakukan pada hari yang sama namun dengan waktu yang
berbeda jika Mangan na Paet Paduahon dilakukan jam 09.00 wib makan Mangan
Natonggi dilakukan pada jam 13.00 upacara ini dilakukan baik di Bale Pasogit
Partonggoan maupun di Bale Parsattian di tingkat cabang. Namun idealnya upacara
ini sebisa mungkin dilakukan di Bale Pasogit Partonggoan.
f. Upacara Sipaha Sada adalah salah satu aturan dalam Ugamo Malim. Upacara ni
khusus untuk memperingati ari hatutubu (hari kelahiran) Tuhan Simaribulubosi yang
jatuh pada ari suma (hari kedua) dan ari anggara (hari ketiga) bulan sipaha sada.
Upacara siapaha sada dilakukan di Bale Pasogit Partonggoan, Hutatinggi dengan
diiringi musik tradisional yaitu hasapi (kecapi) dan alat musik lainnya.
g. Upacara Sipaha Lima merupakan upacara yang paling besar, upacara ini merupakan
ungkapan rasa syukur kepada Debata Mulajadi Nabolon atas nikmat yang diberikan.
Upacara Ini dilakukan selama tiga hari berturut yang dmulai pada tanggal 12
(boraspatinitangkup) hingga tanggal 14 (samisapurasa) bulan lima dan dipusatkan di
Bale Pasogit Partonggoan. Berbeda dengan upacara sipaha sada, hampir semua
aktivitas upacara sipaha lima ini dipusatkan di halaman Bale Pasogit Partonggoan
dan juga prosesi upacara dipimpin langsung oleh ihutan.
h. Upacara Mamasusmasu merupakan upacara pemberkatan perkawinan yang tidak
boleh diabaikan oleh penganut Parmalim jika hendak melangkah ke jenjang
pernikahan. Upacara mamasusmasu ini biasanya dipimpin langsung oleh Ihutan atau
boleh juga diwakilkan kepada ulupunguan (ketua cabang) setempat.
i. Upacara Manganggir adalah upacara yang dapat disamakan dengan salah satu
sacrament baptis dalam agama Kristen meski mungkin konteks pengunaanya berbeda
dibandingkan dengan Ugamo Malim. Dalam konteks Ugamo Malim manganggir
adalah suatu upacara pensucian diri seseorang agar suci dari segala jenis dosa,
kekotoran akibat makan haram (ramun) dan kekotoran jasmani. Upacara ini tidak
termaksud dalam kategori ibadat utama, namun upacara ini tetap sebagai upacara
yang harus dilakukan apabila seseorang terkena atau melanggar hukum yang ada
dalam Ugamo Malim. Ada dua hal yang melatarbelakangi perlunya seseorang
disucikan melalui upacara manganggir. Pertama, karena dengan kesadaran sendiri
hendak berpindah agama dari agama lain ke Ugamo Malim. Kedua, karena
disebabkan murtad (meningalkan Ugamo Malim), tetapi kemudian kembali memeluk
Ugamao Malim. Pensucian lewat upacara manganggir dipimpin langsung oleh ihutan
ataupun boleh juga yang mewakilinya.

