Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Arsitektur tradisional atau bangunan adat adalah salah satu aset nasional yang sangat
besar artinya dan perlu dilestarikan, di samping dapat memberi wawasan yang lebih
luas kepada para perencana dalam melakukan perancangan dan pembangunan,
khususnya yang berkaitan dengan ciri khas daerah tertentu (aliran vernakular).
Arsitektur tradisional dari berbagai suku bangsa di Indonesia pada saat ini, ada yang
sudah diteliti dan didokumentasikan, dan ada yang belum utamanya arsitektur dari
berbagai sub etnik di Nusantara yang justru mempunyai karakteristik serta keunikan
tertentu yang dapat dijadikan modal dasar dalam pembangunan pariwisata, termasuk
arsitektur tradisional Mamasa.
Wilayah Mamasa, adalah suatu wilayah yang secara geografis berada di atas
pegunungan dengan luas 2.759,23 km2, dan baru saja diresmikan menjadi kabupaten
tersendiri berdasarkan UU No.11 tahun 2002 yang merupakan pemekaran dari
kabupaten Polewali Mamasa Provinsi Sulawesi Barat. Penduduknya merupakan sub
etnik Toraja dan Mandar (peralihan dari suku Toraja dan suku Mandar). Salah satu
potensi budaya yang ada, adalah arsitektur tradisional Mamasa yang mempunyai ciri
khas tersendiri. Secara sepintas lalu, kelihatan seperti arsitektur tradisional Toraja pada
umumnya tetapi jika diperhatikan secara seksama, utamanya jika ditinjau dari sudut
arsitektural ternyata ia mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu dari segi proporsi, tata
ruang, tata letak, jenis, dan lain-lain yang justru menarik untuk dipelajari.

HASIL PENELITIAN

A. Ritual Tradisional
Arsitektur tradisional Mamasa adalah karya arsitektur yang dilahirkan oleh nenek
moyang orang Mamasa pada masa lampau, sebahagian masih utuh dan dapat dilihat
serta dipakai pada saat ini. Karya arsitektur ini tersebar di berbagai daerah dan
perkampungan adat yang menghiasi alam pegunungan Mamasa yang sangat menawan
dipandang mata dan mengundang para wisatawan dan orang-orang dari luar Mamasa
untuk datang menyaksikan pemberian sang Pencipta dan warisan para leluhur orang
Mamasa kepada generasi muda Mamasa pada saat ini.
Untuk menciptakan karya arsitektur yang menawan dan bernilai tinggi itu, tidaklah
semudah membangun gedung-gedung bertingkat yang megah seperti pada zaman
modern ini, tetapi para leluhur orang Mamasa mengusahakannya dengan susah payah
dan perjuangan yang panjang, apalagi karena semuanya dilakukan secara manual oleh
tenaga manusia, ditambah lagi dengan aturan-aturan adat yang sangat ketat. Aturan-
aturan adat itu, berupa ritual-ritual yang harus dilakukan sebagai tuntutan adat demi
keselamatan manusia yang menghuninya. Jadi aturan-aturan adat itulah yang
merupakan ciri khas sehingga karya itu dinamakan arsitektur tradisional atau dengan
kata lain, bahwa untuk menciptakan karya arsitektur tradisional itu harus full ritus
sebagai persyaratan yang harus dipenuhi. Oleh sebab itu, walaupun masa kini ada
orang yang membangun bangunan yang serupa, tidak tepat lagi disebut arsitektur
tradisional atau rumah tradisional karena mereka tidak lagi melakukan tradisi atau ritual-
ritual yang merupakan persyaratan pendirian rumah seperti itu. Selain itu, fungsi adat
yang diemban setiap rumah tradisional pada masa lampau, tidak mungkin lagi akan
dilakukan dan atau diemban oleh bangunan-bangunan baru yang serupa yang dibangun
oleh generasi yang ada sekarang ini.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap orang-orang tua yang masih
mengetahui proses pembuatan rumah tradisional Mamasa, secara umum dapat
digambarkan bahwa proses ritual yang dilakukan untuk mendirikan rumah adat adalah
sebagai berikut:

