NIM/Kelas : 19.3456/2A
A. GEREJA
Dalam pemahaman tentang Gereja, dapat dipahami dari beberapa masa yaitu:
Dalam beberapa pemahaman tentang Gereja diatas secara singkat menjelaskan, dalam
pandangan para teolog, cara kelompok-kelompok murid yang baru itu dapat dilihat sebagai
komunitas keselamatan yang bersifat eskatologis, yang dipanggil dan dipilih oleh Allab. Disebut
komunitas terpilih, para kudus, "the elect" (ekkeltio), “the saints" (agioi),2 untuk merespons
damai sejahtera Allah di tengah-tengah dunia yang penuh konfik (1 Kor. 7:15), dan mewujudkan
perintah damai sejahtera Allah yang eskatologis. Dengan mengambil alih gelar yang besar (the
great title) dalam Perjanjian Lama yakni sebagai umat Allah yang eskatologis: gehal Yabweh,
"the community of God." Bahasa Yunani, yang biasa dipakai sebagai menunjuk kata komunitas
adalah, "Ekklesia of God," yang sekarang sering disebut "Church" (gereja).
Pada peristiwa Pentakosta pun harus dipahami sebagai tonggak dari lahirnya persekutuan
umat percaya, gereja lahir kembali di mana kemanusiaan manusia dipulihkan kembali dan
diperbaharui. Hal in merupakan momentum untuk berjalan bersama Tuhan, menanggalkan
manusia lama dan hidup dalam manusia baru yang diperbaharui terus menerus di dalam Dia dan
di tengah-tengah ciptaan. Melalui kesaksian para Rasul dan Nabi-nabi (Ef. 2:11-22), hingga
sekarang tubuh-Nya yakni komunitas Kristen muncul sebagai bait kudus Allah (2 Kor 6:16).
Dalam peristiwa Pentakosta harus dipahami sebagai tonggak dari lahirnya persekutuan
umat percaya, gereja lahir kembali di mana kemanusiaan manusia dipulihkan kembali dan
diperbaharui. Hal ini merupakan momentum untuk berjalan bersama Tuhan, menanggalkan
manusia lama dan hidup dalam manusia baru yang diperbaharui terus menerus di dalam Dia dan
di tengah-tengah ciptaan. Melalui kesaksian para Rasul dan Nabi-nabi (Ef. 2:11-22), hingga
sekarang tubuh-Nya yakni komunitas Kristen muncul sebagai bait kudus Allah (2 Kor 6:16).
Persekutuan Teologis
Persekutuan Sosial
Keduanya adalah sebagai persekutuan yang bertumbuh dalam interaksi yang baik antara
manusia dan Tuhan, maka peran Roh Kudus sebagai roh yang menyemangati untuk melakukan
tindakan-tindakan yang baik menjadi sangat sentral.
Kekuasaan dalam gereja bersifat gerejawi dan teologis. Yang terutama ditampilkan oleh
Pendeta dalam jabatannya sebagai pelayan tahbisan. Dalam bahasa Batak tahbisan dikatakan
“tohonan”. Pelayan Tahbisan sama dengan “partohonan”. Tahbisan Pendeta disebut “tohonan
hapanditaon”. Uraian tugas tahbisan Pendeta menjadi rujukan pada penahbisan seseorang untuk
menjadi Pendeta. Sebagai pelayan tahbisan, Pendeta harus memiliki satu karakter khusus. Hal ini
dibutuhkan untuk dapat menjabat dalam pemerintahan gereja. Beberapa pemaparan tentang
bagaimana Kekuasaan dipahami dan diimplementasikan.
Setiap jemaat adalah imam. Pengakuan demikian secara tegas dinyatakan secara
bersama-sama oleh jemaat dalam setiap kali melakukan ibadah minggu dalam bagian Pengakuan
Imam Rasuli. Setiap jemaat menjadi saksi dari keyakinan kepada Yesus Kristus yang telah
melakukan banyak perkara besar bagi manusia dan dunia (1 Ptr 2:9).
Seorang tokoh menyebutkan beberapa indicator yang biasa digunakan yang merujuk
kepada panggilan seperti keinginan, pilihan, pemilihan, panggilan,pengetahuan dan kombinasi
dari beberapa darinya. Tidak setiap orang memperoleh panggilan, tetapi setiap orang yang telah
dipanggil harus hidup dalam panggilannya.
