Selain contoh-contoh di atas, sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh lain yang ingin
menjelaskan makna cinta. Namun yang penting bagi kita sekarang adalah bagaimana makna cinta
dalam kehidupan orang percaya.
Untuk membicarakan makna cinta kasih dalam kehidupan pria dan wanita, kita kembali pada
pemahaman kitab Kejadian 1:27 “...Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya,
menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka...”. Dari
ayat ini kita dapat memahami bahwa :
a. Sejak semula Allah sebagai Sang Pencipta menghendaki pembedaan jenis kelamin antara
manusia yang satu yang disebut Adam dan manusia yang lain yang disebut Hawa.
b. Potensi pembedaan jenis kelamin (sexes) ini menjadi daya dorong terjadinya cinta kasih
antara pria dan wanita.
c. Dorongan seksual dalam diri manusia sebenarnya hal yang baik dan suci (ingat bahwa setelah
segala sesuatu diciptakan, Tuhan mengatakan bahwa segala sesuatu yang diciptakanNya itu
sungguh amat baik dan segala sesuatu yang diciptakan Tuhan itu sempurna tanpa cacat),
sehingga pelaksanaan cinta kasih atas dorongan seksual ini harus dalam rangka kesucian
maksud Allah, yaitu seperti yang terdapat dalam Kejadian 1:28 “...Beranak cuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut
dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi...”.
d. Untuk melaksanakan maksud Allah yang suci bagi kehidupan pria dan wanita, Tuhan
mengatur dalam Kejadian 2:24 “...Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya
dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging...”. Ayat ini
kita mengerti sebagai kehendak Allah atas pernikahan pria dan wanita. Oleh karena itu dalam
rangka pria dan wanita sebagai ciptaan yang berbeda jenis kelamin melaksanakan maksud
kesucian Allah dalam hidup pria dan wanita, dorongan seksual yang ada pada dirinya hanya
dapat direalisir dalam kehidupan pernikahan yang dikehendaki Allah.
2. BEBERAPA JENIS CINTA KASIH
Agar cinta kasih yang terjadi dalam kehidupan pernikahan adalah conta kasih yang dapat
menjamin keberlangsungan kesejahteraan orang bernikah, maka kita perlu mengenal beberapa
jenis cinta kasih yang sering terjadi dalam kehidupan pria dan wanita sebagai berikut :
a. Jenis cinta kasih agape, adalah jenis cinta kasih yang dilandasi oleh motif kesediaan untuk
berkorban. Baik pria maupun wanita yang saling mengasihi dengan jenis ini senantiasa rela
berkorban demi yang dikasihinya secara bertanggungjawab. Artinya korban yang berada
dalam bingkai kebenaran Allah. Demi cinta kasihnya yang agape ini seorang suami mau
mengorbankan hobi, kepuasan, waktu, tenaga, pikiran, harta, kehormatan pribadi, dan
sebagainya. Ia rela walaupun orang yang dikasihinya tidak lagi memuaskan keinginannya.
Hal ini tentu terjadi sebaliknya bagi kaum wanita terhadap yang dikasihinya.
b. Jenis cinta kasih philia, adalah jenis cinta kasih yang dilandasi prinsip timbal balik. Jenis
cinta kasih ini biasa juga disebut cinta bisnis, artinya bahwa yang terjadi adalah berapa yang
dapat aku peroleh setelah sekian kali aku berkorban. Setiap kali kita melakukan perbuatan
sekecil apapun terhadap orang yang kita kasihi, kita selalu berpikir apa bentuk imbal
perbuatan yang dapat kita peroleh dari orang yang kita kasihi itu.
c. Jenis cinta kasih eros, adalah jenis cinta kasih yang dilandaskan pada motif penguasaan pada
obyek yang dikasihi demi kepentingan kepuasan diri sendiri. Bila jenis ini terjadi dalam suatu
kehidupan suami istri dalam keluarga, akan sangat berbahaya karena sifat kasih ini akan
bersifat sangat sementara, sepanjang masing-masing pihak memuaskan kebutuhan pihak-
pihak lain. Mungkin suami akan terpuaskan sewaktu istrinya masih muda dan cantik, namun
kalau sudah tua dan tidak cantik lagi akan tidak mengasihi. Istri akan mengasihi suami,
sepanjang suami masih muda, masih kuat bekerja, dan mendatangkan banyak uang, namun
begitu sudah tua tidak mampu bekerja lagi, maka menjadi lain persoalannya.
Ketimpangan yang terjadi yang menyebabkan disharmoni dalam keluarga dalam kaitannya dengan
seksualitas pria-wanita pada umumnya disebabkan adanya beberapa faktor :
a. Kurangnya pemahaman diri dan partnernya tentang karakteristik seksual pria-wanita.
Pada garis besarnya memang sudah diketahui bahwa karakter seksual pria berbeda dengan
wanita. Namun lebih dari itu karakter individual seksual pria/wanita yang satu berbeda dengan
karakter individual seksual pria/wanita yang lain. Masing-masing karakter seksual adalah unik.
Tidak ada teori umum seksual yang dapat diterapkan persis pada pasangan pria-wanita tanpa
menghargai karakteristik seksual individu masing-masing pasangan. Kondisi ini tentu harus
dipahami oleh masing-masing pasangan supaya ada penyesuaian pola tingkah laku seksual
yang sehat.
b. Tidak terbuka terhadap pengalaman seksual pria-wanita dalam keluarga.
