Arsitektur tradisional atau bangunan adat adalah salah satu aset nasional yang sangat
besar artinya dan perlu dilestarikan, di samping dapat memberi wawasan yang lebih
luas kepada para perencana dalam melakukan perancangan dan pembangunan,
khususnya yang berkaitan dengan ciri khas daerah tertentu (aliran vernakular).
Arsitektur tradisional dari berbagai suku bangsa di Indonesia pada saat ini, ada yang
sudah diteliti dan didokumentasikan, dan ada yang belum utamanya arsitektur dari
berbagai sub etnik di Nusantara yang justru mempunyai karakteristik serta keunikan
tertentu yang dapat dijadikan modal dasar dalam pembangunan pariwisata, termasuk
arsitektur tradisional Mamasa.
Wilayah Mamasa, adalah suatu wilayah yang secara geografis berada di atas
pegunungan dengan luas 2.759,23 km2, dan baru saja diresmikan menjadi kabupaten
tersendiri berdasarkan UU No.11 tahun 2002 yang merupakan pemekaran dari
kabupaten Polewali Mamasa Provinsi Sulawesi Barat. Penduduknya merupakan sub
etnik Toraja dan Mandar (peralihan dari suku Toraja dan suku Mandar). Salah satu
potensi budaya yang ada, adalah arsitektur tradisional Mamasa yang mempunyai ciri
khas tersendiri. Secara sepintas lalu, kelihatan seperti arsitektur tradisional Toraja pada
umumnya tetapi jika diperhatikan secara seksama, utamanya jika ditinjau dari sudut
arsitektural ternyata ia mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu dari segi proporsi, tata
ruang, tata letak, jenis, dan lain-lain yang justru menarik untuk dipelajari.
HASIL PENELITIAN
A. Ritual Tradisional
Arsitektur tradisional Mamasa adalah karya arsitektur yang dilahirkan oleh nenek
moyang orang Mamasa pada masa lampau, sebahagian masih utuh dan dapat dilihat
serta dipakai pada saat ini. Karya arsitektur ini tersebar di berbagai daerah dan
perkampungan adat yang menghiasi alam pegunungan Mamasa yang sangat menawan
dipandang mata dan mengundang para wisatawan dan orang-orang dari luar Mamasa
untuk datang menyaksikan pemberian sang Pencipta dan warisan para leluhur orang
Mamasa kepada generasi muda Mamasa pada saat ini.
Untuk menciptakan karya arsitektur yang menawan dan bernilai tinggi itu, tidaklah
semudah membangun gedung-gedung bertingkat yang megah seperti pada zaman
modern ini, tetapi para leluhur orang Mamasa mengusahakannya dengan susah payah
dan perjuangan yang panjang, apalagi karena semuanya dilakukan secara manual oleh
tenaga manusia, ditambah lagi dengan aturan-aturan adat yang sangat ketat. Aturan-
aturan adat itu, berupa ritual-ritual yang harus dilakukan sebagai tuntutan adat demi
keselamatan manusia yang menghuninya. Jadi aturan-aturan adat itulah yang
merupakan ciri khas sehingga karya itu dinamakan arsitektur tradisional atau dengan
kata lain, bahwa untuk menciptakan karya arsitektur tradisional itu harus full ritus
sebagai persyaratan yang harus dipenuhi. Oleh sebab itu, walaupun masa kini ada
orang yang membangun bangunan yang serupa, tidak tepat lagi disebut arsitektur
tradisional atau rumah tradisional karena mereka tidak lagi melakukan tradisi atau ritual-
ritual yang merupakan persyaratan pendirian rumah seperti itu. Selain itu, fungsi adat
yang diemban setiap rumah tradisional pada masa lampau, tidak mungkin lagi akan
dilakukan dan atau diemban oleh bangunan-bangunan baru yang serupa yang dibangun
oleh generasi yang ada sekarang ini.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap orang-orang tua yang masih
mengetahui proses pembuatan rumah tradisional Mamasa, secara umum dapat
digambarkan bahwa proses ritual yang dilakukan untuk mendirikan rumah adat adalah
sebagai berikut:
1. Penebangan Kayu
Sebelum menebang kayu, terlebih dahulu orang tua harus mencari hari baik, yang
menurut Tandirandan harus dipetari-tarianni, yang oleh Amos disebut ma’piso-piso,
yaitu memotong ayam dan meminta petunjuk dewa melalui penglihatan pada darah
ayam dan hati ayam setelah dadanya dibelah. Dari butiran gelembung-gelembung udara
pada darah ayam itu, mereka dapat mengetahui bahwa dewa telah memperkenankan
atau belum untuk masuk ke hutan. Jika belum, mereka harus menunda dulu dan
mencari hari yang baik dan melakukan ritual yang sama sampai dewa mengizinkan
mereka.
