Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PEMERINTAHAN GEREJA DAN KUASA GEREJA

MATA KULIAH : DOGMATIKA EKSLESIOLOGI


DOSEN PENGAMPU : YOLA PRADITA M. Th
SEMESTER/KELAS : V/B

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK I
HAYATI N. BURDAN (NIM:213221065)
RIFKA (NIM:213121025)
SEPTIANA (NIM:213221028)
SOLAFIDE C. TARIGAN (NIM:213121030)
SRIAMITA (NIM:213221032)

PROGRAM STUDI TEOLOGI


JURUSAN ILMU KEAGAMAAN KRISTEN
FAKULTAS ILMU SOSIAL KEAGAMAAN KRISTEN
INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI PALANGKA RAYA
2023
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1
A. Latar Belakang .........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................1
C. Tujuan ......................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................2
A. Sistem Pemerintahan Episkopal ..............................................................2
B. Sistem Pemerintahan Presbiterian...........................................................4
C. Sistem Pemerintahan Kongregasional .....................................................8
D. Para Pejabat Gereja .................................................................................11
BAB III KESIMPULAN ......................................................................................14
A. Kesimpulan ...............................................................................................14
B. Saran………………………………………………………………………..14
C. Refleksi Teologis .......................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gereja senantiasa menampakkan diri dalam bentuk organisasi tertentu. Organisasi
tersebut bertujuan: untuk memperlengkapi para anggotanya dengan seluruh perlengkapan
senjata Allah (Ef. 6:11);2 untuk menjaga ketertiban, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam rumah Tuhan (Tit. 1:3-5); dan untuk membentuk identitas masyarakat Kristen. Salah
satu alat untuk memelihara kehidupan gereja yang teratur, tertib dan aman adalah displin
gereja. Sebagai suatu organisasi, sudah barang tentu Gereja membutuhkan pejabat yang
bertugas: pertama, untuk memikirkan dan mengorganisasikan pertumbuhan Gereja; kedua,
untuk mengupayakan kestabilan dan kemajuan Gereja; ketiga, untuk menjaga keteraturan dan
ketertiban di dalam Gereja, di mana tata gereja dapat menjadi hukum yang objektif untuk
menjaga keteraturan dan ketertiban bergereja baik secara individu ataupun berjamaah. 1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk sistem pemerintahan gereja episkopal?
2. Bagaimana bentuk sistem pemerintahan gereja presbiterian?
3. Bagaimana bentuk sistem pemeritahan gereja kongregasional?
4. Apa saja jabatan yang terdapat didalam gereja?

C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan bentuk sistem pemerintahan gereja episkopal.
2. Mendeskripsikan bentuk sistem pemerintahan gereja presbiterian.
3. Mendeskripsikan bentuk sistem pemerintahan gereja kongregasional.
4. Menguraikan jabatan-jabatan yang terdapat didalam gereja.

1
Jairus Hasugian dkk, Pengaruh Pemahaman Rohaniawan Gereja tentang Model Pemeriintahan Gereja
terhadap Ketertiban Gereja, (DUNAMIS : Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, 2022), 225

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sistem Pemerintahan Episkopal


Sistem dari Roma Katolik adalah sistem Episkopal. Gereja Roma Katolik berbuat
bukan saja seolah-olah mereka adalah penerus para rasul, tetapi juga seolah-olah mereka adalah
penerus Petrus yang dianggap lebih utama dari antara para rasul lainnya, dan penerus Petrus
ini sekarang menjadi wakil khusus dari Kristus. Gereja Roma Katolik mempunyai sistem
monarki absolut, di bawah pemerintahan Paus, yang memiliki hak untuk menetapkan dan
mengatur doktrin, ibadah dan pemerintahan Gereja. Di bawah Paus ada kelas-kelas atau ordo-
ordo yang lebih rendah, yang memperoleh anugerah khusus, dan tugas mereka adalah
memerintah Gereja secara ketat dan tunduk sepenuhnya pada atasan mereka dan pada Paus.
Umat sama sekali tidak memiliki suara dalam pemerintahan Gereja. Sistem ini juga mengalami
konflik dengan Alkitab, sebab Alkitab sama sekali tidak menyebut bahwa Petrus adalah rasul
paling utama di antara rasul-rasul yang lain, yang atasnya sistem Roma Katolik ini dibangun.
Alkitab jelas menunjukkan bahwa jemaat memiliki hak suara dalam pelaksanaan kehidupan
bergereja. Klaim dari Roma Katolik bahwa ada satu garis tak terputuskan dari sejak Petrus
sampai jaman sekarang, sesungguhnya bertentangan dengan sejarah. Sistem kepausan tidak
dapat dibenarkan baik secara eksegetis maupun secara historis.

1. Dasar Alkitab Bentuk Episkopal


Kata "episkopal" berasal dari bahasa Yunani “episkopos”, yang berarti “pengawas”.
Dalam konteks gereja, episkopal merujuk pada sistem pemerintahan gereja yang bersifat
hierarkis, di mana pemimpin otoritas setempatnya disebut uskup.
Sistem Pemerintahan Gereja Episkopal dalam Bahasa Yunani "episkopov" berarti
penilik (bishop-KJV) yang menunjukkan sistem pemerintahan Gereja dibawah otoritas penilik-
penilik yang bukan hanya satu Gereja. Dasar Alkitab yang dipakai berdasarkan Matius 16:18-
19.25. Episcopalianisme mengacu pada sistem hierarkis pemerintahan Gereja yang dipimpin
oleh seorang uskup (Yunani Episcopos),
Kata Пétpoc-Petros/Petrus bentuknya adalah kata benda nominative, maskulin, tunggal
yang berarti penunjukkan Tuhan sebagai gembala atau pemimpin Gereja hanya ditujukan
kepada Petrus seorang saja (tunggal). Atas dasar inilah maka kelompok episkopal berpendapat
bahwa Gereja harus dipimpin oleh penilik/bishop atau gembala satu orang sebagai hierarki
pemimpin tertinggi. Petrus setelah menerima penugasan Tuhan menjadi gembala pertama

