Anda di halaman 1dari 12

Korea Utara vs Korea Selatan

Korea Utara vs Korea Selatan, termasuk ke dalam jenis konflik internasional karena konflik ini melewati
batas-batas negara dan melibatkan 2 negara di dalamnya.
Korea Utara vs Korea Selatan, disebabkan karena korea selatan bersikeras melakukan latihan militer di
wiliyah sengketa, sekitar puluhan kilometer dari pulau Yeonpyeong dan Korea Utara tanpa peringatan
meluncurkan roket ke arah Korea Selatan dan di balas kembali oleh Korea Selatan. (versi tahun 2010) Saat ini
tingkatan konfliknya masih dalam tingkatan konfrontasi.

China vs Taiwan

China vs Taiwan, termasuk ke dalam jenis konflik internasional karena konflik ini melewati batas-batas
negara dan melibatkan 2 negara di dalamnya.
China vs Taiwan, disebabkan karena terjadi perang saudara di China daratan antara Partai Nasionalis
Kuomintang dan Partai Komunis. Perang yang berakhir di tahun 1949 ini dimenangkan oleh kubu komunis
yang kemudian membuat Kuomintang tergusur dan lari ke Taiwan. Di Taiwan, Kuomintang yang dipimpin
oleh Chiang Kai-shek kemudian mendirikan pemerintahan yang tetap diberi nama Republik China. Chiang
Kai-shek mendirikan pemerintahan ini dengan tujuan untuk tetap mempertahankan filosofis nasionalis, dan
berusaha membangun kekuatan untuk pada akhirnya kembali merebut China daratan. Saat ini tingkatan
konfliknya masih dalam tingkatan post konflik yang dimana Partai nasionalis Kuomintang melarikan diri ke
Taiwan dan berdasarkan sokongan A.S, maka Pulau Taiwan dipisahkan dari Tanah Besar China.

Klaim kepemilikan Takeshima antara Jepang dan Korea Selatan

Klaim kepemilikan Takeshima antara Jepang dan Korea Selatan, termasuk ke dalam jenis konflik
internasional karena konflik ini melewati batas-batas negara dan melibatkan 2 negara di dalamnya.
Klaim kepemilikan Takeshima antara Jepang dan Korea Selatan, disebabkan karena letak pulau ini yang
berada di antara Jepang dan korea Selatan, kedua negara mengklaim pulau tersebut berdasarkan letak
geografis serta historis atas kepemilikan pulau tersebut. Pulau ini kaya akan biota laut dan sumber gas alam.
Pulau ini juga mencerminkan kepribadian dari kedua negara secara simbolik.sehingga muncul perdebatan
kepemilikan atas pulau tersebut. saat ini tingkatan konfliknya masih dalam tingkatan outcome yang dimana
Jepang pernah meminta Korea Selatan agar membawa sengketa ini ke Mahkamah Internasional pada tahun
1954 dan 1962, namun keduanya ditolak oleh Korea Selatan.

Konflik antara etnis muslim Uyghur dengan etnis Han dan pemerintah China

Jenis konflik : Konflik internal, horizontal dan vertikal


Tingkatan konflik:

1. Pre konflik
Konflik ini sudah terjadi pada tahun 1980-an, Xinjiang adalah daerah dengan sumber daya alam yang
berlimpah, mulai dari minyak, batubara, dan gas alam, letak xinjiang pun sangat strategis. Penduduknya
adalah dari muslim Uyghur dan etnis Han (mayoritas, hal ini yang di sinyalir menjadi awal dari konflik ini,
karena muslim Uyghur berada di daerah yang sangat strategis sebagaimana yang di sebutkan oleh Anshari
Thayib dalam bukunya Islam di China dan oleh Dr. Suffian Mansur, dosen sejarah Universitas Malaysia. Jadi,
konflik ini awalnya bukan merupakan konflik agama antar muslim dan non-muslim, tetapi lebih kepada
perebutan sumber-sumber daya alam dan hal ini di dukung dengan turut campurnya pemerintahan China
yang berpihak kepada salah satu etnis.

2. Konfrontasi
Pada tahun 1990, pemerintah China melarang pembangunan masjid dan madrasah. Hal ini berujung pada
konfik kekerasan antara umat muslim Uyghur dengan pemerintahan. Pemerintah pun melarang muslim
Uyghur berpuasa. Hal ini membuat muslim Uyghur mulai melawan dan terjadi beberapa konfrontasi.

3. Krisis
5 Juli 2009, merupakan puncak dari konflik antara dua etnis ini, muslim Uyghur yang di sinyalir sebagai
sebuah gerakan perjuangan yang ingin memisahkan diri dari China. Diberitakan bahwa sedikitnya 140 orang
tewas dan 828 orang terluka. Hal ini melibatkan muslim Uyghur dan etnis Han (pemerintah). ini juga
merupakan sebuah penyelesaian konflik secara kohersif tapi juga sebagai puncak dari konflik antara muslim
Uyghur dan etnis Han yang sudah terjadi beberapa tahun ini.

KONFLIK JEPANG-CHINA (klaim Kepulauan Diaoyu/Senkaku)

Aktor yang Terlibat :


Jepang, China, Amerika Serikat.

1. Pre Conflict :
Saling klaim wilayah. Kepulauan Diaoyu/Senkaku tidak dikembalikan ke Tiongkok (China & Taiwan) setelah
Amerika meninggalkan Okinawa (1972) sehingga Jepang mengklaim kepulauan tersebut adalah miliknya.
Ketidakpedulian China (setelah beberapa lama Amerika meninggalkan Okinawa dan menyerahkannya ke
Jepang) terhadap kepualauan Diaoyu/Senkaku membuat Jepang berlarut-larut dan pengelolaan pulau
tersebut lebih banyak dilakukan oleh Jepang.

2. Confrontation :
Eksplorasi dimulai di area kepualauan Diaoyu/Senkaku dan China menemukan fakta bahwa kepulauan
tersebut kaya akan sumber daya alam. Mulailah China kembali mempermasalahkan kepulauan tersebut. Disisi
lain, Jepang pada September 2012 lalu membeli 3 pulau dari kepulauan Diaoyu/Senkaku sehingga mendapat
kecaman keras dari pemerintah China.

3. Crisis :
Belum terjadi perang fisik, namun hubungan bilateral kedua negara semakin memburuk.
4. Outcome :
Belum ada usaha untuk meredam konflik. Kedua negara hanya unjuk kekuatan militer untuk saling menakuti
sehingga “perdamaian” masih bisa terjaga. Diharapkan penyelesaian masalah ini mampu dilakukan dengan
cara damai.

Huru-Hara Politik di Bangladesh

Bangladesh, salah satu negara yang menderita kemiskinan parah menurut standar World Bank, adalah
negara yang lahir dengan memisahkan diri dari Pakistan. Pemerintahan mereka menggunakan ideologi
sekular, sangat berlawanan dengan pemerintahan Pakistan yang berbasiskan Sharia. Di dalam Bangladesh,
terdapat dua partai yang selalu berseteru satu sama lain – Bangladesh National Party dan Awami League.
Begitu parahnya perseteruan di antara kedua partai tersebut sampai-sampai sebuah pemerintahan dapat
dikudeta sampai lebih dari dua puluh kali dalam kurun waktu 1977-1980. Usaha kudeta pun masih kerap
terjadi di Bangladesh hari ini.

