Anda di halaman 1dari 15

Nama : Sahat Dimas Pardosi

NIM/Kelas : 19.3456/2A

Mata Kuliah : Sosiologi Gereja

Dosen Pengampu : Pdt.Dr. Riris Johanna Siagian

A. GEREJA

1. Pemahaman Tentang Gereja

Dalam pemahaman tentang Gereja, dapat dipahami dari beberapa masa yaitu:

a. Gereja Masa Para Rasul e. Gereja Pasca Reformasi (1648-1776)

b. Gereja Masa Patrialistik(100-500) f. Gereja Masa Missionaris di Tanah Batak (1881-1940)

c. Gereja Abad Pertengahan g. Gereja dalam proses Kemandirian HKBP (1940-skrg)

d. Gereja Masa Reformasi(1517-1648)

Dalam beberapa pemahaman tentang Gereja diatas secara singkat menjelaskan, dalam
pandangan para teolog, cara kelompok-kelompok murid yang baru itu dapat dilihat sebagai
komunitas keselamatan yang bersifat eskatologis, yang dipanggil dan dipilih oleh Allab. Disebut
komunitas terpilih, para kudus, "the elect" (ekkeltio), “the saints" (agioi),2 untuk merespons
damai sejahtera Allah di tengah-tengah dunia yang penuh konfik (1 Kor. 7:15), dan mewujudkan
perintah damai sejahtera Allah yang eskatologis. Dengan mengambil alih gelar yang besar (the
great title) dalam Perjanjian Lama yakni sebagai umat Allah yang eskatologis: gehal Yabweh,
"the community of God." Bahasa Yunani, yang biasa dipakai sebagai menunjuk kata komunitas
adalah, "Ekklesia of God," yang sekarang sering disebut "Church" (gereja).

Pada peristiwa Pentakosta pun harus dipahami sebagai tonggak dari lahirnya persekutuan
umat percaya, gereja lahir kembali di mana kemanusiaan manusia dipulihkan kembali dan
diperbaharui. Hal in merupakan momentum untuk berjalan bersama Tuhan, menanggalkan
manusia lama dan hidup dalam manusia baru yang diperbaharui terus menerus di dalam Dia dan
di tengah-tengah ciptaan. Melalui kesaksian para Rasul dan Nabi-nabi (Ef. 2:11-22), hingga
sekarang tubuh-Nya yakni komunitas Kristen muncul sebagai bait kudus Allah (2 Kor 6:16).

Dalam peristiwa Pentakosta harus dipahami sebagai tonggak dari lahirnya persekutuan
umat percaya, gereja lahir kembali di mana kemanusiaan manusia dipulihkan kembali dan
diperbaharui. Hal ini merupakan momentum untuk berjalan bersama Tuhan, menanggalkan
manusia lama dan hidup dalam manusia baru yang diperbaharui terus menerus di dalam Dia dan
di tengah-tengah ciptaan. Melalui kesaksian para Rasul dan Nabi-nabi (Ef. 2:11-22), hingga
sekarang tubuh-Nya yakni komunitas Kristen muncul sebagai bait kudus Allah (2 Kor 6:16).

B. Gereja Dan Panggilannya

Gereja dalam panggilannya memiliki 2 persekutuan, yaitu:

 Persekutuan Teologis
 Persekutuan Sosial

Keduanya adalah sebagai persekutuan yang bertumbuh dalam interaksi yang baik antara
manusia dan Tuhan, maka peran Roh Kudus sebagai roh yang menyemangati untuk melakukan
tindakan-tindakan yang baik menjadi sangat sentral.

C. Gereja Dan Kekuasaan Gereja

Kekuasaan dalam gereja bersifat gerejawi dan teologis. Yang terutama ditampilkan oleh
Pendeta dalam jabatannya sebagai pelayan tahbisan. Dalam bahasa Batak tahbisan dikatakan
“tohonan”. Pelayan Tahbisan sama dengan “partohonan”. Tahbisan Pendeta disebut “tohonan
hapanditaon”. Uraian tugas tahbisan Pendeta menjadi rujukan pada penahbisan seseorang untuk
menjadi Pendeta. Sebagai pelayan tahbisan, Pendeta harus memiliki satu karakter khusus. Hal ini
dibutuhkan untuk dapat menjabat dalam pemerintahan gereja. Beberapa pemaparan tentang
bagaimana Kekuasaan dipahami dan diimplementasikan.