1. Penebangan Kayu

Sebelum menebang kayu, terlebih dahulu orang tua harus mencari hari baik, yang
menurut Tandirandan harus dipetari-tarianni, yang oleh Amos disebut ma’piso-piso,
yaitu memotong ayam dan meminta petunjuk dewa melalui penglihatan pada darah
ayam dan hati ayam setelah dadanya dibelah. Dari butiran gelembung-gelembung udara
pada darah ayam itu, mereka dapat mengetahui bahwa dewa telah memperkenankan
atau belum untuk masuk ke hutan. Jika belum, mereka harus menunda dulu dan
mencari hari yang baik dan melakukan ritual yang sama sampai dewa mengizinkan
mereka.
Setelah mendapat izin, merekapun masuk hutan sambil membawa seekor ayam dan
mencari kayu. Setelah mendapat kayu yang cocok, merekapun melakukan apa yang
disebut ditippak yaitu ditebas bagian kulit dan kambiumnya sampai lepas dan jatuh ke
tanah. Kalau membokok atau messa’de (kulit bagian dalam menghadap ke tanah atau
menyamping) berarti kayu itu tidak dapat ditebang dan harus mencari kayu yang lain.
Sebaliknya kalau mentingngayo atau kulit bagian dalamnya menghadap ke atas, berati
boleh dilanjutkan. Sebelum penebangan dimulai, ayam yang dibawah tadi dipotong
sebagai persembahan kepada dewa yang menguasai hutan. Setelah kayu ditebang lalu
sodan (tidak jatuh ke tanah tapi tersangkut pada kayu yang lain) berarti kayu itu tidak
boleh dipakai dan harus mencari kayu yang lain. Begitupun kalau kayu itu ditebang,
rebah ke tanah tapi ada kayu lain yang kena dan ikut tumbang serta menindih kayu
yang dimaksud, maka itupun tidak bisa digunakan. Proses penebangan kayu dan
pembuatan ramuan dihutan, disebut marreto.
Proses marreto ini biasanya berlangsung sampai beberapa bulan. Dan jika tiba saatnya
bulan kadake atau indona bulan (bulan purnama antara 15 – 17 perhitungan bulan
dilangit), proses itu harus dihentikan karena mereka percaya itu adalah bulan api dan
rumah yang dikerjakan pada bulan tersebut mudah terbakar. Demikian juga halnya jika
So’bok mulai ma’piso-piso (pemimpin adat di bidang pertanian melakukan ritual untuk
turun sawah), proses pembuatan rumahpun harus dihentikan sampai proses
pa’totiboyongan yaitu mulai mengerjakan sawah sampai ummette’ tau tinting atau padi
sudah berbuah dan pipitnya mulai dijaga).
Jika ada orang yang meninggal dunia dalam kampung, isteri orang yang membuat
rumah beserta tomanarang (tukang yang mengerjakan rumah itu) tidak boleh melayat ke
rumah orang yang berduka dan kalau keluarga dekat yang meninggal, proses
pembuatan rumah harus dihentikan.
Begitu banyaknya pemali (larangan) yang tidak boleh dilakukan pada saat membangun
sebuah rumah tradisional sehingga tidak heran jika proses pembuatannya biasanya
berlangsung selama bertahun-tahun.

2. Pengangkutan

Setelah ramuan atau material struktur sudah cukup dan lengkap dalam hutan, proses
selanjutnya adalah kesaro (mengangkut ramuan dari dalam hutan). Yang bersangkutan
cukup menentukan waktu dan menyiapkan makanan bagi orang-orang yang akan
mengangkut ramuan rumah atau alang (lumbung). Yang menarik dan istimewa pada
masa lampau adalah semua orang yang ada dalam satu kampung bahkan dari
kampung tetangga harus datang jika mengetahui ada yang kesaro sebab ada
semacam kewajiban moral bagi setiap orang untuk terlibat dalam kegiatan ini.
Disamping rasa kegotong-royongan masih tinggi, juga karena beratnya pekerjaan ini
sehingga jika ada orang yang tidak mau terlibat, pada gilirannya nanti dia yang
mengadakan kegiatan yang sama, dia akan kena sangsi moral yaitu tidak ada orang
yang datang membantunya.

