Anda di halaman 1dari 13

ESSAI

UNSUR UNSUR BUDAYA & BUDAYA HUKUM YANG TERKANDUNG PADA SUKU
LAMPUNG
Guna Memenuhi Persyaratan Maperca 1

Disusun Oleh:
Ditya Depiarmadawan 119010285

1| Makalah antropologi hukum


KATA PENGANTAR
Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Syalom
Om Swastiastu
Nama Buddhaya
Salam Kebajikan

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Unsur Budaya dan Budaya Hukum
pada Suku Lampung ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi persyaratan MAPERCA
1 PERMAHI DPC CIREBON RAYA. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang usur budaya dan budaya hukum bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalam.

Cirebon, 16 Juli 2023

Penulis

2| Makalah antropologi hukum


DAFTAR ISI
1. HALAMAN JUDUL 1
2. KATA PENGANTAR 2

3. DAFTAR ISI 3
4. BAB 1 PENDAHULUAN 4
A. LATAR BELAKANG 4
B. RUMUSAN MASALAH 4
C. TUJUAN PEMBAHASAN 4
5. BAB 2 PEMBAHASAN 5
A. PENGERTIAN BUDAYA 5
B. UNSUR BUDAYA 5
C. SEKILAS TENTANG BUDAYA SUKU LAMPUNG 5
D. PENGERTIAN BUDAYA HUKUM 10
E. PENYELESAIAN KASUS SENGKETA 10
6. BAB 3 PENUTUP 13
A. KESIMPULAN 13
B. SARAN
7. DAFTAR PUSTAKA

3| Makalah antropologi hukum


BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagai negara yang besar dan dengan suku yang sangat banyak pada
dasarnya Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi suatu bangsa
yang mempunyai budaya yang sangat banyak.
Dalam budaya yang berada di Indonesia pasti akan mempunyai unsur-unsur
pembentuk budaya tersebut. Sehingga dari unsur unsur budaya tersebut mencullah
budaya hukum dari suku tersebut terhadap hukum nasional.
Pengertian budaya hukum sendiri adalah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan hubungan antara perilaku sosial dalam kaitannya dengan hukum. Secara
akademis, budaya hukum mengkaji peran dan aturan hukum dalam suatu masyarakat.
Seorang pembuat kebijakan harus melihat beberapa aspek dalam membuat
kebijakan salah satunya adalah aspek empiris, dan historis dalam kehidupn masyarakat.
Salah satu suku yang mempunyai unsur unsur budaya dan budaya hukum yang
sangat unik adalah Lampung. Suku Lampung adalah salah satu dari rumpun melayu di
pula Sumatra yang menempati seluruh provinsi Lampung dan sebagian provinsi
Sumatra Selatan bagian selatan dan tengah yang menempati daerah Martapura, Muara
Dua di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kayu Agung, Tanjung Raja di Kabupaten Ogan
Komering Ilir, Merpas di sebelah selatan Bengkulu serta Cikoneng di pantai barat
Banten. Suku Lampung sering dikenal dengan Ulun Lampung.
Dalam kehidupannya Ulun lampung mempunyai falsafah hidup yaitu :
1. Piil Pesenggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta
memiliki harga diri)
2. Juluk Adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang
disandangnya)
3. Nemui-Nyimah (saling mengunjungin untuk bersilahturahmi serta ramah
menerima tamu)
4. Nengah-Nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak
individualis
5. Sakai-Sambaian (gotong royong dan saling membantu dengan anggota
masyarakat lainnya).
B. RUMUSAN MASALAH
Bertolak dari latar uraian di atas, maka masalah masalah yang dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Apa saja yang menjadi unsur pembentuk budaya dalam budaya masyarakat
lampung?
2. Bagaimana budaya hukum terhadap hukum nasional yang berada dalam
kehidupan masyarakat suku lampung?
3. Bagaimana tata cara penyelesaian kasus pidana kawin lari di Lampung?
C. TUJUAN
Tujuan kami dalam pembuatan makalah antara lain adalah :
1. Untuk mengetahui unsur budaya yang terdapat pada suku lampung