Sama dengan pengalaman kegagalan pada umumnya, kegagalan seksual pada masa lalu suami-
istri juga menjadi pengalaman yang traumatis. Pengalaman ini sangat mempengaruhi
aktualisasi seksual suami-istri. Pemenuhan seksual menjadi sekedar memenuhi kebutuhan
hukum. Hal itu sekedar masalah hak dan kewajiban tanpa didasari kasih yang saling
memperhatikan.
c. Egoisme seksual.
Ada sekian banyak data kasus pastoral yang menunjukkan disharmoni keluarga disebabkan
faktor egoisme seksual. Aktualisasi hubungan seksual suami-istri sangat dikuasai oleh emosi
pribadi tanpa memperhatikan kebutuhan emosi partnernya. Yang dilakukan suami sekedar apa
yang perlu tanpa memperhatikan apa yang dibutuhkan istri.
d. Budaya seksual yang tidak seimbang.
Ada banyak pepatah dalam budaya Jawa yang sangat diskriminatif terhadap hubungan seksual
pria-wanita dalam keluarga.
“Wong wadon iku apindha samir saupamane”. Samir adalah lembaran daun pisang yang
dibentuk indah sedemikian rupa dijadikan alas lauk pauk yang ditempatkan di atas suap
nasi dalam suatu bungkus. Samir itu dibentuk, dihias, dielus/dibersihkan sedemikian rupa
manakala ia akan dipakai, tapi nasib samir akan langsung dicampakkan ke bak sampah
manakala sudah selesai dipakai.
“Wong wadon iku paribasan esuk nggo batur bengi nggo kasur, esuk nggo theklek bengi
nggo lemek”. Ungkapan ini simbol dominasi pria atas wanita dalam segala hal, termasuk
dalam hal seksualitas. Wanita di mata pria sekedar sebagai alat kerja dan alat pemuas
seksual.
“Wong wadon iku paribasan swarga nunut, neraka katut”. Dari dimensi kemitraan,
ungkapan ini menunjukkan wanita tidak mempunyai hak apa-apa di depan pria. Ia
sekedar ikut menikmati. Ia tidak mempunyai inisiatif dan kenikmatan seksual dalam
keluarga.
Pengaruh lekatnya budaya ini dalam kehidupan keluarga di lingkungan kita menyebabkan
peran wanita sekedar sebagai mesin seks. Ia melakukan aktifitas seksual tanpa penghayatan.
Kalau ketimpangan posisi seksualitas dalam kemitraan pria-wanita ini menjadi salah satu
pemicu disharmoni dalam kehidupan rumah tangga, ujung-ujungnya dapat berakhir pada
kehancuran dan ketidaksucian keluarga. Pertanyaan kita adalah bagaimana upaya kita untuk
mengembalikan posisi mitra pemenuhan seksualitas dalam keluarga ?
Pertama-tama kita melihat bagaimana kesaksian Alkitab. Kejadian pasal 1 dan 2 hal
seksualitas pria-wanita mengangkat 3 ide dasar yaitu ide kesepadanan, ide satu ketelanjangan,
dan ide satu kesedagingan. Ide-ide dasar ini menunjukkan bahwa masing-masing pihak pria-
wanita dalam keluarga mempunyai kesamaan hak pemenuhan, kesamaan hak keterbukaan,
dan kesamaan hak keintiman (hak untuk dikasihi).
Kesaksian Perjanjian Baru baik dalam I Korintus 7:3-5 maupun dalam Efesus 5:22-33, Kolose
3:18-19, ternyata ide sama lemah dan sama kuat, sama butuh dan sama dibutuhkan dalam
seksualitas suami istri nampak jelas. Suami atau istri ternyata tidak bisa sendiri puas, dan
tidak bisa sendiri butuh, tetapi sama-sama mencari puas, dan sama-sama merasa butuh.
Hal yang kedua yang perlu kita perhatikan adalah bunyi Undang Undang Perkawinan No. 01
tahun 1974 pasal 33 yang berbunyi : “Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain”. Dari
bunyi pasal ini juga dapat kita mengerti bahwa ada amanat untuk saling memperhatikan,
saling menghormati dan saling membantu dalam hal pemenuhan kebutuhan seksual dalam
kehidupan suami-istri.
BAB II
HAKIKAT PERNIKAHAN KRISTEN
Dengan pembedaan ini maka dapat dipahami secara khusus bagaimanakah hakikat Pernikahan
secara kristiani, dalam arti : pemahaman secara teologis menurut Alkitab (khususnya etika
Kristen).
Bagaimanakah pergaulan manusia dengan Allah itu ? Alkitab – khususnya kitab Kejadian –
tidak banyak menjelaskannya, namun yang jelas bahwa pergaulan itu dapat dirasakan,
dinikmati, dan dihayati melalui hubungan antar-manusia. Hal ini nyata dari penciptaan
manusia, bahwa Allah menciptakan manusia yang pertama yaitu adam, kemudian diciptakan
manusia yang kedua yaitu Hawa. Penciptaan kedua manusia – sebagai pria dana wanita – ini
disengaja oleh Allah sedemikian rupa sehingga keduanya berhubungan/bergaul secara
harmonis. Dalam hal ini, hubungan antara pria dan wanita ini berlaku Hukum Kasih (seperti
tertulis dalam Mat. 23:37-40).
