Anda di halaman 1dari 6

MANOKWARI

Suku Arfak adalah Masyarakat Pegunungan Arfak yang tinggal di sekitar kota Manokwari,
Provinsi Papua Barat. Suku Arfak terdiri dari 4 sub suku antara lain:
1. Suku Hatam
2. Suku Moilei
3. Suku Meyakh
4. Suku Sohug
 
Setiap suku ada Kepala Sukunya, dalam satu suku terdapat beranekaragam marga, misalnya
Suku Moilei, ada marga Sayori, Ullo, Ayok, Indow, Wonggor dan masih banyak marga lainnya.
5 suku 5 Bahasa artinya bahwa setiap suku terdapat 1 bahasa & budaya yang berbeda-beda.

Suku-suku itu telah menghuni kawasan pegunungan Arfak dengan pembagian wilayah yang
jelas. Suku Hattam yang menjadi penghuni terbesar kawasan pegunungan Arfak bagian selatan
mendiami Distrik Oransbari dan Distrik Ransiki, suku Meyakh – sering disebut dengan “orang
Arfak asli” – mendiami bagian timur pegunungan Arfak atau Distrik Warmere dan Distrik Prafi,
suku Moile mendiami bagian barat pegunungan Arfak atau Distrik Minyambouw, serta suku
Sough yang mendiami bagian utara pegunungan Arfak atau Distrik Anggi.

Suku Hatam adalah sekelompok suku lokal yang bermukim di Pegunungan Arfak, Kecamatan
Warmare, Kabupaten Manokwari, Papua. Mereka dikategorikan dalam rumpun suku besar
Arfak. Umumnya, Suku Hatam diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok atau rumpun, yaitu Suku
Moile, Tinam, dan Urwam. Ketiga kelompok atau rumpun itu kemudian dibagi lagi menjadi
beberapa marga atau klen berdasarkan hubungan keluarga, seperti Mandacan, Wonggor, Ullo,
Ayok, Indou, Saiba, Iwouw, dan Nuham. Mereka menyebar ke beberapa wilayah kecamatan di
Kabupaten Manokwari, seperti Ransiki, Waren, Momi, Anggi, Warmare, dan juga di pusat Ibu
Kota Kabupaten Manokwari.

Suku Moile dan Suku Meyah adalah suku lokal atau masyarakat asli yang bermarga Wonggor,
Ullo, Sayori, Mandacan, Indow, Ayok, Pungwam, dan Tibiay. Mereka mendiami enam distrik di
Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Sistem yang dianut dalam masyarakat Moile dan
Menyah adalah patrinial yang berarti pertalian keturunan berdasarkan garis ayah atau laki-laki.
Hal itu dapat dilihat pada pembagian warisan dan pemberian nama, fam/marga pada
keturunannya. Hubungan kekerabatan mereka yang cukup dekat juga turut membentuk
terjalinnya kerja sama yang baik dalam kehidupan kemasyarakatan melalui sistem gotong-
royong dalam hal membuka lahan perkebunan, membuat rumah, dan upacara-upacara adat.

Suku Souk atau disebut juga Sougb adalah suku asli Indonesia yang berasal dari Kabupaten
Pegunungan Arfak, provinsi Papua Barat, Indonesia. Komunitas suku ini pada umumnya tinggal
di daerah distrik Anggi dan distrik Minyambouw di Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat.
[2]
Suku Souk termasuk kedalam 4 sub suku dari suku besar di Pegunungan Arfak, yakni suku
Arfak.[3]
Tarian

Suku Arfak memiliki seni tari khas yakni Tari Tumbuk. Tarian ini juga dikenal dan ditarikan oleh
semua suku yang tinggal di kawasan Pegunungan Pegaf. Ada dua jenis penamaan tari ini
berdasarkan tempat pertunjukannya, jika tarian ini ditarikan di jalan tarian akan bernama Tari
Tambuk Tanah, sedangkan jika ditarikan di sekitar rumah maka disebut dengan Tari Tambuk
Rumah. Tarian ini diiringi dengan syair yang bercerita tentang tanaman, cara berkebun, sejarah
Suku Arfak mulai dari kepercayaan hingga peperangan yang pernah terjadi. Pertama, Tari
Magasa, yang disebut tari magasa yang mana bagi orang luar tarian ini lebih dipahami sebagai
tari ular. Julukan tersebut merujuk kepada formasi dan bentuk tarian yang meliuk-liuk seperti
ular dengan gerakan mengikuti lagu syair yang nyanyikan. Tari Magasa ditampilkan hanya ketika
upacara perkawinan, menjelang masa panen raya, dan menyambut tamu penting. Tarian ini
ditarikan secara berpasangan antara pria dan wanita sambil bergandengan tangan, kadang ada
gerakan saling menghimpit, ada lompatan, dan hentakan ke tanah seiring dengan lagu yang
dinyanyikan. Tari Magasa bercerita tentang hubungan romantis dalam rumah tangga,
kepahlawanan, sampai dengan menceritakan keindahan alam. Kedua, Tari Buah Merah yang
dipentaskan hanya oleh pemuda Arfak. Tarian ini menggambarkan keindahan Papua yang
eksotik, yang harus dijaga, dan dilestarikan.

