Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH MINANGKABAU:

MENELUSURI JEJAK SEJARAH DI NAGARI TUO PARIANGAN

Oleh: M. Reno Raditia (17046013)

Dosen Pembimbing:
Drs. Etmi Hardi, M.Hum
Uun Lionar, S.Pd, M.Pd

Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Padang

Latar Belakang
Minangkabau adalah sekelompok etnis Nusantara yang berada di Sumatera Barat dan
sekitarnya (sebagian besar wilayah Minangkabau mencakup Sumatera Barat) yang memiliki
budaya dan adat tersendiri. Etnis ini sudah ada sejak masa pra aksara di Indonesia.

Peninggalan sejarah di Minangkabau bisa dikatakan sangatlah minim, dan juga sedikit
sekali ditemukan sumber tertulis yang dapat mendukung keabsahannya, oleh sebab itu cukup
sulit untuk menggali sejarah Minangkabau terutama pada masa pra aksara. Secara umum
sejarah Minangkabau hanya dapat diketahui melalui Tambo. Tambo adalah suatu hikayat
yang menjelaskan tentang asal usul nenek-moyang orang Minangkabau, sampai tersusunnya
ketentuan-ketentuan adat dan budaya Minangkabau yang berlaku sekarang. Sejarah
Minangkabau memang banyak diliputi ketidakpastian, terutama waktu sebelum kedatangan
Islam. Karena sejarah hanya dituturkan secara turun temurun dalam bentuk cerita rakyat yang
diduga banyak mengandung unsur dongeng. (Yuskar, 2015)

Berdasarkan tambo bahwa asal-usul orang Minangkabau berasal dari gunung Marapi,
yang berbunyi sebagai berikut:

“Dari mano titiak palito

Page 1|8
Dari taleong nan batali

Dari mano asa niniek kito

Dari puncak Gunuang Marapi” (M.S, 1997).

Dan juga menurut tambo tersebut, nenek moyang orang Minangkabau berasal dari
keturunan Alexander The Great (Alexander Agung), yang diceritakan bahwa Alexander
Agung memiliki anak yang dikenal dengan nama Maharaja Alif, Maharaja Dipang, dan
Maharaja Diraja. Dari ketiga anaknya tersebut, Maharaja Diraja inilah yang konon menjadi
asal-usul keturunan orang Minangkabau yang datang dari puncak gunung Marapi.

Para ahli sejarah nampaknya juga telah sepakat mengatakan, bahwa nenek-moyang
suku Minangkabau terdiri dari sekelompok manusia yang telah mendiami daerah selingkar
(Bukit Barisan) gunung Merapi. Pada umumnya pendapat-pendapat yang ada di tambo tidak
bertentangan, karena nenek-moyang ras Melayu berdatangan dari daerah Yunan-Utara
melalui lembah lembah sungai besar ke Tongkin, Annam dan Kocin Cina terus kepulauan
Nusantara ini, dari arah utara Minangkabau hingga melewati gunung Marapi (Bukit Barisan),
± 2000 tahun sebelum Masehi secara bergelombang (Yuskar, 2015). Adapun rasnya adalah
Proto Melayu dan Deutro Melayu (yang datang bergelombang antara ± 2000 SM hingga ±
250 SM) yang menurunkan nenek-moyang suku Minangkabau.

Orang Minangkabau menamakan hamparan buminya dengan Alam Minangkabau.


Alam adalah segala-galanya bagi mereka, alam bukan saja dipahami sebagai tempat lahir,
tumbuh dan mencari kehidupan, lebih dari itu, alam juga dimaknai sebuah kosmos yang
memiliki nilai dan makna filosofis (Shalihin, 2014).

Gambar 1. Nagari Tuo Pariangan, Kab. Tanah Datar.

Page 2|8
Nagari Tuo Pariangan sebagai Pusat Kerajaan Tertua di Minangkabau

Di Minangkabau terdapat 3 luhak, yaitu luhak Tanah Datar, luhak Agam, dan luhak
50 Koto. Luhak merupakan gabungan dari Nagari (Federasi). Wilayah ini merupakan wilayah
pemukiman awal penduduk Minangkabau yang dikenal dengan istilah Darek. Adat disetiap
luhak tidaklah sama.

Pada awalnya luhak dibentuk oleh masyarakat yang berasal dari Nagari Tuo
Pariangan, yaitu Dt. Parpatih Nan Sabatang dan Dt. Katumangguangan. Mereka menyusuri
wilayah disekitar, untuk mencari lahan baru untuk ditempati. Disetiap wilayah tersebut
ditanam sebuah batu yang digunakan sebagai persaksian untuk suatu wilayah yang ditempati,
yang dikenal dengan Batu Lantak Tigo Luhak.

Unit terkecil dalam sistem kekerabatan Minangkabau adalah orang-orang sesuku.


Sebaliknya, unit yeng terbesar adalah kumpulan orang-orang senagari. Adat Minangkabau
hanya salingkuang nagari itu. Jadi, suku dan nagari mempunyai arti yang amat penting bagi
orang minang (M.S, 1997).