6 Struktur Organisasi dan Keanggotaan Parmalim

Struktur organisasi Ugamo Malim boleh dikatakan sederhana, struktur kepemimpinan hanya
terdiri dari pimpinan dan pimpinan cabang. Pimpinan pusat adalah pimpinan tertinggi yang
diketuai oleh seorang Ihutan yang dalam bahasa Batak bermakna “yang diikuti” atau
“ikutan”. Selain dari ihutan ada juga pengurus lain yang terilibat didalamnya seperti
sekretaris dan bendahara yang keduanya bertugas sebagi pembantu dalam menjalankan
administrasi oraganisasi Ugamo Malim. Disamping itu ada juga beberapa nama lainya yang
ikut dalam kepengurusan yang bertugas dalam bidang tertentu. Ihutan sebagai pemimpin
pusat mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam pembinaan anggota secara keseluruhan.
Ia juga sebagai “ulama” atau yang banyak mengetahui ajaran-ajaran, disamping mengetahui
seluk-beluk Ugamo Malim sejak dahulu hingga sekarang. Dalam upacara agama yang
sifatnya tahunan seperti mangan na paet, sipaha sada, sipaha lima dan mardebata, ia juga
bertindak sebagai pemimpin upacara.
Pusat administrasi Ugamo Malim berkedudukan di Hutatinggi, Laguboti Kabupaten Toba
Samosir (dahulu Tapanuli Utara). Di sanalah semua surat menyurat dijalankan baik yang
bersifat internal maupun eksternal. Selain itu, segala dokumen yang berkaitan dengan Ugamo
Malim sejak dahulu masih tersimpan rapi disana. Bukan hanya itu, di sana pulalah pusat
peribadatan Ugamo Malim yang disebut Bale Pasogit Partonggoan (BPP) – suatu tempat
peribadatan yang bersifat tahunan disamping tempat upacara (ibadat) lainnya.
Selain dari pimpinan pusat, ada juga dikenal dengan pimpinan cabang yang berkedudukan di
tiap-tiap cabang yang keberadaannya tersebar di seluruh Indonesia (terutama Sumatera dan
Jawa). Pimpinan cabang diketuai oleh seorang ketua yang disebut dengan Ulu Punguan.
Sama halnya dengan pimpinan pusat, Ulu Punguan juga dibantu oleh seorang sekretaris dan
seorang bendahara serat dibantu dengan beberapa orang pengurus lainnya. Tugas masing-
masing Ulu Punguan adalah memberikan pembinaan terhadap anggota di tingkat cabang
sekaliguas sebagai pemimpin upacara dalam setiap upacara agama di parsattian (tempat
peribadatan di tingkat cabang). Misalnya memimpin upacara mararisabtu, mangan na paet
dan manganggir. Bahkan dalam memimpin upacara yang lain adakalanya diwakilkan kepada
Ulu Punguan jika Ihutan berhalangan.
Dari segi administrasi Ulu Punguan mempunyai tugas, pertama; melaporkan secara resmi
seluruh anggota dicabangnya secara berkala kepada pimpinan pusat orang yang baru masuk
baik karena pindah agama maupun karena baru lahir. Kedua; melapurkan iuran jumlah
keuangan yang bersumber dari anggota, misalnya ugasan torop, adat marama, somba
hamuliateon dan lain-lain. Ketiga; melaporkan keadaan perkembangan cabang terutama
dalam hal pengalaman agama dan hambatan-hambatan lainnya.
Dalam hal pengangkatan seorang pemimpin pusat maupun pemimpin cabang dalam

Ugamo Malim tidaklah seperti yang didapati pada organisasi keagamaan lainnya. Organisasi
Ugamo Malim lebih menerapkan kepemimpinan konvensional. Ihutan selaku pemimpin
pusat adalah seorang pemimpin umat sekaligus ulama (religion specialist). Pada awal adanya
istilah jabatan Ihutan ini dalam struktur kepemimpinan Ugamo Malim bukanlah melalui
pemilihan sebagaimana berlaku pada organisasi keagamaan lainnya tetapi diangkat melalui
pengakuan moral dari seluruh anggota Parmalim. Tradisi seperti ini telah dimulai sejak Raja
Mulia Naipospos digelar dengan sebutan ihutan. Dari sinilah awalnya sejarah dikenalnya
istilah Ihutan dalam kepemimpinan Ugamo Malim. Kemudian kepemimpinan itu diwariskan
secara turun-temurun kepada anaknya yang bernama Raja Ungkap Naipospos sampai tahun
1981 kemudian sekarang dipegang oleh Raja Marnangkok Naipospos.
Tiga sosok pemimpin tersebut lebih dikenal dengan pemimpin informal khususnya
dikalangan warga Parmalim. Pengakuan warga Parmalim terhadap mereka sangat tinggi,
pangakuan ini terpancar dari wajah dan penampilan mereka yang sangat mengagumkan. Dari
wajah dan penampilannya itu mereka mempercayai bahwa pada diri mereka terdapat
kharisma keagamaan (religion charisma) yang dalam istilah malim disebut “sahala”.
Kehadiran sahala itu pada diri mereka bukan karena dipelajari demikian juga dengan
kemampuan “memimpin” dan “mangajari” warganya, tetapi dipercayai merupakan berkat
pemberian Debata Mulajadi Nabolon.
Berbeda dengan pengangkatan pemimpin cabang (ulu punguan), pemimpin cabang ini
langsung ditunjuk oleh Ihutan selaku pemimpin tertinggi dalam Ugamo Malim dengan
mempertimbangkan masukan dari warga Parmalim setempat. Tidak ada syarat pendidikan
formal maupun non-formal yang harus dilalui khususnya di bidang pengkaderan pemimpin
agama sebelum diangkat menjadi Ulu Punguan. Ulu Punguan kemudian memilih sekrataris,
bendahara dan penasehat, keseluruhan perangkat ini tersusun dalam system Suhi Ni Appang
Na Opat (SUSANO). Ulu punguan sebagai (panggonggom) yaitu orang yang memberikan
bimbingan keagamaan dan memimpin punguan, Pangumei (penasehat) adalah orang yang
mengayomi dan menasehati seluruh anggota yang berbuat kesalahan dalam punguan, partahi
(perencana) jabatan ini sama fungsinya dengan skretaris yang berfungsi mengatur dan
merencakan segala aktifitas Punguan dan terkahir Namora (bendahara) adalah orang yang
mengatur keuangan Punguan dan distribusi dana ugasan torop.
Bagan Struktur Organisasi Ugamo Malim