Rumah adat (Mod Aki Aksa atau Lgkojei atau Rumah Kaki Seribu)
Rumah adat ini memiliki dinding yang terbuat dari kayu dan atapnya terbuat dari daun pandan,
serta bambu atau belahan nibung sebagai lantainya. Dalam bahasa setempat, rumah adat ini
disebut juga dengan Kmod aki aksa. Rumah adat suku Arfak tidak hanya sebagai tempat tinggal
melainkan juga tempat di mana pesta adat juga kerap diselenggarakan. Rumah adat Suku Arfak
memiliki dua bagian, bagian atas sebagai tempat tinggal dan untuk menyelenggarakan kegiatan
rumah tangga lainnya, sedangkan bagian bawah yang cukup luas sebagai tempat beternak dan
menyimpan kayu bakar.

Inilah rumah adat khas suku Arfak, Papua Barat yang bernama Mod Aki Aksa atau Igkojei serta
lebih dikenal dengan sebutan Rumah Kaki Seribu. Biasanya, rumah panggung mempunyai tiang
pondasi yang hanya terdapat di bagian sisi pinggir rumah. Namun, berbeda dengan jenis rumah
panggung lainnya, rumah ini memiliki tiang pondasi rumah yang tersebar di seluruh bagian
bawah rumah dan menjadi tumpuan utama bangunan. Karena keunikannya inilah, maka rumah
adat ini mendapat sebutan Rumah Kaki Seribu.

Rumah Kaki Seribu mempunyai bentuk yang tidak jauh berbeda dengan rumah panggung pada
umumnya. Atap rumah ini terbuat dari rumput ilalang dan lantainya dari anyaman rotan.
Dindingnya cukup kuat karena terbuat dari kayu yang disusun horizontal-vertikal dan saling
mengikat. Dengan tinggi rata-rata sekitar 4-5 meter dan luas kurang lebih 8x6 meter, rumah ini
cukup besar dan nyaman untuk menjadi tempat tinggal. Tiang-tiang yang sangat banyak itu,
mempunyai diameter 10 centimenter per tiangnya dan disusun dengan jarak kurang lebih 30
centimeter antar tiang. Kerapatan inilah yang menjadikan rumah ini unik dan terlihat berkaki
banyak.

Keunikan yang tidak kalah menariknya adalah, desain rumah yang hanya mempunyai 2 pintu
tanpa ada pintu lain, bahkan jendela pun tidak ada. Seperti halnya desain tiang penyangga
rumah yang banyak, keunikan ini pun dibuat bukannya tanpa maksud. Tingginya rumah,
banyaknya tiang pondasi, dan desain yang relatif tertutup ternyata dimaksudkan untuk
menghindarkan keluarga yang tinggal dari hewan buas dan udara dingin serta bencana alam
seperti badai. Terlebih dari itu, kondisi masyarakat yang sering bertikai pun menjadi alasan
bentuk Rumah Kaki Seribu yang tampak tidak lazim ini. Maksudnya adalah agar mereka yang
tinggal di rumah ini tetap aman dari ancaman musuh dengan pengawasan yang mudah karena
rumah berada di tempat tinggi dan hanya memiliki 2 pintu sebagai akses masuk dan keluar.

Rumah kaki seribu dibangun dengan fungsi sebagai: 1). Tempat tinggal keluarga 2). Tempat
penyimpanan harta benda 3). Tempat berdansa 4). Tempat berkumulnya anggota keluarga.
Dalam rumah tradisi orang Arfak ada bagian-bagian yang mempunyai fungsi masing-masing
yaitu: 1). Lina (anak tangga) 2).Bisai (teras) 3). Kolom rumah 4). Dimbou mem (pintu utama) 5).
Tiepou ( ruang yang luas) 6). Beitet (kamar khusus laki-laki) 7). Beigwei (kamar khusus
perempuan) 8). Tigkoi si (tempat gantung Noken) 9). Run ti (tempat penyimpan harta benda)
10). Terdapat 2 para-para 11). Ngihim (kamar).
Letak dan Kondisi Geografis

Letak Geografis Kabupaten Pegunungan Arfak, sebagai berikut:BagianUtara: 0º55’ Lintang


Selatan;BagianSelatan: 1º40’ Lintang Selatan;BagianBarat: 133º10’ Bujur Timur;Bagian Timur:
134º05’ Bujur Timur.

Ketinggian wilayah (altitude) Kabupaten Pegunungan Arfak adalah 300–1.800 meter di atas
permukaan laut. Dari segi luas wilayah menurut distrik,Testega merupakan distrik dengan
wilayah paling luas (75.515 ha atau 19,65%dari luas wilayah Kabupaten Pegaf), diikuti distrik
Catubouw (72.237 ha atau 18,80% dari luas wilayah Kabupaten Pegaf); sedangkan distrik
dengan luaswilayah paling sempit adalah Membey (10.370 ha atau 2,37% dari luas
wilayahKabupaten Pegaf), diikuti distrik Anggi (14.114 ha atau 3,67% dari luas
wilayahKabupaten Pegaf).