Setelah mendapat izin, merekapun masuk hutan sambil membawa seekor ayam dan
mencari kayu. Setelah mendapat kayu yang cocok, merekapun melakukan apa yang
disebut ditippak yaitu ditebas bagian kulit dan kambiumnya sampai lepas dan jatuh ke
tanah. Kalau membokok atau messa’de (kulit bagian dalam menghadap ke tanah atau
menyamping) berarti kayu itu tidak dapat ditebang dan harus mencari kayu yang lain.
Sebaliknya kalau mentingngayo atau kulit bagian dalamnya menghadap ke atas, berati
boleh dilanjutkan. Sebelum penebangan dimulai, ayam yang dibawah tadi dipotong
sebagai persembahan kepada dewa yang menguasai hutan. Setelah kayu ditebang lalu
sodan (tidak jatuh ke tanah tapi tersangkut pada kayu yang lain) berarti kayu itu tidak
boleh dipakai dan harus mencari kayu yang lain. Begitupun kalau kayu itu ditebang,
rebah ke tanah tapi ada kayu lain yang kena dan ikut tumbang serta menindih kayu
yang dimaksud, maka itupun tidak bisa digunakan. Proses penebangan kayu dan
pembuatan ramuan dihutan, disebut marreto.
Proses marreto ini biasanya berlangsung sampai beberapa bulan. Dan jika tiba saatnya
bulan kadake atau indona bulan (bulan purnama antara 15 – 17 perhitungan bulan
dilangit), proses itu harus dihentikan karena mereka percaya itu adalah bulan api dan
rumah yang dikerjakan pada bulan tersebut mudah terbakar. Demikian juga halnya jika
So’bok mulai ma’piso-piso (pemimpin adat di bidang pertanian melakukan ritual untuk
turun sawah), proses pembuatan rumahpun harus dihentikan sampai proses
pa’totiboyongan yaitu mulai mengerjakan sawah sampai ummette’ tau tinting atau padi
sudah berbuah dan pipitnya mulai dijaga).
Jika ada orang yang meninggal dunia dalam kampung, isteri orang yang membuat
rumah beserta tomanarang (tukang yang mengerjakan rumah itu) tidak boleh melayat ke
rumah orang yang berduka dan kalau keluarga dekat yang meninggal, proses
pembuatan rumah harus dihentikan.
Begitu banyaknya pemali (larangan) yang tidak boleh dilakukan pada saat membangun
sebuah rumah tradisional sehingga tidak heran jika proses pembuatannya biasanya
berlangsung selama bertahun-tahun.
2. Pengangkutan
Setelah ramuan atau material struktur sudah cukup dan lengkap dalam hutan, proses
selanjutnya adalah kesaro (mengangkut ramuan dari dalam hutan). Yang bersangkutan
cukup menentukan waktu dan menyiapkan makanan bagi orang-orang yang akan
mengangkut ramuan rumah atau alang (lumbung). Yang menarik dan istimewa pada
masa lampau adalah semua orang yang ada dalam satu kampung bahkan dari
kampung tetangga harus datang jika mengetahui ada yang kesaro sebab ada
semacam kewajiban moral bagi setiap orang untuk terlibat dalam kegiatan ini.
Disamping rasa kegotong-royongan masih tinggi, juga karena beratnya pekerjaan ini
sehingga jika ada orang yang tidak mau terlibat, pada gilirannya nanti dia yang
mengadakan kegiatan yang sama, dia akan kena sangsi moral yaitu tidak ada orang
yang datang membantunya.
3. Mendirikan Rumah
4. Mambubung
Mambubung adalah salah satu ritual yang harus dilakukan sebagai akhir dari proses
pembuatan rumah tradisional Mamasa. Biasanya setelah pemasangan atap ada
beberapa lembar pada bagian puncak bubungan yang sengaja belum dipasang, dan
nanti dipasang pada saat mambubung. Untuk wilayah Tandasau’ dan Tandalangngan,
mambubung adalah pesta syukuran setelah selesai membangun rumah dan boleh saja
memotong babi banyak, tergantung dari jumlah babi yang ada dan yang dibawah
keluarga karena saat ini, kebiasaan kasisandean (saling membantu) juga berlaku
sehingga bagi orang kaya kadang-kadang memotong babi lebih dari 10 ekor. Setelah
itu, untuk wilayah Tandalangngan masih dilanjutkan dengan satu ritual lagi yang disebut
uttappoi dapo’ (mulai menyalakan api di atas rumah) seekor babi harus dipotong untuk
acara ini.