Dengan demikian jelas bahwa Pernikahan itu secara teologis terletak di dalam konteks
perhubungan atau pergaulan. Namun demikian, perhubungan/pergaulan ini harus ditempatkan
dalam rangka hubungan manusia dengan Allah, artinya : hubungan dalam Pernikahan itu
tidak an sich (semata-mata) hanya hubungan manusiawi belaka, tetapi hubungan yang ada
sangkut-pautnya dengan Allah; sehingga dengan demikian Pernikahan itu sungguh-sungguh
menyangkut/menyentuh kehidupan yang hakiki, yaitu kehidupan iman. Di dalam Pernikahan
itu, masing-masing pribadi harus menempatkan dirinya sebagai sekutu bagi yang lain dalam
kerangka perwujudan sebagai sekutu Allah.
Pemahaman akan Pernikahan sebagai persekutuan hidup yang total atau utuh itu akan
membawa akibat atau konsekuensi yang kompleks. Pernikahan bukanlah sekedar
persahabatan yang berdasarkan hobby saja, atau ia bukan sekedar alat untuk melegitimasi
(mendahkan) perhubungan seksual saja, atau ia juga bukan perhubungan untuk sekedar
maksud-maksud ekonomis yang hanya mencari keuntungan, atau ia juga bukanlah usaha
untuk menyatukan ideologi dan politik; tetapi – lebih dari semua itu – Pernikahan itu
merupakan usaha untuk menyatukan segenap aspek kehidupan secara menyeluruh
(utuh/total). Dengan demikian, Pernikahan itu mengandung pesan untuk hidup dalam
penyesuaian diri dengan orang lain di tengah-tengah perbedaan-perbedaan yang ada.
Dengan pemahaman yang demikian ini kita dapat mengharapkan terwujudnya Pernikahan secara
benar dan baik.
Dengan demikian, tampaklah dengan jelas bahwa Pernikahan itu merupakan “rekayasa” yang
memerlukan “kerja keras” dan tanggungjawab untuk membentuknya sedemikian rupa sehingga
tampak indah, baik, dan benar.
4. TUJUAN PERNIKAHAN
Pertanyaan dasar yang diajukan bagi orang yang akan menikah adalah : mengapa orang menikah ?
Pertanyaan ini menimbulkan banyak jawaban, misalnya : untuk melegalisir seks, atau untuk
memperoleh anak, atau untuk mempertahankan/meningkatkan status sosial, atau untuk mencari
pembantu yang siap menolong. Alasan-alasan ini memang cukup rasional, tetapi alasan ini tidak
cukup memadai/kuat untuk membangun/mempertahankan Pernikahan. Alasan mendasar untuk
menikah adalah untuk mewujudkan kasih secara benar (Mat. 22:37-40). Kesungguhan/keseriusan
orang untuk menyatakan kasih kepada Allah dan sesama. Kasih yang benat yaitu kasih yang tanpa
pamrih dan kasih yang mau memberikan diri untuk orang lain tanpa syarat. Kasih yang demikian
ini dapat dinyatakan dalam pergaulan Pernikahan. Inilah kasih yang membahagiakan !
8. TATA-CARA PERNIKAHAN
Tata-cara Pernikahan di Indonesia, khususnya yang dilakukan oleh orang Kristen, mengandung
dua aspek yang mutlak harus dipenuhi/dilakukan, yaitu: tata-cara administratif dan tata-cara
gerejawi. Adapun hal-hal yang harus dilakukan adalah sbb:
a. Tata-cara Gerejawi
Pernikahan yang dilakukan di dalam kehidupan gereja menunjukkan bahwa Pernikahan itu
bersangkut-paut dengan Tuhan dan sesamanya. Pada satu sisi Allah berkenan dan memberkati
orang yang menikah, dan pada sisi yang lain sesama-kita mempedulikan orang yang menikah
(artinya: mengakui dan menghormati seseorang yang menikah, sehingga ia tidak akan
mengganggunya, tetapi bahkan ia bersedia menolongnya). Dan pemahaman yang demikian
ini maka secara gerejawi ada dua hal yang perlu dilakukan :
i. Pelayanan perkunjungan-pastoral
Orang yang hendak menikah harus memberitahukan rencanan Pernikahan kepada Majelis
Gereja (sebaiknya secara tertulis). Pemberitahuan ini sebaiknya dilakukan setelah
pertunangan (bagi yang mulai dengan bertunangan) atau dua bulan sebelum Pernikahan
dilakukan (bagi yang tidak bertunangan). Setelah Majelis mendengar rencana Pernikahan
itu, maka Majelis diwakili dua orang utusan mengunjungi calaon mempelai dan
orangtuanya. Perkunjungan ini dimaksudkan untuk mencari tahu kepastian Pernikahan
dan sekaligus mempersiapkannya. Adapun hal-hal yang perlu disinggung dalam
perkunjungan ini adalah :
- identitas mempelai : nama, kelahiran, status, alamat, sidhi
- prakarsa/kehendak untuk menikah ini dari siapa
- sepengetahuan atau sepersetujuan orang tua/wali/pengampi
- kedewasaan dan kemandirian mempelai
- anjuran mengikuti katekisasi pra-nikah
- disampaiakan peretelaan dan liturgi kebaktian Pernikahan
b. Tata-cara Administratif
Persyaratan administratif Pernikahan dipergunakan untuk melengkapi keabsahan Pernikahan
secara yuridis. Pelaksanaan tata-cara ini menyangkut/berhubungan dengan kantor Catatan
Sipil setempat. Persyaratan administratif sebaiknya dilengkapi sebulan sebelum Pernikahan
berlangsung dan sebaiknya dikonsultasikan dengan Pejabat Pembantu Pencatat Pernikahan di
Kantor Catatan Sipil setempat (biasanya seorang pendeta). Adapun hal-hal yang harus
dipenuhi misalnya:
- Surat pengantar dari Kelurahan
- Surat pernyataan belum pernah kawin
- Surat persetujuan orang tua
- Fotocopy akte kelahiran
- Fotocopy KTP
- Fotocopy akte Pernikahan orang tua
- Fotocopy akte perceraian atau surat kematian bagi yang pernah kawin
- Surat pemeriksaan dokter (immunisasi)
- Pasfoto yang berjajar
Catatan : persyaratan ini hanyalah contoh saja dan biasaya masing-masing daerah berbeda;
untuk itu perlu diperjelas di Kantor Catatan Sipil setempat (terlebih-lebih yang menyangkut
Perkawinan WNI keturunan dan WNA).