Mata Pencaharian

Ladang berpindah adalah mata pencaharian pokok masyarakat Arfak. Kebun mereka biarkan
menjadi hutan kembali setelah satu atau dua kali panen. Jenis tanaman yang ditanam adalah
ubi jalar dan keladi, disamping pepaya, pisang dan sayur-sayuran. Untuk bercocok tanam
mereka masih menggunakan cara menebas dan membakar hutan di suatu lahan yang mereka
anggap subur.

Selain sebagai sarana ladang berpindah, pemanfaatan hutan oleh warga klan adalah untuk areal
berburu, tempat penduduk sebagai sumber protein hewani. Binatang yang banyak mereka buru
adalah tikus tanah, kuskus dan kanguru pohon, sementara babi hutan dikonsumsi dan
dipelihara. Alat yang digunakan untuk berburu adalah busur dan panah yang terbuat dari
bambu dan nibung tua serta gelagah. Kegiatan ini hanya dilakukan oleh kaum pria. Mata
pencaharian lain adalah mencari ikan di danau.

Pakaian Adat

Pakaian adat bernama pakaian adat Serui. Bentuk pakaiannya hampir sama baik pria dan
wanita. Model penutup badan bagian bawah serta bajunya sama. Mereka memakai baju dan
penutup badan bagian bawah dengan bentuk yang sama. Hiasan didada dan kepala juga
mereka kenakan berupa kalung, gelang, hiasan burung cendrawasih pada bagian kepala daln
lain sebagainya. Merupakan ciptaan baru yang tergambar pada bentuk pakaiannya.
Perlengkapan yang dikenakan pria pada saat pernikahan biasanya pengantin pria memegang
perisai seperti panah atau tombah agar berkesan adat Papua.
Adat Istiadat

Masyarakat Arfak, Suku Meyah yang berada di Distrik Manokwari Utara, Kabupaten Manokwari
merupakan salah satu bagian dari masyarakat Papua yang memiliki dan memegang teguh adat
istiadat perkawinan. Perkawinan dalam masyarakat bukan hanya sebuah ikatan yang
mempertalikan hubungan antara laki-laki dan perempuan melainkan juga membangun sebuah
ikatan kekerabatan yang sangat besar. Adat perkawinan masyarakat Arfak memegang kuat
prinsip-prinsip perkawinan dalam hal perjodohan, peminangan dan mas kawin. Namun sejalan
dengan perkembangan zaman terjadi proses akulturasi budaya yang menyebabkan masuknya
budaya baru dan berpengaruh pada adat perkawinan masyarakat Arfak. Penelitian ini
dilaksanakan untuk mengetahui bagaimana dinamika perjodohan dalam adat perkawinan
masyarakat Arfak, Suku Meyah, Distrik Manokwari Utara, Kabupaten Manokwari.

Sistem Pemerintahan

Adat istiadat suku Moile dan Meyah masih sangat kuat dan kental sejak nenek moyang mereka
lahir di tanah Papua hingga sekarang. Mereka hidup dalam sebuah sistem kekerabatan.
Sementara itu, sistem pemerintahan adat suku Moile & Meyah tidak mengenal istilah “kepala
suku besar”. Merka hanya mengenal pemimpin suku dengan sebutan kinamnya. Beberapa pola
kepemimpinan masyarakat adat di sana antara lain:

1. Andigpoi yang disebut sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di dalam masyarakat.


Mereka berwenang membuat kebijakan-kebijakan, mengambil keputusan, dan
bertanggung jawab atas risiko yang timbul dari keputusan tersebut.
2. Pinjoindig yang disebut sebagai perpanjangan tangan dari andigpoi yang ruang lingkup
kewenangannya tidak melebihi andigpoi.
3. Pinjoi pilei adalah pelaksanaan pemerintah secara langsung di masyarakat.
4. Nikei adalah hakim yang membantu andigpoi dalam menyelesaikan masalah sosial di
masyarakat, seperti membayar denda dan sengketa adat lainnya. Sementara itu, jabatan
Andigpoi dalam kinam diduduki oleh seseorang yang berpengaruh sehingga keputusan
yang diambil dalam suatu perkara dapat diwakili semua Andigpoi. Sementara
keanggotaan nikei dipilih dari andigpoi atau pinjoindiig dengan beberapa kriteria, seperti
memiliki sikap adil (tidak memihak) dan berpengalaman, bijaksana dan tidak emosional
dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat.

Kepercayaan atau religi

Dalam hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik tahun 2010 menunjukkan bahwa hampir
semua masyarakat di distrik Anggi dan distrik Minyambouw memeluk agama Kristen
Protestan. Maka bisa dipastikan bahwa hampir semua warga dari suku Souk memeluk
agama Kristen Protestan demikian juga halnya untuk kawasan Kabupaten Pegunungan Arfak
dan ketiga sub suku Arfak lainnya, pada umumnya memeluk agama Kristen Protestan.

Anda mungkin juga menyukai