Anda di halaman 1dari 7

PRESBITERIAL SINODAL DAN SINODAL PRESBITERIAL

Pengantar
Redaksi Suara Lonceng Meminta saya menulis tentang prebiterail Sinodal dan Sinodal
Presbiterial yang mau di muat di Majalah Lonceng. Alasanya untuk mengisi rubrik
perayaan Ulang Tahun ke 153 tahun GKI di Papua. Tapi hemat saya, ada alas an yang
lebih mendalam. Yaitu pemahaman tentang “Presbiterial Sinodal” dan sinodal presbiterial
yang belum dipahami dan di wujudkan secara baik dalam gereja kita. Artinya, apa yang
kita maksudkan dengan kepemimpinan gereja yang presbiterial sinodal (Peraturan Pokok
Gereja tentang jabatan jemaat, klasis dan sinode pasal 20 ayat 8). Dalam pasal 20 ayat 8
ini, salah satu tugas BP Am Sinode dikatakan adalah “menjaga agar kepemimpinan
gereja yang presbiterial terlaksana dan berlangsung dengan baik!!. Artinya, BP Am
Sinode mengawasi dan menjaga supaya dalam gereja (Jemaat, Klasis dan Sinode)
mekanisme kepemimpinan yang presbiterial di jalankan dengan baik. Pertanyaan kita,
apakah dalam gereja telah kita pahami arti dan makna dari “Presbiterial Sinodal” yang di
amanatkan untuk di laksanakan dengan baik? Sejauh saya lihat dan alami kita tidak atau
belum melaksanakan dengan konsekuen prinsip-prinsip “presbiterialisme episkapolistis”
yaitu presbiterialisme yang bercorak dan bertendensi episkopal. Dimana status dan
jabatan dalam struktur menjadi alat kekuasaan. Sehingga setiap pemegang jabatan dalam
struktur di klasis dan sinode merasa lebih berhak dan berkuasa mengatur dan menentukan
apa yang mau di berlakukan. Menjadi birakrasi yang hierarkhitis seperti yang berlaku
dalam pemerintahan sipil. Kalau begitu apa yang dimaksudkan dengan “Presbiterial
Sinodal” dalam system pemerintahan gereja? Samakah dengan system birokrasi birokrasi
di pemerintahan yang hierarchitis atau lain coraknya?

1. Presbiterial Sinodal dan Sinodal Presbiterial


Pertanyaan yang selalu muncul dalam gereja adalah Manakah system
pemerintahan gereja yang terbaik, yang perlu dijadikan sebagai system pemerintahan atau
susunan pemerintahan gereja? Terdapat berbagai sistem pemerintahan gereja. Ada system
episkapolisme, presbiterial, independentisme, collegialisme, , ……………, dll.
Pilihan pada satu system pemerintahan gereja, sangat bertangging jawab pada alas
an yang mendasari pemilihan sistem yang dipilih dan diberlakukan sebagai mekanisme
dalam pemerintahan gereja. Tentu saja dengan alas an theologies yang mendasarinya.
Presbiterial sinodal dalam system dan struktur dan pemerintahan gereja
bertumbuh dan berkembang sesudah reformasi. Terutama dikembangkan oleh Calvin
sebagai tokoh reformasi di samping Luther. Pada sidang sinode di paris 1550 gereja-
gereja protestan beraliran Calvinis menetapkan “Presbiterial Sinodal: sebagai sistem
dalam gereja-gereja protestan beraliran Calvinis itu, adalah sebagai reaksi dan penolakan
terhadap sistem pemerintahan gereja “papalisme-episkopal” yang berlangsung sampai
reformasi. Dimana kekuasaan untuk mengatur dan menetapkan kebijakan gereja terletak
pada Paus yang adalah kepala gereja, wali kristus dan pengganti rasul Petrus. Presbiterial
Sinodal sebagai sistem dalam pemerintahan gereja sejak 1559 itu mengedepankan
pemahaman dan prinsip-prinsip pokok bahwa dalam mengatur dan menata jemaat adalah
“Majelis Jemaat” sebagai satu kesatuan. Majelis jemaat yang terdiri dari pendeta (Pelayan
Firman), penatua, dan Syamas/Diaken. Majelis Jemaat sebagai satu kesatuan melakukan
tugas masing-masing sesuai porsi dan kewenangan yang diatur dan ditetapkan. Sebagai
satu kesatuan (Majelis Jemaat) tidak ada jabatan yang lebih utama dari yang lain. Tidak
ada hierarkhi dalam tubuh majelis sebab “presbiterial sinodal” mengandung pengertian
sebagaimana di tetapkan di Paris (1559) dan gereja dalam tata gereja GKI di Papua,
adalah semua jabatan sama dan semua keputusan diambil pada tingkat “presbiterial”
(Majelis). Prinsip ini berlaku dalam keseluruhan struktur gereja, Presbiterial Sinodal,
mengutamakan “keputusan bersama” untuk menghindari hierarkisme dan episkopalisme
yang dapat dan bisa muncul dalam gereja-gereja Calvinis. Tapi sebagai sekaligus sebagai
bagian dari reformasi sistem pemerintahan gereja yang hierarkisme dan episkopolistis
pada era sebelum reformasi. Dimana segala kebijakan gereja ditetapkan dan diputuskan
Paus dan kemuadian para uskup dalam sistim episkopalisme.
Sistem episkopalisme inilah yang mau dihindari oleh gereja-gereja protestan beraliran
calvinis, sejak prinsip “presbiterial sinodal” ditetapkan dalam sistem bergereja dalam
gereja-gereja calvinis. Jadi, prinsip presbiterial sinodal adalah bahwa “semua jemaat dan
semua jabatan mempunyai struktur yang sama”. Tidak ada satu gereja atau jabatan
pemerintahan gereja dan jabatan yang lain. Semua mempunyai tanggung jawab yang
sama. Hal ini berarti dalam majelis jemaat ataupun klasis dan sinode, Pimpinan Harian
Badan Majelis, klasis atau sinode bukan dan tidak harus berperan sebagai penguasa,
pemegang kuasa, sebab kekuasaan dan kewenangan adalah pada badan secara bersama.
Penyalahgunaan jabatan sering terjadi karena ketidakmengertian dan karena keinginan
“berkuasa” dan “main kuasa dalam gereja” dalam gereja.