Di dalam perundang-undangan Perkawinan di Indonesia ada beberapa hal yang patut diperhatikan
Pengertian Perkawinan
Pasal 1 UUP menyatakan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga/ rumah
tangga yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pernyataan ini
tersirat pengertian sbb. :
- Perkawinan itu merupakan ikatan/kesatuan yang total antara pria dan wanita sebagai
suami-istri dalam keluarga
- dasarnya adalah cinta sejati antar pribadi
- ada penerimaan – baik lahir maupun batin – di antara kedua pihak
a. Tujuan Perkawinan
Dari rumusan pasal 1 UUP di atas, nampak bahwa tujuan Perkawinan adalah membentuk
keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi,
yang ingin dicapai adalah kebahagiaan lahir-batin. Idealnya, Perkawinan itu langgeng, artinya
: Perkawinan itu hanya berakhir karena kematian; sebab Perkawinan itu dilandasi oleh
restu/berkat Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, hubungan antar pribadi dalam
Perkawinan itu bersifat sakral/suci yang konkritisasinya diwujudkan dalam Perkawinan
menurut hukum/aturan agama. Dengan pengertian ini, UUP secara tidak langsung menentang
praktek kumpul-kebo, kawin kontrak atau kawin bersyarat.
b. Sahnya Perkawinan
Suatu Perkawinan dinyatakan sah menurut hukum apabila dilakukan berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang diisyaratkan oleh UUP dan PP. Menurut pasal 2 UUP, Perkawinan itu sah
apabila dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta
dicatatkan di Kantor Catatan Nikah (KUA bagi orang Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi
orang non-Islam). Konkritisasi keabsahan Perkawinan nampak dari pelaksanaan Perkawinan
yang berlangsung di hadapan pejabat agama dan dicatatkan pada Kantor Catatan Nikah.
c. Halangan-halangan Perkawinan
Pasal 8 dan 11 UUP menentukan halangan-halangan Perkawinan sbb. :
- Berhubungan darah dalam garis lurus ke atas maupun ke bawah
- Berhubungan darah dalam garis menyamping
- Berhubungan secara semenda (ikatan keluarga karena Perkawinan)
- Ada hubungan darah dengan istri, atau sebagai bibi, atau kemenakan dari istri dalam hal
poligami
- Dalam keadaan masih terikat tali Perkawinan, meskipun sudah dalam status pisah meja
dan ranjang
- Khusus untuk seorang wanita, masih dalam tenggang waktu tunggu
d. Pencegahan Perkawinan
Pasal 13-21 UUP mengatur pencegahan atas Perkawinan sbb. :
- Para keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah atau wali nikah pengampu dari
salah satu calon
- Istri atau suami dari salah satu calon
- Pejabat yang ditunjuk
e. Batalnya Perkawinan
Pasal 22 UUP menyatakan bahwa Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan Perkawinan. Pembatalan ini harus diajukan ke
Pengadilan di tempat berlangsungnya Perkawinan atau tempat kediaman suami-istri atau bisa
juga di tempat kediaman suami atau istri.
g. Putusnya Perkawinan
Perkawinan dapat putus, karena :
- Kematian
- Perceraian
- Putusan pengadilan (misalnya : putusan pembatalan Perkawinan)
Kata ‘ tata ‘ memiliki arti : aturan dan kata ‘ laksana ‘ lebih menunjuk lebih kata arti dasar :
berjalan , berbuat / perbuatan , tingkah laku . Dengan dekian kata : “ tata laksana “ di maksudkan
sebagai aturan-aturan yang di pergunakan/ yang di perukan untuk berjalannya kehidupan keluarga
Kristen.