Nagari merupakan bentuk desa tradisional orang Minangkabau yang memiliki


wilayah otonom/peraturan dan undang-undang sendiri. Terdapat tahap-tahap atau proses
dalam pembentukanm Nagari, yaitu diawali dari Taratak (tempat berladang), selanjuntnya
menjadi Dusun (perkembangan dari taratak), lalu menjadi Koto, dan terakhir baru disebut
dengan Nagari. Nagari baru bisa didirikan apabila sudah memenuhi syarat-syaratnya. Adapun
syarat berdirinya nagari: 1). Baampek suku, 2). Bapandam pakuburan, 3). Basawa baladang,
4). Batapian, dan 5). Babalai.

Menurut Aswardi (tokoh masyarakat Pariangan), bahwa nagari tertua di Minangkabau


terdapat di Pariangan, yang dikenal dengan Nagari Tuo. Nagari Tuo Pariangan merupakan
salah satu nagari/desa yang ada di Kabupaten Tanah Datar. Terletak di lereng gunung merapi
Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar.

Sesuai dengan gelarnya seabagai Nagari tertua di Minangkabau, maka tentu ada
banyak sumber-sumber dan peninggalan sejarah yang dapat digali oleh para sejarawan di
Nagari ini.

Berdasarkan naskah kuno (tambo) yang dikutip dari (Aswardi, 2019), nama Pariangan
sendiri berasal dari kata paruangan batu. Diceritakan bahwa dulu nenek moyang orang
Minangkabau ketika turun dari puncak gunung Marapi turun ke daerah yang dikenal dengan
Page 3|8
nama pariangan (sekarang), mereka hidup di sana dalam paruangan batu atau didalam
beberapa batu yang disusun sedemikian rupa.

Menurut penuturan beliau (Aswardi, 2019), di wilayah inilah Maharajo Dirajo datang
dari puncak gunung Marapi. Ia kemudian mendirikan suatu wilayah administrasi yang
dikenal dengan nama Pasumayan Koto Batu, yang merupakan kerajaan pertama di
Minangkabau sebelum pengaruh Islam masuk. Dan Maharajo Dirajo menjadi Raja pertama
dari Pasumayan Koto Batu.

Gambar 2. Prasasti Pariangan.

Adat Jo Limbago

Setelah turun dan hidup menetap di wilayah tersebut maka masyarakat pada saat itu
mulai menyusun adat jo limbago (adat dan lembaga). Adat adalah aturan, dan itulah yang
mengatur kehidupan masyarakat pada saat itu. Dan limbago sendiri adalah yang menjalankan
adat yang telah dibuat/disepakati, yang bertempat dibalai-balai. Maka dijalankanlah adat-adat
tersebut oleh masyarakat Minangkabau pada saat itu.

Maka didirikan balai-balai di Pariangan, yaitu tempat dicantumkanya hukum adat dan
tempat persidangan yang dikenal dengan Balai nan ampek, yaitu: Balai Saruang. Di Balai
Saruang inilah segala sesuatu dimusyawarahkan. Kemudian didirikan juga Balai Nan
Panjang, Balai Pasujian, dan Balai Kaciak. Balai Saruang hanya terdiri dari satu ruang,
sedangkan Balai Nan Panjang terdiri dari 17 ruang.

Perlu diketahui bahwa di Nagari inilah terdapat dua keselarasan, yaitu kelarasan Bodi
caniago dan Koto Piliang. Bodi Caniago diwakili oleh Dt. Parpatih Nan Sabatang dan Koto
Piliang oleh Dt. Katumangguangan. Dt. Katumangguangan yang bernama Sutan Maharajo
Basa merupakan anak dari Maharajo Dirajo dan permaisuri Puti Indo Jolito. Setelah maharajo

Page 4|8
Dirajo wafat, permaisuri Puti Indo Jolito menikah kembali dengan Cati Bilang Pandai
(Penasihat Maharajo Dirajo) dan memiliki anak yang bernama Sutan Balun atau yang
dikenal dengan Dt. Parpatih Nan Sabatang.

Salah satu hasil dari dijalankanya adat jo limbago adalah disepakatinya sumpah adat.
Sumpah adat ini kurang lebih berbunyi, siapo yang melanggar adat, maka: ”ka lurah ndak
dapek aie, ka bukik ndak dapek angin”, ini berarti bahwa masyarakat yang melakukan
pelanggaran adat maka akan diasingkan dan dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya. Sumpah
adat ini disepakati oleh Dt. Parpatih Nan Sabatang dan Dt. Katumangguangan.

Juga salah satu sanksi adat yang berlaku pada saat itu adalah Hukum Taleo, yang
dapat diartikan dengan hukum balas (mata di balas mata), sanksi diberikan sesuai dengan
tindakan pelanggaran yang dilakukan. Untuk prakteknya akan diperiksa di Balai dan di
eksekusi di Batu Batagak. Dan dikenal juga Hukum adat, Undang-undang duobaleh dan UU
Sabaleh, UU Salapan, Dago Dagi, dsb.

