Anda di halaman 1dari 4

Rumah Adat Mamuju atau rumah adat raja Mamuju, adalah tujuan utama yang

saya incar ketika menginjakkan kaki ke Kota Mamuju Ibu Kota Provinsi Sulawesi
Barat, sebuah provinsi hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan. Kota
Mamuju memiliki daya tarik wisata alam dengan panorama pantai, pegunungan
dan peninggalan sejarah. Rasa penasaran membuat kami ingin mengunjungi
rumah adat Mamuju keesokan harinya, setelah bermalam di Hotel Maleo dekat
pesisir pantai.

Perjalanan ke Kota Mamuju kami tempuh dari kota Mejene Sulawesi Selatan
sejauh 139 kilometer dengan waktu tempuh 4 jam menggunakan kendaraaan
bermotor, jalanan berkelok-kelok melewati pesisir pantai dan pemukiman
nelayan. Hal yang menarik di Kota Mamuju adalah pesisir pantai berhadapan
dengan perbukitan, sehingga kita bisa menikmati dua pemandangan sekaligus.

merasa kenyang menyaksikan pantai sepanjang perjalanan, membuat saya ingin


suasana lain dan mencari tahu sejarah kerajaan yang ada di Sulawesi Barat.
Berkesempatan berbincang dengan Rektor Universitas Sulawesi Barat mengenai
suku Mandar yang terdapat di Mamuju dan sekitarnya. Menurut catatan sejarah
suku Mandar terdapat 14 kerajaan yang terdiri dari 7 kerajaan di pesisir dan 7
kerajaan di daratan, salah satunya adalah kerajaan Mamuju dan 14 Kerajaan itu
menyatakan bersatu. Perbincangan yang seru segera disudahi mengingat hari
semakin malam.

Inilah Rumah Adat Mamuju, posisinya tepat berada di depan kantor Pengadilan
Agama, di kota yang sepi tanpa hiruk-pikuk. Rumah adat Mamuju terbuat dari
kayu pilihan terlihat menarik dari jalanan.

Rumah adat Mamuju adalah rumah panggung dalam satu area yang tidak
terpisahkan. Terdiri atas rumah utama atau rumah raja yang dilengkapi 13 anak
tangga. Selanjutnya 1 rumah pengawal, 1 rumah pandai besi dan emas, 1
lumbung padi, serta 1 kandang kuda semuanya berbentuk rumah panggung
dengan satu nuansa.

Rumah adat Mamuju tampak dari samping, dihiasi ukiran kayu memanjang
dengan 3 jendela di setiap sisinya, kayu penyangga menancap di tanah setinggi
2 meter. Senangnya ketika saya dipersilahkan memakai baju adat Bei dengan
tenun ikat Sekomandi yaitu baju adat daerah Kalumpang yang tersimpan di
lemari kaca.

Terbuat dari kain beludru hitam dengan kombinasi merah, putih dan benang
emas, lengkap dengan penutup kepalanya. Menurut pengurus rumah adat baju
yang saya kenakan baru saja dicuci, setelah dipakai oleh keluarga kerajaan di
acara pengukuhan beberapa hari yang lalu.
Rumah penjaga atau rumah Joa berada di sebelah kiri rumah adat istana raja Mamuju,adalah rumah
panggung yang ukurannya tidak terlalu besar. Tidak seperti rumah raja yang memajang ukiran di
bilah kayunya, rumah Joa polos tanpa ukiran.

Sedangkan di sebelah kanan terletak rumah panggung pandai besi dan pandai emas, ada pula
rumah lumbung padi dan kandang kuda yang berada di belakang istana.