3. Mendirikan Rumah

Setelah material struktur sudah terkumpul di kampung, yang empunya rumah


mengadakan ritual lagi, yaitu memotong ayam dan bertanya kepada dewa lewat darah
ayam yang dipotong itu. Jika menurut kebiasaan mereka darah ayam itu bagus, berarti
dewa telah mengisinkan dan dapat dilanjutkan. Jika belum, berarti waktunya harus
dilihat ulang karena dewa belum mengizinkan.
Bulan yang baik adalah saat hitungan bulan di langit menanjak, misalnya 4 – 8 yaitu
pada saat bulan sudah makaleso (bersinar penuh). Timponga’na bulan (bulan belum
bersinar penuh) tidak baik karena dapat membawah pengaruh jelek bagi siempunya
rumah, yaitu sitimponga’-ponga’ liu (suka marah-marah).
Setelah semuanya berjalan lancar, dewa sudah mengizinkan maka sebelum
tomanarang (tukang) memulai aktivitasnya, biasanya diawali dengan ritual khusus, yaitu
memotong ayam sebagai tanda dimulainya pekerjaan. Selama kegiatan berlangsung,
khususnya wilayah Mamasa tomanarang harus diperlakukan khusus. Dulang (piring dari
kayu yang berkaki tinggi) dan alat minumnya harus ditersendirikan, tidak boleh
bercampur dengan alat-alat makan yang lain. Begitupun perlakuan terhadap mereka
selama proses pembuatan rumah berlangsung, harus diperlakukan khusus. Hal ini
dimaksudkan agar ramuan rumah yang sementara dikerjakan tidak bertukar atau tidak
salah dalam pembuatannya. Proses ini biasanya berlangsung beberapa lama, yaitu
tomanarang melubangi dan membuat sambungan-sambungan konstruksi karena
konstruksinya memakai system ikat dan pasak serta tidak boleh memakai bahan besi
seperti paku.
Setelah semua proses pengolahan bahan selesai, tiba saatnya untuk menyatukan
bagian-bagian konstruksi itu, yang biasa disebut ma’pasitoe atau ma’pasiraka’ dan mulai
mendirikan rumah. Sebelum kegiatan ini, terlebih dahulu harus diadakan ritual yang
disebut ma’tallu rara yaitu memotong tiga jenis binatang: ayam, anjing, dan babi.
Soleman Pasau’, mengatakan, “khusus wilayah Tandalangngan yang pertama didirikan
adalah la’diri posi dimana la’diri posi’ harus dipatali’i (diikat kain) mantra dibacakan oleh
Toma’kada (pemimpin ritual) sambil Toma’kada itu juga ma’tali tallu (memakai tiga ikat
kepala) masing-masing berwarna merah, putih, dan hitam”
Secara umum, proses pembuatan rumah tradisional Mamasa harus dimulai dari bawah,
yaitu: lentong, (tiang) kemudian pelelen (sulur), daporan (tempatnya manangnga
melekat), manangnga (tempat rinding angin/rimbang melekat), lalu memasang rinding
angin (dinding) dengan cara disorong turun di antara manangnga. Lalu pemasangan
ba’a’ sebagai sambo rinding (tutup dinding) dan penutup ujung manangnga sebelah
atas. Proses ini biasanya disebut sikapu’ atau proses pemasangan tiang dan
pemasangan dinding sudah rampung, mulai dari lombon/bondon (ruang paling
belakang) sampai ba’ba (ruang depan).
Untuk wilayah Mamasa selain dari tallu rara, juga tetap melakukan acara ritual ketika
ma’pasipulung (pengelompokan jenis konstruksi), saat pemasangan penulak, dan saat
pemasangan longa. Khusus untuk penulak pada saat penulak belakang dipasang,
mereka harus potong babi sementara penulak depan, yang dipotong adalah ayam
jantan karena rumah tradisional di Mamasa juga dilambangkan sebagai ayam jantan.
Biasanya setelah banua sikapu’mi, (pemasangan konstruksi sudah rampung) saat ini
digunakan untuk istirahat dan rumah hanya dibarungngi (diatapi sementara) sambil
menunggu waktu yang lebih leluasa, terutama dari segi finansial untuk meneruskan
pembangunan rumah. Bagi orang kaya bisa saja diteruskan dengan pemasangan petuo,
para, dan pemasangan kaso, manete (bubungan), lalu mampapa (memasang atap).