Kuasa dalam jabatan Pendeta merupakan suatu yang melekat dalam panggilan. Atas dasar
panggilan itulah maka tahbidan disampaikan pada seseorang. Jadi tahbisan adalah panggilan dan
mandat kepada jabatan. Dalam mandate terdapat legitimasi yang menunjuk pada keabsahan
jabatan itu.
Dasar pelaksanaan kuasa tahbisan dalam diri seseorang Pendeta adalah liturgy dan
tahbisan Pendeta. Liturgi menetapkan dan sekaligus legitimasi untuk melakukan kuasa ilahi.
Menurut sejarahnya, tuhonan yang pertama di HKBP adalah tohonan Sintua (1867),
kemudian tohonan haguruon (1873), dan tohonan Pandita (1885). Tujuan awal memunculkan
tohonan tersebut adalah untuk membantu “gabe tohonan pangarupi”. Pemaknaan isitilah
“pangarupi” masih dijumpai hingga tahun 2010 sesuai penggunaan tata gereja tahun 2002.
Substansi nya sering disebut “Pendeta diperbantukan”. Belakangan ini muncul istilah fungsional
yang justru menegaskan hal tersebut.
Dalam adat Batak, tahbisan dipandang sebagai penetapan seseorang dalam melakukan
satu tugas khusus, yang menunjuk pada jabatannya. Orang Batak sendiri memandang tohonan
dari sudut magis. Seorang tokoh Batak mengatakan tidak setiap orang dapat menjadi raja
meskipun ia kaya, pintar, mempunyai keturunan atau kaum yang besar. Seseorang dapat menjadi
raja kalau ia mempunyai kelebihan untuk memimpin dengan penuh kebijaksanaan sehingga ia
disebut memiliki “sahala harajaon”.
B. KEKUASAAN
Kekuasaan merupakan sebuah konsep yang abstrak dan tidak baku, tetapi ia
sesungguhnya sangat riil dirasakan orang-orang dimana kekuasaan itu dinyatakan. Tiga faktor
yang menarik untuk diamati terkait ini adalah kekuasaan (power), dominasi (domination) dan
disiplin (dicipline).
Kekuasaan menerapkan otoritas yang dimiliki. Secara mendasar terdapat tiga model besar
berkaitan dengan kekuasaan, di mana masing-masing model memiliki sejumlah karakteristik dan
ranah penggunaannya, namun dapat saja kenyataan yang terjadi ketiga jenis otoritas itu tampil
secara bersama. Adapun ketiganya itu adalah Legal Authority, Traditional Authority, dan
Charismatic Authority.
2. Dominasi
3. Disiplin
Disiplin merupakan satu perintah yang secara otomatis segera diikuti dengan ketaatan
tertentu dari orang yang dipimpin atau orang yang menerima.
2. KEKUASAAN DALAM TATA GEREJA HKBP
Ada beberapa kekurangan yang ada dalam buku ini, yaitu menjelaskan tentang
bagaiamana dan apa yang perlu dipersiapkan oleh seorang pemimpin dalam gereja ketika dia ada
dan dihidup ditengah-tengah masyarakat adat dan ditengah-tengah tempat yang penuh dengan
hal yang mistis. Dan saya akan menambahkan beberapa materi mengenai hal itu, yang saya
ambil dari buku “Sahala”.
Dalam teori evolusi agama yang dikemukakan oleh Robert N. Bellah, di mana
karakteristik yang bersifat magis menunjuk pada tipe masyarakat primitif. oleh karena itu,
seorang pemimpin sangat dihormati dan dipandang berwibawa (marsahala) jika dapat
memerlihatkan kemampuannya terutama berhubungan dengan dunia magis. Ciri-ciri agama
terkait dengan dunia magis dapat dicermati dalam kehidupan orang Batak yang terikat dengan
kepercayaan kepada Mulajadi na Bolon. Sahala identik dengan mana. Tetapi pemahaman tentang
mana itu sendiri masih memerlukan penelusuran lebih jauh untuk mendapatkan pengertian dan
substansinya.
Kelihatannya, pendapat tentang sahala menunjuk pada roh orang mati, yang oleh orang
Batak diyakini memiliki kelas atau tingkatan tertentu. Orang mati yang semasa hidupnya
dianggap memiliki tondi yang kuat, ketika ia mati maka sahala-nya akan naik pangkat menjadi
sumangot/simangot dan sombaon. Roh para leluhur yang termasuk dalam sumangot ni ompu
memerlihatkan tingkat atau rangking/level yang tinggi atas wibawa, sangap yang mereka milik."