Di dalam rumah adat Mamuju yang paling menyolok adalah singgasana raja dengan hiasan
burung merak terbuat dari benang emas dipadukan warna merah dan hijau serta dipasang
pernak-pernik yang menjuntai. Tidak ada kesan eksklusif pada singgasana, lebih kepada
tempelan hiasan saja. Sedangkan di kiri dan kanan singgasana terdapat bendera merah
putih. Di singgasana tidak ada kursi raja, seperti kebiasaan singgasana kerajaan pada
umumnya. Alas karpet hijau yang menutupi lantai rumah kayu, sebenarnya kurang begitu
serasi dengan pernik yang ada pada singgasana dan ornamen kayu.

Di depan singgasana terdapat pilar-pilar kayu yang diukir, pada bagian bawahnya dililit kain
merah marun. Dan di atas langit-langit ruangan dipasang kayu memanjang yang diberi
sentuhan pernis kayu. Sebenarnya rumah adat Mamuju ini cukup terawat hanya saja di
dalamnya tidak ditata sedemikian rupa, kosong melompong tidak ada barang-barang yang
menandakan kemegahan sebuah istana. Mungkin ada kekhawatiran menyimpan benda
pusaka kerajaan di rumah adat ini atau karena alasan tertentu, kesan yang tertangkap
seperti rumah biasa saja.

Ada kamar tidur raja yang letaknya tidak jauh dari singgasana, terdapat tempat tidur kayu
yang cukup besar ditutupi oleh kelambu putih transparan. Di sebelah kanan tempat
peraduan ada meja pendek untuk menyimpan barang, selain itu tidak ada barang-barang
lain apalagi dekorasi. Di ruangan belakang terdapat dapur dan ruang penyajian makanan
yang terabaikan, letaknya melewati koridor yang menyatukan ruangan utama dan ruangan
belakang.

Rumah adat istana raja ini tidak ditinggali oleh keluarga kerajaan dan bukan merupakan
istana asli, karena istana yang dulu sudah tidak bisa dipertahankan lagi berada di lokasi
yang berbeda. Acara pengukuhan diadakan pada tanggal 16 Juli 2017 , tepatnya 3 hari
sebelum kedatangan saya ke Kota Mamuju. Pengukuhan berupa ritual pengangkatan putra
mahkota (Bauakram), sedangkan raja atau Maradika Mamuju adalah Andi Maksum Dai.

Rumah adat Mamuju di kemudian hari diharapkan lebih terawat, sebagai salah satu bukti
bahwa dahulu kala di negeri ini begitu banyak kerajaan dari berbagai daerah. Indonesia
yang kaya budaya harus kita jaga dengan baik, perjalanan indah di belahan bumi Indonesia
tercinta.

https://www.aroengbinang.com/2017/11/rumah-adat-mamuju.html

(Berita Daerah – Sulawesi) Sulawesi barat memiliki daya tarik wisata alam yang fantastis dengan
panorama pegunungan, keunikan budaya dan peninggalan sejarah yang unik. Di TMII anjungan
Sulawesi Barat menampilkan rumah adat Mandar (rumah adat Mamuju) dilengkapi bangunan
semacam bale (bandara raja) dan model perahu layar (sandeq) sebagai symbol Sulawesi barat.
Sulawesi Barat adalah provinsi hasil pemekaran dari provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi yang
dibentuk pada 5 Oktober 2004 ini berdasarkan UU No. 26 Tahun 2004. Ibukotanya ialah Mamuju.
Luas wilayahnya sekitar 16,796.19 km². Suku-suku yang ada di provinsi ini terdiri dari Suku Mandar
(49,15%), Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Makassar (1,59%) dan suku lainnya
(19,15%).

Provinsi Sulawesi Barat merupakan provinsi pengembangan dari Sulawesi Selatan yang dibentuk
berdasarkan UU No. 26 pada 5 oktober 2004. Propinsi ini terdiri atas kabupaten Polewali mandar,
Mamasa, majene, Mamuju dan Mamuju utara. Ibukota provinsi ini adalah mamuju dengan luas
wilayah sekitar 11.057,81 km2 berada di pesisir pantai Sulawesi barat dan letaknya sangat strategis
karena merupakan pintu gerbang segitiga yang menghubungkan provinsi Sulawesi Selatan-Sulawesi
Tengah-Kalimantan Timur, sehingga daerah ini sebelum pemekaran sering disebut sebagai kawasan
segitiga emas.

