Anda di halaman 1dari 2

Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi

Kitabullah Dalam Konsep Toleransi,


Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika
By HAFIZH YUSANDI 23 September 20203981 views
 Share
 Tweet


0

Indonesia merupakan negara majemuk yang mempunyai ragam budaya, adat, agama, ras, etnis,
dan kepentingan lainnya. Minangkabau merupakan salah satu bagian dari kemajemukan adat
dan budaya Indonesia. Kemajemukan inilah yang rawan akan konflik. Dalam masyarakat
Minangkabau  terdapat sebuah filosofi, yaitu adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah yang dijadikan sebagai pandangan hidup atau way of life bagi masyarakat
Minangkabau. Tujuannya untuk mengatur masyarakat Minagkabau mengatur tatanan kehidupan
bermasyarakat serta hubungan antara adat dan agama.

Secara harfiah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah dapat kita bagi menjadi dua
kalimat yaitu  adaik basandi syarak mengatur bahwa seluruh adat yang digunakan oleh
masyarakat Minangkabau harus “bersendikan” kepada syariat, yang pada gilirannya didasarkan
pada Al-Quran dan Sunnah (Syarak basandi Kitabullah). Artinya adat di Minangkabau dapat
bersanding dengan agama yang mana agama harus bersumber dari Al-quran dan hadis. 
Dimana dalam hal ini Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah menjadikan Islam
sebagai sumber utama dalam tata dan pola perilaku yang melembaga dalam masyarakat
Minangkabau.

Menurut sejarah, filosofi Minangkabau mengalami berbagai pergulatan. Sebelum islam masuk ke
wilayah Sumatra Barat, pada masa animisme dan dinamisme  masyarakat Minangkabau
menggunakan Alam Takambang Jadi Guru sebagai pedoman hidup yang mengandung
pengertian bahwa melihat alam sebagai guru dan dijadikan sebagai landasan hidup. Namun
ketika agama Islam masuk ke Sumatra Barat, masyarakat Minangkabau dapat menerimanya
dengan baik karena ajaran islam sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah
dianut oleh masyarakat minang itu sendiri.

Seperti yang kita ketahui pada masa penjajahan Belanda terjadi pertentangan dan perbedaaan
pendapat antara sekelompok ahli agama islam (kaum padri) dengan kaum adat di wilayah
kerajaan Pagaruyung karena adu domba dari kolonial Belanda. Maka dilaksanakanlah piagam
Bukik Marapalam yang disebut juga sumpah sati bukik marapalam. Perjanjian ini berujung pada
lahirnya filosofi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. 

Lalu, bagaimana hubungan antara pluralisme dalam hal ini bhineka tunggal ika, toleransi dengan
filosofi agama islam di dalam adat Minangkabau? Adat di Minangkabau itu tidak hanya minang
secara monoton, contohnya jika di pulau jawa ada ragam Jawa Timur, ragam Jawa Tengah, dan
ragam Yogjakarta. Namun, di Minangkabau jauh lebih kompleks, ada banyak suku seperti koto,
piliang, jambak, minang melayu, tanjuang, sikumbang, caniago dan lain sebagainya. nah
bayangkan saja dari berbagai keberagaman suku dan adat yang dimiliki oleh Minangkabau,
filosofi tersebut tidak menuntut dan memaksakan menjadi monoton. Adat di persilahkan
berkreasi sebanyak mungkin tetapi dengan satu syarat, jangan pernah langgar syariat Islam.
Dalam hal tersebut sudah sangat terlihat bahwa masyarakat Minangkabau sangat menghargai
dan bertoleransi akan adanya keberagaman.

Dalam toleransi beragama, orang Minangkabau dahulu beranggapan


bahwakata kitabullah dalam filosofi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang
dimaksud adalah Al-quran. Namun dalam pemahaman masyarakat Minang sekarang,
kata kitabullah berarti kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah kepada rasulnya, oleh karena itu
kitab disini tidak hanya Al-quran, tetapi juga ada injil, taurat, dan zabur. Dari filosofi tersebut
sudah sangat terlihat adanya toleransi yang dari dulu sudah ditanamkan dari dalam diri
masyarakat Minangkabau.

Di Sumatra Barat sebaran penduduknya masih dominan dan hampir di atas 80 persen adalah
masyarakat asli Minangkabau dan beragama Islam. Sisanya adalah masyarakat bukan orang
Minangkabau dan beragama selain Islam. Namun tetap tinggal dan bisa hidup berdampingan
dengan rukun. Hanya saja, kehadiran orang non-Minangkabau di Sumbar tidak berbaur secara
langsung. Contohnya di Kota Padang. Di sana terdapat beberapa kampung yang dihuni oleh
masyarakat etnis lain dan rata-rata bukan beragama Islam, yaitu Kampung Nias, Kampung Cino,
Kampung Jawa dan lainnya. Tidak ada gesekan antara penduduk pribumi dan pendatang di
Sumbar. Mereka bisa membangun daerah bersama-sama. Baik dari sisi ekonomi, pemerintahan,
sosial, dan sebagainya. Pendatang dan pribumi hidup rukun dan tenteram. Kedamaian di
Sumbar tidak terlepas dari filosofi yang dianut oleh masyarakat Minangkabau yang penuh
dengan toleransi dan menghargai perbedaan.

Oleh : Dhiya Alifya

Anda mungkin juga menyukai