Di Mamasa pada saat mambubung, Tomanarang diangka’i atau diberi pembagian
khusus karena dia dianggap berjasah dalam pembangunan rumah, disamping memang
ketentuan adat untuk memperlakukan mereka secara istimewa mulai dari awal
pembangunan sampai selesainya rumah itu dibubung atau dibasse bubung.
5. Melambe
Melambe adalah pesta ritual tertinggi sebagai pengucapan syukur setelah satu keluarga
berhasil membangun rumah, dan ini hanya terjadi di Mamasa dan sekitarnya. Jenis
rumah yang dapat dipelambai, hanyalah banua rapa’, banua bolong, banua sura’ /
banua layuk sehingga ritual melambe ini hanya dapat dilakukan oleh para bangsawan.
Selain dari pemimpin adat yang berperan dalam prosesi ini, tidak kala pentingnya
adalah Tomanarang yang dipanggil untuk ma’kambau’ (meminta kepada dewa supaya
yang punya rumah itu selamat menempati rumah barunya dan bertambah kaya).
B. Tata Letak
Tata letak rumah tradisiona Mamasa, menganut pola orientasi utara – selatan.
Umumnya harus menghadap ke utara, yaitu orientasi ke Karua atau Buntu Karua (salah
satu gunung yang dikeramatkan) yang berada persis di bagian utara Kabupaten
Mamasa yang berbatasan dengan Kabupaten Tata Toraja karena Karua dianggap
sebagai sumber kehidupan.
Penempatan alang, untuk wilayah Lembang Mamasa sampai ke Ulusalu ditempatkan
persis melintang di depan rumah dan jika lebih dari satu, dapat ditempatkan di sisi kiri
ataupun kanan rumah namun agak ke depan. Tetapi untuk wilayah Tandasau’ dan
sebagian wilayah Tandalangngan, penempatannya tidak boleh melintang di depan
rumah. Lumbung ditempatkan di sisi kanan rumah dan kalau lebih dari satu, boleh juga
ditempatkan di sisi kiri.
C. Tipologi
1. Bentuk
Rumah tradisional Mamasa yang berada di wilayah Limbong Kalua Tandasau’ dan
Tandalangngan, dari segi tipologis mempunyai bentuk yang sama namun jika diamati
secara seksama akan dijumpai perbedaan-perbedaan, terutama dari segi proporsi dan
ornammen-ornamen yang bermakna simbolik.
2. Klasifikasi
Yang dimaksud klasifikasi di sini, adalah tingkatan dari rumah Tradisional Mamasa
dilihat dari segi bentuk dan strukturnya. Menurut keterangan dari para responden,
bahwa tingkatan rumah tradisional Mamasa dapat diklasifikasi sebagaimana pada
gambar berikut ini.
E. Denah/Tata Ruang
Tata ruang rumah hunian tradisional Mamasa, terdiri atas: 1) Tado’, atau Tambing
wiring, digunakan untuk: istirahat, melakukan sesajen, ruang tidur orang dewasa, atau
tamu. 2) Ba’ba, sebagai ruang pertemuan. Antara lantai sebelah timur dan barat ada
pata’ sebagai garis pemisah yang pada masa lampau, golongan hamba tidak boleh
melewati garis tersebut. Sebelah timur digunakan untuk: kegiatan sehari-hari, sebelah
barat digunakan untuk: tidur, dan pada saat ada yang meninggal digunakan untuk
menyemayamkan mayat (rambu solo’). 3) Tambing digunakan untuk: ruang tidur
wanita/anak gadis. Di atas lantai, terdapat tempat yang disebut bosoran tempat
menyimpan benda-benda pusaka keluarga. 4) Lombon atau bondon, ruang yang berada
di posisi paling selatan digunakan untuk dapur dan juga tempat tidur para hamba wanita
pada masa lampau.