Situasi politik yang tidak stabil semacam itu menyebabkan kebijakan-kebijakan kesejahteraan yang
dicanangkan negara tidak berjalan, menyebabkan kemiskinan akut, kurangnya infrastruktur, dan tingkat
edukasi yang rendah. Namun hebatnya, kondisi semacam itulah yang membuat berbagai pemikir ternama
dunia terkait kemiskinan dapat lahir. Muhammad Yunus, pemenang Nobel Perdamaian yang mendapatkan
hadiah tersebut berkat konsep microfinance yang diterapkannya di Bangladesh. Dia membuka Grameen
Bank dimana setiap orang dapat meminjam tanpa agunan sama sekali untuk tujuan membuka usaha.
Hasilnya luar biasa, dan warga Bangladesh cukup terbantu dengan hal itu.

2.Konflik Kashmir

Kashmir adalah sebuah wilayah yang terletak di sebelah Barat Laut India, diapit oleh Pakistan di sebelah
Barat dan China di sebelah Timur. Kashmir terkenal akan kesuburan tanahnya dan nilai historis tak ternilai
yang ada di sana, membuatnya mendapat julukan Surga di Bumi. Kondisi geografis itulah yang membuat
Kashmir menjadi perebutan antara negara-negara yang mengapitnya. Konflik menjadi semakin panas
semenjak Pakistan memisahkan diri dari India, membuat daftar negara yang memperebutkan Kashmir
bertambah. Pakistan dan India pun mulai membuat nuklir untuk mengimbangi China dalam hal posisi tawar,
sehingga kondisi ‘Perang Dingin’ pun tercipta di sana. Namun yang paling parah tentunya adalah perang di
antara India dan Pakistan. Kedua negara tersebut memang bermasalah secara historis. Berulang kali mereka
melakukan uji coba nuklir untuk saling menunjukkan kekuatannya, Perang Dingin mungkin memang benar-
benar terjadi di sana.

3. Terorisme

Taliban dan Al-Qaeda adalah dua terduga kelompok teroris yang diduga bermarkas di kawasan Asia Selatan.
Taliban diduga ada di Pakistan, sementara Al-Qaeda ada di Afghanistan. Mereka kerap menggunakan cara-
cara kasar untuk menunjukkan kekuatan politiknya. Taliban bahkan dengan garang menguasai beberapa
desa di Pakistan dan menerapkan hukum Sharia ultrakonservatif di sana yang berarti perempuan tidak boleh
keluar rumah, harus memakai Burqa, laki-laki harus berjanggut, tidak boleh menonton TV, tidak boleh
mendengarkan musik, tidak boleh punya laptop, dsb, dsb, dsb. Beberapa waktu yang lalu, salah seorang
anak perempuan di Pakistan ditembak karena dia ngotot untuk tetap bersekolah. Namanya adalah Malala
Yasoufzai yang kemudian menjadi simbol pemersatu warga Pakistan untuk melawan Taliban.

Amerika Serikat sebagai pendeklarasi War on Terror tentunya tidak tinggal diam. Mereka mengirim
beberapa pasukan khusus ke sana untuk membasmi terduga teroris. Perang pun berkecamuk, bom meledak
dimana-mana, jutaan warga mengungsi, sepertinya memang warga Asia Selatan amat sulit untuk hidup
tanpa konflik. Walau demikian, sejarah menunjukkan bahwa kemarahan AS terhadap Al-Qaeda dan Taliban
juga memiliki faktor historis sendiri. Pada masa Perang Dingin, AS sempat membiayai kelompok mujahidin
yang menjadi cikal bakal organisasi terduga teroris tersebut untuk membendung Komunisme. Ketika kedua
kelompok tersebut tidak memenuhi ekspektasi AS, mereka pun melancarkan kemarahannya dan hasilnya
cukup mengerikan.

4. Konflik Pengaturan Air

Antara India dan Bangladesh dilalui sebuah sungai yang amat panjang, namanya adalah Sungai Gangga.
Keadaan geografis ini menjadi menyulitkan karena mau tidak mau kedua negara harus saling berbagi
sumber daya alam tersebut. Tentu saja, tidak ada negara yang mau berbagi, itu jelas tidak mungkin, maka
dibuatlah sebuah perjanjian di antara India dan Bangladesh. Perjanjian tersebut mencakup soal buka-tutup
kanal Sungai Gangga. Namun tentu saja, tidak ada negara dominan yang cukup bodoh untuk mengikuti
syarat negara yang lebih lemah darinya, India pun melanggar perjanjian tersebut secara sepihak. Ketika
sungai Gangga sedang banjir, kanal dibuka, mengakibatkan Bangladesh terkena banjir. Ketika sungai
Gangga sedang kering, kanal ditutup, mengakibatkan Bangladesh tidak mendapat air. Situasi ini
menyebabkan konflik di antara kedua negara.

India dan Pakistan

Hubungan antara India dan Pakistan, 2 negara terbesar di kawasan ini, mewujudkan ketidakstabilan regional
yang permanen. Kedua negara telah terkunci dalam konflik yang berkepanjangan - baikterbuka atau
terselubung, karena perpecahan pada tahun 1947, yang merupakan kendala terbesar untuk integrasi ekonomi
regional. Sejak permulaan tahun 1980-an ditandai konflik terselebung dibandingkan
dengan konflik aktif. Setelah kalah dalam perang yang menentukan ke India pada tahun 1971 yang
mengakibatkan pemisahan Bangladeshdari Pakistan, Pakistan mengambil sikap lebih kalemdan bersedia
kompromi tentang Kashmir, yang memungkinkan kedua negarauntuk mengatasi masalah ekonomi dan
perdagangan. Berbagai upaya diplomatik akhirnyamendorong terbentuknya SAARC pada tahun 1985.

Namun,karena watak dasar yang keras dan didorong oleh dinamikaagama dan
militer dalam sejarah, menyebabkan penurunan yang signifikan dalam hubungan tersebut pada akhir 1980-
an. Gerakanseparatis Kashmir mendapatkan momentum di Kashmir India pada akhir 1980-an. Segera
setelah itu, Pakistan mulai memberikan dukungan politik dan militer kepada pemberontak. Dukungan
tersebut terus membuat kedua belah pihak berselisih sepanjang 1990-an. India terus
menerus menyalahkan Pakistan atas kerusuhan di Kashmir, menuduh memberikan pelatihan
dan mengirimkan agenuntuk bergabung dengan pelaku pemberontakan.