Aturan di sini di pahami sebagai suatu sarana ( dan bukan tujuan ) untuk mencapai sesuatu. Oleh
karena itu , apa isi dan materi aturan itu sendiri tidak boleh bersifat harga mati , melainkan justru
terbuka dan melayani tujuan yang akan di raih. Pernikahan Kristen itu mempunyai tujuan :
a) mewujudkan kehendak Allah dalam kehidupan dirinya yang adalah gambar dan rupa Allah ,
memlalui persekutuan hidup atas dasar cinta kasih dalam pernikahan
( bandingkan Kejadian. 1 : 26 – 27 )
b) mewujudkan panggilan dan tanggung jawabnya sebagai mandataris Allah untuk mengusai,
mengatur dan mengembangkan bumi bagi kesejahteraan.
( bandingkan Kejadian 1 : 28 )
sedangkan kata “ keluarga “ di sini menunjuk pada : suatu relasi antara ayah, ibu, anak-anak dalam
suatu ikatan pernikahan.
Dan kata “ Kristen “ dimasudkan sebagai suatu landasan yang di pergunakan atau keyakinan yang
mendasari tata laksana tersebut.
Dalam bab inni akan di bahas secara singkat beberapa hubungan yang penting di pahami dalam
kehidupan pernikahan Kristen.
Dalam kenyataan kehidupan pernikahan saat ini, kedudukan kepala keluarga umumnya di
berikan kepada laki-laki ( suami ).
Bagaimana kita memahami kedudukan yang berbeda itu ?
Kedudukan kepala keluarga di tengah masyarakat kita banyak di artikan secara keliru , seakan-
akan menjadi bukti bahwa derajat kaum laki-laki ( suami ) lebih tinggi dan dengan demikian
berhak mengusai pihak perempuan ( isteri ) . Demikian juga banyak ayat Alkitab yang di
manfaatkan secara salah sehingga dapat memberi kesan bahwa pendapat yang demikianpun ada
ayat dukungannya di Alkitab misalnya : Kisah Rasul 10 : 2, 11 : 14, 18 : 8 , I Kor I : 16 , I Tim 5: 4
dst . ( bandingkan juga I kor I : 3 bahwa “…….laki – laki adalah kepala dari perempuan …..”)
Kedudukan kepala keluarga , berkaitan dengan upaya mengatur dan menjalankan suatu keluarga.
Untuk mengatur dan menjalankan sesuatu lembaga sebagai mana ada pada lembaga keluarga
memang di butuhkan penunjukan siapa yang bertugas dan berperan sebagai pemimpin. Namun
kedudukan tersebut bukanlah di maksudkan untuk membedakan tinggi rendah dengan
menyertakan kuasa untuk sewenang-wenang memerintah dan menunjukan kepemimpinannya atas
anggota keluarga yang lain.Kedudukan suami yang yang membawakan kepemimpinan dalam
keluarga justru untuk melayani dan menumbuhkan berfungsinya peran-peran lain yang di
pimpinnya, agar dengan demikian masing- masing dapat saling melayani.
“ ….Hendaklah suami memenuhi kewajibanya terhadap isterinya , demikian pula isteri terhadap
suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri tetapi suaminya, demikian pula suami tidak
berkuasa atas tubuhnya sendiri tetapi isterinya ( I Kor 7 : 3 – 4 ) mendasarkan pada inti makna ayat
tersebut, maka nasihat untuk “ menundukan/ merendakan diri “ itu bukan hanya ditujukan pada
para isteri, tetapi semua anggota jemaat, termasuk para suami “ Kamu semua ..….rendahkanlah
dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus !
( Efesus 5 : 21 dan I Petrus 5 :5 ) “…..hai isteri – isteri , tunduklah kepada suamimu, supaya jika
ada di antara mereka tidak taat kepada Firman , mereka juga tanpa perkataan di menangkan oleh
kelakuan isterinya ,……….dst. Demikian juga hai kamu, suami-suami, hiduplah bijaksana dengan
isterimu,sebagai kaum yang lebih lemah ! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih
karunia yaitu kehidupan , supaya doamu jangan terhalang “ ( I Petrus 3 : 1 dan 7 ) menurut
kesaksian Alkitab, laki - l;aki ( suami ) dan permpuan ( isteri ) adalah sama.Kesamaan ini
menentukan hubungan mereka sebagai partner dalam keluarga saling melengkapi, saling memberi
dan menerima dan saling menyempunakan .
Hubungan suami – isteri dalam pernikahan menurut kedua belah pihak untuk berlaku setia, saling
percaya dan menyabari , mau dan berani berkorban dan mempunyai tanggung jawab bersama.
b) sebagai anak, ia harus melihat bahwa Allah mengatur kehidupannya melalui keberadaan
orangtuanya . Dengan demikian seorang anak patutlah menempatkan orangtuanya sebagai
yang patut di hormati karena
kehendak Allah. Kemudahan dan kemajuan fasilitas dalam kehidupan modern ini
memungkinkan seorang anak memiliki ke pandaian, keahlian
dan tingkat kemapanan ekonomi yang melebihi orangtuanya, namun kenyataan ini bukanlah
alas an untuk meniadakan hormatnya kepada orangtuanya ( bandingkan Kolose 3 : 20 Efs 6 :
1 kel 20 : 12 )
BAB IV
KELUARGA KRISTEN DAN ADAT ISTIADAT
Dengan istilah Kristen dimaksudkan ialah landasan ataupun keyakinan yang dipakai untuk mendasari
sikap etis ketika keluarga menghadapi dan memberikan tanggapan dalam peristiwa-peristiwa
sepanjang perjalanan hidup keluarga.