1. Kuasa Imamat Am yang Rajani.

Setiap jemaat adalah imam. Pengakuan demikian secara tegas dinyatakan secara
bersama-sama oleh jemaat dalam setiap kali melakukan ibadah minggu dalam bagian Pengakuan
Imam Rasuli. Setiap jemaat menjadi saksi dari keyakinan kepada Yesus Kristus yang telah
melakukan banyak perkara besar bagi manusia dan dunia (1 Ptr 2:9).

2. Panggilan Untuk Menerima Kuasa.

Seorang tokoh menyebutkan beberapa indicator yang biasa digunakan yang merujuk
kepada panggilan seperti keinginan, pilihan, pemilihan, panggilan,pengetahuan dan kombinasi
dari beberapa darinya. Tidak setiap orang memperoleh panggilan, tetapi setiap orang yang telah
dipanggil harus hidup dalam panggilannya.

3. Panggilan dan Kuasa dalam Jabatan Tahbisan (Ordinasi).

Kuasa dalam jabatan Pendeta merupakan suatu yang melekat dalam panggilan. Atas dasar
panggilan itulah maka tahbidan disampaikan pada seseorang. Jadi tahbisan adalah panggilan dan
mandat kepada jabatan. Dalam mandate terdapat legitimasi yang menunjuk pada keabsahan
jabatan itu.

4. Dasar Pelaksanaan Kuasa Tahbisan.

Dasar pelaksanaan kuasa tahbisan dalam diri seseorang Pendeta adalah liturgy dan
tahbisan Pendeta. Liturgi menetapkan dan sekaligus legitimasi untuk melakukan kuasa ilahi.

5. Memaknai Tahbisan Secara Teologis di HKBP.

Menurut sejarahnya, tuhonan yang pertama di HKBP adalah tohonan Sintua (1867),
kemudian tohonan haguruon (1873), dan tohonan Pandita (1885). Tujuan awal memunculkan
tohonan tersebut adalah untuk membantu “gabe tohonan pangarupi”. Pemaknaan isitilah
“pangarupi” masih dijumpai hingga tahun 2010 sesuai penggunaan tata gereja tahun 2002.
Substansi nya sering disebut “Pendeta diperbantukan”. Belakangan ini muncul istilah fungsional
yang justru menegaskan hal tersebut.

6. Memaknai Tahbisan Secara Sosiologis.

Dalam adat Batak, tahbisan dipandang sebagai penetapan seseorang dalam melakukan
satu tugas khusus, yang menunjuk pada jabatannya. Orang Batak sendiri memandang tohonan
dari sudut magis. Seorang tokoh Batak mengatakan tidak setiap orang dapat menjadi raja
meskipun ia kaya, pintar, mempunyai keturunan atau kaum yang besar. Seseorang dapat menjadi
raja kalau ia mempunyai kelebihan untuk memimpin dengan penuh kebijaksanaan sehingga ia
disebut memiliki “sahala harajaon”.

B. KEKUASAAN

1. Pemahaman Tentang Kekuasaan

Kekuasaan merupakan sebuah konsep yang abstrak dan tidak baku, tetapi ia
sesungguhnya sangat riil dirasakan orang-orang dimana kekuasaan itu dinyatakan. Tiga faktor
yang menarik untuk diamati terkait ini adalah kekuasaan (power), dominasi (domination) dan
disiplin (dicipline).

1. Otoritas dan Kekuasaan

Kekuasaan menerapkan otoritas yang dimiliki. Secara mendasar terdapat tiga model besar
berkaitan dengan kekuasaan, di mana masing-masing model memiliki sejumlah karakteristik dan
ranah penggunaannya, namun dapat saja kenyataan yang terjadi ketiga jenis otoritas itu tampil
secara bersama. Adapun ketiganya itu adalah Legal Authority, Traditional Authority, dan
Charismatic Authority.

2. Dominasi

Dominasi, (domination) identik dengan kekuasaan dalam memerintah secara otoriter


yang menuntut kepatuhan secara mutlak dari seseorang/kelompok. Dominasi dapat berlangsung
secara mutlak hanya ketika perintah dipatuhi. Dominasi merupakan satu perintah yang diberikan
dengan satu tujuan yang spesifik, akan diikuti oleh sekelompok orang yang diberi atau menerima
perintah.