2
melalui tiga kali pertanyaan yang tertulis dalam kitab Yohanes 21 “apakah engkau mengasihi
Aku?” dan pada akhirnya menggembalakan Gereja Tuhan untuk kaum Yahudi pada masa itu
dan rekan sepelayanannya yaitu Paulus menjadi penginjil dan penanaman Gereja baru untuk
kelompok non-Yahudi. Petrus merupakan Paus pertama menurut Gereja Roma Katolik dan
Paus penggantinya otoritasnya ditransfer secara mistik dari Petrus.
Gereja Katolik Roma hingga kini masih mempertahankan sistem pemerintahan Gereja
Episkopal, sejak adanya kemerosotan moral dan penyelewengan doktrin Alkitab seperti
penjualan indulgensi (surat penghapusan dosa) dan doktrin purgatory (api penyucian). Maka
era reformasi terjadi pada abad ke 16 yang dipimpin oleh John Calvin, Martin Luther dan
kawan-kawan menjadi awal berkembangnya sistem pemerintahan Prebisterian dan
Kongregasional. Inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya sistem pemerintahan Gereja
Presbiterian dan Kongregasional.

2. Keunggulan Sistem Episkopal


Sistem pemerintahan Episkopal yang dibawah kendali satu pemimpin, maka terjadi
kemudahan untuk membentuk keseragaman dalam berbagai hal, yaitu: kesegaman dalam tata
ibadah, keseragaman doktrin, keseragaman khotbah yang disampaikan, keseragaman dalam
visi maupun misi.

3. Kelemahan Sistem Episkopal


Secara empiris, gereja-gereja Episkopal akan cenderung menghadapi masalah
kepemimpinan. Mencari sosok pemimpin yang berkharisma semakin susah ditemukan. Dan
adanya perubahan jaman terjadi pula pergeseran dalam menciptakan kebutuhan seorang
pemimpin yang bukan saja berkharisma, tetapi sosok yang mampu menguasai manajerial dan
kemampuan membangun yang tepat guna, kemudian penguasaan teknologi yang terus
berkembang untuk dimanfaatkan sebagai fasilitas pendukung agar tidak tertinggal dengan
percepatan yang sedang terjadi. 2

4. Pemilihan Pejabat Gereja Episkopal


Gereja berbentuk episkopal ini tersusun secara berderajat atau hierarki yang bertangga
dari kedudukan di pucuk pimpinan terus turun sampai paling bawah, yaitu kaum awam atau

2
Daniel Sidianto dkk, Sistem Pemerintahan Pastoral Sinodal Dan Implikasinya Bagi Hamba Tuhan.
(Kharisma Banndung: Jurnal Ilmiah Teologi, 2022), 81-82

3
anggota biasa yang tidak berwenang apa-apa. Pimpinan menetapkan dogma dan peraturan yang
berlaku di tiap gereja lokal. Episkopal merujuk pada suatu bentuk tata kelola Gereja yang
bersifat hierarkis, di mana pemimpin otoritas setempatnya disebut uskup. Struktur tersebut
digunakan oleh banyak Gereja dan denominasi Kristen utama seperti Gereja Timur (misalnya
Ortodoks Timur), Anglikan, Lutheran. Dalam sistem episkopal, yang berhak memilih para
uskup adalah Paus, di mana Paus adalah pejabat tertinggi dalam pemerintahan Gereja.

B. Sistem Pemerintahan Presbiterian


Pikiran dasar dari sistem Presbiterian ialah pimpinan atau pemerintahan Gereja oleh
Kristus sebagai Kepala dan Tuhannya. Gereja yang dimaksud bukan hanya gereja sebagai
persekutuan, tetapi juga gereja sebagai intitusi atau lembaga. Pimpinan dan pemerintahan itu
Ia jalankan dengan perantaran pejabat-pejabat gerejawi sebagai alat atau hamba-hamba-Nya.
Para pejabat gereja dalam sistem Presbiterian lazimnya disebut sebagai Majelis Jemaat,
terdiri dari: pendeta, penatua dan diaken. Para pejabat gerejawi itu mempunyai kedudukan yang
sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lain. Tiap-tiap anggota
Majelis Jemaat mempunyai tugasnya sendiri, yang dirumuskan dalam peraturan (Ordonansi)
jemaat. Secara umum pada dasarnya semua anggota majelis (pendeta dan penatua) bertanggung
jawab atas pelayanan jemaat. Pendeta dan penatua memimpin jemaat dan menjalankan disiplin
gerejawi. Tugas diaken biasanya membantu orang-orang sakit dan orang-orang miskin. 3
Menurut Andar Ismail, dalam Gereja dengan bentuk Presbiterial pemerintahan
dipegang oleh sebuah lembaga, yaitu Majelis, yang terdiri dari satu orang atau lebih Pendeta
beserta sejumlah Pesbiter atau Penatua yang dipilih oleh Jemaat. Partisipasi jemaat dalam
Gereja dengan pemerintahan model ini tampak dalam rapat Majelis yang diselenggarakan
secara rutin, ataupun dlam rapat anggota Jemaat. Salah satu keistimewaan model pemerintahan
Presbiterial Sinodal, menurut J.A. Telnoni, adalah bahwa para pejabat gerejawinya berada
dalam satu persekutuan Presbiter. Mereka adalah satu barisan persekutuan pelayan-pelayan
yang bersama-sama terpanggil dan bertanggung jawab atas pelayanan gereja. Pimpinan
pemerintahan Gereja adalah suatu persekutuan para pelayan. Tidak ada kepemimpinan tunggal
di dalam organisasi Gereja. Para pejabat gerejawi yang menjalankan pemerintahan Kristus
dalam Gereja-Nya terhimpun dalam satu persekutuan pelayan-pelayan dengan kedudukan
sama. Sekalipun di dalam tata organisasi gereja, kedudukan struktural mereka berbeda, seorang