4| Makalah antropologi hukum


2. Untuk mengetahui budaya hukum masyarakat suku lampung terhadap
hukum nasional

BAB 2
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN BUDAYA
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk
dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa,
perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Sedangkan Kebudayaan adalah sesuatu
yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak.
B. UNSUR BUDAYA
C. Kluckhohn mengemukakan ada 7 unsur kebudayaan secara universal
(universal categories of culture) yaitu:

● Bahasa

● Sistem ilmu pengetahuan

● sistem teknologi, dan peralatan

● sistem kesenian

● sistem mata pencarian hidup

● sistem religi

● sistem kekerabatan, dan organisasi kemasyarakatan


C. SEKILAS TENTANG SUKU LAMPUNG
Suku Lampung adalah salah satu dari rumpun melayu di pula Sumatra yang
menempati seluruh provinsi Lampung dan sebagian provinsi Sumatra Selatan bagian
selatan dan tengah yang menempati daerah Martapura, Muara Dua di Kabupaten Ogan
Komering Ulu, Kayu Agung, Tanjung Raja di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Merpas di
sebelah selatan Bengkulu serta Cikoneng di pantai barat Banten. Suku Lampung sering
dikenal dengan Ulun Lampung. Suku Lampung mempunyai unsur budaya yang unik.
Berikut unsur budaya suku lampung :
● Bahasa
Bahasa bahasa yang digunakan di Lampung merupakan cabang Sundik
yakni berasal dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia barat. Bahasa ini juga
digunakan di Sumatra Selatan bagian Selatan dan Pantai Barat Banten. Adapun
aksara yang disebut Had Lampung (KaGaNga). Aksara ini ditulis dan dibaca dari
kiri ke kanan dengan huruf induk berjumlah 20 buah. Had Lampung ini
dipengaruhi oleh dua unsur, yaitu Aksara Paallawa (India Selatan) berupa suku