4. Mambubung

Mambubung adalah salah satu ritual yang harus dilakukan sebagai akhir dari proses
pembuatan rumah tradisional Mamasa. Biasanya setelah pemasangan atap ada
beberapa lembar pada bagian puncak bubungan yang sengaja belum dipasang, dan
nanti dipasang pada saat mambubung. Untuk wilayah Tandasau’ dan Tandalangngan,
mambubung adalah pesta syukuran setelah selesai membangun rumah dan boleh saja
memotong babi banyak, tergantung dari jumlah babi yang ada dan yang dibawah
keluarga karena saat ini, kebiasaan kasisandean (saling membantu) juga berlaku
sehingga bagi orang kaya kadang-kadang memotong babi lebih dari 10 ekor. Setelah
itu, untuk wilayah Tandalangngan masih dilanjutkan dengan satu ritual lagi yang disebut
uttappoi dapo’ (mulai menyalakan api di atas rumah) seekor babi harus dipotong untuk
acara ini.
Di Mamasa pada saat mambubung, Tomanarang diangka’i atau diberi pembagian
khusus karena dia dianggap berjasah dalam pembangunan rumah, disamping memang
ketentuan adat untuk memperlakukan mereka secara istimewa mulai dari awal
pembangunan sampai selesainya rumah itu dibubung atau dibasse bubung.

5. Melambe

Melambe adalah pesta ritual tertinggi sebagai pengucapan syukur setelah satu keluarga
berhasil membangun rumah, dan ini hanya terjadi di Mamasa dan sekitarnya. Jenis
rumah yang dapat dipelambai, hanyalah banua rapa’, banua bolong, banua sura’ /
banua layuk sehingga ritual melambe ini hanya dapat dilakukan oleh para bangsawan.
Selain dari pemimpin adat yang berperan dalam prosesi ini, tidak kala pentingnya
adalah Tomanarang yang dipanggil untuk ma’kambau’ (meminta kepada dewa supaya
yang punya rumah itu selamat menempati rumah barunya dan bertambah kaya).

B. Tata Letak

Tata letak rumah tradisiona Mamasa, menganut pola orientasi utara – selatan.
Umumnya harus menghadap ke utara, yaitu orientasi ke Karua atau Buntu Karua (salah
satu gunung yang dikeramatkan) yang berada persis di bagian utara Kabupaten
Mamasa yang berbatasan dengan Kabupaten Tata Toraja karena Karua dianggap
sebagai sumber kehidupan.
Penempatan alang, untuk wilayah Lembang Mamasa sampai ke Ulusalu ditempatkan
persis melintang di depan rumah dan jika lebih dari satu, dapat ditempatkan di sisi kiri
ataupun kanan rumah namun agak ke depan. Tetapi untuk wilayah Tandasau’ dan
sebagian wilayah Tandalangngan, penempatannya tidak boleh melintang di depan
rumah. Lumbung ditempatkan di sisi kanan rumah dan kalau lebih dari satu, boleh juga
ditempatkan di sisi kiri.

C. Tipologi

1. Bentuk

Rumah tradisional Mamasa yang berada di wilayah Limbong Kalua Tandasau’ dan
Tandalangngan, dari segi tipologis mempunyai bentuk yang sama namun jika diamati
secara seksama akan dijumpai perbedaan-perbedaan, terutama dari segi proporsi dan
ornammen-ornamen yang bermakna simbolik.
2. Klasifikasi

Yang dimaksud klasifikasi di sini, adalah tingkatan dari rumah Tradisional Mamasa
dilihat dari segi bentuk dan strukturnya. Menurut keterangan dari para responden,
bahwa tingkatan rumah tradisional Mamasa dapat diklasifikasi sebagaimana pada
gambar berikut ini.