Masalah keamanan antara Pakistan dan India mencapai puncaknyapada tahun 1998, ketika kedua belah
pihak melakukan uji coba senjatanuklir, yang kemudian memperkenalkan dimensi yang sangat stabildengan
paradigma keamanan. Pada tahun 1999, Pakistan dan Indiaterlibat dalam konfrontasi bersenjata
di wilayah Kargil, Kashmir. Meskipun konflik berakhir di jalan buntu, Kargil menandai konflikpertama
antara dua negara yang memiliki senjata nuklir dan membawa banyak orang untuk
menyadari potensi bencana nuklir. Ketegangan mencapai titik tertinggi pada tahun 2002 ketika
Indiamenyalahkan Pakistan karena telah merekayasa serangan terorispada parlemen India. Kedua belah
pihak menemukan diri mereka di tengah-tengah kebuntuan salama 10
bulan, dengan mengumpulkanjutaan tentara di perbatasan India-Pakistan, suatu
bentuk membuat mobilisasi militer terbesar dalam sejarah di wilayah ini. Mengingattekanan internasional
yang kuat, pelucutan senjata akhirnya tercapaisebelum konflik meningkat lebih tidak terkendali.

Di tengah ketegangan tersebut, Pakistan dan India telah melakukan beberapa upaya untuk memulai proses
perdamaian gunamenyelesaikan perselisihandiantara mereka. Inisiatif
utamadilakukan sebelum Perang Kargil pada tahun 1999, ketika kedua belah
pihak menandatangani "Deklarasi Lahore", dan pada tahun 2001ketika Presiden
Pakistan Parvez Musharraf membuat sebuah upaya yang gagal untuk
memprakarsai upaya perdamaian. Proses perdamaian merupakan upaya terbaru oleh kedua belah pihak
untukmelakukan perbaikan hubungan. Sementara upaya saat ini telah berlangsung lebih insentif
dibandingkan era sebelumnya tetap saja ketegangan India-
Pakistan masih tinggi. Semua berakar padakecurigaan antara kedua belah pihak yang tidak berubah dan
masalahyang luar biasa besar yang belum terpecahkan. Bahkan jika tawaranperdamaian saat ini tetap
diupayakan, akan membutuhkan puluhan tahun sebelum Pakistan dan India mulai saling percaya.

India dan Sri Lanka

Pada 1980-an, Sri Lanka perlahan-lahan berada di bawahcengkeraman konflik etnis antara mayoritas
Sinhala dan separatis minoritas Tamil guna memperoleh kemerdekaan dari Utara Sri Lanka. India memiliki
minat alami dalam masalah ini, mengingat populasiTamil yang cukup besar di India Selatan. Pada
awal 1983 Indiaberusaha, meskipun tidak berhasil, untuk memediasi konflik di Sri Lanka.

Kekerasan etnis di Sri Lanka menyebabkan ketegangan serius antaraIndia-Sri Lanka karena
pemerintah India secara terbuka mulaibersimpati dengan orang Tamil Sri Lanka. Macan
Pembebasan Elam Tamil Elam (LTTE), sebuah organisasi militan, dilaporkan didanai oleh negara bagian
Tamil Nadu, fakta yang ditoleransi oleh New Delhi. Selain itu, pada tahun 1987, ketika pemerintah Sri
Lanka berusahauntuk mendapatkan kembali kontrol atas wilayah utaranya melaluiblokade
ekonomi, India menyelamatkan orang Tamil. Pada bulan Julitahun 1987, India memutuskan untuk
mengirim Pasukan Pemeliharaan Perdamaian India (IPKF) ke Sri Lanka di bawah perjanjian yang berusaha
untuk melucuti Tamil dan mencapai perdamaian.

Perjanjiantersebut menimbulkan kemarahan lebih lanjut antara etnis Sinhala Sri Lanka yang melihat hal
ini sebagai upaya India untuk membangun hegemoninya atas Sri Lanka. Hubungan antara India
danSri Lanka mencapai titik nadir pada tahun 1989 ketika pemerintah SriLanka menuntut penarikan IPKF.

Mengingat bahwa ketegangan India-Sri Lanka mencapai klimakspada saat SAARC dalam masa
pertumbuhan, dampak terhadap pengelolaan kawasan menjadi jelas. India memboikot KTT SAARC1991 di
Kolombo, menyebabkan penundaan pertemuan tersebut. Penundaan pertemuan tingkat tinggi tersebut hanya
satu hari sebelum dilaksanakan dan berlangsung tiba-tiba, diselingiketegangan antara Sri Lanka dan India.

Sejak awal 1990-an, sementara tetap mendukung gerakan Tamil, India telah menahan diri untuk
melakukan intervensi langsung. India juga mulai resmi mendukung posisi pemerintah Sri Lanka. Selain
itu, kedua belah pihak telah meningkatkan kerjasama di sektor lain, yang mengarah ke peningkatan yang
signifikan dalam hubungan mereka. Sementara gerakan separatis Tamil memang menciptakan iritasi
kecildari waktu ke waktu, India tampaknya benar-benar tertarik padasolusi damai untuk masalah ini. Secara
keseluruhan, kecurigaan SriLanka atasdesain hegemonik India telah berkurang secara
substansial, sehingga hubungan antara kedua negara menjadi lebih ramah.
India dan Bangladesh

Terlepas dari kenyataan bahwa India mendukung separatis PakistanTimur, yang akhirnya memperoleh
kemerdekaan menjadi negara Bangladesh, hubungan kedua negara tetap terjalin. Meskipun kedua belah
pihak merumuskan perjanjian ekonomi dan perjanjian tahunanterbarukan pada isu pembagian sumber daya
air, sejumlah kekhawatiran tetap muncul. Sebuah kekhawatiran yang dirasakan Bangladeshserupa
dengananggota SAARC lainnya, yaitu kecurigaanatas upaya India untukmemberikan pengaruh langsung
terhadaptetangganya.

Secara khusus, di awal 1990-an, hubungan India-Bangladesh memburuk akibat sengketa Barrage Farakka, di
mana India telah membangun sebuah kanal pengumpan untuk mengalihkan air. Ketegangan muncul
di permukaan karena tidak ada solusi permanen yang ditermukan untuk masalah yang luar biasa besar. Pada
tahun 2001, India dan Bangladesh melakukan konfrontasitentang perbatasan. Konflik berpusat di
sekitar wilayah perbatasan yang
disengketakan dekat desa Pyrdiwah tapi tetap dikerahkan pasukanperbatasan di kedua sisi (Gencatan
Senjata 2001). Pulau sungaiMuhurichar juga diklaim oleh kedua negara. Namun, masalah
initetap mengemuka sejak tahun 1985.

Pada akhir 1980-an, India berusaha untuk membangun pagar di perbatasan internasional India-Bangladesh
untuk menghentikan imigran ilegal yang mengalir ke Benggala Barat. Masalah ini telah mencapai
tingkat yang serius di masa lalu. Akhir-akhir ini, India juga menuduh Bangladesh bersekutu dengan Pakistan
dan bertindaksebagai saluran untuk operasi teroris anti-India. Bangladesh, di sisi
lain, menyalahkan India atas dukungan pemberontak anti-Dhaka, Chakma.