3
Sunarto, Perbandingan antara Bentuk Presbiterian dan Kongregasional dalam Pemerintahan Jemaat,
(TE DEUM : Jurnal Teologi Dan Pengembangan Pelayanan, 2013), 50

4
ketua bukanlah kepala, melainkan dia hanyalah orang yang dituakan karena kualitas-kualitas
tertentu di dalam pelayanan Gereja. Oleh karena itu, pejabat organisasi yang satu tidak lebih
tinggi daripada yang lain. Kedudukan Pendeta tidak lebih tinggi dari Penatua dan kedudukan
Penatua tidak- lah lebih dari Diaken. Yang satu tidak mendahului yang lain dan yang satu tidak
mengatasi yang lain. Mereka adalah sesama pelayan yang melayani dalam iklim sehati sepikir.
Model Presbiterial Sinodal umumya diterapkan oleh Gereja-gereja Protestan, terutama Gereja-
gereja suku, misalnya, GPIB (Gereja Protestan Indonesia bagian Barat), GKI (Gereja Kristen
Indonesia), GKT (Gereja Kristus Tuhan), dan sebagainya. 4

1. Dasar Alkitab Bentuk Presbiterian


Kedudukan Kristus sebagai kepala atas gereja yang nampak ini merupakan bagian
prinsip dari kekuasaan yang dimiliki-Nya sebagai hasil dari penderitaaan-Nya. Otoritas-Nya
dinyatakan dalam beberapa hal sebagai berikut: a) Ia menetapkan gereja Perjanjian Baru, Mat.
16:18, jadi gereja bukanlah sekedar suatu masyarakat sukarela seperti dipikirkan banyak orang
dewasa ini. Jika gereja adalah suatu masyarakat sukarela maka gereja hanya berdasarkan atas
kesetiaan para anggotanya saja. b) Kristus menetapkan alat-alat anugerah yang harus
dilaksanakan oleh gereja yaitu firman dan sakramen (Mat. 28:19-20; Mrk. 16:15-16; Luk
22:17-20; 1 Kor. 11:23-29). Dalam hal ini tidak ada seorangpun yang memiliki hak melakukan
legislasi. Kristus memberi gereja ketetapan-ketetapan serta para pejabat di dalamnya, lalu
memberikan kepada para pejabat itu otoritas Ilahi sehingga mereka dapat berbicara dan
bertindak dalam nama-Nya (Mat. 10:1; 16:19; Yoh. 20:21-23; Ef. 4:11-12). Ia hadir dalam
gereja ketika gereja sedang beribadah, dan Ia berbicara dan bertindak melalui para pejabat
gereja. Kristus yang adalah Raja gereja memungkinkan para pejabat gereja itu berbicara dan
bertindak dengan otoritas (Mat. 10:40; 2 Kor. 13:3).
Alkitab melaporkan dengan jelas setelah para rasul memberitakan Injil, maka
terbentuklah jemaat-jemaat dan selanjutnya mereka menetapkan para penatua, penilik jemaat,
dan diaken untuk mengurusi kehidupan jemaat. Istilah penatua berasal dari kata Yunani
"Presbuteros" yang menekankan wibawa dan kematangan dari jabatan itu. Penatua memiliki
otontas untuk membagikan uang (Kis. 11:30), Mereka berotoritas untuk membuat keputusan
tentang apa yang dimasukkan dalam doktrin ortodoksi (Kis. 15:2, 4, 6, 22; 16:2); mereka
menerima laporan tentang pekerjaan misionari (Kis. 20:17; 21:18); mereka harus dihormati (1
Tim 5:17); namun mereka juga tidak boleh menjadi seorang yang diktator (1 Ptr. 5:1-3) dan

4
Ibid, 258-259

5
mereka harus mengunjungi orang sakit dan berdoa bagi mereka, memberikan nasihat dan
dorongan (Yak 5:14).5

2. Keunggulan Bentuk Presbiterian


Hakikatnya bentuk pemerintahan gereja secara Presbiterian menekankan
kepemimpinan secara kolektif. Pemerintahan gereja bukan dipimpin oleh satu orang saja, tetapi
dipimpin oleh beberapa atau sekelompok orang. Sistem pemerintahan gereja yang demikian
jelas menghindarkan keotoriteran seseorang selama menjadi pejabat gerejawi (pendeta,
penatua dan diaken).
Sistem yang demikian bertolak belakang dengan apa yang diterapkan dalam Gereja
Katolik Roma (Episkopal) bahwa kepemimpin gereja dibawah seorang uskup. Membawai
seluruh gereja Katolik di dunia dipimpin satu orang yaitu paus. Sejarah telah mencatat bahwa
sejak abad ke-5 uskup Roma (Paus) telah berusaha untuk memerlihatkan dan mengklaim
supremasi keunggulannya atas seluruh gereja, paling tidak di Eropa. Akibat pemikiran yang
demikian membuat Paus pernah berselisih dengan negara dalam memerebutkan masalah
otoritas.
Bentuk Presbiterian memiliki dukungan yang kuat seperti yang diajarkan dalam
Perjanjian Baru. Ada banyak contoh di Alkitab bahwa kepemimpinan gereja setelah rasul-rasul
digantikan oleh para penatua. Kepemimpinan gereja seperti yang ditunjukkan dalam Alkitab
bersifat pluralistas (kolektif) penatua.
Gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya dan sebagai lembaga yang dipanggil
untuk melakukan tugas dan fungsinya. Tugas dan fungsinya harus dijalankan oleh para pejabat
gereja, dalam konteks ini adalah Majelis Jemaat (para penatua). Pendeta dalam sistem
Presbiterian merupakan bagian dari Majelis Jemaat. Majelis Jemaat yang bertanggung jawab
untuk melakukan tugas-tugas penggembalaan kepada anggota.