Gambar 1. Banua Toban/Tulekken

Gambar 2 Jenis banua Longkarrin


Gambar 3 Jenis banua rapa’

Gambar 4 Jenis banua bolong

Gambar 5. Jenis banua sura ’

D. Struktur dan Konstruksi


Sistem struktur rumah tradisional Mamasa, adalah sistem rangka dengan hubungan pen
dan pasak, sistem lepas (free standing), dengan berat/gravitasi (G) sebagai faktor
pengaku terhadap gaya horizontal. Bentuk struktur dihubungkan dengan personavikasi,
yaitu hubungan manusia dengan alam, yang terdiri atas kepala, badan, dan kaki serta
kosmologi yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah yang tercermin dari atap,
badan rumah, dan tiang.
Rumah Tradisional Mamasa berbentuk rumah panggung dengan tinggi kolong
bervariasi. Konstruksi kolom dan balok dari kayu membentuk elemen horizontal dan
vertikal, merupakan ciri umum dari arsitektur tradisional sebagai lambang ikatan
manusia dan alam. Dari segi konstruksi, jumlah dan besaran kolom over design, artinya
terlalu kuat untuk menyangga konstruksi yang ada diatasnya. (Gambar 6)

Gambar 6 Struktur dan Konstruksi dilihat dari samping

E. Denah/Tata Ruang

Tata ruang rumah hunian tradisional Mamasa, terdiri atas: 1) Tado’, atau Tambing
wiring, digunakan untuk: istirahat, melakukan sesajen, ruang tidur orang dewasa, atau
tamu. 2) Ba’ba, sebagai ruang pertemuan. Antara lantai sebelah timur dan barat ada
pata’ sebagai garis pemisah yang pada masa lampau, golongan hamba tidak boleh
melewati garis tersebut. Sebelah timur digunakan untuk: kegiatan sehari-hari, sebelah
barat digunakan untuk: tidur, dan pada saat ada yang meninggal digunakan untuk
menyemayamkan mayat (rambu solo’). 3) Tambing digunakan untuk: ruang tidur
wanita/anak gadis. Di atas lantai, terdapat tempat yang disebut bosoran tempat
menyimpan benda-benda pusaka keluarga. 4) Lombon atau bondon, ruang yang berada
di posisi paling selatan digunakan untuk dapur dan juga tempat tidur para hamba wanita
pada masa lampau.

F. Ragam Hias

1. Penulak
Penulak adalah tiang utama yang berukuran besar yang ditempatkan di depan rumah
dan di belakang rumah serta merupakan sentral ragam hias dari rumah tradisional
Mamasa. Fungsi utamanya adalah memikul beban longa (atap rumah bagian depan
dan bagian belakang).
Gambar 7. Penulak dan hiasan kepala naga atau kuda dan kepala kerbau

2. Hiasan Kepala Naga atau Kuda


Hiasan ini sebenarnya adalah kepala naga karena naga dianggap sebagai raja dari
seluruh jenis binatang sehingga kepala naga dan atau kuda ini, yang dalam bahasa
daerahnya disebut dara-darang, dahulu dibuat bersisik .

3. Hiasan Kepala Kerbau


Hiasan kepala kerbau, biasanya ditempatkan di depan rumah dan ada juga ditempatkan
di tiang penulak utama. Hiasan ini, sebagian besar masyarakat terutama wilayah
tandalangngan menganggap sebagai simbol kekayaan dan kemakmuran.

4. Badong
Badong adalah ragam hias yang ditempatkan pada bagian belakang, samping, dan
depan rumah tradisional Mamasa. Badong biasanya dijumpai hanya pada banua rapa’,
banua bolong, atau banua sura’/banua layuk. Badong bagian belakang rumah biasanya
lebih kecil jika dibandingkan badong yang ditempatkan di depan rumah. Ragam hias ini,
sebagian besar responden menganggap sebagai simbol kebangsawanan.