India dan Nepal

Hubungan India-Nepal juga penuh dengan ketegangan meskipunkedua belah


pihak tidak membolehkan hubungan mereka secara keseluruhan untuk dijadikan sandera atas perbedaan
mereka. Persamaan India-Nepal adalah contoh klasik dari manuver politikkekuasaan besar terhadap
kekuasaan yang lebih kecil di mana Nepal, berusaha maksimal untuk mempertahankan postur yang
independen, meskipun secara ekonomi tergantung pada India. Sebagian besarmasalah antara kedua belah
pihak didasarkan pada kekhawatiran ekonomi.

Hubungan India-
Nepal cukup tegang ketika SAARC dibentuk. Indiatelah menolak tawaran Nepal mengenai zona keamanan
internasional(Murthy 1999). Akuisisi Nepal atas persenjataan Cina menghasilkannprotes resmi yang kuat
dari pemerintah India, khawatir akan kehilangan pengaruhnya di Katmandu. Pada tahun
1988, Nepalmenolak untuk mengakomodasi tuntutan India di untuk meninjau perjanjian diantara kedua
negara. Nepal mengambil pendekatan garis keras, dan setelah berakhirnya perjanjian pada tahun
1989, menghadapi blokade ekonomi dari India, suatu perkembangan yangmenyebabkan eskalasi lebih
lanjut ketegangan India-Nepal.

Baru-baru ini, kesepakatan damai dalam hubungan bilateral telah muncul. Meskipun India dan Nepal juga
memiliki perselisihan teritorial yang mencakup wilayah seluas 75 kilometer persegi akan
tetapi masalah itu belum berdampak terhadap hubungan Indo-Nepal ke tingkat yang signifikan.

Sejak awal 1990-an, memburuknya situasi ekonomi dan politik di Nepal telah memaksa untuk melakukan
perbaikan hubungan dengan India. Pada tahun 1990, hubungan keamanan khusus antara kedua
negara dipulihkan dan pada pertengahan 1990-an, perjanjianperdagangan dan transit baru ditandatangani
bersama denganperjanjian ekonomi lainnya. India juga telah mendukung pemerintah Nepal dalam
memerangi pemberontakan Maois yang sedang berlangsung di negeri ini, sebuah fakta
yang telah lebih meningkatkan hubungan antara kedua negara

2.2. Konflik Pulau Sipadan dan Ligitan

Secara geografis, Pulau Sipadan dan Ligitan terletak di Selat Makassar. Pulau Sipadan berada 15 mil laut dari pantai
daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut dari pantai timur Pulau Sebatik, Kalimantan Utara. Sedangkan pulau Ligitan
terletak 12 mil laut dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut dari pantai timur Pulau Sebatik
(www.lib.ui.ac.id). Konflik Indonesia dengan Malaysia ini berawal pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis
hukum laut antara kedua negara, kedua negara tersebut secara bersamaan memasukkan pulau Sipadan dan Ligitan
dalam batas-batas wilayahnya.
Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September 1969 menyetujui Memorandum of
Understanding (MoU) yang menetapkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh
ditempati, diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia (Ratnaningrum, 2010).
Diberlakukannya status quo ini ditujukan agar kestabilan kedua negara maupun negara ASEAN yang berada di
sekelilingnya tidak terganggu.
Namun kedua negara memahami pengertian tersebut berbeda. Malaysia memahami status quo bahwa kedua pulau
tersebut tetap berada dibawah kepemimpinan Malaysia sampai persengketaan selesai. Sedangkan pihak Indonesia
memahami bahwa adanya status quo berarti kedua pulau tidak boleh ditempati atau tidak dalam kepemimpinan
kedua negara hingga persengketaan selesei (Puspita, t.t). Berbeda dengan Indonesia yang mentaati hukum
internasional, Malaysia justru memanfaatkan kondisi tersebut dengan mendirikan fasilitas pariwisata di dua
kepulauan tersebut. Mengetahui hal tersebut Indonesia langsung mengirimkan protes kepada Malaysia bahwa kedua
kepulauan tersebut sedang dalam kondisi sengketa dan tidak diperbolehkan untuk menduduki wilayah tersebut.
Keadaan bertambah parah ketika Malaysia mulai memasukkan kedua pulau tersebut pada perpetaan wilayahnya pada
tahun 1979.
Situasi yang semakin parah ini membuat Presiden Soeharto sebagai wakil dari Indonesia dan Perdana Menteri
Mahathir Muhammad sepakat untuk mencari solusi dari permasalahan ini kepada ICJ. Setelah pertemuan kedua
negara melalui ICJ ini terbentuklah suatu perjanjian atas adanya perdamaian antara Malaysia dan Indonesia serta
sesegera mungkin ICJ memberikan kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan ini berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Dengan dibawanya sengketa wilayah ini melalui ICJ justru memperlemah posisi Indonesia. Pada tahun 2002,
Indonesia dan Malaysia memberikan argumennya terkait dengan persengketaan wilayah tersebut berdarkan bukti-
bukti yang dimiliki. Pada argumen yang disampaikan Indonesia, Indonesia menyatakan bahwa bukti kepemilikannya
atas kedua pulau tersebut berdasarkan Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1981 dimana garis batas kedua negara adalah
di pantai timur Pulau Kalimantan yang terus memotong ke pulau Sebatik yang menempatkan kedua pulau tersebut
dibawah kepemilikan Belanda. Sedangkan argumen yang disampaikan oleh Malaysia dengan bukti-bukti yang ada
bahwa Malaysia sejak tahun 1971 telah membuktikan pemberian perlindungan terhadap kedua wilayah tersebut
seperti mengeluarkan perlindungan Penyu, adanya pembangunan mercusuar di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada
tahun 1962 (Steven, 2009: 45). Pernyataan yang disampaikan Indonesia dan Malaysia ini membuat Mahkamah
Hukum Internasional memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan secara resmi berada dibawakepemilikan
Malaysia terbukti dengan keefektifan Malaysia yang melakukan perawatan atas kedua pulau tersebut.
Kasus serupa juga terjadi di kawasan perairan Ambalat, di mana Malaysia melakukan klaim terhadap perairan
tersebut. Pemerintah Indonesia merespon tindakan yang dilakukan oleh Malaysia dengan jalan pengirima pasukan
militer. Pemerintah Malaysia melakukan klaimnya atas perairan tersebut didasarkan pada peta mereka yang mereka
buat sendiri pada tahun 1979. Hal ini pun tidak bisa deiterima oleh pemerintah Indonesia. Hingga tahun 2013, masih
sering terjadi pelanggaran perbatasan oleh Malaysia di perairan Republik Indonesia. Sehingga Konflik ini laksana bom
waktu.