2. Pengertian dasar tentang arti dan makna “presbiterial sinodal” berlaku dalam seluruh
jenjang struktur gereja. Struktur dan sistem “presbiterial sinodal” ini sangat jelas
terlihat dalam Tata gereja GKI, Dr. Locher yang menghadiri sidang pertama sinode
1954 di Serui mengatakan bahwa “Pengakuan dalam Tata Gereja GKI sangat singkat
dan Tata Gerejanya memperlihatkan bentuk dari presbiterial sinodal. Bentuk itu
nampak pada peran anggota jemaat setempat untuk memilih Majelis Jemaat dan
Majelis Jemaat ini akan berperan memilih calon-calon ke klasis dan sidang Sinode
yang tiap tahun dipilih yang baru. Calon-calon dalam jabatan bukan di tunjuk dan
diangkat tetapi dipilih oleh jemaat sebagai basis presbiterial sinodal. Hal ini juga
nampak yang menunjukkan arti dari pemahaman presbiterial sinodal dalam GKI,
nampak pada Pengakuan GKI dalam Tata Gereja, yaitu Bab I; yaitu “Yesus Kristus
ialah Kepala dan tubuhnya yang memelihara gereja dan memerintahkan gereja
dengan sabdaNya dan RohNya. Dan Alkitab sebagai Firman Allah,
menunjukan, memimpin pengakuan dan kehidupan pekerjaan gereja. (TG 1956
psl 1). Dr. Locher mengakui bahwa Tata Gereja GKI adalah bersifat dan
mempunyai karakter “presbiterial sinodal” oleh karena peran warga gereja
untuk memilih calon-calon majelis, klasis dan sinode, tetapi juga karena Alkitab
sebagai Firman Allah menuntun dan membimbing kehidupan dan pekerjaan
gereja.
Dimana secara tidak langsung menyebutkan bahwa di dalam gereja kekuasaan
ada pada kristus atau kristolerasi.
Bukan pada pemimpin strukturan dalam gereja. Pemimpin struktural dalam gereja
(sinode, klasis, jemaat) menjadi pemimpin yang menjalankan “kuasa dan kewibawaan
kristus” Mendengar dan memberlakukan Firman Allah sebagai kehendak Kristus.
Oleh sebabnya segala kebijakan dan keputusan yang mau diambil perlu di rundingkan
dibicarakan dalam rapat-rapat majelis/Badan dengan membuka Firman Allah dan
berdoa untuk mengambil keputusan. Apakah semua keputusan baik, adil dan benar
dan dapat di pertanggung jawabkan secara teologis. Prinsip berunding bersama dalam
rapat bersama sebagai ciri presbiterial sinodal dalam Tata Gereja GKI juga di atur dan
ditetapkan sejak 1965 dan masih berlaku sampai saat ini. Pada Bab I pasal 9 T.G
1956 (bandingkan juga dengan perubahan lain) dikatakan dan di atur sebagai berikut:
“Supaya jangan satu jemaat memerintah jemaat lain, dan janganlah satu jabatan
memerintah jabatan lain, lagi janganlah seseorang pejabat memerintahkan pejabat
lain, maka pimpinan gereja dilaksanakan di bawah pemerintahan Yesus Kristus
dang sidang-sidang pejabat-pejabat. Sidang-sidang itu ialah untuk Jemaat, majelis
Jemaat, untuk Klasis sidang Klasis, untuk gereja sidang Sinode”.
Rumusan pasal 9 dalam Tata Gereja GKI 1956 ini sangatlah tegas dan jelas yaitu
supaya segala sesuatu yang menyangkut keputusan dan kebijakan di atur dan
ditetapkan dalam sidang-sidang atau rapat-rapat Badan Majelis. Suara Gereja adalah
suara Badan!! Bukan suara atau pendapat Ketua Sinode, Sekretaris Sinode, Ketua
Klasis dan lain sebagainya. Tetapi suara dan pendapatn lembaga-lembaga badan yang
ditetapkan dan disepakati lalu disampaikan Ketua dan Anggota Badan Majelis.
Dengan demikian gereja GKI terwakili dalan Badan Majelis bukan dalam diri oknum
anggota Badan. Prinsip ini berbeda dengan gereja katholik dan di pemerintah.
Dimana suara gereja katholik adalah suara dan pendapat uskup dan pemerintahan
sipil suara pejabat yang memerintah (Gubernur, Bupati/Walikota dan lain
sebagainya). Untuk mencegah gereja menjadi diri sendiri pada oknum pejabat gereja,
seperti yang terjadi dalam sistim papulisme dan episkopalisme, maka “kebersamaan
yang diwujudkan dalam rapat-rapat sebagai kolektivitas presbiterium diatur dan
ditetapkan sebagai pula gereja. Oleh karena itu, kita dapat bersuara dan menilai kritis
suatu kebijakan. Apakah kebijakan yang di tetapkan adalah “suara bersama” dan
bukan suara perorangan!