3. Kelemahan bentuk Presbiterian


Dalam mengevaluasi bentuk pemerintahan gereja secara Presbiterian harus bertolak
dari aturan dari sistem ini. Selama bentuk ini dijalankan secara benar dan konsisten, arah
pelayanan gereja akan berjalan dengan baik. Gereja tidak akan dimonopoli oleh satu orang saja,

5
Ibid, 51-53

6
karena semua program gereja harus dibicarakan secara kolektif oleh Majelis Jemaat, yang
terdiri dari: Pendeta, Penatua, dan Diaken. 6
Disisi yang lain peran dari anggota jemaat harus tetap diberi ruang yang cukup untuk
memberi masukan-masukan kepada Majelis Jemaat. Usulan-usulan dari anggota jemaat
sebaiknya ditampung untuk dibicarakan dan diputuskan oleh Majelis Jemaat. Kelemahan bisa
terjadi jika semua program hanya ditentukan oleh Majelis Jemaat tanpa terlebih dahulu
meminta masukan dari anggota jemaat.

4. Pemilihan Pejabat Sistem Presbiterian


Pemilihan pejabat Gereja dalam penjabarannya antara lain dituangkan dalam tulisan
kecil John Calvin yaitu "Ordonnances Ecclesiastiques" (peraturan-peraturan gereja). Menurut
Calvin di dalam gereja ada empat jabatan, yaitu: gembala atau pendeta (pastor), pengajar
(doctor), penatua (presbyter), dan syamas atau diaken (diacon). Dalam "Ordonnances
Ecclesiastiques" juga diatur tata cara para pejabat gereja berkumpul untuk membicarakan
berbagai urusan gereja. Para pendeta membentuk kumpulannya sendiri dan bertemu sekali
seminggu, misalnya untuk membahas pengujian calon pendeta. Kemudian kumpulan pendeta
bersama penatua yang disebut "consistorium" atau majelis jemaat juga berkumpul sekali
seminggu. Dalam sistem Presbiterian pejabat yang paling penting dan yang paling tinggi di
gereja adalah para penatua atau majelis jemaat. Para penatua dipilih oleh anggota jemaat dalam
suatu periode tertentu yang diatur dalam suatu peraturan gerejawi.

5. Disiplin dan Tata Aturan Sistem Presbiterian


Didalam sistem Presbiterian lazimnya disebut sebagai Majelis Jemaat, terdiri dari:
pendeta, penatua dan diaken. Para pejabat gerejawi itu mempunyai kedudukan yang sama, tidak
ada yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lain. Tiap-tiap anggota Majelis Jemaat
mempunyai tugasnya sendiri, yang dirumuskan dalam peraturan (Ordonansi) jemaat. Secara
umum pada dasarnya semua anggota majelis (pendeta dan penatua) bertanggung jawab atas
pelayanan jemaat. Pendeta dan penatua memimpin jemaat dan menjalankan disiplin gerejawi.
Tugas pendeta memberitakan firman dan melayankan sakramen, bersama dengan para penatua
mengawasi kehidupan jemaat, dan kalau perlu menegur warga gereja yang menyimpang dari
ajaran dan peraturan gereja. Jabatan pengajar mencakup semua fungsionaris gereja yang
terlibat dalam tugas pengajaran yang berhubungan dengan iman Kristen (guru agama di

6
Ibid, 59-60

7
sekolah, guru katekisasi sampai dosen-dosen teologi). Para penatua adalah orang-orang yang
ditunjuk pemerintah kota untuk bersama pendeta mengawasi kehidupan gereja. Kepada para
diaken dipercayakan tugas mengurusi orang-orang sakit, miskin, berkemalangan dan
sebagainya.

C. Sistem Pemerintahan Kongregasional


Latar belakang sejarah sistem pemerintahan gereja secara “Kongregasional” juga tidak
bisa dilepaskan dari peristiwa besar terjadinya reformasi gereja pada abad ke-16. Nama
“Kongregasional” mula-mula muncul dalam suatu perkumpulan di Skotlandia (Desember
1557), anggota-anggota dari perkumpulan ini menyebut diri mereka “Congregation of The
Lord”. Pendiri dari Kongregasional ialah Robert Browne (1550-1633), sesudah menyelesaikan
studinya pada “Corpus Christi College” di Cambridge”, ia beberapa waktu lamanya bekerja
sebagai pengajar di sekitar kota London. Gerakan Kongregasional yang waktunya tidak
berbeda jauh dari gerakan reformasi yang digerakan oleh Martin Luther, John Calvin dkk, maka
tidak mengherankan jika ajaran para pengikut kongregasional berhubunganan erat dengan
ajaran Gereja-gereja Reformed atau Presbiterian.