5| Makalah antropologi hukum


kata yang merupakan huuf hidup dan huruf Arab menggunakan tanda tanda
fathah di baris atas dan tanda tanda kasrah di baris bawah tetapi tidak
menggunakan tanda dammah di baris depan melainkan menggunakan tandad di
belakang dan masing masing mempunyai nama sendiri. Bahasa Lampung
memiliki dua subdialek yaitu dialek Belalau (dialek Api), dan dialek Abung (dialek
Nyow)
● Sistem ilmu pengetahuan
Suku Lampung mempunyai sistem arsitektur yang unik, arsitektur
tradisional lampung pada umumya terdiri dari bangunan tempat tinggal disebut
Lamban, Lambahana atau Nuwou, bangunan ibadah yang disebut Mesjid,
Mesigit, Surau, Rang Ngaji, atau Pok Ngaji, bangunan musyawarah yang disebut
sesat atau bantaian, dan bangunan penyimpanan bahan makanan dan benda
pusaka yang disebut Lamban Pamanohan.
Rumah orang Lampung biasanya didirikan dekat sungai dan bejajar
sepanjang jalan utama yang membelah kampung, yang disebut tiyuh. Setiap
tiyuh terbagi lagi ke dalam beberapa bagian yang disebut bilik, yaitu tempat
berdiam buway. Bangunan beberapa buway membentuk kesatuan teritorial-
genealogis yang disebut marga. Dalam setiap bilik terdapat sebuah rumah klen
yang sangat besar disebu nuwou menyanak. Rumah ini selalu dihuni oleh
kerabat tertua yang mewarisi kekuasaaan memimpin keluarga.
Arsitektur lainnya adalah “lamban pesagi” yang merupakan rumah
tradisional berbentuk panggung yang sebagian besar terdiri dari bahan kayu dan
atap ijuk. Rumah ini berasal dari desa Kenali Kecamatan Belalau, Kabupaten
Lampung Barat. Ada dua jenis rumah adat Nuwou Balak aslinya merupakan
rumah tinggal bagi para Kepala Adat (penyimbang adat), yang dalam bahasa
Lampung juga disebut Balai Keratun. Bangunan ini terdiri dari beberapa ruangan,
yaitu Lawang Kuri (gapura), Pusiban (tempat tamu melapor) dan Ijan Geladak
(tangga “naik” ke rumah); Anjung-anjung (serambi depan tempat menerima
tamu), Serambi Tengah (tempat duduk anggota kerabat pria), Lapang Agung
(tempat kerabat wanita berkumpul), Kebik Temen atau kebik kerumpu (kamar
tidur bagi anak penyimbang bumi atau anak tertua), kebik rangek (kamar tidur
bagi anak penyimbang ratu atau anak kedua), kebik tengah (yaitu kamar tidur
untuk anak penyimbang batin atau anak ketiga).
● Sistem teknologi dan peralatan
1. Tapis
Tapis adalah kain khas Lampung yang terbuat dari tenunan benang kapas
dengan hiasan motif, sulaman benang emas atau perak. Kerajinan ini dibuat
oleh wanita, baik ibu rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang
pada mulanya untuk mengisi waktu senggang dengan tujuan untuk
memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral. Kain Tapis saat ini
diproduksi oleh pengrajin dengan ragam hias yang bermacam-macam
sebagai barang komoditi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.
Tapis dapat dibedakan menurut pemakaiannya, seperti contohnya:
a. Tapis Jung Sarat: Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara
perkawinan adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang

6| Makalah antropologi hukum


lebih tua yang menghadiri upacara mengambil gelar, serta muli
cangget (gadis penari) pada upacara adat.
b. Tapis Bidak Cukkil: Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat
menghadiri upacara-upacara adat.
c. Tapis Silung: Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat
dekat pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan
gelar, khitanan dan lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan
pengantin
d. Tapis Tuho: Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya
sedang mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua
(mepahao) yang sedang mengambil gelar sutan serta oleh isteri sutan
dalam menghadiri upacara pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.
2. Jangat
Jangat adalah alat untuk menghaluskan belahan-belahan rotan. Dibuat dari
bahan besi lengkung tipis dan tajam yang ditancapkan di atas potongan
batang kayu. Mata pisaunya dibuat sendiri atau dapat dibeli. Cara
pemakaiannya adalah: belahan-belahan rotan yang panjang dimasukkan di
antara kedua pisau besi itu, kemudian silih berganti ditarik.
● Sistem mata pencaharian
Aktifitas produksi di Lampung yang utama adalah pertanian, termasuk
perkebunan, kehutanan dan budidaya perikanan. Propinsi Lampung adalah
penghasil utama kopi Robusta; dimana Lampung adalah salah satu yang terluas
daerah perkebunan kopinya. Penghasil utama di bidang pertanian adalah padi,
minyak kelapa, kopi, cengkeh, dan hasil pertanian lainnya, peternakan dan
perikanan. Produksi kopi, minyak kelapa, dan makanan dalam kemasan, minyak,
kayu lapis dan produksi kayu lainnya. Selain itu, Lampung juga penghasil buah-
buahan tropis seperti : mangga, rambutan, durian, pisang, nanas, dan jeruk.
Hasil panen utama yang lain adalah kelapa, karet mentah, minyak kelapa, coklat,
lada dan sejenisnya.
● Sistem kekerabatan
Masyarakat Lampung merupakan masyarakat dengan sistem menurut
garis ayah (Geneologis-Patrilinial), yang terbagi-bagi dalam masyarakat
keturunan menurut Poyang asalnya masing-masing yang disebut “buay”. Setiap
kebuayan itu terdiri dari berbagai “jurai” dari kebuwaian, yang terbagi-bagi pula
dalam beberapa kerabat yang terikat pada satu kesatuan rumah asal (nuwou
tubou, lamban tuha).
Kemudian dari rumah asal itu terbagi lagi dalam beberapa rumah kerabat
(nuwou balak, lamban gedung). Ada kalanya buay-buay itu bergabung dalam
satu kesatuan yang disebut “paksi”. Setiap kerabat menurut tingkatannya
masing-masing mempunyai pemimpin yang disebut “penyimbang” yang terdiri
dari anak tertua laki-laki yang mewarisi kekuasaan ayah secara turun temurun.
Hubungan kekerabatan adat lampung terdiri dari lima unsur yang
merupakan lima kelompok. Pertama, kelompok wari atau adik wari, yang terdiri
dari semua saudara laki-laki yang bertalian darah menurut garis ayah, termasuk
saudara angkat yang bertali darah. Kedua, kelompok lebuklama yang terdiri dari