3. Disiplin

Disiplin merupakan satu perintah yang secara otomatis segera diikuti dengan ketaatan
tertentu dari orang yang dipimpin atau orang yang menerima.
2. KEKUASAAN DALAM TATA GEREJA HKBP

1. Tata Gereja 1881.


Tata Gereja 1881 disusun oleh tiga orang tokoh Pekabaran Injil RMG yang telah
memelopori usaha Perkabaran Injil ditanah Batak, yakni Dr.August Schreiber, Ompui
Ephorus Pdt.Dr. I. L.Nommensen dan Koedding.Merumuskan Tata Gereja 1881
berdasarkan pengalaman konkrit dan pengenalan mereka tentang Batak.
a. Penginjilan berhadapan dengan Agama Tradisional Batak
Model kekuasaan yang ditampilkan adalah kekuasaan legal formal yang
menekankan rasionalitas. Ini terkait dengan Kepercayaan orang Batak terhadap kekuatan
supranatural yang melampaui hidup manusia, yang mengatur ritme seluruh aspek
kehidupan manusia, sering disebut Ompu Tuan Mula Jadi Na Bolon.
b. Faktor yang Melatarbelakangi Lahirnya Tata Gereja
Kehadiran Tata Gereja 1881 menegaskan menegaskan bahwa secara structural
Badan Zending Injili di Tanah Batak adalah bagian dari wilayah RMG.
c. Pendidikan Sebagai Sarana Penginjilan.
Program pendidikan di Tanah Batak mulai dibuka di wilayah Sipirok yakni
Sekolah Kateketik Parausorat pada tahun 1868, dengan menggunakan bahasa Batak
Angkola. Di Silindung pula mulai dibuka Sekolah Berjalan “Sikkola Mardalan-dalan”
pada tahun 1874 karena para siswanya brpindah tempat untuk mendapkan ilmu dari para
Misionaris.Pada tahun 1877 sekolah itu dibubarkan dan diganti di Pansurnapitu dekat
Tarutung.
2. Tata Gereja 1930
a. Adanya Ketidakpuasan Karena Struktur Gereja.
Meninggalnya Nommensen dianggap berakhrnya juga kepemimpinan
bangsa Barat. Kepemimpinan dan penglolaan keuangan PMB diambil oleh Dr. J.
Warneck semakin menumbuhkan rasa semangat untuk menjadi lebih mandiri di
kalangan orang Batak.
b. Memudarnya Sahala dan Bangkitnya Gerakan Jemaat Missioner
Tidak puasnya orang Batak dengan Implementasi Tata Gereja 1881 yang
menempatkan para misioner sebagai pemimpin terdepan dalam gereja, telah
menimbulkan lahirnya misioner dari kalangan orang Batak yakni Pdt. Henock
Lumbantobing pada tanggal 2 Nopember 1899 berkedudukan di Pearaja-
Silindung. Sejarah mencatat bahwa orang Batak yang baru Kristen memilih
Pearaja sebagai pusat Penginjilan Batak.

c. Ketidakadilan dalam Pengganjian


Dominasi yang paling Nampak adalah masalah uang yang menimbulkan
berbagai persoalan ditengah-tengah pelayanan dimana gaji para Missionaris lebih
besar dari para Pendeta Batak padahal jenis pekerjaannya sama. Alasannya adalah
karena dana pusat terbatas.
d. Cikal Bakal Terbentuuknya Jemaat HKBP Secara Legal Formal.
Hutauruk menuliskan bahwa HKB lahir dari persekutuan gerejawi yang
bernama “Zangvereeniging Hodomuan”yang bertempat di Balige. Sebgaian
anggotanya terdiri dari para pegawai dan guru sekolah pemerintah dan sekolah
zending atau para pegawai di badan-badan swasta.
3. Tata Gereja 2002
a. Gereja Mempersiapkan diri Menghadapi Tantangan Globalisasi.
b. Faktor yang Melatarbelakangi lahirnya Tata Gereja 2002.
Pertama Ekonomi, Kedua Politis, Ketiga Sosial Budaya, dan Keempat Teologis
c. Proses Terbentuknya
Sudah dimulai sejak Sinode HKBP bulan Desember tahun 1998.
d. Implementasi Gereja dan Kekuasaan