5. Lulun Paku

Lulun paku adalah ragam hias yang dipasang di penulak bagian depan yang merupakan
landasan tanduk titing. Modelnya merupakan papan yang dihiasi dengan bentuk bulatan
pada dua sisinya.

6. Tanduk Titing
Merupakan ragam hias yang ditempatkan di atas lulun paku dan berbentuk segi tiga
terbalik pada sisi kiri dan kanan tiang penulak. Ujung sebelah atas sekaligus
menyangga kalunteba’ atau kalupappang (balok berupa salib) di bagian atas tiang
penulak.

7. Paloe
Paloe adalah tiang yang dipasang miring di bagian depan penulak. Ujung bagian bawah
tertanam di penulak dan biasanya disanggah oleh darang-darang (hiasan kepala kuda),
atau ulutedong (hiasan kepala kerbau), atau lulun paku. Sementara ujung bagian atas
menyanggah longa (bubungan tinggi bagian depan rumah) yang biasa juga disebut
langi-langi.

8. Langi-Langi
Bagian ini adalah puncak tertinggi dari longa yang disanggah ujung bagian atas paloe.
Untuk wilayah Mamasa dan sekitarnya, bagian ini biasanya dihiasi dengan kalintue’ atau
doke-doke (ragam hias berbentuk anak panah menghadap ke bawah).
Untuk wilayah Tandasau’ dan sebagian wilayah Tandalanggan, langi-langi biasanya
dihiasi dengan matakuang (papan dilobangi dengan bulatan dua buah pada puncak
longa).

9. Pori Sandu’
Porisandu’ adalah jenis ikatan rotan yang biasanya dipakai untuk mengikat konstruksi di
sekitar longa. Disamping berfungsi sebagai pengikat (model / cara mengikat), juga ada
yang bermakna simbolik untuk menggambarkan tingkat kebangsawanan dari pemilik
rumah tersebut. Selain makna simbolik, juga memberi kesan gesaq atau wibawah
terhadap rumah yang memakainya.

10. Sura’ (Ukiran)


Menurut Amos, bahwa rumah bangsawan pada masa lampau hanyalah banua bolong
(blach house). Para pemangku adat menempati banua disussuk (rumah diukir dengan
ukiran pa’sussuk) sejenis ukiran tertua dan sudah jarang dijumpai di wilayah Mamasa
dan sekitanya, namun masih banyak di wilayah Pana’ dan sekitarnya. Selanjutnya, dia
menjelaskan bahwa ukiran yang ada sekarang adalah perkembangan kemudian setelah
orang sudah merasa mampu.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan di wilayah Limbongkalua’, wilayah


Tandasau’ dan Wilayah Tandalangngan yang meliputi 10 kecamatan dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Ritualisme, yang dilakukan sebelum dan pada saat mendirikan rumah tradisional,
pada umumnya mempunyai persamaan. Perbedaannya hanya dalam hal istilah dan
proses pelaksanaannya, kecuali acara melambe dan ma’kambau’ hanya didapatkan di
wilayah Limbongkalau’ (Mamasa dan sekitarnya).
2. Tata Letak, dari segi orientasi di semua wilayah sama yaitu menghadap ke utara
(karua). Yang agak berbeda adalah penempatan lumbung, di mana untuk wilayah
Limbong Kalua’ , Ulusalu dan Tabang mempunyai persamaan yaitu lumbung persis
ditempatkan melintang di depan rumah dan kalau lebih dari satu ditempatkan di sisi kiri
dan kanan depan. Untuk wilayah Tandasau, Nosu, dan Pana’ penempatan lumbung
adalah di sisi kanan atau kiri rumah.
3. Tipologi atau bentuk, untuk semua wilayah hampir sama kecuali proporsi yang agak
berbeda karena di wilayah Mamasa terdapat beberapa rumah adat yang cukup besar.
Begitupun klasifikasi atau tingkatan rumah, semuanya hampir sama, kecuali dari segi
nama atau pengistilahan yang berbeda.
4. Struktur dan Konstruksi. mempunyai persamaan baik dari segi material struktur
maupun system struktur dengan system pasak dan pen serta iakatan.
5. Denah dan Tata Ruang mempunyai persamaan di seluruh wilayah, kecuali dalam
hal penamaan untuk setiap ruangan ada yang berbeda.
6. Ragam Hias, secara umum mempunyai persamaan namun ada perbedaan sedikit
terutama yang berhubungan dengan fungsi adat dan makna simbolisme.
http://tradisionalmamasa.blogspot.co.id/