2.3 Konflik Laut Cina selatan dan Kepulauan Spratly


Gambar Klaim Berbagai Negara di Kawasan Lat China Selatan
www.southchinasea.org

Sengketa Laut Cina Selatan ini melibatkan banyak negara sehingga penyelesaiannya menjadi sangat rumit dan
berlangsung berlarut-larut. Sengketa ini juga mempunyai latar belakang yang cukup rumit sehingga belum terjadi
kesepakatan diantara negara-negara bersengketa.Kepulauan Spratly terletak dikelilingi oleh beberapa negara yaitu,
Indonesia, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, Cina, Taiwan, dan Filipina. Kepulauan Spratly pada awalnya
adalah sebuah pulau yang tidak berpenghuni dan sebenarnya bukan merupakan yang layak huni. Hal ini disebabkan
kebanyakan pulau ini hanyalah berupa gugusan karang-karang laut. Namun klaim wilayah kepemilikan terhadap
kepulauan Spratly mulai bermunculan karena kepulauan Spratly ini mempunyai banyak potensi keuntungan sumber
daya alamseperti kandungan minyak yang melimpah dan letak kepulauan spratly yang strategis. Selain kandungan
minyak yang melimpah, terdapat pula kandungan gas alam yang ada di wilayah Laut Cina Selatan. Kekayaan alam
yang dimiliki membuat beberapa negara yang bersengketa atas wilayah kepulauan Spratly ini bersikeras untuk
mengakui dan mengklaim atas wilayah tersebut. Kawasan kepulauan Spratly ini juga merupakan kawasan yang
terletak di lintasan laut yang strategis karena berada di lintas layar dan perdagangan antar negara. Faktor ini juga
kemudian menjadi faktor pendukung negara-negara yang bersengketa untuk semakin bernafsu mengklaim atas
kepulauan Spratly ini, karena siapapun yang resmi memiliki kepulauan Spratly ini, maka negaranya akan memperoleh
keuntungan ekonomi dari hasil kapal-kapal yang melewati dan melintasi kepulauan spratly untuk melakukan. Sebagai
salah satu perairan paling sibuk di dunia, tentunya membawa keuntungan bagi negara-negara yang wilayah lautnya
dilewati (Nugraha, 2012).
Kepulauan Spratly merupakan kepulauan yang berada di Laut Cina Selatan. Kepulauan ini berbatasan langsung
dengan Negara-negara Asia seperti negara Cina, Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan
Indonesia. Letak Geografis kepulauan Spratly adalah 4 derajat LU – 11derajat 31’ LU dan 109 derajat BT -117 derajat
BT (Heinzig, 2010). Kepulauan Spratly diperkirakan memiliki luas sekitar 244.700 km2 dan terdiri atas kurang lebih
sekitar 350 Pulau. Wilayah ini merupakan batas langsung negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan negara-negara
ASEAN. Kepulauan Spratly terletak di sebelah Selatan RRT dan Taiwan, sebelah tenggara Vietnam, sebelah Barat
Filipina, sebelah utara Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Setidaknya terdapat 6 negara bersengketa dan
mengklaim wilayah kepulauan Spratly ini menjadi bagian dari wilayah negara mereka, keenam negara tersebut adalah
RRT, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Proses salingmengklaim initelah berlangsung sejak tahun 1947. Pemerintah negara RRT epublik Rakyat Cina adalah
yang pertama kali mengklaim wilayah Laut Cina Selatan ini.RRT kemudian membuat peta resmi yang tidak hanya
mengklaim pulau-pulau yang ada di wilayah Laut Cina Selatan seperti kepulauan Spratly dan juga kepulauan Paracels,
tetapi juga memberi tanda sebelas garis putus-putus di seputar wilayah Laut Cina Selatan (Permatasari, t.t). Kekayaan
alam yang terdapat di wilayah Laut Cina Selatan adalah penyebab utama perebutan dan klaim wilayah ini.Klaim yang
dikeluarkan RRT mengenai wilyah Laut Cina Selatan ini terbentang sekitar kurang lebih ratusan mil dari selatan
sampai timur di Propinsi Hainan.Pemerintahan di ibukota Beijing mengatakan bahwa hak RRTatas kawasan Laut
Cina Selatan tersebutberawal mula dari 2.000 tahun yang lalu.Secara spesifik mereka juga mengklaim bahwa kawasan
kepulauan Spratly dan kepulauan Paracels merupakan bagian dari milik RRT dan merupakan bagian dari teritorinya
sejak abad ke-17.
Akibat perebutan klaim wilayah atas Laut Cina Selatan beserta Kepulauan Spratly antara RRTdan negara-negara lain
yang bersengketa, terjadi insiden antara Angkatan Laut Cina dan Angkatan Laut Vietnam pada sekitar tahun 1988.
Insiden ini terjadi berawal ketikakapal Angkatan Laut Vietnam yang sedang berlayar dan melintas diwilayah Laut
Cina Selatan mendapat intervensi dari kapal perang Angkatan Laut milik RRT, sehingga kerusuhan dan pertengkaran
diantara RRT dan Vietnam pun tidak dapat dihindari. Dalam kerusuhan ini Angkatan Laut Vietnam kehilangan
sekitar 70 prajuritya (Sulaeman, 2014). Akibat dari insiden kerusuhan antara RRT dan Vietnam ini, Vietnam akhirnya
memutuskan untuk mengakhiri hubungan diplomatiknya dengan RRT (Suharna, 2012). Konflik saling mengklaim
atas wilayah kedaulatan Kepulauan Spratly juga terjadi pada Filipina. Konflik ini telah menimbulkan beberapa
bentrokan lain pada tahun 1995 yang bermula ketika Angkatan Laut Filipina mencoba untuk membongkar bangunan
milik RRT. Ketegangan antara RRT dan Filipina pun berlanjut ketika RRT merespon tindakan pembongkaran
bangunan RRT tersebut dengan jalan mengirimkan kapal perangnya ke wilayah Kepulauan Spratly. Filipina pun
menanggapi respon tersebut dengan mencoba untuk menempatkan pasukan militer mereka untuk menangkap para
nelayan pencari ikan milik RRT yang berada di sekitar Kepulauan Spratly dibagian Timur. Namun, konflik antara RRT
dan Filipina atas klaim wilayah Kepulauan Spratly tidak sampai menimbulkan bentrokan yang gawat seperti yang
terjadi antara RRT dengan Vietnam. Konflik ini untuk sementara dapat diredam lewat jalur diplomatik antar kedua
Negara (Suharna, 2012).
Dalam menanggapi kasus sengketa di Laut Cina Selatan ASEAN telah berupaya menyelesaikan permasalahan-
permasalahan tersebut secara damai. Meskipun masih jauh dari penyelesaian yang sebenarnya. Karakter yang dimiliki
oleh Laut Cina Selatan lebih rumit dikarenakan disana terdiri atas pulau-pulau karang termnasuk pulau yang di
sengketakan. Sehingga menyulitkan penentuan batas landas kontinen. Permasalahan di Laut Cina Selatan menjadi
semakin rumit tatkala terdapat campur tangan asing yang berada diluar konflik tersebut, seperti Amerika Serikat.
Dalam Konvensi Batas Landas Kontinen 1958 (Usman, 1981: 331) ditetapkan prinsip bahwa penetapan Batas Landas
Kontinen dinatara negara-negara pantainya, terdapat di pasal 6. Yaitu penentuan Batas Landas Kontinen ditentukan
secara bersama-sama. Jika persetujuan secara bersama tidak dapat dicapai maka cara lain yang ditempuh adalah
dengan menggunakan garis tengah atau median line bagi daerah yang berhadapan, dan garis jarak yang sama
atau equidistance line bagi daerah yang berdampingan.Dalam melihat sengketa di Laut Cina Selatan kepemilikan
terhadap pulau-pulau tersebut sangatlah menentukan, sebuah negara untuk mendapatkan ZEE lebih luas di tengah
samudera.
Dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan, cara damai adalah cara utama yang terus di upayakan oleh ASEAN dan
juga RRT, hingga disepakatilah Declaration on Conduct of the Parties in South China Sea (DOC) yang disepakati di
Kamboja, pada 4 November 2002. Untuk kemudian yang terakhir adalah disepakatinya Guidelines forthe
Implementation of the DOC, yang menjadi awal pembahasan dari Code of Conduct, atau tata aturan berperilaku di
Laut Cina Selatan pada tahun 2011. Hal ini merupakan sebuah progressif dimana pada tahun yang sama terjadi
peningkatan Hubungan Diplomatik antara ASEAN dan RRT dengan diresmikannya ASEAN-China Centre (ACC).

2.4 Konflik Thailand – Kamboja

Thailand dan Kamboja awalnya merupakan dua negara Asia Tenggara yang memiliki hubungan yang baik dan jarang
terlibat pertikaian. Hal ini mungkin dikarenakan kedua negara tersebut memiliki banyak persamaan, seperti
persamaan agama dan sistem pemerintahan. Keduanya merupakan negara yang berbatasan secara langsung, yaitu
wilayah Preah Vihear berbatasan dengan wilayah Sisaket di bagian Timur Laut Thailand. Ketika merdeka tahun 1953,
Kamboja mulai mengangkat permasalahan kepemilikan Kuil Preah Vihear dengan Thailand. Hubungan kedua negara
sempat tegang setelah Thailand mengirim tentaranya ke kuil tersebut. Thailand bahkan sempat mengamankan
sebagian arca dan obyek kuil ke negerinya. Setelah upaya diplomatik gagal, kedua negara telah sepakat menyerahkan
permasalahan ini ke Mahkamah Internasional (MI), dalam putusannya tertanggal 15 Juni 1962 (The Hague Judgment
of 15 June 1962), Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Kamboja sebagai pemilik Kuil Preah Vihear dan
akibatnya Thailand harus menarik pasukan militernya maupun para penjaga yang dikerahkan di sekitar kuil atau
disekitar wilayah kedaulatan Kamboja.
Keputusan Mahkamah Internasional tersebut adalah bersifat mengikat dan final artinya para pihak yang bersengketa
di hadapan Mahkamah Internasional tidak dapat melakukan banding atas putusan yang telah dikeluarkan.
Mahkamah Internasional mendasarkan putusannya pada peta yang dibuat sekelompok ahli yang dibentuk atas
kesepakatan antara Pemerintah Perancis dan Pemerintah Siam, yaitu the Commission of Delimitation. Dalam
putusannya, Mahkamah Internasional tidak dengan tegas menetapkan garis batas kedua negara. Mahkamah
Internasional hanya menetapkan siapa yang memiliki kedaulatan atas kuil tersebut (Sari, 2008).
Pada bulan Juli 2008 Kuil Preah Vihear yang diperkirakan yang telah berumur 900 tahun dimasukkan dalam daftar
warisan budaya dunia (Word Heritage List) oleh UNESCO. Hal ini disambut gembira oleh Pemerintah Kamboja,
namun memicu masalah di Thailand (Sinar Harapan, 7 Oktober 2008). Akibatnya, terjadilah kontak senjata antara
tentara militer Kamboja dengan tentara militer Thailand di perbatasan dekat Kuil Preah Vihear yang menjadi jantung
sengketa antara kedua negara. Baku tembak yang pecah antara tentara militer kedua negara terjadi pada tanggal 15
Oktober 2008 yang mengakibatkan tewasnya dua orang tentara Kamboja dan melukai lima orang tentara Thailand,
dan kemudian baku tembak untuk kedua kalinya terjadi pada tanggal 3 April 2009, akibat kontak senjata tersebut
telah menewaskan dua orang tentara militer Thailand dan mengakibatkan sepuluh orang tentara militer lainnya
mengalami luka-luka (Sari, 2008).
Berbagai upaya, baik secara bilateral, regional, maupun internasional dilakukan dalam rangka menyelesaikan konflik
ini, atau setidaknya meredakan ketegangan an. Perbedaan persepsi kedua negara dalam upaya penyelesaian semakin
menghambat terciptanya resolusi konflik. Mengingat kekalahannya di Mahkamah Internasional 1962, Thailand hanya
mau menyelesaikan konflik dalam level bilateral (Raharjo, 2011). Sementara itu, Kamboja lebih percaya diri
melibatkan pihak luar, baik PBB maupun ASEAN (Raharjo, 2011).
Hun Sen mengatakan bahwa baku tembak di dekat kuil Preah Vhiear adalah perang bukan lagi konflik antar tentara,
sehingga mekanisme bilateral tidak akan bekerja. Kamboja kemudian meminta Dewan Keamanan (DK) PBB untuk
mengerahkan pasukan pemelihara perdamaian PBB ke perbatasan itu. DK menyatakan bahwa perannya akan dibatasi
dengan cara mendukung usaha-usaha regional dan usaha-usaha bilateral untuk merundingkan penyelesaian konflik
tersebut. PBB kemudian memutuskan akan mengadakan perundingan di New York yang akan dihadiri Menlu
Thailand Kasit Piromya, Hun Sen, dan Menlu Marty Natalegawa dari Indonesia sebagai ketua ASEAN pada 14
Februari 2011 (Raharjo, 2011). Piromya mengatakan bahwa pasukan pemelihara keamanan PBB tak diperlukan dan
bahwa pemerintahnya ingin menyelesaikan isu secara bilateral.
Secara formal, Thailand dan Kamboja sebenarnya sudah mau duduk bersama dalam pertemuan yang difasilitasi
ASEAN seperti yang yang dilakukan pada 22 Februari 2011 di Jakarta, dengan hasil sepakat untuk menerima tim
pemantau dari Indonesia (Raharjo, 2011). Hasil pertemuan ini juga menyepakati pertemuanJoint Border
Committee (JBC) di Bogor pada April 2011 yang melibatkan menteri pertahanan kedua negara (Raharjo, 2011).
Kamboja cenderung mendukung keputusan ini, sedangkan Thailand menunjukkan sikap berbeda. Menteri
Pertahanan Thailand, Prawit Wongsuwan, menyatakan tidak akan menghadiri JBC dan menolak kehadiran tim
pemantau dari Indonesia di wilayah yang disengketakan karena dianggap sebagai wujud campur tangan pihak luar
(Raharjo, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pandangan dalam domestik Thailand, antara
kementerian luar negeri dan kementerian pertahanan.
Penanganan konflik yang diserahkan ke ASEAN akan mengedepankan jalur diplomasi dalam menyelesaikan konflik.
Namun pertempuran antar militer kedua negara kembali pecah pada akhir April 2011, dan bahkan pertempuran ini
meluas ke Candi Ta Moan dan Ta Krabey (Raharjo, 2011). Walaupun penyelesaian konflik dengan mendudukkan
Thailand dan Kamboja secara bersama belum menunjukkan hasil, Indonesia melalui kementerian luar negeri terus
bergerak mencari celah dengan mengadakan pertemuan informal secara terpisah dengan Kamboja dan Thailand.
Sulitnya terciptanya perdamaian di antara kedua negara lebih dikarenakan sikap Thailand yang masih tidak konsisten
terkait dilema internalnya. Indonesia oleh karenanya harus lebih intensif melobi pihak Thailand, tidak hanya menteri
luar negerinya tetapi seluruh pihak yang berkepentingan dalam kabinet Thailand, terutama harus bisa mendekati
militer Thailand yang punya pengaruh besar dalam peta politik Thailand. PM Thailand pun harus melakukan
koordinasi internal kabinetnya mutlak diperlukan untuk bisa merumuskan posisi Thailand sebagai satu kesatuan
sehingga usaha untuk menegosiasikan kepentingan nasional masing-masing negara menjadi keputusan yang win-win
solution bisa lebih mudah diwujudkan. Selain itu, Indonesia juga harus berani mengadakan diplomasi tingkat tinggi
antar kepala negara. Dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta pemimpin negara ASEAN lainnya
seharusnya memberikan perhatian yang lebih terhadap isu ini tanpa harus terjebak pada ketakutan terhadap tuduhan
intervensi (Raharjo, 2011).
Pertemuan trilateral antara Menlu Indonesia Marty Natalagewa, Menlu Thailand Kasit Piromya dan Menlu Kamboja
Hor Namhong, memastikan bahwa Thailand dan Kamboja memastikan untuk tetap menyelesaikan masalah konflik
mereka dengan cara damai. Yudhoyono merekomendasikan agar Thailand dan Kamboja merundingkan tiga hal
penting penyelesaian damai konflik dalam satu paket, yaitu mengaktifkan General Border Committee (perundingan
perbatasan pertahanan kedua negara), melihat kembali nokta kesepakatan tahun 2000, dan penempatan tim peninjau
Indonesia di perbatasan sesuai kesepakatan yang disetujui pada bulan Februari 2011. Hun Sen menambahkan bahwa
penyelesaian konflik di sekitar kuil Preah Vihear diserahkan kepada ASEAN, sedangkan konflik di Candi Ta Moan dan
Ta Krabey akan diselesaikan secara bilateral.

2.5 Konflik Teluk Bengal Antara Myanmar-Bangladesh


Konflik Teluk Bengal terjadi antara negara Myanmar, yang terletak di Asia Tenggara dan negara Bangladesh yang
terletak di Asia Selatan. Latar belakang terjadinya hal ini dikarenakan belum adanya kesepakatan garis batas landas
kontinen antara dua negara tersebut. Hal tersebut diperparah dengan, eksploitasi minyak yang dilakukan oleh
Myanmar di perairan Teluk Benggala, tanpa persetujuan dari Bangladesh. Sehingga konflik Myanmar dan Bangladesh
ini dilatar belakangi oleh sengketa sebidang wilayah yaitu teluk Benggala yang terletak dalam perairan sepanjang tepi
barat Myanmar dan sekitar 93 km barat daya pulau St. Martin.Atau jika ditarik lebih jauh, ketegangan antara
pemerintah Myanmar dan Bangladesh berpusat pada sengketa cadangan minyak yang akan dieksploitasi dan belum
disepakatinya perbatasan teritorial ini. Konflik perbatasan ini, semakin menambah daftar panjang konflik yang terjadi
di Asia Tenggara. Wilayah Asia Tenggara sebagian besar merupakan wilayah perairan, sehingga geografi maritim kain
kompleks.
Di dalam menyikapi kasus persengketaan Teluk Bengal yang terjadi antara Myanmar dan Bangladesh yang telah
berlagsung selama 3 dekade, tentunya kedua negara tersebut telah melakukan berbabagai usaha resolusi konflik baik
dengan melibatkan organisasi-organisasi internasional seperti ASEAN dan PBB yang turut andil menyelesaikan
konflik tersebut melalui kebijakan-kebijakannya. Beberapa pertemuan pun dibuat termasuk melalui negosiasi atau
jalur perundingan bilateral antar kedua negara yang terjadi di Dhaka untuk membicarakan upaya penyelesaian
sengketa dalam usaha menetapkan batas maritim namun pertemuan tersebut berakhir tanpa hasil termasuk. Dan
dalam lingkup ASEAN sendiri, Myanmar yang menjadi negara anggota ASEAN pertama yang sepakat dan memilih
untuk menyelesaikan sengketa batas maritimnya melalui jalur Mahkamah Internasional. Sehingga kemudian sengketa
kedua negara ini dilakukan dengan upaya konsiliasi dengan menunjuk ITLOS sebagai konsiliator. Kedua belah pihak
menerima yurisdiksi International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) untuk sengketa mereka. Myanmar pada
tanggal 4 November 2009 dan Bangladesh pada tanggal 12 Desember 2009 secara resiprokal menyepakati bahwa
klaim ini akan dibawa ke ITLOS. Peran ITLOS dalam penyelesaian sengketa di Teluk Benggala antara Myanmar dan
Bangladesh menggunakan penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa dalam kerangka UNCLOS
1982 dimana menggunakan penyelesaian sengketa secara damai yaitu, menggunakan sarana-sarana penyelesaian
sengketa sebagaimana diatur pada Pasal 33 Ayat 1 Piagam PBB. Adapun deklarasi kedua negara tersebut yakni 1)
Deklarasi Myanmar menyatakan: Sesuai dengan Pasal 287, ayat 1, 1982 Inggris Konvensi PBB tentang Hukum Laut
(UNCLOS), Pemerintah Myanmar dengan ini menyatakan bahwa menerima yurisdiksi Pengadilan Internasional
untuk Hukum Laut untuk penyelesaian sengketa antara Myanmar dan Bangladesh yang berkaitan dengan delimitasi
batas maritim antara kedua negara di Teluk Benggala. 2) Deklarasi Bangladesh menyatakan: Berdasarkan Pasal 287,
ayat 1, 1982 PBB Konvensi tentang Hukum Laut, Pemerintah Bangladesh menyatakan bahwa ia menerima yurisdiksi
Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut untuk penyelesaian sengketa antara Bangladesh dan Myanmar yang
berkaitan dengan delimitasi batas maritim antara kedua Negara di Teluk Benggala (Menas Associates, n.d).
Berdasarkan hasil kesepakan kedua negara serta berdasarkan suara yang telah disepakati, maka keputusan ITLOS
dalam menangani kasus persengketaan ini yaitu; 1.)Dalam hal Delimitasi laut teritorial, Keputusan Pengadilan
menerima keputusan klaim Bangladesh dan memberikan efek penuh di Pulau St Martin di wilayah delimitasi laut
teritorial; 2.) Dalam hal Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Dalam 200 Mil,
keputusan Pengadilan jika dilihat dari status dan akibat yang harus diberikan kepada Pulau St Martin, ITLOS
berpendapat bahwa tidak ada aturan umum dan keadaan tertentu yang dianggap penting; 3.) Dalam hal Delimitasi
Landas Kontinen Di Luar 200 Mil, keputusan Pengadilan dalam hal ini adalah pertama kalinya bahwa
pengadilan internasional harus menangani hukum dan praktek Delimitasi Landas Kontinen di luar 200 mil (Menas
Associates, n.d). Sedangkan berdasarkan keputusan arbitrase mengenai sengketa yang terjadi antara Myanmar dan
Bangladesh, keputusan ITLOS mengatakan bahwa Bangladesh memenangkan arbitrase,namun Bangladesh harus
menyerahkan klaim atas sejumlah besar ZEE dan beberapa blok gas ke Myanmar. Pengadilan juga menyarankan
Myanmar dan Bangladesh untuk saling menjaga wilayah kedaulatannya masing-masing agar upaya penyelesaian
sengketa yang sudah kedua negara lakukan tidak sia-sia sehingga kedua negara dapat menjadi negara yang saling
menguntungkan antar negara dan diharapkan keputusan ini menjadi kemenangan kedua negara. Mengingat
keputusan telah mengakhiri masalah yang telah menghambat perkembangan ekonomi kedua negara selama lebih dari
3 dekade.

2.6 Konflik Vietnam-Kamboja


Latar belakang awal kemunculan konflik di Kamboja dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama bahwa adanya
berbagai kepentingan dari pihak asing di Kamboja. Pihak asing yang terlibat dalam proses pembentukan bangsa
Kamboja ini cenderung mengambil keuntungan dari Kamboja. Kamboja merupakan negara yang terletak di bagian
timur laut Asia Tenggara dan merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Thailand, Vietnam, dan Laos.
Sekitar abad ke-10 sampai abad ke-14, wilayah Kamboja berada di bawah kejayaan Kerajaan Khmer. Namun, sejak
abad ke-14, Thailand dan Vietnam menginvasi dan berusaha untuk menguasai Kamboja terus menerus selama 4 abad.
Thailand melihat bahwa Kamboja memiliki pangsa pasar yang sangat potensial bagi perdagangan kedua negara
tersebut. Vietnam kemudian ingin menyatukan wilayah Indocina di bawah kepemimpinannya yang didukung oleh
Perancis. Kamboja kemudian menjadi bagian dari French Protectorate atau perlindungan Perancis dan bagian
dari French Indochina atau bagian dari koloni Perancis. Awal tahun 1940-an, tepatnya pada saat Perang Dunia II,
Kamboja menjadi wilayah perebutan bagi Perancis dan Jepang. Jepang berhasil merebut Kamboja dari perancis pada
tahun 1940, tetapi kemudian kembali menjadi wilayah perlindungan Perancis sampai tahun 1953 karena Jepang yang
menyerah pada sekutu. Negara superpower seperti Amerika Serikat, Uni Soviet dan Cina juga memliki kepentingan
terhadap Kamboja, di mana Cina memberikan dukungan kepada pemerintahan Democratic Kampuchea di bawah
pimpinan Pol Pot dan Pangeran Sihanouk untuk mengusir Vietnam yang didukung oleh Uni Soviet untuk keluar dari
Kamboja. Sedangkan, Amerika Serikat melihat Kamboja sebagai wilayah yang strategis untuk membendung
komunisme Vietnam Utara pada Perang Indocina tahun 1965-1975 dengan jalan membangun aliansi dengan negara-
negara kawasan Indocina seperti Vietnam Selatan, Thailand dan Kamboja di bawah pemerintahan Lon Nol
(Runtukahu, 2009).
Faktor kedua yaitu adanya implikasi kebijakan rezim Pol Pot yang menyebabkan konflik berkepanjangan di Kamboja.
Sebagai tindakan awal, Pol Pot membagi masyarakat di Kamboja menjadi 5 kategori yakni petani, pekerja, borjuis,
kapitalis dan feudalis sehingga kebijakan-kebijakan yang ditetapkan kemudian mengubah seluruh elemen masyarakat
di Kamboja. Kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh rezim Pol Pot tersebut kemudian mengundang berbagai reaksi
antara negara-negara sekitarnya. Reaksi yang cukup keras disampaikan oleh Vietnam bahwa Vietnam merasa
kebijakan rezim Pol Pot telah merugikan warga keturunan Vietnam di Kamboja. Akibatnya, terjadilah intervensi
Vietnam di Kamboja sebagai akar dari konflik di Kamboja. Tindakan Vietnam yang melakukan intervensi didasari atas
perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan oleh rezim Pol Pot terhadap puluhan ribu warga keturunan Vietnam dan
khususnya para anggota partai komunis pro Vietnam yang juga pernah berkoalisi menumbangkan Lon Nol pada tahun
1975. Tindakan tersebut dianggap Vietnam telah melewati batas toleransi pihak Vietnam sehingga Vietnam merasa
terpaksa untuk menyerang pemerintahan Pol Pot guna menyelamatkan rakyatnya (Runtukahu, 2009).
Pada awal tahun 1979, inervensi Vietnam secara resmi mengambil alih pemerintahan di Kamboja dan kemudian
membangun negara boneka Vietnam di Kamboja. Vietnam yang berhasil mengambil alih Kamboja membentuk
pemerintahan baru yang dikenal sebagai People’s Republic of Kampuchea (PRK) yang dipimpin oleh Presiden Heng
Samrin dan Hun sen sebagai Perdana Menteri. Berdirinya PRK sebagai pemimpin Kamboja mendapat dukungan dari
Uni Soviet dan Laos. Namun, PRK gagal untuk mendapatkan dukungan dari dunia internasional khususya PBB. Hal
ini disebabkan oleh intervensi militer yang dilakukan Vietnam mengundang reaksi negatif dari dunia internasional.
PBB dan kebanyakan negara lainnya menolak untuk mengakui rezim Heng Samrin sebagai pemerintahan yang sah di
Kamboja (Runtukahu, 2009).
ASEAN sebagai organisasi regional menganggap intervensi dan invansi yang dilakukan Vietnam terhadap Kamboja
tidak sesuai dengan visi ASEAN untuk menjadikan suatu komunitas Asia Tenggara yang damai dan hal ini juga telah
mengancam keamanan negara anggota ASEAN yang berbatasan langsung dengan Kamboja, yakni Thailand. Untuk
penyelesaian konflik tersebut, ASEAN memanfaatkan pengaruhnya melalui lobi dengan anggota komunitas
internasional dan melakukan mobilisasi dukungan melalui diplomasi koleftif di forum internasional. Upaya ASEAN
tersebut kemudian berhasil tersalurkan saat PBB menggelar International Conference on Kampuchea (ICK) pada
bulan Juli 1981. Namun, harapan ASEAN terhadap ICK dalam penyelesaian konflik tersebut dinilai kurang sukses
karena konferensi ini tidak berhasil untuk menghadirkan negara-negara tertentu. Hal ini disebabkan oleh terpecahnya
sikap negara-negara tertentu yang mendukung pemerintahan yang dibentuk oleh Vietnam, dan pihak-pihak oposisi
yang bertentangan (Runtukahu, 2009).

Anda mungkin juga menyukai