3. REALITAS GEREJA DARI PERSPEKTIF JEMAAT DAN PELAYANAN


1. Marmahani.
Marmahami menekankan pada kehadiran eksistensi Pendeta sebagai Gembala.
Bagaimanapun ketimpangan dalam membangun pemahaman tentang gereja secara
khusus kesediaan dan kesiapan para Pendeta untuk menghidupi panggilan dan
tahbisannya telah mengakibatkan nilai-nilai yang ideal dalam persekutuan didalam
gereja menjadi terabaikan. Pelayan cenderung tercabut dari akar pergumulan
kehidupan jemaat Tuhan sebagai Tubuh Kristus. Sebagai hasilnya khotbah-khotbah
minggu pun seakan-akan menjadi biasa saja, karena tidak berangkat dari konteks
pergumulan yang utuh dalam realitas jemaat yang dilayani.
2. Jabatan Pendeta Sebagai Raja, Imam, Nabi.
Tuhan Yesus sebagai: Imam, Raja dan Nabi menunjuikn pada tugas dan
wewenang yang didelegasikan kepada pendeta. Sebagai Raja, Pendeta harus bersikap
mengayomi, bijaksana, dan memikirkan dengan sungguh-sungguh peningkatan
kesejahteraan rakyatnya, bukan dirinya sendiri. Sebagai Imam, Pendeta harus
bertindak sebagai pemimpin spritual dan bertindak menuntun jemaat semakin
mengenal Kristus baik di dalam jemaat maupun didalam keluarganya sendiri. Sebagai
Nabi, Pendeta perlu dan bersaha untuk terus-menerus untuk menyampaikan suara
kenabian dan visioner. Ia perlu menggumuli bagaimana memberitakan Firman Tuhan
dengan perbuatan baik dan Nabiah.

3. Gereja dan Kepemimpinan.


Hal yang paling mendasar dalam kepemimpinan di gereja adalah Allah campur
tangan. Seseorang perlu meminta kekuatan dari Roh Kudus. Dalam hal ini, seorang
calon pemimpin hendaknya berlaku jujur, tampil apa adanya, tidak harus
mengkampanyekan dirinya sendiri. Secara teologis, bila seseorang memiliki karisma
dan wibawa dari Allah, maka Tuhan sendiri yang akan menunjuk dia sebagai
pemimpin di dalam gereja-Nya dari antara kumpulan orang yang ada.

4. Kekuasaan Gereja dan Orientasi Pelayanan


Fenomena yang sering terlihat melalui Sinode Godang terutama Sinode terkesan
seperti suasana pemilihan para pemimpin di bidang pemerintahan, bahkan lebih
hebat karena sejumlah informasi yang bergulir, adanya beberapa orang tertentu yang
menggunakan segala kekuatan, titel, manna (uang atau harta) untuk mendongkrak
namanya melalui pemilihan pejabat gereja.
5. Kekuasaan dan Kekerasan terhadap Perempuan.
Berbagai persoalan ditengah-tengah para pelayan sendiri muncul. Terutama dalam
masalah seks pra nikah, peleceha seksual, yang terjadi ditengah para pelayan gereja.
KDRT dan lain sebagainya.
Disini berlangsung jalan “kompromi” atas nama Tuhan. Kenyataan ini
menegaskan berlangsungnya kekerasan structural dan korban utamanya adalah para
perempuan. Ironinya bukan hanya kaum perempuan yang berseru tentang apa yang
disebut Perselingkuhan namun kaum lelaki pun telah ikut berteriak akan apa yang
terjadi.