3. Pengertian dasar tentang arti presbiterial sinodal tersebut berlaku dalam seluruh
jenjang struktur gereja yang mau diberlakukan atau dijadikan berlaku dalam satu
gereja beraliran Calvinis. Hal ini jelas terlihat dalam Tata Gereja GKI dan berlaku
dalam semua jenjang struktur gereja (Jemaat, Klasis dan Sinode). Kalau dipakai
istilah “presbiterial sinodal” tidak berarti bahwa gereja diatur dan bersatu dalam
kekuasaan absolut pimpinan gereja (BP Am Sinode). Demikian sebaliknya, kalau
dipergunakan istilah “presbiterial sinodal” tidak berarti bahwa semua urusan dan
tanggung jawab gereja berakar bari bawah d.h.i. Majelis Jemaat.

Tata Gereja GKI yang sejak 1971 berjenjang Tiga (Jemaat, Klasis dan Sinode)
melaksanakan tugasnya sesuai batasan tugas juga di atur dalam Tata Gereja. Tugas
Majelis Jemaat, tugas BP Klasis, dan tugas BP Am Sinode mempunyai batasan-
batasan tugas dan tanggung jawab. Sehingga tidak muncul penguasaan sinode atau
klasis dan jemaat.
Dalam Tata gereja dan peraturan-peraturan pokok tentang jabatan, Jemaat, Klasis dan
Sinode, batasan dan kewenangan masing-masing jenjang di atur, tetapi secara
prinsipil pembatasan dan penguasaan dalam kewenangan jabatan itu, tercantum jelas
dalam Pasal 9 Tata Gereja 1956.
“Pasal 9 tersebut mengatakan; supaya janganlah satu jemaat memerintah jemaat
lain, dan janganlah satu jabatan memerintah jabatan lain, lagi janganlah seorang
pejabat memerintah pejabat lain, maka pimpinan gereja di laksanakan dibawah
pemerintahan Yesus Kristus dalam sidang-sidang penjabatan-penjabatan! Sidang-
sidang itu adalah : untuk jemaat Majelis Jemaat; untuk Klasis Sidang Klasis;
untuk gereja Sidang Sinode”
Janganlah disalah artikan pengertian presbiterial sinodal sebagai segala sesuatu
harus dari bawah (Majelis Jemaat) dan sinodal presbiterial berarti segala
sesuatu diputuskan dan diatur dari atas (Sinode). Penggunaan istilah-istilah
tersebut hendak mengingatkan kita pada nilai “Kebersamaan” yang berproses
dari bawah ke atas (majelis Jemaat, Klasis ke Sinode).
Dengan demikian presbiterial sinodal atau sinodal presbiterial bukanlah
kekuasaan yang berakar pada jemaat (majelis Jemaat) atau pada pemegang
jabatan (sinode), kekuasaan bukan letak pada mereka, tetapi dari atas pada
Kristus. Kekuasaan menjadi kekuasaan yang obyektif berasal dari luar diri
manusia, yakni dari Firman Tuhan. Kuasa dalam gereja (Majelis, Klasis,
Sinode) adalah Firman Tuhan yang memberi kuasa sekaligus membatasi
kekuasaan yang berakar pada manusi. Sebagai Contoh : terjadinya penggunaan
Kekuasaan yang berujung kepada penggunaan keuangan yang tak bertanggung
jawab seperti pesta pora/bergaya hidup mewah... bandingkan penjualan surat
penghapusan dosa... dsb.