1. Dasar Alkitab Bentuk Kongregasional


Gereja perdana atau yang disebut Gereja mula-mula sebagaimana yang tercatat dalam
Kisah Para Rasul, sejak awal seluruh jemaat memilih orang-orang untuk menduduki jabatan
tertentu serta ikut serta menentukan kebijaksanaan gereja. Mereka memilih pengganti Yudas
Iskariot (Kis. 1). Mereka memilih para diaken yang pertama (Kis. 6). Sekalipun tidak ada
pernyataan yang jelas pada waktu Paulus dan Barnabas diutus dalam suatu tugas pelayanan
(Kis. 13:1-3), tetapi sewaktu mereka kembali ke Antiokhia mereka memberikan laporang
kepada seluruh jemaat (Kis. 14:27). Pada waktu di jemaat ada persoalan masalah pengajaran,
seluruh gereja mengutus Paulus dan Barnabas ke Yerusalem untuk untuk membantu persoalan
tentang sunat (Kis. 15:2-3). Demikian pula yang mengirim jawaban adalah seluruh jemaat
Yerusalem. Demikian ditulis dalam Kisah Para Rasul 15:22 sebagai berikut: Maka rasul-rasul
dan penatua-penatua beserta seluruh jemaat itu mengambil keputusan untuk memilih dari
antara mereka beberapa orang yang akan diutus ke Antiokhia bersama-sama dengan Paulus
dan Barnabas, yaitu Yudas yang disebut Barsabas dan Silas. Keduanya adalah orang
terpandang di antara saudara-saudara itu.Yesus mengecam para murid yang berusaha untuk
mendapat kedudukan yang lebih tinggi di atas sesama saudaranya. Ketika murid-murid-Nya
berselisih siapa di antara mereka yang terbesar, Yesus berkata kepada mereka: Raja-raja

8
bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang orang yang menjalankan kuasa atas
mereka disebut pelindung pelindung. Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar
di antara kamu kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai
pelayan. Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah
dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan (Luk. 22:25-
27). Berdasarkan nast tersebut sesungguhnya seorang pemimpin adalah seorang hamba dari
semuanya. Sebuah pemahaman yang benar tentang pelayanan akan muncul apabila seorang
pemimpin sadar bahwa mereka dipilih oleh orang-orang yang harus mereka layani dan
bertanggung jawab kepada mereka. 7

2. Keunggulan Bentuk Kongregasional


Pada hakikatnya bentuk pemerintahan gereja secara Kongregasional sangat
menekankan peran anggota jemaat secara orang perorangan. Semua anggota jemaat memiliki
suara yang sama, tanpa peduli status sosial, ekonomi dan pendidikan mereka. Sistem
pemerintahan gereja yang demikian jelas menghindarkan keotoriteran (kedikatoran) dari
seorang pendeta. Disamping pendeta dan ada beberapa orang tertentu yang dipilih secara bebas
oleh jemaat untuk melakukan tugas-tugas khusus. Hakikatnya dalam pemerintahan gereja,
mereka adalah wakil dan hamba dari gereja. Mereka tidak dapat melaksanakan kekuasaan
mereka secara bebas atau berlawanan dengan kehendak gereja lokal. Kalau mereka berbuat
diluar aturan dapat diberhentikan dari jabatannya tersebut. Semua keputusan penting harus
mendapat persetujuan dari seluruh anggota jemaat.

3. Kelemahan Bentuk Kongregasional


Keberatan terhadap sistem Kongregasional ialah bahwa sistem ini mengabaikan bukti-
bukti Alkitab mengenai wibawa rasuli. Dalam persidangan di Yerusalem yang bersidang
adalah para rasul dan para penatua, bukan seluruh jemaat. Contoh yang lain, misalnya Paulus
pernah mengangkat beberapa penatua (Kisah 14:23) serta menyuruh Titus untuk melakukan
hal yang sama (Titus 1:5). Dalam tataran yang praktis apabila semua hal harus dibicarakan dan
memerlukan persetujuan anggota jemaat membuat pelayanan menjadi lambat. Sedangkan
untuk beberapa kasus harus memerlukan penanganan dan keputusan yang cepat. Pembahasan
masalah doktrinal apabila harus dibicarakan dengan melibatkan seluruh jemaat yang memiliki

7
Ibid, 55

9
pemahaman teologi yang dangkal atau sama sekali awam akan membawa hasil yang kurang
baik. 8
4. Pemilihan Pejabat Sistem Kongregasional
Dalam sistem Kongregasional memiliki pinsip penting yaitu otonomi gereja lokal,
prinsip ini diterapkan dalam pemerintahan gereja secara Kongregasional dengan menekankan
orang perorangan di dalam gereja, seperti demokrasi politik. Sebagian besar keputusan
ditentukan melalui pemungutan suara dari semua anggota gereja. Mengenai hal ini Millard J.
Erickson mengatakan sebagai berikut "Tidak ada kekuasaan di luar gereja lokal tersebut yang
dapat mendikte perlakunya. Yang dimaksudkan dengan demokrasi ialah bahwa setiap anggota
gereja memiliki hak suara. Kekuasaan tertinggi terletak di tangan anggota jemaat lokal.
Wewenang tertinggi tidak ada ditangan tokoh atau kelompok tertentu”. Pemerintahan gereja
secara Kongregasional adalah lebih menekankan peran setiap anggota jemaat sehingga
menjadikan jemaat lokal pimpinan tertinggi. Setiap jemaat lokal mempunyai otonomi yang
mutlak dan tidak dibawah atau di atas dari jemaat lokal lain. 9