6. Beberapa Fenomena Menjelang Sinode.


Sinode Godang merupakan suatu ujian. Disebut ujian bukan karena menang atau
kalahnya suatu calon pimpinan. Namun proses itulah yang menarik untuk dicermati.
Beberapa fenomena terjadi seperti : Pengembangan Ressort sebelum Sinode Godang
begitu menjamur, penahbisan Pendeta dipercepat, dan penempatan posisi Pendeta
Ressort.
7. Keuangan Gereja
Jemaat tekadang mau curuga pada pengelolaan keuangan di tingkat pusat.
Resikonya adalah setoran persembahan jemaat sebagaimana diaturkan terutama
berkaitan dengan pelean 2 tidak berjalan dengan lancar. Realitas dalam gereja dimana
persembahan kedua merupakan persembahan yang perlu disetor oleh jemaat ke kas
kantor pusat, selalu menjadi masalah dari dulu sampai kini. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa jumlah uang yang disetor itu hanya 15-25 persen dari persembahan
yang diperoleh dari ibadah Minggu.
8. Rekruitmen Pejabat Gereja dan Keberpihakan Pada Umat Allah Yang Tertindas
Dalam hal ini berarti keberpihakan yang tegas dan berkeadilan kepada umar Allah
yang tertindas, yang dipinggirkan, yang teralienasi harusnya menjadi bagian dari
pergumulan gereja, sebagai konsekuensi dari perkembangan era industrialisasi yang
telah sekian puluh tahun coba digumului oleh HKBP.
Gereja perlu menyadari bahwa secara teologis, sesungguhnya panggilan gereja
yang terutama adalah menghadirkan syalom Kerajaan Allah di dunia. Perjanjian Baru
menyuarakan, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena
merekalah yang empunya Kerajaan Sorga?" (Mat. 5:3) Bagaimanakah seorang buruh
dapat berbahagia dalam kemiskinannya dan mensyukuri itu sebagai berka Ilahi, kalau
karena kemiskinannya itu malah mendorong dia melakukan berbagai tindakan yang
secara iman bertentangan. Lalu, gereja datang mengkhotbahi sikap dan hidupnya
sebagai sesuatu yang salah. Lebih jauh, bagaimana gereja merespons panggilan Allah
tentang pelayanan kepada kaum marjinal, perempuan dan anak anak dan merespons
pernyataan Allah.

9. Pembentukan Spiritualitas (Spiritual Formation)


Pembentukan spiritualitas Pendeta sudah dimulai sejak mereka masih mahasiswa
STT-HKBP dan dipertajam dalam Sekolah Pendeta. Oleh karena itu, mahasiswa
harus sungguh-sungguh dibentuk dalam ritme hidup tertentu sehingga pembentukan
kualitas spiritual, kualitas akademis, dan kualitas pengabdian mereka sungguh-
sungguh terbentuk dan teruji sebelum mereka pada akhir terjun dalam medan
pelayanan di tengah-tengah jemaat.
Asumsi yang muncul dengan kenyataan yang terjadi dalam realitas gereja HKBP,
berkaitan dengan hal spiritual merupakan satu keharusan dalam rangka perubahan
paradigma, para pelayan cenderung memiliki "pengetahuan cukup" tetapi kurang
spiritual. Untuk itu perlu perubahan paradigma; melakukan pembinaan dengan satu
sistim diterapkan dengan baik. Dalam upaya mengembangkan spiritualitas sikap
keteladanan dan haposan (dapat dipercaya) sangat dipentingkan.
10. Singkat Ni Kristus
Kesadaran untuk secara serius menggumuli dan memaknai ulang berkaitan
dengan panggilan dan tahbisan Pendeta sudah berlangsung melalui Rapat Pendeta
HKBP 1991.401 HKBP, dalam Pengakuan Imannya menyatakan bahwa Perjamuan
Kudus ialah: memakan roti, dengan roti (parhitean) kita menerima daging dar Yesus
Kristus Tuhan kita. Meminum anggur, dengan mana anggu (parhitean) kita menerima
darah Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kita memperoleh keampunan dosa, hidup dan
sejahtera (1 Kor 11:17-34;10. Singkat ni KristusMat 26; Mrk 14; Luk. 22).
Dalam pelaksanaan perjamuan kudus, maka Pendeta berdiri sebagai Singkat ni
Kristus, yang bertugas menyampaikan roti dan anggur kepada jemaat. Dalam hal ini,
Allah sendiri dan melalui gerejaNya bertindak menyampaikan pengampunan dosa
kepada setiap orang yang datang mengaku dosa dalam perjamuan kudus. Pengakuan
dosa tidak ditujukan kepada Pendeta sebagai pelayan khusus.
Dalam kehidupan sehari-hari dapat saja jemaat datang kepada Pendeta untuk
meminta didoakan.Bahkan untuk beberapa kasus, karena penyakit dalam yang telah
diderita menahun dan dirasa umur yang sakit tidak panjang lagi, maka sebuah
keluarga dapat saja meminta kepada Pendeta untuk datang dan menyampaikan
perjamuan kudus kepada keluarganya yang sakit parah. Dalam kondisi demikian,
maka Pendeta harus harus sungguh-sungguh bergumul dalam tugasnya Bebagai
Singkat ni Kristus, sebagai pelayan khusus yang ditugasi untuk menyampaikan
pengampunan dosa, dan hidup kepada pasien yang sedang sakit parah.
Pendeta dapat berdiri tegak karena pelayanan itu dilakukan dalam tugasnya
sebagai pelayan tahbisan. Oleh karena itu tanpa panggilan yang dimiliki dalam
tahbisan Pendeta tidak dapat berbuar apa-apa. Jadi tahbisan itu sendirilah yang
membuatnya dapat berdiri tegak sebagai Singkat ni Kristus. Dengan demikian, untuk
dapat menjadi Singkat ni Kristus maka setiap Pendeta harus hidup dalam tahbisan.
TANGGAPAN