Roh para leluhur dengan tingkat pemilikan sahala yang paling tinggi disebut sombaon, yang
dipresentasikan melalui sebuah patung yang terbuat dari kayu atau batu.
Tetapi jika semasa hidupnya tidak terlihat tondi-nya yang kuat, maka ketika mati rohnya
dianggap menjadi begu." Tondi yang kuat semasa hidupnya menghasilkan kehormatan dan
kemuliaan. Setelah mati, baik kehormatan maupun kemuliaan itu dipahami terus berlangsung
dan dinyatakan oleh para keturunannya melalui penyampaian persembahan dan puja-puji.
Terhadap jasad mereka, dilakukan upacara horja turun, yakni menurunkan jasad mereka yang
telah berdiam selama 7 tahun 7 bulan 7 hari, 7 malam, di atas balebale rumah (bonggar ni jabu)
untuk dibawa kepada satu tempat di balion ni huto." Oleh karena itu, horja turun merupakan satu
ritual yang besar dan biasanya dilakukan sebagai satu ritual di tingkat bius, yang dipimpin oleh
para Rajo bius" di wilayah parbiusan.
Sahala adalah Karakter (Character) Unggul. Sifat dasar yang ditampilkan seorang
pemimpin menunjuk pada karakter yang dimilikinya sebagai figur yang penuh sahala.
Vergouwen menggunakan istilah watak untuk menunjuk "karakter." Dalam pembagian ilmu,
watak sama dengan karakter. Watak dan karakter merupakan keseluruhan aku yang dinyatakan
dalam tindakan (bersifat insani).
Menurut seorang ahli, watak dapat dibangun, juga dipengaruhi tetapi pembangunan
karakter (character building) itu sangat bersia individual karena berkaitan dengan kehendak
bebas dari manusia itu sendiri. Manusia yang berwatak sering dihubungkan dengn kata luhur,'
sebab jika tidak demikian watak dapat saja jadi memilk konotasi negatif, keras, kasar dan lain
sebagainya. Dengan kata lain, sesungguhnya watak dan fungsi berkaitan dengan kepribadian
nmanusia itu." Dalam konteks ini, kepribadian merupakan kesatuan yang berbudi dan
berkehendak, di mana budi dan kehendak mengatakan sahala adalah karakter, identitas dan
kepribadian yang utuh.
Karakter unggul berkaitan dengan sejumlah kualitas tertentu yang dimiliki seseorang
untuk memerintah atau menjadikannya seorang pemimpin. Kualitas-kualitas itu terlihat dalam
keseluruhan hidupnya, yang setiap saat dapat diamati orang lain, di tempat dimana kualitas-
kualftas itu diperilihatkan, baik melalui pikiran, perkataan dan perbuatan.85 Bila ada seorang
pemimpin menampilkan sejumlah kualitas yang baik, terutama kesesuaian perkataan dengan
perbuatan, maka decak kagum dan puja-puji akan mengalir dari orang-orang sekitarnya.
Pengikutnya juga akan muncul dari berbagai arah. Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya,
maka orang lain akan dengan mudah mengatakan, "ndang marsahala ibana" (dia tidak
berwibawa).
Dengan demikian, sahala yang hidup dalam diri seseorang akan menjadi sumber kuasa
yang luar biasa ketika diaktualisasikan melalui hidup. Orangnya menjadi memiliki sahala
(marsahala), memiliki otoritas. Vergouwen memahami kemuliaan dan penghormatan adalah
sesuatu yang didambakan datang dari sahala yang dimiliki seseorang.
Ini lah betapa pentingnya sahala bagi para pemimpin gereja yaitu dimana para pemimpin
diharapkan memiliki karakter yang unggul. Para pemimpin harus menampilkan sejumlah kualitas
yang baik, terutama kesesuain perkataan dengan perbuatan, maka akan para jemaat akan kagum
atas kepemimpinan kita.
Catatan: dalam membuat tanggapan, saya mengambil referensi dari dua buku yaitu buku yaitu
buku “Sahala Bagi Pemimpin Dulu dan Kini” ( Pdt.Dr.Riri Johanna Siagian ) dan buku “ Garis-
Garis Besar Hukum Gereja” ( Dr. J.L. Ch. Abineno ).