Dengan istilah adat-istiadat ialah sesuatu yang dikenal atau diketahui dan diulang-ulangi sebagai suatu
kebiasaan di dalam masyarakat dan hal ini dapat berupa kata-kata maupun macam-macam bentuk
perbuatan. Adat-istiadat ini ada yang berbentuk Norma, hukum, aturan-aturan yang melembaga yang
harus dilakukan, dan kalau tidak dapat mendapatkan sangsi baik secara moril maupun materiel; adat-
istiadat juga dapat berupa tradisi/kebiasaan yang dipakai untuk merayakan hal-hal yang resmi dan
sering disertai dengan upacara-upacara tertentu untuk moment-moment penting yang ada di dalam
hidup manusia sejak lahir sampai dengan kematiannya.
Maka akan muncul persoalan, apakah dibenarkan keluarga-keluarga Kristen melakukan tradisi-
tradisi/upacara-upacara yang muncul dari kebiasaan masyarakat tertentu (misalnya budaya
Jawa/Tionghoa) dan di sisi lain keluarga tersebut juga serentak harus melakukan norma maupun
upacara-upacara yang ada sesuai dengan paham maupun iman Kristen.
Sikap apa yang harus diputuskan oleh keluarga Kristen dalam peristiwa-peristiwa adat-istiadat, tradisi,
upacara-upacara tertentu dalam budaya tertentu dengan tetap berlandaskan ajaran imannya ?
Di dalam tradisi ini, tatacara perkawinan dibagi dalam beberapa tahap yang memiliki kegiatan
masing-masing serta memberikan gambaran makna simbol tertentu, antara lain seperti
diungkapkan di bawah ini :
b. Siraman.
Upacara mandi bagi calon pengantin pria maupun wanita yang dilakukan oleh para sesepuh.
Biasanya upacara ini dilakukan sekitar jam 09.00-11.00, pada saat mana di dalam legenda
kuno para putri dari nirwana turun ke bumi untukmandi. Adat ini dilakukan sebagai simbol
yang memiliki harapan bahwa para calon pengantin akan beroleh tuah menjadi bersih dan
cemerlang seperti para putri dewata.
Catatan : Pada dasarnya acara ini sangat kompleks, karena itu pembiayaan juga tidak
sedikit, yang diuraikan di atas hanyalah pokok-pokok saja.
Paham ini menggunakan dasar Alkitab seperti yang ada di dalam surat Yohanes pertama:
“...Janganlah kamu mengasihi dunia dan yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi
dunia maka kasih Bapa tidak ada di dalam orang itu, sebab semua yang ada di dalam dunia
yaitu keinginan daging dan keinginan mata bukanlah berasal dari Bapa melainkan dari dunia
ini...” (I Yoh. 2:15-16). Jadi sudah seharusnya kalau keluarga Kristen tidak lagi terikat dan
menggunakan adat-istiadat/tradisi kebudayaan yang ada.
Paham ini ada pada aliran-aliran pietisme, yang menekankan tentang kesalehan hidup yang
bertitiktolak pada paham bahwa setiap perkara-perkara duniawi dan mengabaikan tuntutan
Allah, jadi harus menolak segala sesuatu yang dari dunia ini.
Sikap ini ada di dalam kelompok sinkretisme yaitu yang cenderung menggabungkan/
menyamakan unsur-unsur yang ada di dalam adat-istiadat dan yang ada di dalam paham
Gereja/Iman Kristen, dan atas dasar ini maka keluarga Kristen hendaknya dapat
menggunakan adat-istiadat yang ada di dalam paham Kristen. Di dalam paham sinkretisme
ini, akan mengusahakan suatu bentuk kekristenan yang memakai unsur-unsur adat-istiadat,
supaya dengan demikian kekristenan dapat lebih menarik dan lebih diterima.
Di dalam sejarah memang cara dan sikap ini menjadikan penyebaran pengaruh Kristen (PI)
mudah diterima oleh banyak orang, mereka mudah kompromi, toleran sehingga orang-orang
Kristen mudah diterima dan dapat bekerjasama dengan berbagai golongan yang memiliki
paham bermacam-macam.
Namun perlu diingat secara kritis, kalau paham Kristen itu memiliki unsur-unsur kesamaan
dengan adat-istiadat setempat, mengapa orang harus menjadi Kristen, bukankah Kristen tidak
berbeda dengan adat-istiadat.
Paham ini juga didasari bahwa manusia memiliki tanggungjawab terhadap sesamanya.
Membangun sesamanya, Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk sosial, karena itu
manusia (orang Kristen) perlu memiliki relasi dengan dunia (manusia lain dengan adat-
istiadatnya) sebagai rencana Tuhan dan sesuai dengan kehendakNya.
Namun pada pihak lain, kelompok ini juga mengakui bahwa ada perbedaan antara paham
Kristen dengan adat-istiadat, paham Injil Kristen lebih tinggi daripada sekedar adat-istiadat,
tujuan hidup manusia tidak hanya dicapai dengan adat-istiadat/budaya tetapi adalah karunia
dari Tuhan (Injil).