Ada beberapa kekurangan yang ada dalam buku ini, yaitu menjelaskan tentang
bagaiamana dan apa yang perlu dipersiapkan oleh seorang pemimpin dalam gereja ketika dia ada
dan dihidup ditengah-tengah masyarakat adat dan ditengah-tengah tempat yang penuh dengan
hal yang mistis. Dan saya akan menambahkan beberapa materi mengenai hal itu, yang saya
ambil dari buku “Sahala”.

Mengenai kepemimpinan dalam gereja masing-masing memiliki sebuah tantangan ketika


kita hidup dalam masyarakat tradisional, terutama hidup disekitar yang penuh dengan dunia
magis.

Dalam teori evolusi agama yang dikemukakan oleh Robert N. Bellah, di mana
karakteristik yang bersifat magis menunjuk pada tipe masyarakat primitif. oleh karena itu,
seorang pemimpin sangat dihormati dan dipandang berwibawa (marsahala) jika dapat
memerlihatkan kemampuannya terutama berhubungan dengan dunia magis. Ciri-ciri agama
terkait dengan dunia magis dapat dicermati dalam kehidupan orang Batak yang terikat dengan
kepercayaan kepada Mulajadi na Bolon. Sahala identik dengan mana. Tetapi pemahaman tentang
mana itu sendiri masih memerlukan penelusuran lebih jauh untuk mendapatkan pengertian dan
substansinya.

Berikut penjelasan singkat tentang sahala.


Dalam agama Batak, beberapa pokok penting yang sering dikaitkan dengan pemahaman
tentang sahala menunjuk pada tondi roh, sumangot." Sinaga mengaitkan sahala dengan roh.
Bahasa Batak Toba menyebut kata "tondi" untuk menunjuk roh. Batak Toba membedakan roh
orang hidup dan roh orang mati. Roh orang hidup disebut tondi, sedangkan roh orang mati
disebut begu. Tampubolon menyebut, martondi na mangolu, marsahala na mate.

Kelihatannya, pendapat tentang sahala menunjuk pada roh orang mati, yang oleh orang
Batak diyakini memiliki kelas atau tingkatan tertentu. Orang mati yang semasa hidupnya
dianggap memiliki tondi yang kuat, ketika ia mati maka sahala-nya akan naik pangkat menjadi
sumangot/simangot dan sombaon. Roh para leluhur yang termasuk dalam sumangot ni ompu
memerlihatkan tingkat atau rangking/level yang tinggi atas wibawa, sangap yang mereka milik."
Roh para leluhur dengan tingkat pemilikan sahala yang paling tinggi disebut sombaon, yang
dipresentasikan melalui sebuah patung yang terbuat dari kayu atau batu.