F. Ragam Hias
1. Penulak
Penulak adalah tiang utama yang berukuran besar yang ditempatkan di depan rumah
dan di belakang rumah serta merupakan sentral ragam hias dari rumah tradisional
Mamasa. Fungsi utamanya adalah memikul beban longa (atap rumah bagian depan
dan bagian belakang).
Gambar 7. Penulak dan hiasan kepala naga atau kuda dan kepala kerbau
4. Badong
Badong adalah ragam hias yang ditempatkan pada bagian belakang, samping, dan
depan rumah tradisional Mamasa. Badong biasanya dijumpai hanya pada banua rapa’,
banua bolong, atau banua sura’/banua layuk. Badong bagian belakang rumah biasanya
lebih kecil jika dibandingkan badong yang ditempatkan di depan rumah. Ragam hias ini,
sebagian besar responden menganggap sebagai simbol kebangsawanan.
5. Lulun Paku
Lulun paku adalah ragam hias yang dipasang di penulak bagian depan yang merupakan
landasan tanduk titing. Modelnya merupakan papan yang dihiasi dengan bentuk bulatan
pada dua sisinya.
6. Tanduk Titing
Merupakan ragam hias yang ditempatkan di atas lulun paku dan berbentuk segi tiga
terbalik pada sisi kiri dan kanan tiang penulak. Ujung sebelah atas sekaligus
menyangga kalunteba’ atau kalupappang (balok berupa salib) di bagian atas tiang
penulak.
7. Paloe
Paloe adalah tiang yang dipasang miring di bagian depan penulak. Ujung bagian bawah
tertanam di penulak dan biasanya disanggah oleh darang-darang (hiasan kepala kuda),
atau ulutedong (hiasan kepala kerbau), atau lulun paku. Sementara ujung bagian atas
menyanggah longa (bubungan tinggi bagian depan rumah) yang biasa juga disebut
langi-langi.
8. Langi-Langi
Bagian ini adalah puncak tertinggi dari longa yang disanggah ujung bagian atas paloe.
Untuk wilayah Mamasa dan sekitarnya, bagian ini biasanya dihiasi dengan kalintue’ atau
doke-doke (ragam hias berbentuk anak panah menghadap ke bawah).
Untuk wilayah Tandasau’ dan sebagian wilayah Tandalanggan, langi-langi biasanya
dihiasi dengan matakuang (papan dilobangi dengan bulatan dua buah pada puncak
longa).
9. Pori Sandu’
Porisandu’ adalah jenis ikatan rotan yang biasanya dipakai untuk mengikat konstruksi di
sekitar longa. Disamping berfungsi sebagai pengikat (model / cara mengikat), juga ada
yang bermakna simbolik untuk menggambarkan tingkat kebangsawanan dari pemilik
rumah tersebut. Selain makna simbolik, juga memberi kesan gesaq atau wibawah
terhadap rumah yang memakainya.
KESIMPULAN
Seperti di wilayah lain, Provinsi Sulawesi Barat juga mengenal rumah adat.
Rumah adat itu antara lain rumah adat Mandar dan rumah adat Mamasa.
Pada saat ini bentuk rumah adat di Mamasa adalah hasil perkembangan
dari bentuk rumah tradisional sebelumnya. Bentuk awalnya adalah banua
pandoko dena, banua lentong appa, banua tamben, dan banua tolo’ (sanda ariri).
Bentuk rumah terakhir itulah yang menjadi ciri khas rumah tradisional,
khususnya banua layuk di Mamasa. Ciri khas rumah adat banua layuk, terikat
oleh lokasi, arah, bahan bangunan, dan waktu mendirikan bangunan.
Proses pembuatan hingga siap untuk ditempati tidak terlepas dari berbagai
upacara ritual.
Struktur rumah adat banua layuk terdiri atas tiga bagian, yakni atap, badan,
dan kolong (rumah panggung). Struktur rumah adat tersebut memiliki
pertimbangan praktis dan spiritual. Secara praktis bentuk rumah panggung
di provinsi ini memiliki fungsi sebagai berikut.
a. Menghindarkan gangguan dari binatang buas.
b. Lantai dapat menampung hawa panas di malam hari.
c. Kolong dapat dipergunakan sebagai gudang atau lainnya.
Adapun pertimbangan spiritual adalah simbol dari alam yang terdiri atas
tiga lapisan, yakni dunia atas, tengah, dan bawah.