Dengan kata lain bahwa adat-istiadat yang dilaksanakan hendaknya dibaptiskan, diisi,
disucikan dengan warna dan kehendak Kristus.
Menurut paham ini, manusia telah berdosa terhadap Allah, dan hanya dapat dibenarkan
karena pengampuanan dalam kasih karunia Kristus. Dosa ini mempengaruhi semua bentuk
budaya/aadat manusia, sehingga apapun wujudnya upaya manusia dengan segala adatnya
adalah diwarnai dengan dosa keakuan (bahasa Alkitab = kebodohan).
Adat istiadat bagaimanapun baiknya adalah ibarat menara megah yang didirikan di atas tanah
yang jelek. Karena itu sebagai orang yang telah dikuduskan hendaknya memakai segala
pikiran dan tenaganya untuk mengembangkan adat-istiadat yang ada. Sikap ini berarti bahwa
dengan segala pengetahuan dan kebebasan yang telah diperbaharui Kristus hendaknya setiap
orang memutuskan apa yang diwajibkan oleh adat-istiadat.
Sikap ini ditampakkan di dalam kesetiaan untuk melakukan kehidupan kristianinya namun
sekaligus juga melakukan hukum-hukum adat-istiadat, mereka wajib melayani Tuhan dengan
ketentuan-ketentuan Kristiani, tetapi juga wajib melayani Tuhan dengan ketentuan-ketentuan
dunia yang ada. Ia menjalankan kekristenannya tetapi ia juga menjalankan kebiasaan
masyarakatnya tanpa keduanya saling terganggu.
e. Sikap pembaruan. (transformsi) : memperbarui adat istiadat
Sikap ini dilakukan dengan dasar pemahaman bahwa Kristus adalah pembaharu dunia, dunia
dengan segala upaya yang dikerjakan manusia termasuk di dalamnya adat-istiadat/budaya
telah diwarnai oleh dosa.
Tuhan Yesus tidak menghapus yang telah ada tetapi memperbarui dengan makna dan isi yang
baru. Ia memakai simbol baptisan yang telah ada di dalam kebiasaan adat-istiadat agama
misteri, yang melambangkan orang yang telah memiliki kerohanian yang tinggi, dengan
makna yang baru, ada transformasi makna, yaitu bahwa baptisan sebagai tanda kehidupan
yang baru namun sekaligus diberi kepercayaan, transformasi kepercayaan, bahwa Allah di
dalam Tuhan Yesus dan atas pertolongan RohNya yang kudus meyakini di dalamnya ada
keselamatan.
3. KESIMPULAN :
1. Sebagai orang keluarga Kristen perlu memahami makna perilaku yang diwujudkan dalam
berbagai adat-istiadat kehidupan manusia dari peristiwa kelahiran sampai dengan kematian
dan sekaligus memahami kepercayaan apa yang terkandung di dalamnya. Hal ini dapat
dilakukan dengan mempelajari secara seksama melalui berbagai informasi yang ada baik
berupa tulisan maupun lisan.
BAB V
KELUARGA KRISTEN DITENGAH-TENGAH KEMAJUAN IP-TEK
Peradaban tehnologi modern sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan memang telah
memberi sumbangan besar untuk hidup manusia semakin baik . walau didalam kenyataan juga
harus di akui bahwa peradaban baru ini tidak sedikit membawa dampak negatif dalam kehidupan
manusia ; itulah sebabnya bahwa menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi perlu
sebagai orang beriman / pengikut Kristus hendaknya memiliki pemahaman dan sikap yang tepat.
Pokok – pokok ajaran Gereja ( GKJ ) tentang IP – Tek dicantumkan pada pokok pengajaran
minggu ke 17 yang terdiri atas 10 pokok, yaitu pertayaan 185 sampai dengan 195 , yang dapat di
ringkas sebagai berikut :
a. Bahwa manusia sebagai ciptaan Allah dan di tugasi untuk mengatur dan melestarikan
kehidupan didunia di lemngkapi akal dan budi.
b. Dengan akal budinya mansia wajib mengembangkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
tehnologi untuk keselamatan dan kelestarian dunia.
c. Namun demikian hidup manusia memiliki cacat – cidera manusiawi. Sehingga dalam
mengelola ilmu pengetahuan dan tehnologi dengan akal budinya ada kecenderungan berbuat
dosa.
d. Oleh karena itu, di dalam mengelola ilmu pengetahuan dan tehnologi,manusia hendaknya
mampu menangkap, menata dan menyimpan serta mengembangkan sesuai dengan manusia
yang bermartabat, yaitu memanfaatkannya bagi keselamatan dan kelestarian dunia.
Mengingat bahwa dalam kehidupan dewasa ini peradaban tehnologi modern dengan segala
dampaknya mau tidak mau akan di hadapi oleh semua anggota keluarga yang ada di dalamnya ,
karena itulah sudah selayaknya kalau setiap pembentukan keluarga harus di siapkan dengan baik
melalui bimbingan maupun pendampingan.
Karena Tuhan di kesampingkan, maka penghayatan iman mengendur dan sebagai akibatnya
maka muncul etika permisif ( menghalalkan cara ) Misalnya : pergaulan bebas , kumpul kebo,
pertukaran pasangan dan lain sebagainya .