7| Makalah antropologi hukum


saudara laki-laki dari nenek (ibu dari ayah) dan keturunannya dan saudara laki-
laki dari ibu dan keturunannya. Ketiga, kelompok baimenulung yang terdiri dari
saudara-saudara wanita dari ayah dan keturunannya. Keempat, kelompok
kenubi yang terdiri dari saudara-saudara karena ibu bersaudara dan
keturunannya. Kelima, kelompok lakau-maru, yaitu para ipar pria dan wanita
serta kerabatnya dan para saudara karena istri bersaudara dan kerabatnya.
Bentuk perkawinan yang berlaku adalah partrilokal dengan pembayaran
jujur (ngakuk mulei), dimana setelah kawin mempelai wanita mengikuti dan
menetap dipihak kerabat suami, atau juga dalam bentuk marilokal (semanda)
dimana setelah kawin suami ikut pada kerabat istri dan menetap di tempat istri.
Untuk mewujudkan jenjang perkawinan dapat ditempuh dalam dua cara,
yaitu cara kawin lari (sebambangan) yang dilakukan bujang-gadis sendiri dan
cara pelamaran orang tua (cakak sai tuha) yang dilakukan oleh kerabat pihak
pria kepada kerabat pihak wanita.
Perkawinan yang ideal dikalangan orang lampung adalah pria kawin
dengan wanita anak saudara wanita ayah (bibik, keminan) yang disebut “ngakuk
menulung” atau dengan anak saudara wanita ibu (ngakuk kenubi)/ perkawinan
yang tidak disukai adalah pria dan wnaita anak saudara laki-laki ibu (ngakuk
kelana) atau dengan anak wanita saudara laki-lakinya (ngakuk bai/wari) atau
juga dengan anak dari saudara pria nenek dari ayah (ngakuk lebu). Lebih-lebih
tidak disukai kawin dengan suku lain (ulun lowah) atau orang asing. Apalagi
berlainan agama (sumang agamou).
Jika dari suatu ikatan perkawinan tidak mendapatkan keturunan sama
sekali, maka untuk menjadi penerus keturunan ayah, dapat diangkat anak tertua
dari adik laki-laki atau anak kedua dari kakak laki-laki untuk menegakkan (tegak
tegi) keturunan yang putus (maupus). Jika tidak ada anak-anak saudara yang
bersedia diangkat dapat mengangkat orang lain yang bukan anggota kerabat,
asal saja disahkan dihadapan kerabat dan prowitan adat. Tetapi jika hanya
mempunyai anak wanita, maka anak itu dikawinkan dengan saudara misalnya
yang laki-laki/ anak wanita itu dijadikan kedudukan laki-laki dan melakukan
perkawinan semanda ambil suami (ngakuk ragah). Dengan begitu maka anak
laki-laki dari perkawinan mereka kelak akan menggatikan kedudukan kakeknya
sebagai waris mayorat sehingga keturunan keluarga tersebut tidak putus (mak
mupus).
● Kesenian
Sastra lisan merupakan salah satu tradisi khas masyarakat Lampung.
Ada berbagai jenis syair yang dikenal masyarakat Lampung, diantaranya pattun
(pantun), pepatcur, pisaan, adi-adi, segata, sesikun, memmang, wawancan,
hahiwang,dan wayak. Sifat-sifat orang Lampung juga diungkapkan dalam
sebuah adi-adi (pantun):

Tandani hulun Lampung, wat piil-pusanggiri


Mulia hina sehitung, wat malu rega diri
Juluk-adok ram pegung, nemui-nyimah muwari
Nengah-nyampur mak ngungkung, sakai-sambaian gawi.

8| Makalah antropologi hukum


Sifat yang tergambar dalam pantun di atas antara lain: piil-pusanggiri
(malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri), juluk-
adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya),
nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima
tamu), nengah-nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak
individualistis), dan sakai-sambaian (gotong-royong dan saling membantu
dengan anggota masyarakat lainnya).
Seni sastra dapat dijumpai di berbagai aspek budaya masyarakat
Lampung. Misalnya, di upacara perkawinan, seperti petikan syair di bawah ini:

jak ipa niku kuya


jak pedom lungkop-lungkop
badan mak rasa buya
ngena kebayan sikop
(dari mana kau kuya (nama binatang air)
dari tidur berbalik-balik
badan tiada letih
dapat pengantin cantik)

Petikan tulisan ini adalah wayak, sebuah puisi lama dari khasanah sastra
lisan Lampung dan dikenal di Pesisir Lampung. Wayak Jak Ipa Niku Kuya ini
seperti terpatri dalam ingatan seorang anak Lampung karena sering dilafalkan
saat mengiringi prosesi perkawinan adat Lampung. Isinya, sebuah sindirin bagi
seseorang (diibaratkan kuya) yang pemalas, tetapi (seperti mimpi) tiba-tiba
mendapatkan gadis cantik. Sindir-menyindir dalam bahasa yang penuh petatah-
petitih, tradisi ini masih kuat dalam masyarakat tradisional Lampung di umbul-
umbul (sejenis desa).
Sastra lisan Lampung juga mengenal warahan, semacam kisah rakyat
yang dituturkan seorang pewarah (semacam pengisah atau pendongeng)
kepada seseorang atau khalayak. Dalam perkembangannya, warahan dapat
berbentuk puisi, puisi lirik, atau prosa, tergantung dari kemampuan di pewarah
dalam bertutur. Kalau kemudian ada kreativitas yang berupaya memasukkan
warahan dalam seni olah peran, teater modern, itu karena memang dalam tradisi
warahan, terdapat unsur-unsur olah vokal dan sesekali pewarah menirukan
gerak tokoh yang ia ceritakan, meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana.
● Sistem Kepercayaan (Religi)
Menurut salah satu teori asal-usul terbentuknya masyarakat Lampung,
penduduk Lampung yang berasal dari Sekala Brak, di kaki Gunung Pesagi,
Lampung Barat disebut Tumi (Buay Tumi) menganut kepercayaan dinamis, yang
dipengaruhi ajaran Hindu Bairawa. Buai Tumi kemudian kemudian dapat
dipengaruhi empat orang pembawa Islam berasal dari Pagaruyung, Sumatera
Barat yang datang ke sana.
Masyarakat Lampung didominasi oleh agama Islam, namun terdapat juga
agama Kristen, Katolik, Budha dan Hindu. Untuk Lampung, persatuan adat,
kekerabatan, kerajaan, (ke)marga(an), dan semacamnya memang lebih kental
dalam bentukan identitas kolektif. Aspek agama Islam, ternyata memberikan

9| Makalah antropologi hukum


warna dan pencitraan tersendiri dalam kaidah kelembagaan maupun
kebudayaan.
Faktor alamiah, yang membuat identifikasi awal misalnya pranata sosial
masyarakat dengan mentalitas Islam, religiositas tradisi, kebajikan-kebajikan
sosial, kecenderungan untuk hidup bersama, kehalusan budi, dan conformism
merupakan ciri-ciri peradaban Islam yang melekat dalam adat Lampung. Aplikasi
nilai-nilai agama juga ternyata berpengaruh menimbulkan transformasi manusia
dan kebudayaan di Lampung.
Masyarakat Lampung mengenal berbagai tradisi atau upacara yang tidak
trerlepas dari unsur keagamaan. Dalam masyarakat Lampung ada beberapa
bagian siklus kehidupan seseorang yang dianggap penting sehingga perlu
diadakan upacara-upacara adat yang bercampur dengan unsur agama Islam.
Di antaranya adalah:

a. upacara kuruk liman, disaat kandungan umur 7 bulan


b. upacara saleh darah yaitu upacara kelahiran
c. upacara mahan manik yaitu upacara turun tanah, bayi berumur 40 hari
d. upacara khitanan bila bayi berumur 5 tahun
e. upacara serah sepi bila anak berumur 17 tahun dan sebagainya
f. Juga upacara perkawinan, kematian dan upacara adat lainnya seperti cokok
pepadun yaitu pelantikan pengimbang baru sebagai kepala adat.
D. PENGERTIAN BUDAYA HUKUM
Budaya hukum adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan hubungan
antara perilaku sosial dalam kaitannya dengan hukum. Secara akademis, budaya
hukum mengkaji peran dan aturan hukum dalam suatu masyarakat . Namun akademis
Ralf Michaels menilai bahwa konsep budaya hukum sendiri tidak memiliki definisi yang
pasti dan kajian budaya hukum dalam pandangannya cenderung mengesampingkan
kajian sosiologi hukum dan antropologi hukum. Budaya hukum dianggap memiliki
pengertian yang berbeda beda tergantung pada latar belakang akademis apa yang
dimiliki si pengkaji. Budaya hukum yang jelas adalah persinggungan antara hukum
dengan budaya tetapi batas di antara keduanya masih kabur.
E. PENYELESAIAN KASUS SENGKETA
Di dalam suku Lampung terdapat proses yang unik yaitu ‘Proses Penyelesaian
Sebambangan’ (kawin lari) di kalangan masyarakat Lampung Tulang Bawang. Sebelum
tahun 1952, masyarakat Tulang Bawang ini terdiri dari empat Marga Teritorial, yaitu
Marga Tegamoan, Marga Buwai Bulan, Marga Suwai-Umpu dan Marga Buwai Aji.
Setelah marga marga teritorial dihapus pada tahun 1952, maka keluarga
keluarga Tulangbawang kembali dan tetsp mempertahankan susunan kekerabatannya
yang geneologisnya patrilinial di mana masing masing keluarga di bawah punyimbang
(pun = yang dihormati, nyimbang = yang meneruskan), yaitu anak tertua sebagai lelaki
kepala keluarga/rumah tangga dalam satu kesatuan ‘Nuwow Balak’ (rumah besar)
dalam 5-7 generasi. Pemerintahan kekerabatan lebih banyak didasarkan pada
musyawarah mufakat kerabat ‘adik warei’ (adik beradik bersaudara lelaki) dan
cenderung meninggalkan ‘adat pepadun’ (pe-padu-an = pertemuan) kesatuan marga-
marga.

10| Makalah antropologi hukum


Dari berbagai macam perselisihan atau persengkataan yang terjadi, kebanyakan
adalah persengkataan perkawinan, yaitu ‘sebambangan’ atau ‘kawin lari’. Apabila terjadi
persengketaan yang bertindak adalah ‘juru damai’ dalam menyelesaikan perselisihan
antara kedua belah pihak adalah ‘Punyimbng Nuwow’ (Kepala Rumah Tangga Besar)
atau ‘Punyimbang Buwar’ (Pemimpin Satu Keturunan) dalam satu kesatuan ‘Nuwow
Balak’ (Rumah Kerabat), atas dasar musyawarah antar kerabat.
Bentuk perkawinan yang berlaku adalah ‘patrilokal’, dimana setelah kawin, istri
masuk dalam kekerabtan adat suami. Perkawinan yang ideal adalah bentuk ‘kawin
lamar’ dengan pembayaran uang jujur 24 real (Rp 24.000,- sampai dengan RP
2.400.000 ,-). Terjadinya sebambangan antara lain dikarenakan, sulitnya acara
perkawinan lamar, banyaknya permintaan dari pihak wanita termasuk uang jujur yang
tinggi, dan karena sebab sebab lain yang memalukan keluarga (misalnya gadis sudah
hamil). Setiap terjadinya kawin lari berakibat timbulnya perselisihan di antara kedua
pihak yang harus diselesaikan dengan baik dan damai, agar keseimbangan yang
terganggu dapat rukun dan tenang kembali.
Berdasarkan sumber yang ada, tata tertib adat penyelesainnya sebagai berikut :

1. Tata cara gadis belarian


a. Gadis yang akan menempuh jalan pergi bersuami dengan cara harus
berangkat dari rumah orang tuanya, siang atau malam, tidak boleh dari
temat lain.
b. Dia harus meninggalkan surat yang isinya meminta ampun dan maaf
kepada orang tuanya dan menybutkan nama pemuda dan orang tuanya
atau kerabatnya dengan alamat yang jelas, dan menyatakan bahwa
kepergiannya itu atas kehendaknya sendiri bukan karena tekanan,
ancaman atau paksaan.
c. Dai rumahnya menuju ke tempat pemuda calon suaminya, dapat berjalan
sendiri, atau membawa eman atau ditemani wanita anggota kerabat pria.
d. Di tempat pria dia harus dinaikkan ke Rumah Punyimbang atau rumah
paman si pemuda (di masa sekarang kadang kadang langsung ke rumah
orang tua calon suaminya), yang diterima oleh ibu (istri punyimbang)
dengan sedikit upacara adat (upacara cebuk kukut, membersihkan kaki
dengan air bunga).
2. Mengantar Kesalahan
a. Setelah si gadis berada di tempat kediaman pria, Punyimbang segera
mengumpulkan anggota kerabat, untuk menjaga keamanannya dan
berembuk untuk mengirim utusan ke tempat kediaman punyimbang atau
orang tua/kerabat gadis.
b. Anggota kerabat yang ditunjuk menjadi utusan (biasanya menantu atau
ipar dari si pemuda) harus sudah menyampaikan ‘tali pengendur’
(pengenduran senjata) atau mengantar kesalahan, berupa sebuah keris
terapang (atau keris biasa) kepada punyimbang dari pihak wanits dalam
waktu 1 x 24 jam di dalam kota , jika rumah gadis di dalam kota, atau
paling lambat 3 x 24 jam di luar kota, jika rumah gadis jauh di luar kota.

11| Makalah antropologi hukum


c. Sampai di tempat Punyimbang gadis, utusan menyampaikan keris itu
dengan hormat dan sopan kepada punyimbang atau kerabat gadis,
dengan menyatakan ‘Maaf, jika tuan tun ada kehilangan gadis, dia
sekarang berada di tangan Punyimbang si pemuda (sebut gelar dan
alamatnya yang jelas) dan mohon kesediaan menerima kedatangan
utusan tua tua adat pihak bujang guna berunding dalam penyelesaian
masalahnya.
d. Jika si gadis bukan orang Tulangbawang atau orang Lampung beradat
pepadun, misalnya orang orang Lampung pesisir atau suku lain, maka
utusan dalam mengantar kesalahan itu harus meminta bantuan kepala
kampung tempat kediaman gadis.
e. Punyimbang atau anggota kerabat pihak gadis yang menerima tali
pengendur, setelah menerima keris tadi, segera mengumpulkan anggota
kerabat dan atau memberi tahu orang tua gadis dengan menunjukkan
keris antaran salah itu.
3. Penyelesaian Damai.
a. Selama pihak gadis belum memberi kabar tentang kemungkinan waktu
berunding kepada pihak pihak bujang, maka selama itu si gadis dan si
bujang tidak boleh dinikahkan. Selama itu pihak bujang berusaha
menyejukkan hati orang tua/kerabat gadis dengan mengirimkan bahan
makanan, ikan besar dan lauk pauknya.
b. Apabila sudah ada yang datang dari pihak gadis, misalnya dik wanita si
gadis, ke tempat gadis berada, misalnya membawa pakaian hariannya,
itulah pertanda baik, dan biasanya tidak lama telah ada berita dari pihak
gadis tentang waktu yang disediakan pihak gadis untuk membuka
perundingan.
c. Sebelum waktu perundingan, pihak pria sudah harus mengirimkan bahan
makanan untuk persiapan dalam acara pertemuan yang akan diadakan
antara dua pihak bertempat di balai adat atau di rumah punyimbang atau
rumah orang tua si gadis. Adakalanya sebelum berunding sudah dapat
diketahui syarat syarat yang akan diminta dan harus dipenuhi oleh pihak
kerabat pria.
d. Pada hari dan waktu yang telah ditentukan oleh pihak kerabat wanita,
maka utusan kerabat pihak pria yang terdiri dari Punyimbang, tua tua
kerabat (adat) pria dan wanita, bujang dan gadis datang berkunjung ke
tempat kediaman orang tua gadis. Mereka diterima oleh pengelaku
(pengatur acara), punyimbang, tua tua kerabat (adat) pihak gadis dan
juga mulei-mengenai (bujang gadis).
e. Di dalam pertemuan itu baik pihak wanita, maupun pihak pria, semua
berpakaian adat, kaum wanita memakai sarung kebaya atau baju kurung
berkudung menutup aurat, dan kaum pria berpakaian jas, atau teluk
belanga, bersarung dan berkopiah. Kaum wanita duduk di serambi dalam
dan kaum pria duduk di serambi luar. Sedangkan mulei-menganai di
serambi belakang atau disamping rumah
f. Pertemuan ini yang disebut ‘pepung’ atau ‘meserawat’ dibuka oleh
pengelaku pihak wanita dengan memperkenalkan anggota kerabatnya
yang hadir, mulai dari punyimbang dan tua tua kerabat baik menurut

12| Makalah antropologi hukum


pertalian darah, pertalian perkawinan atai pertalian adat. Begitu pula
pengelaku sebagai juru bicara dari pihak pria akan menyambut dan
memperkenalkan semua anggota kerabat yang hadir.
g. Seperti halnya dalam acara ‘kawin lamar’, begitu pula dalam acara
perundingan ‘kawin lari’, pembicaraan berkisar pada hal – hal berikut ;
- Persyaratan adat
- Uang permintaan dari pihak wanita
- Waktu, tempat dan upacara perkawinan
- Adakalanya orang tua gadis meminta agar anak gadisnya
dikembalikan untuk dilaksanakan pernikahan di rumahnya
Demikian antara lain mengenai cara penyelesaian perselisihan kawin lari/kasus
sengketa yang ada di masyarakat adat Lampung. Bukan tidak pernah terjadi
penyelesaian perselisahan yang dimaksud gagal, yang dicampuri oleh pihak
kepolisian dan diteruskan menjadi perkara di pengadilan negeri.

13| Makalah antropologi hukum

Anda mungkin juga menyukai