Tetapi jika semasa hidupnya tidak terlihat tondi-nya yang kuat, maka ketika mati rohnya
dianggap menjadi begu." Tondi yang kuat semasa hidupnya menghasilkan kehormatan dan
kemuliaan. Setelah mati, baik kehormatan maupun kemuliaan itu dipahami terus berlangsung
dan dinyatakan oleh para keturunannya melalui penyampaian persembahan dan puja-puji.
Terhadap jasad mereka, dilakukan upacara horja turun, yakni menurunkan jasad mereka yang
telah berdiam selama 7 tahun 7 bulan 7 hari, 7 malam, di atas balebale rumah (bonggar ni jabu)
untuk dibawa kepada satu tempat di balion ni huto." Oleh karena itu, horja turun merupakan satu
ritual yang besar dan biasanya dilakukan sebagai satu ritual di tingkat bius, yang dipimpin oleh
para Rajo bius" di wilayah parbiusan.

Sahala adalah Karakter (Character) Unggul. Sifat dasar yang ditampilkan seorang
pemimpin menunjuk pada karakter yang dimilikinya sebagai figur yang penuh sahala.
Vergouwen menggunakan istilah watak untuk menunjuk "karakter." Dalam pembagian ilmu,
watak sama dengan karakter. Watak dan karakter merupakan keseluruhan aku yang dinyatakan
dalam tindakan (bersifat insani).

Menurut seorang ahli, watak dapat dibangun, juga dipengaruhi tetapi pembangunan
karakter (character building) itu sangat bersia individual karena berkaitan dengan kehendak
bebas dari manusia itu sendiri. Manusia yang berwatak sering dihubungkan dengn kata luhur,'
sebab jika tidak demikian watak dapat saja jadi memilk konotasi negatif, keras, kasar dan lain
sebagainya. Dengan kata lain, sesungguhnya watak dan fungsi berkaitan dengan kepribadian
nmanusia itu." Dalam konteks ini, kepribadian merupakan kesatuan yang berbudi dan
berkehendak, di mana budi dan kehendak mengatakan sahala adalah karakter, identitas dan
kepribadian yang utuh.

Karakter unggul berkaitan dengan sejumlah kualitas tertentu yang dimiliki seseorang
untuk memerintah atau menjadikannya seorang pemimpin. Kualitas-kualitas itu terlihat dalam
keseluruhan hidupnya, yang setiap saat dapat diamati orang lain, di tempat dimana kualitas-
kualftas itu diperilihatkan, baik melalui pikiran, perkataan dan perbuatan.85 Bila ada seorang
pemimpin menampilkan sejumlah kualitas yang baik, terutama kesesuaian perkataan dengan
perbuatan, maka decak kagum dan puja-puji akan mengalir dari orang-orang sekitarnya.
Pengikutnya juga akan muncul dari berbagai arah. Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya,
maka orang lain akan dengan mudah mengatakan, "ndang marsahala ibana" (dia tidak
berwibawa).

Dengan demikian, sahala yang hidup dalam diri seseorang akan menjadi sumber kuasa
yang luar biasa ketika diaktualisasikan melalui hidup. Orangnya menjadi memiliki sahala
(marsahala), memiliki otoritas. Vergouwen memahami kemuliaan dan penghormatan adalah
sesuatu yang didambakan datang dari sahala yang dimiliki seseorang.

Ini lah betapa pentingnya sahala bagi para pemimpin gereja yaitu dimana para pemimpin
diharapkan memiliki karakter yang unggul. Para pemimpin harus menampilkan sejumlah kualitas
yang baik, terutama kesesuain perkataan dengan perbuatan, maka akan para jemaat akan kagum
atas kepemimpinan kita.

Penjelasan mengenai peraturan gereja.


Dalam bab yang lalu kita katakan, bahwa yang paling penting dalam Gereja ialah
pelayanan. Pelayanan itu bukan hanya dipercayakan kepada pelayan-pelayan khusus (pendeta-
pendeta, penatua-penatuadan diaken-diaken) saja. la ditugaskan kepada seluruh Jemaat. Karena
itu ia harus ditata atau diatur. Jika tidak demikian, Gereia tidak dapat menunaikan tugasnya
dengan baik. Itulah sebabnya Gereja dari mulanya - seperti yang telah kita dengar mempunyai
peraturan-peraturan.
Peraturan-peraturan Gereja penting dan kita butuhkan, tetapi bukan sebagai peraturan-
peraturan "an sich". Peraturan-peraturan itu tidak mempunyai maksud atau tujuan dalam dirinya
sendiri. Peraturan-peraturan itu adalah "alat" atau "wahana" yang Kristus gunakan dalam
pelayanan Gereja-Nya. Fungsinya ialah menjaga, supaya pelayanan ini - seperti yang telah kita
katakan - berlangsung dengan baik dan teratur. Hal itu hanya mungkin, kalau peraturan-peraturan
itu digunakan atas jalan yang baik dan tepat, dan bukan sebagai undang-undang Gereja, yang
mempunyai sifat yang sana dengan undang-undang negara.