5. Disiplin dan Tata Aturan Sistem Kongregasional


Pemerintahan gereja secara Kongregasional adalah lebih menekankan peran setiap
anggota jemaat sehingga menjadikan jemaat lokal pimpinan tertinggi. Setiap jemaat lokal
mempunyai otonomi yang mutlak dan tidak dibawah atau di atas dari jemaat lokal yang lain.
Maksudnya dengan otonomi ialah bahwa jemaat lokal itu berdiri bebas dan mengatur dirinya
sendiri.
Prinsip otonomi berarti bahwa setiap gereja lokal dapat mengatur dirinya sendiri. Setiap
jemaat mengangkat gembala sidangnya sendiri serta menentukan sendiri anggaran belanjanya.
Gereja lokal membeli dan memiliki sendiri semua iventaris tanpa bertanggung jawab kepada
pihak manapun di luar jemaat lokal. Gereja Lokal bisa meminta nasihat kepada gereja yang
lain atau pejabat denominasinya di luar jemaat lokal, sekalipun demikian gereja lokal tetap
tidak berkewajiban untuk mentaati nasihat tersebut, dan di dalam keputusannya tidak
membutuhkan pengesahan atau persetujuan dari pihak mamnapun yang berada di luar gereja
lokal.

8
Ibid, 57
9
Ibid, 60

10
C. Para Pejabat Gereja
Jabatan-jabatan yang berbeda dapat kita lihat dalam Gereja. Perbedaan paling jelas kita
lihat antara para pejabat luar biasa dan pejabat biasa, 10
1. Para Pejabat Luar Biasa
Rasul. Singkatnya, sebutan ini hanya diberikan kepada dua belas rasul yang dipilih oleh
Yesus dan kepada Paulus. Tetapi, sebutan ini juga diberikan pada para rasul yang menyertai
Paulus dalam pekerjaan dan pelayanannya dan kepada mereka juga diberikan karunia dan
anugerah kerasulan, Kis 14:4,14; 1 Kor 9:5,6; 2 Kor 8:23; Gal 1:19. Para rasul memiliki tugas
khusus untuk meletakkan dasar berdirinya Gereja di segala abad. Hanya melalui perkataan
merekalah maka semua orang percaya di jaman-jaman berikutnya dapat memiliki persekutuan
dengan Tuhan Yesus. Jadi, mereka merupakan para rasul Gereja jaman sekarang seperti mereka
juga adalah rasul pada Gereja mula-mula. Mereka memiliki kualifikasi khusus yang tertentu.
Mereka (a) menerima amanat langsung dari Allah atau dari Yesus Kristus, Mrk 3:14; Luk 6:13;
Gal 1:1; (b) saksi mata dari hidup Kristus dan terutama saksi mata kebang- kitan-Nya, Yoh
15:27; Kis 1:21,22; 1 Kor 9:1; (c) sadar bahwa mereka mendapatkan inspirasi Roh Kudus
dalam semua ajaran mereka, baik yang secara lisan maupun tertulis, Kis 15:28; 1 Kor 2:13; 1
Tes 4:8; 1 Yoh 5:9-12; (d) memiliki kuasa untuk melakukan mujizat dan memakainya dalam
peristiwa-peristiwa tertentu untuk meneguhkan berita mereka, 2 Kor 12:12; Ibr 2:4; dan (e)
diberkati dengan berlimpah dalam pekerjaan mereka sebagai suatu tanda dari peneguhan Ilahi
karena jerih payah mereka, 1 Kor 9:1,2; 2 Kor 3:2,3; Gal 2:8.
Nabi. Perjanjian Baru juga membicarakan tentang nabi, Kis 11:28; 13:1,2; 15:32; 1 Kor
12:10; 13:2; 14:3; Ef 2:20; 3:5; 4:11; 1 Tim 1:18; 4:14; Why 11:6. Jelas sekali bahwa anugerah
untuk mengatakan perkataan yang mendidik bagi Gereja sangat tinggi dalam diri para nabi ini,
dan mereka juga adalah alat dalam mengungkapkan misteri dan dalam mengungkapkan apa
yang akan terjadi di masa mendatang. Bagian pertama dari anugerah ini (perkataan yang
mendidik) tetap permanen dalam Gereja Kristen, dan diterima dengan sungguh-sungguh oleh
Gereja Reformed, tetapi bagian akhir dari anugerah ini sifatnya kharismatik dan sementara.
Para nabi ini berbeda dengan para hamba-hamba Tuhan yang biasa, sebab para nabi itu
berbicara di bawah suatu inspirasi khusus.
Pemberita Injil. Sebagai tambahan bagi para rasul dan nabi, pemberita Injil juga
disebutkan dalam Alkitab, Kis 21:8; Ef 4:11; 2 Tim 4:5. Filipus, Markus, Timotius dan Titus
termasuk dalam ke- lompok ini. Hanya sedikit yang kita ketahui tentang para pemberita Injil

10
Luis Berkhof, Teologi Sistematika Doktrin Gereja, (Momentum: Surabaya, 2011), 64

11
ini. Mereka menyertai dan membantu para rasul, dan kadang-kadang mereka juga dikirim oleh
para rasul dengan suatu misi tertentu. Pekerjaan mereka adalah berkhotbah, membaptis, tetapi
juga mengangkat para pejabat Gereja, Tit 1:5; 1 Tim 5:22, dan juga melaksanakan disiplin
Gereja, Tit 3:10.