Gambar 3. Balai Saruang.

Masajik Tuo Pariangan

Masjid adalah tempat ibadah umat Islam. Masjid mulai dikenal pada saat ajaran Islam
masuk ke Indonesia. Adanya Masjid-Masjid peninggalan sejarah membuktikan pengaruh
Islam sudah sejak dulu (Masly, 2017 ).

Nagari Pariangan tidak hanya dikenal akan sejarah budayanya saja, namun disini juga
terdapat objek sejarah religi juga yaitu Masjid Tuo Pariangan. Masjid ini berdiri setelah islam
masuk ke Ranah Minang.

Page 5|8
Masjid ini di buat berdasarkan limbago adat, yang didirikan oleh Syekh Burhanuddin
atas persetujuaan Tuangku Nan Barampek, yaitu Tuangku Labai, Tuangku Katik Basa,
Tuangku Aji Manan, dan Tuangku Kali Bandar, dengan sejumlah tukang yang dipimpin
Datuk Garang. Dulu ketika pengaruh islam di Pariangan ada tiga thariqat, namun dua thariqat
yang paling berpengaruh yaitu thariqat sathariyah, dan naqsyabandiyah (Aswardi, 2019)

Masjid Tuo memiliki ciri khas bangunan adat Minangkabau dengan kubahnya yang
dibentuk bagonjoang. Terdiri dari tiga kubah, bagian kubah tertinggi melambangkan keesaan
Tuhan. Pada kubah tertinggi ini, terdapat empat lapisan yang masing-masing-masingnya
melambangkan empat jenis kedudukan masyarakat dalam satu nagari yaitu khatib, sutan,
malin dan pakiah (Wulandhari, 2017).

Masjid ini sudah beberapa kali di renovasi. Menurut salah seorang warga bahwa
Masjid ini pertama kali di renovasi sekitar tahun 80-an. Dulu material masjid terbuat dari
kayu/papan dan lantainya cukup tinggi dibandingkan yang sekarang, dan dibawah lantai
masjid tersebut biasanya dijadikan kandang hewan ternak. Disekeliling atau disekitar Masjid
biasanya banyak terdapat surau-surau dari berbagai suku atau kaum, surau tersebut biasanya
berfungsi sebagai tempat tidur bagi pemuda minang yang belum menikah, juga sebagai
tempat pendidikan, belajar silat, mengaji, dll. (Almairi, 2019).

Gambar 4. Masjid Tuo Pariangan

Page 6|8
Penutup

Nagari Tuo Pariangan merupakan tempat pertama kali nenek moyang orang minang
tinggal dan mendirikan lembaga adat, dan disini juga berdiri kerajaan tertua di Minangkabau
yaitu kerajaan Pasumayan Koto Batu. Di Nagari inilah adat jo limbago di susun sehingga
menjadi pedoman masyarakat minang pada zaman dahulu hingga sekarang. Dan terdapat juga
Masjid yang memiliki nilai sejarah yang cukup tinggi, yakni Masjid Tuo Pariangan.

Hingga saat ini nilai-nilai budaya dan sejarah di Pariangan cukup kental dan terjaga.
Walaupun hukum adat tidak diterapkan pada masa sekarang, namun sikap sosial masyarakat
sekitar sangatlah ramah dan berbudaya.

Dengan peninggalan-peninggalan sejarah yang masih terdapat di sana sudah cukup


membuktikan bahwa Nagari Tuo Pariangan pantas mendapatkan perhatian dari para
sejarawan, sebagai bukti bahwa Minangkabau juga memiliki peradaban yang cukup tinggi.

Page 7|8
Referensi
Almairi, A. (2019, november 22). masjid Tuo Pariangan. (Rahfit, Interviewer)
Aswardi. (2019, November 22). KKL Sejarah 17 UNP: Sejarah pariangan. (M. Sejarah,
Interviewer)
M.S, A. (1997). Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang MInang. Jakarta: PT.
MUTARA SUMBER WIDYA.
Masly, D. (2017 ). POTENSI DAYA TARIK WISATA NAGARI TUO PARIANGAN
SEBAGAI KAWASAN DESA WISATA PARIANGAN KABUPATEN TANAH
DATAR SUMATERA BARAT . JOM FISIP Vol. 4 No. 2 .
Shalihin, N. (2014). DEMOKRASI DI NAGARINYA PARA TUAN. Lubuk Lintah, Sumatera
Barat : Imam Bonjol Press .
Wulandhari, R. (2017, November 8). oz2jmo423-ini-masjid-pertama-yang-berdiri-di-ranah-
minang. Retrieved from www.republika.co.id:
https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/11/08/oz2jmo423-
ini-masjid-pertama-yang-berdiri-di-ranah-minang
Yuskar, Y. (2015). Situs Budaya Minangkabau di Jorong Batur.

Page 8|8

Anda mungkin juga menyukai