Keputusan-keputusan selaku penanggung jawab mandataris sidang, maka
sewaktu-waktu Ketua Jemaat/Ketua Klasis/Ketua Sinode dapat membuat
kebijakan yang bertujuan melaksanakan penatalayanan (melihat sikon).
Karl bathn Mengatakan bahwa pemerintah gereja bukanlah urusan suatu jabatan yang
istimewa ataupun dari pihak orang-orang percaya. Alkitab (Firman Tuhan) yang
memerintah gereja. Jabatan-jabatan gereja beserta jemaat bukanlah majikannya,
melainkan alat pelayanan.
Dan dalam sistem presbiterial ini semua jabatan sama-sama bertanggungjawab di
bawah Firman Tuhan. Tidak ada satu jabatan yang lebih tinggi daripada jabatan yang
lain. Dan tidak ada jabatan lain yang dapat memerintah jabatan yang lain. Pemerintah
gereja oleh Tuhan melalui majelis jemaat dan dalam jabatan-jabatan yang diberikan
Tuhan. Yakni penatua, syamas dan pelayan Firman (pendeta, guru jemaat, penginjil).
Hakekatnya jabatan-jabatan itu sama. Tidak ada yang lebih tinggi dan rendah.
Masing-masing dengan tugasnya. Segala kebijakan diatur dan ditetapkan bersama
dalam Rapat Majelis atau sidang-sidang jabatan (Klasis dan BP Am Sinode). Sistem
presbiterial ini dapat cenderung manusiawi kalau tidak taat pada kuasa Kristus.

4. Sejauh ini saya telah menguraikan apa itu presbiterial sinodal dan sinodal presbiterial.
Bagaimana bentuk sistem tersebut dalam struktur gereja saya tidak menguraikannya.
Tentu Gereja GKI dan peraturan-peraturan pokok tentang jabatan, jemaat, klasis dan
sinode, jelas memperlihatkan sistem presbiterial dalam GKI di papua yang tiga
jenjang itu. Walaupun ada pengalaman bergereja ada upaya yang cenderung
mengabaikan hak-hak ditingkat jemaat atau klasis. Sinode merasa lebih berkuasa
sehingga cenderung mengatur dan mengabaikan hak-hak dan kewenangan klasis atau
jemaat.
Kecenderungan berkuasa dalam mengatur dari atas (baca Klasis terhadap jemaat dan
sinode terhadap klasis dan Jemaat) rupanya sedang mau di introdusir dalam upaya
perubahan Tata Gereja dan sistem bergereja sejak Raker Sinode di Kotaraja dan
menjelang Sinode ke XVI mendatang. Pertanyaan mendasar adalah sistem gereja apa
yang kita mau berlakukan ? Apa alasan perubahan dan mengapa harus merubah dari
sistem presbiterial yang tiga jenjang (Presbiterial Sinodal; Klasikal Presbiterial dan
Sinodal Presbiterial) menjadi jemaat sinode yang cenderung jatuh ke dalam sistem
indep.............. jemaat dan episkopolisme Sinode. Oleh karena itu sangat diperlukan
kajian-kajian yang mendalam terhadap perubahan-perubahan yang mau dibuat dari
sistem presbiterial sinodal ke episkapolisme!!

5. Demikian tulisan ini untuk memenuhi permintaan redaksi dari Majalah Lonceng.

Padang Bulan, awal Desember 2009

Pdt. W.F. rumsarwir

./

Anda mungkin juga menyukai