Peraturan-peraturan Gereja mempunyai sifat yang lain. Peraturan-peraturan itu memang


perlu, tetapi seperti yang kita katakan di atas - fungsinya hanya sebagai alat atau wahana Kristus.
Atau lebih tegas: sebagai alat dan wahana Roh Kudus. Dan Roh Kudus tdak bisa kita ikatkan
pada peaturanperaturan kita. la bebas. Karena itu peraturan-peraturan gercja kita tidak boleh
terlampau panjang dan kompleks. Kita dengan peraturan-peraturan kita tidak boleh berusaha
mengatur segala sesuatu sampai kepada bagian-bagiannya yang kecil. Itu tidak perlu! Hanya hal-
hal penting saja terutama yang pasti dapat menimbulkan salah-paham dan kekacauan yang harus
diatur. Tentang hal ini kita dapat belajar dari Jemaat-jemaat pertama dalam Perjanjian Baru Itu
tidak berarti, bahwa kita karena itu dapat mengambil-alih saja peraturan-peraturan Perjanjian
Baru untuk Gereja-gereja kita. Itu tidak mungkin, sebab dalan Perjanjian Baru tidak terdapat
peraturan-peraturan lengkap, yang langsung atau tidak langsung dengan sedikit perubahan dapat
kita gunakan untuk gereja-gereja kita pada waktu ini. Perjanjian Baru bukan kitab undang-
undang. la tidak memberikankepada kita peraturan-peraturan yang dapat kita gunakan pada
segala waktu dan di segala tempat.
Peraturan-peraturan Gereja bukan saja harus pendek dan sederhana seperti yang kita
katakan di atas peraturan-peraturan itu juga harus bersifat terbuka dan fleksibel. Gereja sebagai
persekutuan orang-orang berdosa selalu berada dalam bahaya untuk menyimpang dari jalan yang
benar. Tugas kita ialah menjaga, supaya hal itu jangan terjadi. Penjagaan itu bukan saja berarti
bantuan, dukungan dan perbaikan, tetapi terutama pembaruan, reformasi.
Tetapi pembaruan atau reformasi ini tidak dapat diberikan oleh peraturan-peraturan
Gereja. la hanya dapat dikerjakan oleh Kristus, Tuhan Gereja. Karena itu dalam Gereja tidak
boleh terlampau banyak diadakan peraturan-peraturan dan reglemen-reglemen. Kalau tidak
demikian, maka tidak akan ada ruang untuk pekerjaan Kristus dan roh Kudus. Barangsiapa yang
terlampau takut terhadap timbulnya salah-paham dan kekacauan, dan karena itu mau mengatur
segala sesuatu sampai kepada hal-hal yang kecil, ia sadar atau tidak sadar - membuat Gereja
menjadi suatu "organisasi hukum" di mana sama-sekali tidak ada atau hanya sedikit saja ada
tempat bagi pekerjaan Kristus dan Roh-Nya. Dan kalau terjadi demikian, maka akan timbul rupa-
rupa hal - legalisme, kematian-rohani, kekacauan, perpecahan, dan lainlain - yang tidak kita
ingini dalam Gereja-gereja kita. Sebab itu kita harus selalu waspada. Peraturan-peraturan Gereja
memang penting, tetapi peraturan-peraturan itu tidak mutlak. Peraturan-peraturan Gereja - seperti
yang telah kita katakan - hanya berfungsi sebagai alat. Dan sebagai alat peraturan peraturan itu
selalu terbuka untuk dikoreksi dan diperbaiki.

Catatan: dalam membuat tanggapan, saya mengambil referensi dari dua buku yaitu buku yaitu
buku “Sahala Bagi Pemimpin Dulu dan Kini” ( Pdt.Dr.Riri Johanna Siagian ) dan buku “ Garis-
Garis Besar Hukum Gereja” ( Dr. J.L. Ch. Abineno ).

Anda mungkin juga menyukai