Seperti di wilayah lain, Provinsi Sulawesi Barat juga mengenal rumah adat.
Rumah adat itu antara lain rumah adat Mandar dan rumah adat Mamasa.

Pada saat ini bentuk rumah adat di Mamasa adalah hasil perkembangan
dari bentuk rumah tradisional sebelumnya. Bentuk awalnya adalah banua
pandoko dena, banua lentong appa, banua tamben, dan banua tolo’ (sanda ariri).
Bentuk rumah terakhir itulah yang menjadi ciri khas rumah tradisional,
khususnya banua layuk di Mamasa. Ciri khas rumah adat banua layuk, terikat
oleh lokasi, arah, bahan bangunan, dan waktu mendirikan bangunan.
Proses pembuatan hingga siap untuk ditempati tidak terlepas dari berbagai
upacara ritual.

Struktur rumah adat banua layuk terdiri atas tiga bagian, yakni atap, badan,
dan kolong (rumah panggung). Struktur rumah adat tersebut memiliki
pertimbangan praktis dan spiritual. Secara praktis bentuk rumah panggung
di provinsi ini memiliki fungsi sebagai berikut.
a. Menghindarkan gangguan dari binatang buas.
b. Lantai dapat menampung hawa panas di malam hari.
c. Kolong dapat dipergunakan sebagai gudang atau lainnya.

Adapun pertimbangan spiritual adalah simbol dari alam yang terdiri atas
tiga lapisan, yakni dunia atas, tengah, dan bawah.

Rumah adat banua layuk sebagai rumah adat yang sarat dengan makna
simbolik merupakan cerminan dari nilai-nilai budaya setepat. Simbol-simbol
itu dapat ditemukan pada struktur, ukiran, dan unsur-unsur lainnya. Ada
persamaan dan perbedaan antara rumah adat banua layuk di Mamasa
dan tongkonan di Tana Toraja. Persamaan dari keduanya dikarenakan
mempunyai akar budaya yang sama. Adapun perbedaannya disebabkan
oleh kondisi lingkungan dan sosial budaya yang berbeda.

Rumah Adat Mamasa

Rumah adat Mamasa memiliki kemiripan dengan rumah adat Toraja mengapa bisa ya?
menurut sejarahnya kedua etnik tersebut berasal dalam satu rumpun berikut beberapa
rumah adat yang ada di Mamasa Sulbar.

1. Banua Layuk
Berasal dari kata “Banua” berarti rumah; kata “Layuk” berarti tinggi, maka “Banua
Layuk” artinya “Rumah Tinggi”, yang sangat berukuran besar dan tinggi, biasanya
pemilik rumah tersebut merupakan pemimpin dalam masyarakat atau bangsawan.

2. Banua Sura
Kata “Sura” berarti “Ukir” jadi “Banua Sura” berarti “Rumah Ukir”, besar dan tingginya
tidak seperti banua layuk. Penghuni daripada rumah merupakan pemimpin dalam
masyarakat dan bangsawan.

3. Banua Bolong
Kata “Bolong” berarti “Hitam”. Rumah ini dihuni oleh orang kaya dan pemberani dalam
masyarakat.

4. Banua Rapa
Rumah Mamasa dengan warna asli (tidak diukir dan tidak dihitamkan), dihuni oleh
masyaraakt biasa.

5. Banua Longkarrin
Rumah Mamasa yang bagian tiang paling bawah bersentuhan dengan tanah dialas
dengan kayu (longkarrin), dihuni juga oleh masyarakat biasa.