2. Para Pejabat Biasa


Tua-tua. Di antara para pejabat yang biasa dari Gereja, presbuteroi atau episkopoi
adalah yang paling tinggi dan penting tingkatannya. Presbuteroi secara harafiah berarti "tua-
tua", yaitu orang-orang yang dituakan dan kemudian juga disebut sebagai "penilik". Istilah
presbuteroi dipakai dalam Alkitab untuk menunjuk laki-laki yang sudah tua dan menunjukkan
satu kelompok para pejabat yang kurang lebih setara dengan mereka yang melayani di
sinagoge. Sebagai nama jabatan maka istilah ini perlahan-lahan memudar dan bahkan
digantikan oleh istilah episkopoi. Kedua istilah ini sering dipakai secara bergantian, Kis
20:17,28; 1 Tim. 3:1; 4:14; 5:17,19; Tit 1:5,7; 1 Ptr 5:1,2. Presbuteroi pertama kali disebut
dalam Kis 11:30, tetapi jabatan ini sebenarnya sudah ada ketika Paulus dan Barnabas pergi ke
Yerusalem, dan mungkin sekali sudah ada sebelum para diaken dipilih. Paling tidak istilah
hoineoteroi dalam Kis 5 tampaknya membedakan antara para diaken ini dengan presbuteroi.
Sebutan beberapa kali dapat kita temukan dalam Kis 14:23; 15:6,22; 16:4; 20:17,28; 21:18.
Barangkali jabatan presbuterial atau episkopal pertama kali ditentukan dalam gereja-gereja
Yahudi, Yak. 5:14; Ibr 13:7,17 dan segera sesudah itu juga dipakai di gereja-gereja di kalangan
orang non-Yahudi. Sejumlah nama lain juga diberikan kepada para pejabat ini yaitu
proistamenoi, Rm. 12:8; 1 Tes 5:12; kuberneseis, 1 Kor 12:28; hegoumenoi, Ibr 13:7,17,24;
dan poimenes, Ef 4:11. Para pejabat ini jelas merupakan pelindung dan penjaga para domba
yang dipercayakan kepada mereka. Mereka harus memelihara, memerintah dan melindungi
para dombanya sebagai satu keluarga Allah.
Guru-guru. Jelas bahwa tua-tua bukanlah guru. Memang pada mulanya mereka belum
membutuhkan guru, sebab masih ada para rasul, nabi dan pemberita Injil. Tetapi perlahan-
lahan didaskalia makin terkait dengan jabatan episkopal. Namun sampai saat itu guru-guru
belumlah membentuk suatu kelompok pejabat tersendiri. Perkataan Paulus dalam Ef 4:11,
menyatakan bahwa Kristus yang naik ke sorga juga memberikan "gembala dan pengajar" yang
disebutkan sebagai satu kelompok kepada Gereja, dan ini menun- jukkan bahwa keduanya
tidak membentuk dua kelompok melainkan satu kelompok dengan dua fungsi yang terkait. 1
Tim 5:17 membicarakan tentang tua-tua yang berjerih lelah dalam pemberitaan Firman dan
mengajar, dan menurut Ibr 13:7 hegoumenoi juga adalah guru. Dalam 2 Tim 2:2, Paulus

12
mendesak Timotius tentang kepentingan untuk menunjuk orang-orang yang setia, yang juga
dapat mengajar orang lain. Dalam kurun waktu berikutnya ada dua keadaan yang menyebabkan
pemisahan antara tua-tua dan para penilik jemaat yang hanya dipercaya untuk memimpin
sistem pemerintahan dengan mereka yang dipanggil untuk mengajar: (1) ketika para rasul
sudah mati dan ajaran sesat mulai timbul dan meningkat, tugas dari para pengajar menjadi
makin berat dan tuntutan kepada mereka juga makin tinggi sehingga mereka harus benar- benar
mempersiapkan diri, 2 Tim 2:2; Tit 1:9; dan (2) berkenaan dengan kenyataan bahwa mereka
yang bekerja keras memang sangat berharga maka mereka yang terikat dalam pelayanan
Firman, sebuah tugas komprehensif yang menyita seluruh waktu mereka, dibebaskan dari
pekerjaan lain supaya mereka dapat sepenuhnya memusatkan perhatian pada pekerjaan
mengajar. Kata aggeloi, yang dialamatkan dalam surat Wahyu untuk tujuh jemaat di dalam
kitab Wahyu, adalah para guru dan hamba Tuhan dari gereja-gereja tersebut (Why 2:1, 8,12,18;
3:1,7,14). Dalam kalangan reformasi para hamba Tuhan sekarang mengatur gereja bersama-
sama dengan tua-tua, tetapi sebagai tambahan mereka juga memberitakan Firman dan
melaksanakan sakramen. Mereka bersama-sama membentuk satu sistem pengaturan
pemerintahan gereja.11

11
Ibid, 64-67

13
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Gereja di dunia dipanggil dan terikat kepada suatu pertempuran khusus gereja sebagai
satu institusi satu organisme dan kemudian gereja senantiasa menampakan diri dalam bentuk
organisasi tertentu, organisasi tersebut bertujuan untuk melengkapi para anggotanya dengan
seluruh perlengkapan senjata Allah.
Gereja dengan bentuk peresbiterian memiliki pimpinan atau pemerintahan sistem
gereja yang menjadikan Kristus sebagai kepala dan Tuhannya gereja yang dimaksud bukan
hanya gereja sebagai persekutuan tetapi juga gereja sebagai institusi atau lembaga Pimpinan
dan pemerintahan itu kemudian dijalankan dengan perantara pejabat-pejabat gerejawi sebagai
alat atau hamba-hambanya dan para pejabat gerejawi itu sendiri mempunyai kedudukan yang
sama tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah semua setara dan berbeda dari anggota
Majelis jemaat yang mempunyai tugasnya sendiri dimasukkan dalam peraturan ordonansi.
Gerakan kongregasional yang waktunya tidak berbeda jauh dari gerakan reformasi yang
digerakkan oleh marthen Luther dan John Calvin tidak heran jika ajaran para pengikut
kongregasional mempunyai hubungan yang erat dengan ajaran gereja-gereja reformad dan
sistem pemerintahan gereja secara kongregasional adalah lebih menekankan setiap peran dari
anggota Jemaat sehingga menjadi jemaat lokal pimpinan tertinggi setiap jemaat lokal
mempunyai otonomi yang mutlak ada prinsip penting yang diterapkan dalam pemerintahan
gereja secara kongregasional.
Pemerintahan episkopal yang memiliki sistem pemerintahan gereja yang yang berbeda
dari sistem pemerintahan gereja kongregasional, sistem pemerintahan episkopal bersifat
hierarkis dalam ajaran episkopal juga mengikuti ajaran yang sudah ada sebelumnya maka dari
itu atas dasar inilah kelompok episkopal berpendapat bahwa gereja hanya dipimpin oleh Bishop
atau penilik dan karena keunggulan sistem episkopal dan juga dengan sistem pemerintahan
episkopal yang di bawah kendali Satu pimpinan maka terjadilah kemudahan untuk membentuk
suatu keseragaman yaitu tata ibadah, doktrin dan lain-lainnya.