Sulawesi barat memiliki daya tarik wisata alam yang fantastis dengan panorama pegunungan,
keunikan budayam dan peninggalan sejarah yang unik. Selain kakao, daerah ini juga merupakan
penghasil kopi, baik robusta maupun arabika, kelapa dan cengkeh. Di sector pertambangan terdapat
kandungan emas, batubara, dan minyak bumi. Penduduknya terdiri dari suku bangsa mandar,
Toraja, bugis, Makassar, Jawa dan suku lainnya. Bahasa daerah yang umum yang digunakan masing-
masing suku bangsa tyersebut yaitu Mandar, Toraja, bugis, Makassar, jawa dan Bali. Sebagian besar
mereka tinggal di wilayah pegunungan dangan mata pencaharian sebagai petani dan menangkap
ikan. Mereka juga mengembangkan industry kopra yang menghasilkan minyak bermutu ekspor.
Sarung sutra mandar (saqbe) dan sarung tenun sekomandi sangat terkenal dan menjadi komoditas
unggulan. Menurut catatan sejarah, di provinsi ini terdapat beberapa kerajaan, hal ini di buktikan
dengan adanya artefak di bekas afdeling mandar. Di daerah ini terdapat 14 kerajaan, yakni balanipa,
banggae, pamboang, sendana, tappalang, mamuju, matangga, bambang dan tambang. Oleh karena
itu, dalam kehidupan masyarakat tradisional Mandar mengenal tiga lapisan social, yaitu golongan
bangsawan (todiang laiyana), golongan oran gkebanyakan (tau maradika), dan lapisan budak (batua).
Setelah rajatommeppayung yang dikenal sebagai peletak dasar demokrasi, raja ditak berkuasa
secara turun-temurun melainkan dipilij oleh lembaga adat (hadat).

Orang mandar dikenal juga sebagai pelaut yang ulung, ketika berlayar, mereka bersandar pada hyal-
hal yang baik dan pantang menyerah. Hal ini dibuktikan dengan adanya ungkapan “takkalai
disombalang dot ai lele ruppu dadi na tuali di luangan”, yang artinya “orang mandar menjunjung
tinggi hal-hal baik, benar dan mulia”. Demikian juga, masyarakat mandar bercita-cita menjadikan
wilayah mereka menjadi “Mandar yang masagena na mala bi” (Mandar yang terpandang dan mulia).
Suku bangsa Mandar, Bugis dan Makassar memiliki banyak persamaan terutama dalam hal adat
istiadat dan kubudayaan. Kalaupun ada perbedaan hanya terdapat pada bahasa daerahnya. Dalam
bidang seni bangunan misalnya, rumah ada Mandar memiliki bentuk yang hampir sama dengan
rumah adat suku Bugis dan Makassar, yakni rumah diatas tiang atau panggung. Perbedaannya
terletak pada bagian teras (lego-legonya) yang kadang-kadang lebih besar dengan atap mirip emper
miring ke depan. Rumah ini merupakan rumah panggung yang berdiri diatas tiang-tiang untuk
menghindari banjir dan binatang buas. Semakin tinggi tingkat kolong rumah menandakan semakin
tinggi pula tingkat status social pemiliknya. Atap rumah umumnya terbuat dari sirap kayu besi,
bambu, daun nipah, rumbia, ijuk atau ilalang. Tangga terbuat dari kayu (odeneng) atau bambu
(sapana) dengan jumlah anak tangganya ganjil. Tingkat dinding berbentuk segitiga yang bersusun
sebagai atap juga menunjukan kedudukan social pemilik rumah.

https://budayaindonesiaaa.wordpress.com/2014/12/21/rumah-adat-mamuju/

Anda mungkin juga menyukai