Rumah adat Mamasa bernama Banua Layuk yang berlokasi di Rantebuda, Buntukasisi.
Orobua, dan Tawalian kesemuanya dalam wilayah Kecamatan Mamasa. Rumah adat
Mamasa merupakan simbol eksistensi suku toraja mamasa saat ini, yang semakin lama
semakin terkikis oleh arus perubahan jaman. Pada dasarnya rumah adat Mamasa hampir
mirip dengan rumah adat Toraja, perbedaannya yaitu rumah adat mamasa memiliki atap
kayu yang berat dengan bentuk yang tidak terlalu melengkung sementara rumah adat
Toraja memiliki atap kayu dengan bentuk seperti huruf ‘U’. Dan selain itu, masyarakat
Mamasa tidak memiliki terlalu banyak upacara adat sebagaimana di Toraja.

Secara struktur Banua Layuk yang terdiri atas tiga bagian, yakni atap, badan, dan
kolong (rumah panggung), Secara fungsional bentuk rumah panggung dapat digunakan
untuk menghindari gangguan binatang buas, lantai dapat menampung hawa panas di
malam hari, sehingga cocok untuk daerah dingin, dan kolong dapat berfungsi praktis.

Banua layuk sebagai rumah adat sarat dengan makna simbolik sebagai cerminan dari
nilai-nilai budaya yang dianut oleh masayarakatnya. Simbol-simbol tersebut ditemukan
pada struktur, ukiran, dan unsur-unsur lainnya yang terdapat pada banua layuk.

Banua Layuk, Rumah Adat Mamasa


Bentuk rumah tradisional di Mamasa saat ini adalah hasil perkembangan dari bentuk
sebelumnya yang bermula dari banua pandoko dena, banua lentong appa, banua
tamben dan banua tolo’ (sanda ariri). Dari bentuk rumah yang keempat (banua tolo)
akhirnya menjadi ciri khas rumah tradisional, khususnya banua layuk di Mamasa terikat
oleh lokasi, arah, dan bahan bangunan, dan waktu mendirikan bangunan.

Banua Layuk, merupakan simbol kepemimpinan tertinggi dalam struktur masyarakat


Kampung Ballapeu’. Namun saat ini sudah tidak lagi ditemukan/dibuat oleh
masyarakatnya atau telah hancur. Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan Banua
Layuk eksis di Ballapeu.

Proses pembuatan banua layuk dari permulaan hingga bangunan siap untuk ditempati
tidak terlepas dari kegiatan upacara ritual dengan mengorbankan ayam atau babi.
Struktur banua layuk yang terdiri atas tiga bagian, yakni atap, badan, dan kolong
(rumah panggung), selain karena pertimbangan fungsional sekaligus tersirat makna
filosofi.

Secara fungsional bentuk rumah panggung adalah:


(a) menghindarkan gangguan dari binatang buas,
(b) lantai dapat menampung hawa panas di malam hari, sehingga cocok untuk daerah
dingin,
(c) kolong dapat berfugngsi praktis.

Sedang makna filosofi dibalik struktur banua layuk yang terdiri tiga bagian adalah simbol
dari makroskosmos yang terdiri atas tiga lapisan yakni dunia atas, tengah, dan bawah.
Banua layuk sebagai rumah adat sarat dengan makna simbolik sebagai cerminan dari
nilai-nilai budaya yang dianut oleh masayarakatnya. Simbol-simbol tersebut ditemukan
pada struktur, ukiran, dan unsur-unsur lainnya yang terdapat pada banua layuk.

Terdapat beberapa persamaan di samping perbedaan antara banua layuk di Mamasa


dengan tongkonan di Tana Toraja. Adanya persamaan dari keduanya karena mempunyai
akar budaya yang sama, dan adanya perbedaan disebabkan oleh kondisi lingkungan dan
sosial budaya yang berbeda dari kedua rumah adat tersebut.

https://budayanusantara2010.wordpress.com/kebudayaan-tradisional-indonesia/rumah-
adat/rumah-adat-mamasa/

Anda mungkin juga menyukai