B. Saran
Saran dari kelompok tentang makalah kami adalah menambah wawasan dan
meningkatkan pemahaman para pembaca dalam memaknai sistem pemerintahan gereja dan

14
kuasa gereja. Kelompok menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, kedepannya kelompok akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang
makalah, kedepannya kelompok akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang
makalah ini dengan pemikiran-pemikiran penulis serta sumber-sumber yang lebih banyak
tentunya dapat di pertanggungjawabkan.

C. Refleksi Teologis
Perubahan zaman membuat gereja harus bergerak dan berakselerasi dalam ranah
teologis maupun aksiologis. Peran gereja sebagai agen pembaharuan sungguh-sungguh
dinantikan ditengah-tengah pencapaian manusia yang menyisakan kerentanan peradaban itu
sendiri. Gereja harus sadar bahwa dirinya adalah hamba yang menunjukkan ketaatan kepada
Allah melalui karya nyata di tengah-tengah dunia. Menghadirkan perubahan, memberikan
harapan dan menyatakan sentuhan Allah bagi dunia
Gereja sebagai institusi yang didirikan Yesus di bumi mempunyai kedudukan dan peran
yang penting dalam misi Allah bagi manusia. Gereja seharusnya selalu relevan dan mampu
hadir sebagai pengantara maupun penyelenggara pembaharuan kehidupan. Dikotomi dan
pemisahan dimensi rohani dan, batasan ruang privat dan publik, hendaknya tidak lagi dipegang
secara kaku oleh gereja. Secara ontologis, gereja harus mampu memberi makna bagi dunia di
dalam seluruh aspek pergumulan yang dihadapinya (holistik) sebagaimana tugasnya sebagai
garam dan terang dunia. Sebab secara rohani kedudukan bukanlah menjadi faktor utama yang
menentukan keunggulan hidup seseorang. Karena itu, melihat kembali kepada pembahasan
teoritis sebelumnya, nampaknya, gereja perlu secara cerdik beradaptasi namun juga dapat
menfilterisasi berbagai situasi sosial dimana gereja itu berada, karena gereja memiliki
panggilannya sendiri yaitu mengangkat harkat dan martabat setiap orang.
Gereja juga hadir sebagai Kerajaan Allah yang kelihatan di dunia ini, yang dapat berdiri
netral tanpa berpihak atau terpengaruh dengan dunia ini. Gereja bertentangan dengan dunia ini
karena ia membawa panggilan pembaharuan Ilahi. Gereja diterima dalam solidaritasnya, dan
fungsinya berjalan karena ia memperhadapkan pada pilihan pembaharuan. Gereja kehilangan
jati dirinya apabila ia menjadi serupa dengan dunia ini. Gereja harus mampu menyuarakan
suara kenabian dengan selalu berpihak pada kaum yang lemah tanpa memihak pada pihak-
pihak yang memiliki kekuasaan. Selalu melayani dengan kasih tanpa memperhitungkan siapa
yang layak lebih dahulu untuk dilayani. Semua orang memiliki kedudukan yang sama di
hadapan Allah. Meskipun demikian yang paling penting bukanlah pada pemberian kursi khusus
terhadap seseorang didalam gereja akan tetapi yang paling penting adalah peran seorang

15
pengikut Kristus yang dapat mewartakan dan mewujudnyatakan kerajaan Allah di dunia ini
lewat sikap dan tindakannya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Berkhof, Luis (2011). Teologi Sistematika Doktrin Gereja. Volume 5. Momentum: Surabaya.
Hasugian, Jairus, S. Pantja Djati, and Eddy Simanjuntak. "Pengaruh Pemahaman Rohaniwan
Gereja tentang Model Pemerintahan Gereja terhadap Ketertiban Gereja." DUNAMIS:
Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 7.1 (2022): 254-267.
Purwanti, E., Missa, A., & Tandi, Y. (2021). Kepemimpinan Kristen Dalam Konteks
Penggembalaan Gereja Di Indonesia. Journal of Religious and Socio-Cultural, 2(2),
89-107.
Sidianto, Daniel, Yanto Paulus Hermanto, & Rubin Adi Abraham. "Sistem Pemerintahan
Pastoral Sinodal Dan Implikasinya Bagi Hamba Tuhan." Kharisma: Jurnal Ilmiah
Teologi 3.2 (2022): 76-102.
Sunarto, Sunarto. "Perbandingan antara Bentuk Presbiterian dan Kongregasional dalam
Pemerintahan Jemaat." TE DEUM (Jurnal Teologi Dan Pengembangan Pelayanan) 3.1
(2013): 43-62.

17

Anda mungkin juga menyukai