Rumah adat banua layuk sebagai rumah adat yang sarat dengan makna
simbolik merupakan cerminan dari nilai-nilai budaya setepat. Simbol-simbol
itu dapat ditemukan pada struktur, ukiran, dan unsur-unsur lainnya. Ada
persamaan dan perbedaan antara rumah adat banua layuk di Mamasa
dan tongkonan di Tana Toraja. Persamaan dari keduanya dikarenakan
mempunyai akar budaya yang sama. Adapun perbedaannya disebabkan
oleh kondisi lingkungan dan sosial budaya yang berbeda.
Rumah adat Mamasa memiliki kemiripan dengan rumah adat Toraja mengapa bisa ya?
menurut sejarahnya kedua etnik tersebut berasal dalam satu rumpun berikut beberapa
rumah adat yang ada di Mamasa Sulbar.
1. Banua Layuk
Berasal dari kata “Banua” berarti rumah; kata “Layuk” berarti tinggi, maka “Banua
Layuk” artinya “Rumah Tinggi”, yang sangat berukuran besar dan tinggi, biasanya
pemilik rumah tersebut merupakan pemimpin dalam masyarakat atau bangsawan.
2. Banua Sura
Kata “Sura” berarti “Ukir” jadi “Banua Sura” berarti “Rumah Ukir”, besar dan tingginya
tidak seperti banua layuk. Penghuni daripada rumah merupakan pemimpin dalam
masyarakat dan bangsawan.
3. Banua Bolong
Kata “Bolong” berarti “Hitam”. Rumah ini dihuni oleh orang kaya dan pemberani dalam
masyarakat.
4. Banua Rapa
Rumah Mamasa dengan warna asli (tidak diukir dan tidak dihitamkan), dihuni oleh
masyaraakt biasa.
5. Banua Longkarrin
Rumah Mamasa yang bagian tiang paling bawah bersentuhan dengan tanah dialas
dengan kayu (longkarrin), dihuni juga oleh masyarakat biasa.
Rumah adat Mamasa bernama Banua Layuk yang berlokasi di Rantebuda, Buntukasisi.
Orobua, dan Tawalian kesemuanya dalam wilayah Kecamatan Mamasa. Rumah adat
Mamasa merupakan simbol eksistensi suku toraja mamasa saat ini, yang semakin lama
semakin terkikis oleh arus perubahan jaman. Pada dasarnya rumah adat Mamasa hampir
mirip dengan rumah adat Toraja, perbedaannya yaitu rumah adat mamasa memiliki atap
kayu yang berat dengan bentuk yang tidak terlalu melengkung sementara rumah adat
Toraja memiliki atap kayu dengan bentuk seperti huruf ‘U’. Dan selain itu, masyarakat
Mamasa tidak memiliki terlalu banyak upacara adat sebagaimana di Toraja.
Secara struktur Banua Layuk yang terdiri atas tiga bagian, yakni atap, badan, dan
kolong (rumah panggung), Secara fungsional bentuk rumah panggung dapat digunakan
untuk menghindari gangguan binatang buas, lantai dapat menampung hawa panas di
malam hari, sehingga cocok untuk daerah dingin, dan kolong dapat berfungsi praktis.
Banua layuk sebagai rumah adat sarat dengan makna simbolik sebagai cerminan dari
nilai-nilai budaya yang dianut oleh masayarakatnya. Simbol-simbol tersebut ditemukan
pada struktur, ukiran, dan unsur-unsur lainnya yang terdapat pada banua layuk.
Proses pembuatan banua layuk dari permulaan hingga bangunan siap untuk ditempati
tidak terlepas dari kegiatan upacara ritual dengan mengorbankan ayam atau babi.
Struktur banua layuk yang terdiri atas tiga bagian, yakni atap, badan, dan kolong
(rumah panggung), selain karena pertimbangan fungsional sekaligus tersirat makna
filosofi.
Sedang makna filosofi dibalik struktur banua layuk yang terdiri tiga bagian adalah simbol
dari makroskosmos yang terdiri atas tiga lapisan yakni dunia atas, tengah, dan bawah.
Banua layuk sebagai rumah adat sarat dengan makna simbolik sebagai cerminan dari
nilai-nilai budaya yang dianut oleh masayarakatnya. Simbol-simbol tersebut ditemukan
pada struktur, ukiran, dan unsur-unsur lainnya yang terdapat pada banua layuk.
https://budayanusantara2010.wordpress.com/kebudayaan-tradisional-indonesia/rumah-
adat/rumah-adat-mamasa/