Pimpinan pusat

Ihutan
Sekretaris
Bendahara

Pimpinan Cabang Pimpinan Cabang Pimpinan Cabang

Ulu Punguan Ulu Punguan Ulu Punguan


Penasehat Penasehat Penasehat
Sekretaris Sekretaris Sekretaris
Bendahara Bendahara Bendahara

Anggota Anggota Anggota

Terakhir adalah anggota penganut Ugamo Malim, Parmalim pada umumnya berasal dari
suku Batak, meskipun pada akhir-akhir ini ada beberapa orang diantara suku bangsa lain
yang masuk menjadi panganut Ugamo Malim. Hampir sama dengan agam-agama lainnya
dimana setiap ada orang yang hendak masuk menjadi penganut Ugamo Malim dapat melalui
dua cara yaitu karena kelahiran dan karena berpindah agama. Namun dalam Ugamo Malim
perpindahan agama melalui gerakan syiar tidak dikenal. Ugamo Malim tidak mengenal istilah
misi atau syiar dalam agama Islam, Ugamo Malim meyakini bahwa semua orang di dunia
telah beragama sehingga, praktis hanya kelahiran dan perpindahan agama (konversi agama)
melalui perkawinan atau karena “gerak hati” yang menjadi sumber pertambahan anggota
Parmalim. Jika seseorang mengkonversi agamanya dari agama lain ke dalam Ugamo Malim
maka penganut tersebut harus melewati upacara khusus baginya yang disebut upacara
manganggir (pensucian). Apabila seorang bayi terlahir dari kelurga Parmalim, bukanlah
berarti si anak otomatis sebagai warga Parmalim. Pihak orang tuanya harus terlebih dahulu
mengadakan upacara martutuaek. Tanpa mengadakan upacara martutuaek, si anak dianggap
belum resmi masuk sebagai anggota pemeluk Ugamo Malim. Dengan pola pertambahan
anggota yang bersifat alamiah maka sangat sulit bagi Parmalim untuk berkembang menurut
jumlah dengan cepat seperti agama modern di sekelilingnya.

8 Sumber Keuangan

Sumber keuangan organisasi Ugamo Malim berasal dari anggota Parmalim itu sendiri. Ada
semacam keharusan (walau tidak wajib) bagi setiap keluarga Parmalim untuk membayar
iuran yang diserahkan kepada setiap keluarga Parmalim untuk membayar iuran yang
diserahkan kepada pimpinan pusat Ugamo Malim setiap tahunnya. Iuran yang dimaksud itu
ada tiga macam yaitu iuran Ugasan torop (harta milik bersama), somba hamauliateon
(sembah kesyukuran) dan adat marama (hormat kepada guru).
Ketiga jenis iuran ini dibayarkan pada bukan sipaha opat (bulan ke empat dalam kalender
Parhalaan) dalam setiap tahunnya, tepatnya sebulan sebelum upacara sipahalima
dilaksanakan. Semua dana ini dikumpulkan oleh Ulu Punguan (ketua cabang) masingmasing
yang selanjutnya diserahkan kepada Ihutan selaku pemimpin tertinggi Ugamo Malim.
Adapun iuran itu boleh dibayar berupa padi (eme) atau uang. Khusus untuk ugasan torop
apabila iuran itu dalam bentuk eme maka langsung disimpankan kepada Wakil Ulu Punguan
yang disebut Raja Namora. Akan tetapi semua iuran masuk setiap tahunnya disetiap cabang
wajib dilaporkan kepada pemimpin pusat Ugamo Malim, meskipun penyimpananya tetap
menjadi tanggung jawab masing-masing cabang. Ugasan torop bukan harta milik cabang
tersebut, melainkan milik semua warga Parmalim secara keseluruhan.
Mengenai jumlah nominal ketiga jenis iuran tidak ada ketentuan dan ketetapan bagi setiap
keluarga. Pembayaran semua jenis iuran bergantung kepada kemampuan dan keiklasan
masing-masing keluarga. Tidak ada paksaan bagi setiap keluarga untuk membayarkannya
semua dilakukan atas dorongan dari dalam diri.

SEKIAN DAN TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai