Anda di halaman 1dari 22

~ TRADISI TULIS KEAGAMAAN KLASIK: MENGUAK HARMONI TEKS DAN KONTEKS ~

Nilai-Nilai Luhur Perilaku Masyarakat


dalam Manuskrip Oendang-Oendang
Adat Krui, Lampung
Saeful Bahri
Balai Litbang Agama Jakarta
(Ustsaefulb@gmail.com)

Pendahuluan
Lampung dikenal dengan julukan ”Sai Bumi Ruwa Jurai”,
yang artinya satu bumi yang didiami oleh dua macam
masyarakat (suku/etnis), yaitu masyarakat Pepadun dan Sai
Batin (Danardana, 2008: 19). Masyarakat Pepadun adalah
masyarakat yang mendiami bagian tengah dan pedalaman
Lampung, seperti Tulangbawang (Migo Pak), Abung (Abung
Siwo Migo), Sungkay-Way, Kanan, dan Pubian (Pubian Telu
Suku), dan Buay Lima. Masyarakat-masyarakat adat Pepadun
ini sekarang banyak mendiami wilayah-wilayah Kabupaten
Lampung Timur, Lampung Tengah, Lampung Utara, Way
Kanan dan Mesuji. Sedangkan masyarakat Sai Batin adalah
masyarakat yang mendiami daerah pesisir pantai, seperti
wilayah Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Pesisir
Barat, Kabupaten Lampung Barat, Way Lima di Kabupaten
Pesawaran, Kabupaten Tanggamus dan Teluk Betung di Bandar
Lampung (BPS Provinsi Lampung, 2001: xxxix; Hidayah, 2015:
205; Iswanto, 2016: 108).

~ 101 ~
~ NILAI-NILAI LUHUR PERILAKU MASYARAKAT DALAM MANUSKRIP ~

Perbedaan yang mendasar dari dua masyarakat adat


tersebut adalah mengenai status dan gelar seorang pemimpin/
raja adat. Bagi adat Sai Batin, dalam generasi (masa/periode)
kepemimpinan hanya mengenal satu orang raja adat yang
bergelar sultan (suttan). Hal itu sesuai dengan istilahnya yaitu
Sai Batin (satu orang junjungan). Seorang Sai Batin adalah
seorang sultan berdasarkan garis lurus sejak zaman keratuan
di Lampung dahulu kala. Adapun dalam kelompok masyarakat
Pepadun (Singgasana) dikenal kepala-kepala adat yang
disebut dengan Punyimbang dengan gelar sultan (suttan).
Namun sultan ini juga dapat memberikan gelar sultan kepada
siapa saja dalam masyarakat adat asalkan dapat memenuhi
syarat-syarat dalam pesta adat cakak Pepadun (naik tahta/
singgasana).
Mengacu pada istilah lain dalam disiplin sosiologi (Iswanto,
2016: 108) dalam kajiannya menyebutkan bahwa posisi raja
adat dalam masyarakat adat Sai Batin adalah sebuah status
yang diwariskan (ascribed status), sedangkan raja adat dalam
masyarakat adat Pepadun adalah status yang dinilai dan diukur
pada kemampuan dalam kontrak sosial dalam sidang adat.
Masyarakat Lampung memiliki lima prinsip hidup yang
menjadi falsafah hidup kedua masyarakat adat tersebut,
yaitu pi’il senggiri, Sakai sembayan, nemui nyimah, Nengah
nyappur, dan bejuluk beadek (Danardana, 2008: 19-18).
pi’il senggiri adalah prinsip yang mengedepankan harga
diri dalam berperilaku untuk menegakkan nama baik dan
martabat pribadi maupun kelompoknya. Sakai sembayan
adalah prinsip hidup yang mengedepankan gotong royong,
tolong menolong, bahu membahu dan saling memberi.
Nemui nyimah adalah prinsip hidup yang mengedepankan
kemurahan hati dan ramah tamah terhadap semua pihak yang
berhubungan dengan mereka. Nengah nyappur adalah prinsip
hidup yang mengedepankan keterbukaan dan bejuluk beadek
adalah pemberian gelar kepada masyarakat Lampung yang

~ 102 ~
~ TRADISI TULIS KEAGAMAAN KLASIK: MENGUAK HARMONI TEKS DAN KONTEKS ~

didasarkan pada tata ketentuan pokok yang selalu diikuti (Titei


Gemattei). Ketentuan tersebut menghendaki agar seseorang
di samping mempunyai nama yang diberikan orang tuanya,
juga diberi gelar oleh orang dalam kelompoknya sebagai
panggilan terhadapnya. Bagi orang yang belum berkeluarga
diberi juluk (bejuluk) dan setelah ia menikah akan diberi adek
(beadek).
Lima prinsip tersebut mencerminkan masyarakat
Lampung memiliki tatanan sosial yang bersendikan pada
keluhuran nilai-nilai adat. Hal tersebut relevan dengan sebuah
manuskrip (copy digitalnya) yang berhasil ditemukan peneliti
dari seorang pemerhati manuskrip yaitu saudara Arman Az.
Manuskrip tersebut berjudul “Undang-Undang Adat Krui”.
Manuskrip ini berisi tentang aturan adat masyarakat Krui. Krui
merupakan ibu kota kabupaten Pesisir Barat yang pada masa
lampau menjadi bagian dari wilayah Lampung Barat.
Manuskrip ini dipilih oleh peneliti untuk dijadikan objek
penelitian karena manuskrip ini mengangkat nilai-nilai adat
yang mempunyai nilai lokal. Sekarang ini ada fenomena
yang kuat untuk menjadikan kearifan lokal sebagai solousi
dari berbagai persoalan sosial yang muncul yang tidak bisa
diatasi dengan perangkat formal yang ada. Misalnya konflik
antar kelompok masyarakat yang tidak bisa diselesaikan
dengan institusi pemeritahan. Karenanya kehadiran tetua
adat atau tokoh masyarakat mempunyai peran strategis
dalam menyelesaikan konflik tersebut. Selain itu ada juga
nuansa membenturkan antara agama dan adat atau budaya,
seolah olah adat bertentangan dengan agama. Padahal ada
banyak pesan moral dan nilai filosufis yang luhur serta kritik
sosial yang disuarakan oleh tradisi lokal. Dengan dikajinya
manuskrip tersebut diharapkan dapat mengangkat citra
Lampung sebagai salah satu kantong manuskrip di Nusantara.
Tulisan ini akan mengkaji Nilai-Nilai Luhur Perilaku
Masyarakat dalam Manuskrip Oendang-Oendang Adat Krui

~ 103 ~
~ NILAI-NILAI LUHUR PERILAKU MASYARAKAT DALAM MANUSKRIP ~

dengan perspektif ajaran dan hukum Islam. Sehingga tujuan


dan manfaat dari kajian ini akan mengungkapkan berbagai
nilai-nilai luhur perilaku masyarakat bersumber pada manuskrip
Oendang-Oendang Adat Krui, Lampung yang dapat dijadikan
pedoman bagi semua masyarakat dalam kehidupan sosial-
keagamaan. Kajian tentang manuskrip Lampung tentu ini
bukan yang pertama kalinya, ada sejumlah kajian sebelumnya
di antaranya: Larangan-Larangan di Dalam Masyarakat Krui
Menurut Undang–Undang Adat Krui (Subandi: 2019). Kajian
Manuskrip Undang-Undang Adat Krui dalam Perspektif Hukum
Positif.
Inventarisasi manuskrip-manuskrip Lampung, seperti
yang dilakukan Rosadi (2018: 150) yang mengkaji manuskrip
keagamaan pada masyarakat Lampung: sebuah inventarisasi
awal. Kajian tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa
kesamaan terkait dengan judul dan isi teks yang dimiliki
masing-masing penyimpan, seperti Bahjah al-Ulum, Ilmu
Mantiq,dan Mukhtasar Syaikh al-Sanusi al-Hasani. Menurutnya
kesamaan tersebut menunjukkan bahwa teks-teks tersebut
sangat populer dan banyak dikaji oleh masyarakat sehingga
varian teks tersebut sangat banyak.
Nunuk Juli Astuti (2005) yang mengkaji perkembangan
aksara pada manuskrip Ulu Serawai dan Pasemah. Lisa Misliani
(2012) berjudul Suntingan Teks dan Telaah Gejala Melayu pada
Manuskrip Beraksara Lampung mengkaji manuskrip yang
berbahasa Melayu dengan kekhasan yang dimaknai sebagai
gejala bahasa Melayu. Kemudian pada 2001, Sarwono dalam
penelitian kisah manusia dan semesta dari masyarakat Rejang
juga membahas sedikit ihwal perkembangan huruf ka ga nga
pada masyarakat, Sumatera terutama bagian selatan. Titik
Pujiastuti (1996-1997) yang memaparkan pada persoalan
sikap masyarakat Lampung terhadap aksara dan manuskrip
milik mereka dan Sarwit Sarwono (1993) meninjau manuskrip
Juraian Beringin: Suntingan Teks dan Tinjauan Bentuk pada

~ 104 ~
~ TRADISI TULIS KEAGAMAAN KLASIK: MENGUAK HARMONI TEKS DAN KONTEKS ~

Aksara Ulu dan Rumpunnya. Kajian ini ingin mengisi ruang


yang kosong dalam konteks manuskrip Lampung secara
umum dan manuskrip Oendang-Oendang Adat Krui secara
khusus dalam perspektif Hukum Islam.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analisis dengan
pendekatan yuridis normatif yakni analisis terhadap manuskrip
Oendang-Oendang Adat Krui dengan Perspektif Hukum Islam.
Adapun langkah-langkah Penelitian, penelusuran manuskrip
yang akan dijadikan bahan kajian sebagai sumber primer,
menginventarisasi sejumlah literatur sebagai sumber sekunder
untuk menganalisis manuskrip yang dikaji dan menganalisis
Manuskrip Oendang-Oendang Adat Krui untuk melihat
kaitannya dengan hukum Islam.

Manuskrip Oendang-Oendang Adat Krui,


Lampung
Kabupaten Pesisir Barat memiliki julukan “Negeri Para Sai
Batin dan Ulama”. Maksud yang tersirat dari julukan ini adalah
adat dan agama saling berdampingan, tidak bisa dilepaskan
satu sama lain. Keduanya menjadi pranata sosial di Pesisir Barat.
Sebagai daerah muda yang masih terus membangun, masih
banyak warisan sejarah dan budaya Pesisir Barat, yang belum
terekspos ke level nasional, seperti tarian, tradisi lisan, kuliner,
termasuk ihwal manuskrip. Dalam konteks permanuskripan,
dengan semboyan seperti di atas, idealnya Pesisir Barat
memiliki banyak manuskrip atau manuskrip, beraksara Jawi
arab gundul) maupun aksara kaganga. Para alim ulama
tentu menggunakan medium kertas untuk mencatat atau
menyebarkan ilmu agama. Jika manuskrip-manuskrip tersebut
langka atau tidak pernah dijumpai di Pesisir Barat, hal ini patut
menjadi pertanyaan bersama (Habib dkk, 2019: 9).
Ditemukannya manuskrip ”Oendang-Oendang Adat
Krui” di Perpustakaan Leiden (Belanda) oleh saudara Arman

~ 105 ~
~ NILAI-NILAI LUHUR PERILAKU MASYARAKAT DALAM MANUSKRIP ~

(2018) menunjukkan Lampung salah satu kantong manuskrip


Nusantara yang tidak bisa dipandang remeh secara kuantitas.
Dengan penelitian ini semoga manuskrip lampung bisa dapat
lebih dikenal lagi oleh publik. Manuskrip “Oendang-Ondang
Adat Krui” tersimpan di Perpustakaan Leiden, dengan kode
manuskrip “Mal. 6807 No. 58”. Manuskrip ini ditemukan Arman
AZ saat melakukan penelitian lanjutan di Perpustakaan Leiden
tahun 2015. Selain Undang-Undang Adat Krui, dalam bundel
yang sama juga tersimpan Undang-Undang Krui (beraksara
Jawi dan beraksara Lampung, terbagi dalam dua kolom).
Manuskrip Undang-Undang Adat Krui tertulis di kertas Eropa
berukuran folio. Kondisi kertas masih baik sehingga tulisan
tangan masih bisa terbaca jelas. Manuskrip ini terdiri dari
22 halaman. Seluruh tulisan menggunakan aksara Jawi, di
beberapa bagian tertulis aksara Melayu untuk menjelaskan
pasal-pasal. Penomoran halaman juga menggunakan angka
Arab.
Di halaman terakhir manuskrip, ditemukan penjelasan
tentang penulis dan titimangsa penulisan. Manuskrip ini
ditulis oleh seseorang bernama Abdul Manaf. Dan yang cukup
mengejutkan, manuskrip ini ditulis tahun 1237 Hijriah atau
tahun 1816 Masehi. Artinya, manuskrip Undang-Undang Adat
Krui ini ditulis hampir 200 tahun silam. Di halaman pertama
manuskrip ini, ada yang cukup mengundang perhatian. Ada
kata “Jacoep” yang ditulis dengan aksara latin, sementara
aksara lainnya menggunakan aksara Jawi. Kami meyakini
Jacoep ini merujuk nama orang, “Yakup” atau “Yakub”. Apakah
Jacoep ini penduduk pribumi atau orang Belanda? Beberapa
nama lain dalam manuskrip, seluruhnya ditulis dengan aksara
Jawi. Menjadi ganjil, mengapa hanya nama “Jacoep” yang
ditulis menggunakan aksara Latin. Pada beberapa halaman,
ada kata atau frase yang masih kami ragukan kevalidannya.
Selain itu ada kata yang sudah arkais, jarang terdengar
atau jarang dipakai saat ini. Hal ini cukup menyulitkan kami

~ 106 ~
~ TRADISI TULIS KEAGAMAAN KLASIK: MENGUAK HARMONI TEKS DAN KONTEKS ~

sehingga terasa ada bagian-bagian yang “kosong’, kurang


lengkap untuk dimengerti. Dalam hal penulisan juga ada
ketidak-konsistenan penulis masnuskrip dalam menuliskan
kata-kata yang sama. Tetapi masih dapat dimengerti karena
kata tersebut menggunakan bahasa Melayu yang lazim
digunakan dalam Bahasa Indonesia saat ini. Yang menjadi
kesulitan juga adalah tidak adanya tanda baca seperti “titik”
dan “koma” sehingga menyulitkan kami sebagai pengalih-
bahasa atau pembaca yang hendak membaca kembali
manuskrip ini untuk mengerti konteks tulisan di dalam
manuskrip secara lengkap. (Habib, 2019: 13-14). Undang-
Undang Adat Krui memuat 41 (empatpuluh satu) pasal yang
berisi hukuman berupa denda-denda terhadap tindakan yang
melanggar norma masyarakat yang berlaku saat itu. Denda
itu berupa uang dalam bentuk (mata uang) real. Jika ditinjau
dengan perspektif masa kini, hampir seluruh pasal tersebut
tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Pembaca mungkin akan merasa lucu, aneh, dan janggal
menemukan kenyataan bahwa pernah ada hukuman hukuman
semacam itu. Hal-hal yang sepele dan sebenarnya bisa
diselesaikan tanpa denda, ternyata pernah menjadi “masalah”
sehingga harus dibuatkan peraturannya pada masa itu. Bahkan
di sebagian pasal, ada yang cenderung menguntungkan
pemimpin adat secara materi. Tidak ditemukan hukuman yang
lazim dipakai pada saat ini berupa penjara atau kurungan.
Maka menjadi wajar jika pasal-pasal itu tidak berlaku lagi
bahkan dilupakan masyarakat Pesisir Barat.
Yang menjadi pertanyaan juga adalah tidak ditemukannya
hukuman yang bisa diidentikkan dengan Islam. Padahal patut
diketahui bahwa suku lampung dikenal sebagai pemeluk
agama Islam. Tetapi tidak tercermin dalam hukum yang
kami alih-aksarakan ini. Contohnya tidak terdapatnya pasal
yang berkaitan dengan perzinaan. Membaca pasal demi
pasal hasil alih aksara, kita akan kebingungan karena hampir

~ 107 ~
~ NILAI-NILAI LUHUR PERILAKU MASYARAKAT DALAM MANUSKRIP ~

seluruh susunan kalimatnya terasa ganjil, tidak linier, sehingga


kita harus menafsir-menyusun ulang untuk mendapatkan
maksud kalimat. Pada beberapa halaman, pasal-pasal itu tidak
berurutan nomornya sehingga harus mencari urutan yang
tepat.
Kata yang berwarna merah dalam alih aksara, masih
diragukan karena sumber asli kurang jelas terbaca. Kita akan
menemukan aneka bentuk pelanggaran yang tercantum
dalam undang-undang tersebut, misalnya: “Mengakali
harta orang” (mencuri) baik sendiri atau berkomplot, lelaki
menyentuh perempuan yang bukan miliknya, perkelahian,
larian (melarikan gadis), jual beli, siasat jahat, perampokan
atau menyamun, gadai-menggadai, orang luar masuk dusun
tidak meletakkan barang 22 bawaannya, ihwal perceraian,
ihwal penggunaan pakaian yang tidak sesuai dengan jabatan/
kedudukan, bahkan salah tempat duduk pun menjadi penting
untuk dihukum. Termasuk urusan “naik gelar” jika seseorang
ingin mendapatkan “jabatan” (raja, keriye, atau perwatin)
harus menyerahkan sejumlah real. (Habib, 2019: 21-22).

Hukum Islam (Syari’at)


Sebelum memasuki ke pembahasan lebih lanjut, pada
bagian ini, penulis akan melakukan tinjauan umum terlebih
dahulu mengenai hukum Islam. Hal ini sangat penting untuk
mengarahkan pembahasan kajian ini pada objek kajian, yaitu
manuskrip Oendang-Oendang Hukum Adat Krui.
Tinjauan-tinjauan itu lebih kepada seluk beluk hukum
Islam dan apa saja yang berkaitan dengan objek kajian.
Pembahasan akan dimulai dari pengertian hukum Islam,
penggunaan istilah hukum Islam. Setelah terang mengenai
istilah dan ruang lingkupnya, maka diharapkan kita akan
memperoleh gambaran tentang keterkaitan antara hukum
adat dan hukum Islam seperti yang diilustrasikan dalam

~ 108 ~
~ TRADISI TULIS KEAGAMAAN KLASIK: MENGUAK HARMONI TEKS DAN KONTEKS ~

Kerangka Teori. Mujiburrahman mengatakan: Hukum syara


menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syar’i yang berkaitan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah
atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir).
Sedangkan menurut ulama fiqih hukum syara’ ialah efek yang
dikehendaki oleh kitab syar’i dalam perbuatan seperti: wajib,
haram dan mubah.
Secara etimologi, syari’at berarti jalan sedangkan menurut
istilah syari’at berarti hukum-hukum yang ditetapkan oleh
Allah kepada ummat-Nya melalui Nabi-Nya, baik hukum
yang berkaitan dengan kepercayaan (aqidah) maupun yang
berhubungan dengan amaliah. Mahmud Syaltout mengatakan
syari’at adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya
manusia berpegang teguh kepadanya di dalam berhubungan
dengan Tuhan, dengan saudaranya sesama Muslim, dan
dengan saudaranya sesama manusia serta berhubungan
dengan alam seluruhnya dan berhubungan dengan seluruh
aspek kehidupan (http://www.sarjanaku.com/2011/08/
pengertian-hukum-islam-syariat-islam.html).
Dengan demikian, hukum Islam itu adalah ketetapan
Allah Yang disampaikan melalui nabi-Nya untuk mengatur
perbuatan orang-orang yang sudah mukallaf (memenuhi
syarat menerima hukum), baik perbuatan yang berkaitan
dengan keyakinan (akidah), hukum (syari’ah) atau susila
(akhlak).

Sumber Hukum Islam


Yahya dan Fatchurrahman membagi pada 2 (dua) kategori
sumber hukum Islam (Dalil-Dalil Syara’) yaitu: Pertama, Sumber
Hukum yang Disepakati: [1] Al-Qur’an. Ia adalah kalam Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan bahasa
Arab melalui perantara malaikat Jibril. Fungsi Al-Qur’an sebagai
hujjah (argumen) atas kerasulan Muhammad dan sekaligus

~ 109 ~
~ NILAI-NILAI LUHUR PERILAKU MASYARAKAT DALAM MANUSKRIP ~

sebagai hujjah atas kebenaran risalah yang dibawanya. Dan


bagi ummat Islam (manusia) ia berfungsi sebagai pedoman
hidup untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat,
karena itu di dalamnya terdapat aturan-aturan (hukum) yang
mengatur pola hubungan antara manusia dengan Tuhannya,
dengan sesama manusia dan lingkungannya.
Kategorisasi hukum dalam Al-Qur’an terdiri dari 3 (tiga).
Pertama, hukum I’tiqadiyah. Hukum atau aturan yang berisi
tentang perbuatan orang mukallaf terkait kepercayaan
terhadap Allah sebagai tuhan dan hal-hal yang terkait
dengan persoalan ghaib. Kedua, hukum – hukum akhlak
yaitu prilaku orang mukallaf yang menghiasi dirinya dengan
sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat
tercela. Ketiga, hukum amaliah yaitu prilaku orang mukallaf
terkait dengan mu’amalah (kerja sama) sesama manusia
yang populer dengan istilah fikih. Kedua [2] As Sunnah
(al-Hadits). Ia adalah sabda Nabi Muhammad SAW berupa
perbuatan (fi’liyyah), perkataan (qauliyyah) dan persetujuan
(taqririyyah). Al-Ijma’. Ia adalah kesepakatan para mujtahid
setelah wafatnya Rasul atas sebuah persoalan hukum. Al-
Qiyas. Ia adalah sebuah upaya memutuskan sebuah persoalan
yang tidak ada nashnya tetapi persoalan tersebut memiliki
persamaan illat (sifat) dengan peristiwa yang ada nashnya.
Kedua, Sumber Hukum yang belum Disepakati. [1] Al
Istihsan, ia adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk
menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar-samar). atau
meninggalkn hukum yang kulli menjalankan hukum istisna’
(pengecualian), karena ada dalil yang menurut logika bisa
dibenarkan. [2] Mashalihul Mursalah. Ia adalah kemaslahatan
yang tidak ada dalil syara’nya. Urf; Ia adalah apa-apa yang
telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus
menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan. Istishhab;
ia adalah sebuah proses penetapan hukum menurut keadaan
yang terjadi sebelumnya, sampai ada dalil yang merubahnya.

~ 110 ~
~ TRADISI TULIS KEAGAMAAN KLASIK: MENGUAK HARMONI TEKS DAN KONTEKS ~

Syari’at Ummat Sebelum Islam dan Madzhab Sahabat (Yahya,


1986: 31-116). Berbeda dengan Asy-Syurbasi, ia hanya
menyebutkan 6 (enam ) saja sumber hukum Islam yaitu: Al-
Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’, Qiyas, Istihsan, Al-Masalih Al-
Mursalah, dan Urf (Asy-Syurbasi, 2008: 7-8).

Analisis Manuskrip
Halaman 1 (satu) manuskrip ini terdapat penjelasan
seperti ini:
“Bahwa inilah Kitab Hukum yang punya dia supaya tuan-
tuan maklum Raden Rayakartatadiga Baskara, datuk
Raden Bengawan Krui, ada Tuan yang punya Jacoeb. surat
dari orang Batuberak warga di Pulau Pisang berbini ada
rajanya berkebun di Kuniy dengan berkebun pisang; dan
sembahyang serta mengajar anak kecil, mengajar Qur’an
di Pulau Pisang dahulu sekarang sudah mati niyan adanya”
(Habib, 2019: 24).
Paragraf di atas mennginformasikan nama pemilik
manuskrip, Hislat Habib dkk (pengalih aksara) menduga
manuskrip ini sempat berpindah-pindah kepemilikan dari
mulai Raden Rayakartatadigda Baskara, lalu ke Datuk
Raden Bengawan Krui, dan ke Tuan Jacoeb. Si pemilik
manuskrip memperoleh manuskrip ini dari orang Batuberak
namanya Abdul Manaf seorang Petani Pisang di Kuniy. Dia
seorang Muslim yang mengerjakan sembahyang (salat) dan
mengajarkan Al-Qur’an. Titimangsa (ditulis) manuskrip ini
pada tahun 1237 H (1816 M), itu artinya manuskrip ini sudah
ditulis 200 tahun yang silam (Habib dkk, 2019: 14).
Dari informasi di atas dapat dinyatakan Islam sudah ada
kurang lebih 200 tahun yang lalu di Pesisir Barat Lampung.
Dan dari semboyan Kabupaten Pesisir Barat dengan ibu kota
kabupaten Krui menunjukkan keterkaitan yang sangat erat
antara Islam dan Adat. Semboyan tersebut adalah: ”Negeri
Para Sai Batin dan Ulama”.

~ 111 ~
~ NILAI-NILAI LUHUR PERILAKU MASYARAKAT DALAM MANUSKRIP ~

Halaman 2:
“Pasal yang pertama pada menyatakan salah berapa
perkara yang bernama salah jawab; adapun yang bernama
salah itu empat perkara; pertama-tama salah kepada
Bumi; kedua, salah kepada Air; ketiga, salah kepada Orang;
keempat, salah kepada Harta. Adapun salah yang empat itu
dijadikan lima,adapun salah yang lima itu; jawab, adapun
nama salah yang lima itu tamak dengan namanya seperti
salah di bumi adapun dendanya itu 50-lima puluh real;
itulah hukumnya mula tersebu Inilah Pasal Yang kedua
perkara, adapun salah kepada Air tamak juwa namanya;
adapun dendanya 50-lima puluh real, itulah hukumnya”.
(Habib, 2019: 24).
Pasal pertama Oendang-Oendang Adat Krui menyebutkan
beberapa larangan (salah) diantaranya, salah kepada bumi,
salah kepada air, salah kepada orang, salah kepada harta.

Salah kepada Bumi


Al-Qur’an menyebutkan fungsi bumi bagi manusia sebagai
tempat ia menetap (tinggal) dan sumber penghidupan

‫ولقد مكناكم فئ االرض وجعلنا لكم فيها معاييش‬


Artinya:
Dan sungguh Kami telah menempatkan kamu di bumi dan
Kami sediakan sumber penghidupan untukmu (QS al-A’raf: 10)
(Departemen Agama, 2006: 204).

Hal di atas selaras dengan teori ekologi manusia


dengan lingkungannya (Merchant, 1996) yaitu manusia
sebagai masyarakat adat berhak untuk mengeksplorasi dan
mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di sekitarnya
yang merupakan wilayah adatnya (hak ulayat), seperti: tanah,
air, tumbuh-tumbuhan dan hewan (Martua Sirait dkk, 2000: 4).
Eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh manusia
terhadap bumi (tanah) secara berlebihan yang di dorong
oleh nafsu serakah (tamak) akan menjerumuskan manusia
melakukan kesalahan kepada bumi. Artinya eksplorasi

~ 112 ~
~ TRADISI TULIS KEAGAMAAN KLASIK: MENGUAK HARMONI TEKS DAN KONTEKS ~

dan eksploitasi secara berlebihan dapat menghilangkan


keseimbangan di bumi, hilangnya keseimbangan dapat
memicu munculnya bencana alam. Eksplorasi dan eksploitasi
yang dilakukan manusia dapat dibenarkan dalam batas untuk
memenuhi kesejahteraannya.
At Tawazun (menjaga keseimbangan) adalah merupakan
karakter hukum Islam, Allah menyatakan dalam firman-Nya
bahwa Ia tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan
dan Ia tidak menyukai perbuatan yang melampaui batas.
Kemampuan dan kesadaran spiritual untuk mengendalikan
nafsu dengan cara tidak tamak (rakus) dapat menyelamatkan
manusia untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat
menjerumuskan manusia kepada kesalahan yang dapat
merusak ekosistem manusia dengan lingkungannya.
Syari’at Islam tidak hanya sekedar mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya dan sesama manusia saja,
melainkan syari’at juga mengatur hubungan manusia dengan
lingkungan dan seluruh aspek kehidupannya. Dengan
demikian, keseimbangan dan keberlangsungan kehidupan
dapat berjalan secara teratur. Salah kepada bumi dalam
konteks Oendang-Oendang Adat Krui rupanya terkait dengan
transaksi kerja sama si pemilik lahan dengan penggarap,
seperti pada Pasal 29:
“Inilah pasal yang kesembilan likur, jikalau memegang
orang berbelah Sawah atau ladang jikalau tinggal di
kerjanya atawa di rumputnya atawa tiada dijaganya
dan tiada pedulikannya tiada boleh padi itu sebabnya
melainkan orang itu punya uang itu tahu (d)adanya saja
padi perbelahannya dan jikalau dianya sakit atawa mati
tiada dimintak perbelahan itu jikalau dua perkara itu
sebabnya tinggal kerjanya itulah adatnya orang berbelah
adanya.” (Habib dkk, 2019: 34).
Pasal tersebut menjelaskan tentang pola kerjasama
antara si pemilik lahan selaku pemodal (pihak pertama) dan
penggarap (pihak kedua). Pihak pertama tidak diharuskan

~ 113 ~
~ NILAI-NILAI LUHUR PERILAKU MASYARAKAT DALAM MANUSKRIP ~

melakukan pembagian hasil jika pihak kedua tidak


melaksanakan tugasnya dalam menggarap lahan tersebut.
Lahirnya pasal ini untuk menghindari agar ketertiban dalam
pola kerjasama seperti itu dapat berlangsung.
Abu Amar, menyebutkan salah satu transaksi ekonomi
dalam Islam yang menurut peneliti mirip dengan konteks
Oendang-Oendang Lampung adalah “Al-Mukhabarah” adalah
pekerjaannya orang yang mengelola (menggarap) bumi
(lahan) si malik (pemilik lahan, dengan janji upah mendapatkan
sebahagian barang yang keluar dari bumi itu, sedangkan
bijinya (benih) dari pihak amil (penggarap) (Abu Amar, 1983:
304).

Salah kepada Air: Air Sumber Kehidupan


Air merupakan kebutuhan vital bagi manusia dan makhluk
hidup lainnya di muka bumi. Indonesia negara yang beriklim
tropis karenanya keberadaan air relatif tidak menjadi masalah.
Meskipun belakangan ini fenomena krisis air terutama air
bersih sering kita jumpai. Aktifitas keseharian manusia banyak
yang melibatkan air. Sebut saja mulai minum, memasak,
mencuci, irigasi, industri sampai dengan untuk kepentingan
pembangkit energi dan sarana rekreasi.
Data historis yang menggambarkan pertumbuhan dan
peradaban besar di muka bumi berlangsung di sekitar wilayah
yang tidak jauh dengan sumber air. Misalnya Mesopotamia
sebagai pusat peradaban tertua berada di antara dua aliran
sungai besar yaitu sungai Euphrat dan sungai Tigris. Peradaban
Mesir Kuno terkait dengan Sungai Nil. Bahkan keberadaan
kota-kota besar di dunia dewasa ini berada di sekitar aliran
sungai yang difungsikan sebagai sarana transportasi,
misalnya: Rotterdam, London, Paris, New York dan lain-lain.
Di dalam Islam air difungsikan sebagai sarana untuk bersuci
(thaharah), dengan kata lain air termasuk salah satu unsur

~ 114 ~
~ TRADISI TULIS KEAGAMAAN KLASIK: MENGUAK HARMONI TEKS DAN KONTEKS ~

yang dapat menjamin keabsahan sebuah ibadah misalnya


shalat. Berwudlu dan mandi junub adalah dua aktifitas bersuci
yang menggunakan air.
Tidak kurang dari 200 ayat yang di dalamnya terdapat
kata ‫( املاء‬air). Sejumlah ayat tersebut menjelaskan tentang
berbagai fungsi air baik terkait dengan kebutuhan manusia
maupun terkait dengan fenomena alam. Misalnya: asal mula
kejadian manusia, penopang kehidupan makhluk hidup, sarana
transportasi. Tidak hanya itu Allah juga menggambarkan
bagaimana Allah Mengadzab hamba-Nya yang durjana
dengan menenggelamkannya atau menghempaskannya
dengan kekuatan air. Ummat Nabi Nuh, Fir’aun dan kaum
Saba dan masih banyak ummat lainnya yang dimusnahkan
dengan dahsyatnya air. Selain siksaan Allah juga memberi
kabar gembira tentang indahnya taman di Syurga yang dialiri
dengan sungai yang jernih. (LPMQ Kementerian Agama RI,
2011: 1-3).

Krisis Air dan Fenomena Global


Krisis air adalah istilah lain yang menggambarkan
mengurangnya persediaan air untuk kebutuhan manusia.
Ketika fenomena itu terjadi maka keberlangsungan kehidupan
makhluk hidup dapat terancam. Hal tersebut mengingat
fungsi air yang sangat vital bagi keberlangsungan kehidupan
makhluk hidup. Apakah lahirnya Oendang-Oendang Adat Krui
lahir karena pernah terjadi krisis air? Tidak ada informasi yang
menggambarkan situasi itu, baik dari manuskrip tersebut
maupun literatur yang lainnya. Namun bisa saja situasi itu
pernah terjadi di Krui pada saat itu, karena fenomena krisis
air bukan fenomena yang baru. Al-Qur’an menginformasikan
pada masa nabi Yusuf wilayah Mesir, Palestina dan sekitarnya
pernah dilanda variabilitas iklim. Dan sekarang krisis air

~ 115 ~
~ NILAI-NILAI LUHUR PERILAKU MASYARAKAT DALAM MANUSKRIP ~

melanda negara-negara yang beriklim kering seperti: Sudan,


Venezuela, Zimbabwe, Tunisia dan Kuba.
Di Indonesia yang sering dijumpai adalah krisis air bersih
yang layak untuk dikonsumsi. Biasanya hal ini terjadi di daerah
lahan gambut, genangan airnya terlalu tinggi kadar asam
organiknya. dan di daerah pesisir dan muara. Dangkalnya
permukaan air di wilayah ini menyebabkan terjadinya intrusi
atau limpahan air dari laut ke sumber-sumber air di wilayah
muara dan pesisir. Krisis air bersih juga terjadi di wilayah urban
yang padat penduduk. Padatnya penduduk serta intensifnya
aktifitas melahirkan limbah yang pekat. Dengan keterbatasan
lahan maka air yang tercemar limbah ini tidak dapat mengalir,
maka air tersebut dengan rembesannya mencemari air tanah
yang selama ini dikonsumsi oleh masyarakat. Penyebab Krisis
Air dapat terjadi karena beberapa hal berikut ini: ketersediaan
sumberdaya air tawar yang semakin menipis, terjadinya
kenaikan kebutuhan air karena pertumbuhan jumlah
penduduk dan juga karena perubahan iklim yang dipengaruhi
oleh pemanasan global.
Krisis air global ini telah mendorong berbagai pihak
melakukan langkah–langkah antisipasi untuk menghindari
atau setidaknya meminimalisir agar krisis tersebut tidak
terlalu patal. Para ahli merumuskan pada perubahan sikap dan
tindakan yang dapat digolongkan kepada 3 (tiga) golongan
yaitu: (1). Pengelolaan atau manajemen sumber daya air,
(2). Perubahan prilaku konsumsi aie, (3). Teknologi baru
penyediaan air bersih. Upaya-upaya tersebut harus dilakukan
oleh semua pihak secara terintegrasi, dari mulai individu,
masyarakat negara dan lembaga internasional.
September 2010 PBB mendeklarasikan hak dasar atas
air (right to water) dan sanitasi sebagai bagian dari hak
azasi manusia (human rights), yaitu setiap individu berhak
mendapatkan akses atas air yang aman untuk dikonsumsi
(bersih) cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar (pribadi

~ 116 ~
~ TRADISI TULIS KEAGAMAAN KLASIK: MENGUAK HARMONI TEKS DAN KONTEKS ~

dan domestik) hidupnya (kira-kira 50 L/kapita/hari), deklarasi


ini diikuti oleh 122 negara. (LPMQ Kementerian Agama RI,
2011: 123-124). PBB sebagai lembaga Internasional terbesar
mendeklarasikan air sebagai bagian dari kebutuhan azasi
setiap individu, sedangkan orang Krui sudah merumuskannya
200 tahun yang silam dalam mensikapi fenomena yang
mungkin secara substantif sama yakni krisis air. Hal ini dapat
dijadikan argumen sebenarnya fenomena alam bisa saja terjadi
secara berulang-ulang. Tugas manusia adalah setidaknya
meminimalisir resiko yang dilahirkan oleh sebuah fenomena
alam.
Islam sebagai syariat telah memberikan tuntunan agar
manusia dapat terhindar dari bencana yang bisa muncul
karena ulah manusia yang serakah (tamak), dalam Al-Qur’an
sudah dijelaskan:

‫ن لواستقاملوا ىلع الطريقة السقيناهم ماء غدقا وا‬


Artinya:
Dan seandainya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu
(agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan kepada mereka
air yang cukup. (QS al-Jin: 16) (Kementerian Agama RI, 2006:
844).

Butir ke dua dari pasal pertama Oendang-Oendang Adat


Krui membahas tentang hukuman atas prilaku pelanggaran
(salah) individu dalam memanfaatkan air. Secara teoritik
sebuah aturan tidak lahir dalam ruang hampa. Dugaan
peneliti kala itu mungkin fungsi air untuk masyarakat Krui
disamping untuk kebutuhan rumahan ada kebutuhan air
untuk kepentingan irigasi (pertanian), karena pada pasal 29
seperti dikutip di atas ada informasi yang menggambarkan
kehidupan masyarakat Krui kala itu. Peneliti menduga teks
ini konteknya adalah dengan pola masyarakat Krui kala itu
dalam menggunakan air untuk kepentingan irigasi (pengairan
pertanian), ini ada korelasinya dengan si penulis manuskrip
ini yaitu Abdul Manaf orang Batu berak petani Pisang yang

~ 117 ~
~ NILAI-NILAI LUHUR PERILAKU MASYARAKAT DALAM MANUSKRIP ~

tinggal di kampung Kuniy. Itulah data penulis yang tercatat


di halaman depan manuskrip. Apa yang ia tuliskan bisa jadi
persoalan yang ia hadapi atau persoalan yang sedang terjadi
di sekitarnya.
Subandi juga menyatakan hal yang sama dengan peneliti,
menurutnya informasi tentang pasal 2 butir “ salah kepada
air” sangat minim di dalam manuskrip ini. Menurutnya pasal
ini terkait penertiban penggunaan air masyarakat Krui untuk
kebutuhan pertanian seperti: sawah, ladang dan perikanan
(Subandi, 2019: 33).

Kontekstualisasi 2 (dua) Pasal dengan Adat dan


Agama
Dua pasal yang dimaksud adalah salah kepada bumi
(tanah) dan salah kepada air. Dua isu ini menjadi isu sentral
tidak hanya untuk masyarakat Krui di masa lalu, Tetapi isu
itu masih aktual, karena isu itu menyangkut kebutuhan dasar
setiap individu. Masyarakat Lampung mempunyai 5 (lima)
falsafah hidup. Pi’il senggiri, Sakai sembayan, nemui nyimah,
Nengah nyappur dan bejuluk beadek, 2 (dua) dari yang lima
itu yaitu pi’il senggiri dan Sakai sembayan ada relevansinya
dengan dua pasal di atas (salah kepada bumi dan air). Pi’il
senggiri adalah prinsip yang mengedepankan harga diri dalam
berperilaku untuk menegakkan nama baik dan martabat
pribadi maupun kelompoknya Sakai sembayan adalah
prinsip hidup yang mengedepankan gotong royong, tolong
menolong, bahu membahu dan saling memberi.
Falsafah pi’il senggiri dan Sakai sembayan adalah hasil
cipta karsa dan olah rasa masyarakat Lampung melalui proses
pembiasaan yang berulang-ulang hingga diyakini sebagai
nilai-nilai luhur (kebudayaan) dan diyakini sebagai doktrin
kebenaran. Keyakinan dan kebenaran adalah merupakan
kekuatan agama yang bersifat universal, dengan keyakinan

~ 118 ~
~ TRADISI TULIS KEAGAMAAN KLASIK: MENGUAK HARMONI TEKS DAN KONTEKS ~

bahwa pi’il senggiri dan Sakai sembayan adalah sebuah


kebenaran maka ia dijadikan falsafah hidup oeh masyarakat
Lampung. Di sinilah teori sosiologi agama Thomas F. Odea
menemukan relevansinya (agama sebagai sentral kebudayaan).
Kerja sama antara pemilik lahan dan penggarap dengan
pola bagi hasil adalah merupakan sifat terpuji yang sangat
dianjurkan Allah dan ini selaras dengan filosofi orang
Lampung, yaitu Sakai sembayan yang mengedepankan budaya
gotong royong, saling bahu membahu dan saling memberi.
Pengkhianatan terhadap akad transaksi yang dilakukan oleh
salah satu mereka yang bertransaksi yaitu pemilik lahan dan
penggarap, hanya akan menjatuhkan harga diri (pi’il senggiri).
Perbuatan tersebut dalam agama termasuk dalam kategori
perbuatan tercela. Pengkhianatan terhadap perjanjian itu
(akad kerja sama) dipicu oleh sikap tamak (rakus).
Dalam konteks pemakaian air untuk kepentingan irigasi
pertanian. Krui merupakan daerah pesisir, ketersediaan air
tawar mungkin terbatas maka sikap saling tolong menolong
sesama petani dalam pembagian air (Sakai sembayan),
tradisi yang harus ditumbuhkan. Mengapa harus ada aturan?
Kejahatan ada di dunia ini seiring dengan adanya manusia.
Keinginan melakukan kejahatan inheren dalam diri setiap
individu. Karena manusia memiliki nafsu dalam konteks
manuskrip ini “tamak”. Sifat tamak ini dapat menjerumuskan
manusia melakukan pelanggaran baik terhadap bumi (tanah)
maupun terhadap air (salah kepada bumi dan salah kepada
air).

Penutup
Manuskrip merupakan warisan leluhur, tidak sedikit di
dalamnya terdapat ajaran leluhur yang mempunuai nilai
luhur. Sangat disayangkan jika kita sebagai pewaris tidak bisa
mengambil manfaat dari warisan tersebut.

~ 119 ~
~ NILAI-NILAI LUHUR PERILAKU MASYARAKAT DALAM MANUSKRIP ~

Lampung termasuk wilayah yang kaya akan manuskrip,


namun sayang informasi tentang manuskrip Lampung sangat
minim. Hal itu disebabkan oleh: (1) Pemilik manuskrip yang
masih memandang manuskrip sebagai benda keramat.
Sehingga ia tidak mau membukanya untuk orang lain; (2.
Sedikitnya orang yang bisa membaca manuskrip Lampung
yang ditulis menggunakan aksara Ka-ga-nga.
Kajian terhadap manuskrip “Oendang-Oendang Adat Krui”
bagian dari upaya mempublikasikan manuskrip Lampung
yang secara substantif punya basik lokal yang sangat kental
dan tema yang diangkat juga masih tetap aktual. Manuskrip
ini ditulis oleh seorang petani pisang di daerah Batu berak,
salah satu wilayah di Lampung Barat. Lampung hingga saat
ini termasuk daerah perodusen pisang. Disamping itu dia juga
sebagai seorang Muslim yang taat dan seorang guru yang
mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anak.
Isu yang diangkat dalam manuskrip ini yang dikaji baru
dua pasal dari 41 pasal yang ada di dalam manuskrip ini. Dua
pasal tersebut pasal salah kepada bumi dan pasal salah kepada
air. Dua pasal ini menggambarkan kehidupan masyarakat
Krui yang bergerak di bidang pertanian. Hal tersebut peneliti
simpulkan setelah melihat beberapa pasal, seperti yang telah
dijelaskan dalam pembahasan. Dua isu ini masih aktual hingga
saat ini. Karena dua hal ini merupakan kebutuhan mendasar
setiap individu.
Manuskrip ini mencerminkan prilaku masyarakat Lampung
yang menjunjung nilai nilai luhur yang dirangkum dalam
5 falsafah hidup orang Lampung. Lima prinsip hidup yang
menjadi falsafah hidup kedua masyarakat adat tersebut, yaitu
pi’il senggiri, Sakai sembayan, nemui nyimah, Nengah nyappur
dan bejuluk beadek (Danardana, 2008: 19-18).
Pi’il senggiri adalah prinsip yang mengedepankan harga
diri dalam berperilaku untuk menegakkan nama baik dan
martabat pribadi maupun kelompoknya. Sakai sembayan

~ 120 ~
~ TRADISI TULIS KEAGAMAAN KLASIK: MENGUAK HARMONI TEKS DAN KONTEKS ~

adalah prinsip hidup yang mengedepankan gotong royong,


tolong menolong, bahu membahu dan saling memberi.
Nemui nyimah adalah prinsip hidup yang mengedepankan
kemurahan hati dan ramah tamah terhadap semua pihak yang
berhubungan dengan mereka. Nengah nyappur adalah prinsip
hidup yang mengedepankan keterbukaan dan bejuluk beadek
adalah pemberian gelar kepada masyarakat Lampung yang
didasarkan pada tata ketentuan pokok yang selalu diikuti
(Titei Gemattei).
Ketentuan tersebut menghendaki agar seseorang di
samping mempunyai nama yang diberikan orang tuanya,
juga diberi gelar oleh orang dalam kelompoknya sebagai
panggilan terhadapnya. Bagi orang yang belum berkeluarga
diberi juluk (bejuluk) dan setelah ia menikah akan diberi adek
(beadek). Nilai-nilai Islam yang terkandung di dua pasal yang
dikaji adalah: konsisten dengan perjanjian, bekerjasama dalam
kebaikan, dan larangan bersifat tamak (rakus).

Daftar Pustaka
Asy- Syurbasi, Ahmad. (2008). Sejarah dan Biografi Empat
Imam Madzhab. (terj). Amzah: Jakarta.
Abu Amar, Imron. (1983). Fathul Qarib (terj). Kudus: Menara
Kudus.
Agama, Departemen. (2006). Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Jakarta: Dirjen Bimas Islam.
Agama, Kementerian. (2011). Air dalam Perspektif Al-Qur’an
dan Sains. Jakarta: LPMQ Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI.
Anwar, Marzani, (2008). Peran Lembaga Adat dalam Pelestarian
Nilai-Nilai Keagamaan. Jakarta: Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama Jakarta.
Danardana, Agung Sri., (2008). Persebaran Bahasa-Bahasa
di Provinsi Lampung. Lampung: Kantor Bahasa Provinsi
Lampung.

~ 121 ~
~ NILAI-NILAI LUHUR PERILAKU MASYARAKAT DALAM MANUSKRIP ~

Djazuli, A., (2000). Fiqih Jinayah. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.
F. Odea, Thomas., (1996). Sosiologi Agama Suatu Pengenalan
Awal. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Habib, Hislat dkk. (2019). Alih Aksara Undang-Undang Krui.
Lampung.
Hisyam, M. (2012). Sejarah Kesultanan Paksi Pak Skala Brak.
Jakarta: Puslibang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Kementerian Agama RI
Iswanto, Agus. (2017). Nilai-Nilai Keagamaan dan Kerukunan
dalam Tradisi Warahan di Lampung. Jakarta: Balai Litbang
Agama Jakarta.
Misliani, Lisa. (2012). “Suntingan Teks dan Gejala Bahasa Melayu
Pada Manuskrip Beraksara Lampung NLP97N69”. Dalam,
Tesis. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia Lampung.
Pujiastuti, Titik. (1996). Aksara dan Manuskrip Lampung
dalam Pandangan Masyarakat Lampung Kini. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rosadi. Muhamad. (2009). ”Manuskrip Keagamaan pada
Masyarakat Lampung: Sebuah Inventarisasi Awal”. Jakarta:
PENAMAS, Vol. XXII, No. 3 Tahun 2009
Subandi, Agit Yogi. (2019). Larangan-Larangan Masyarakat
Krui di dalam Masyarakat Krui dalam Manuskrip Undang-
Undang Adat Krui Ditinjau dari Perspektif Hukum.
Lampung.

~ 122 ~

Anda mungkin juga menyukai