Demikian pula karena penghayatan iman mengendur, maka banyak masalah social
kemasyarakatan ( kekeluargaan ) tidak di selesaikan dengan kasih kesabaran, pengusan diri,
pengampunan, tidak memperhatikan kebutuhan sendi – sendi ke utuhan keluarga maka cara yang
paling tepat adalah perceraian.
Semua ini mempunyai dampak yang langsung pada kehidupan keluarga, sehingga keluarga
banyak mengalami kesulitan dalam memenuhi panggilan yang luhur dalam kehidupan suami –
isteri dalam komunikasi pembinaan bagi anggota keluarga
Contoh di atas hanya merupakan bagian kecil dari pengaruh dari kemajuan ilmu pengetahuan
dan tehnologi, yang jika tidak dianatisipasi Dengan sungguh – sungguh dapat menjadi sumber masalah
yang dalam membangun keluarga yang sejahtera secara jasmani dan rohani
Harus di akui bahwa perubahan yang diakibatkan oleh ke majuan ilmu – ilmu – pengetahuan
dan tehnologi di rasakan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, namun perlu juga di ingat seperti
telah di uraikan terdahulu bahwa teknologi dan pengaruhnya juga mampu menjadikan ancaman bagi
kehidupan manusia / keluarga
Ambivalen dari akal budi manusia yang tercermin dari hasil tehnologi baik yang sederhana
maupun modern memang dapat berupa berkat ( hasil positif ) tetapi juga dapat berupa laknat ( hasil
negatif ) karena itulah di dalam menggunakan tehnologi ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan
antara lain :
Tidak dapat di hindari dalam kehidupan manusia ( keluarga - keluarga ) dewasa ini akan
berhadapan dengan kemajuan ilmu pengetahuan maupun tehnologi modern, hal yang penting
untuk di perhatikan ialah asas manfaat . Apakah penggunaan hasililmu pengetahuan dan
tehnologi modern itu membuat kehidupan semakin sejahtera secara utuh / holistik ( phisik,
rohani, social, mental ) ; demikian pula penggunaan dengan tetap memperhatikan demi
martabat manusia sebagai insan Allah. Didalam hal ini Alkitab sendiri mengajarkan bahwa
segala sesuatu boleh asalkan hal itu memililki asas manfaat dan membangun ( bandingkan
PPAG pertanyaan 205 dan I Kor 10 : 23 )
Tidak dapat di pungkiri bahwa hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi modern
menjadikan kehidupan manusia semakin dapat menikmatinya, dalam berbagai aspek
kehidupan : Pendidikan , Kesehatan, tranportasi, komunikasi , fasilitas – fasilitas lainya.
Namun untuk menikmatinya di butuhkan dana yang tidak sedikit, karena itu untuk
manfaatkan fasilitas tehnologi modern itu hendaknya benar – benar memperhatikan skala
prioritas kebutuhan serta dengan mengingat keterjangkauan dari segi dana
BAB VI
KELUARGA KRISTEN DALAM KRISIS
Kehidupan suatu keluarga tidak selalu berjalan lancar serta dipenuhi suasana aman dan damai.
Setiap keluarga pasti pernah mengalami dan mungkin masih akan mengalami masa-masa krisis, yaitu
masa-masa genting, masa-masa berbahaya bagi kelangsungan kehidupan keluarga. Ada berbagai
faktor penyebab terjadinya krisis di dalam keluarga, antara lain :
Akibat yang ditimbulkan karena menderita suatu penyakit tertentu, dapat menimbulkan berbagai
krisis, misalnya :
1) Dalam bidang keuangan. Jika biaya pengobatan harus ditanggung sendiri, pasti akan
merepotkan keluarga yang pengahasilannya pas-pasan, apalagi pengobatan untuk penyakit
menahun atau penyakit keturunan atau penyakit pembawaan.
2) Dalam segi psikologis. Dapat menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan lagi karena
pasangannya menderita PMS dan AIDS misalnya. Biasanya suamilah yang menopang
kebutuhan keluarga. Jika yang sakit suami sehingga tidak dapat bekerja lagi, kemudian istri
yang mencari nafkah atau lebih giat mencari nafkah. Pergeseran peran atau fungsi ini dapat
timbul rasa rendah diri dalam diri suami karena budaya Jawa menempatkan suami/laki-laki di
atas istri/perempuan (budaya ini diharapkan dapat berubah sesuai dengan perkembangan
budaya itu sendiri), sehingga ada kesetaraan di antara suami/laki-laki dan istri/perempuan).
3) Dalam bidang soaial. Suami atau istri yang menderita suatu penyakit tertentu mengalami
hambatan di dalam bergaul dengan sesamanya di tempat kerja maupun di tengah masyarakat
atau malu mengajak bergaul pasangannya yang sakit itu.
4) Dalam hubungan fisik termasuk hubungan seksual. Hal ini terjadi apabila suami atau istri
menderita dibetes atau TBC misalnya.
2. Ketiadaan keturunan
Pasangan yang tidak memiliki anak bisa disebabkan oleh tidak normalnya organ tubuh/alat-alat
reproduksi, yaitu organ tubuh yang berkaitan dengan kelahiran anak, baik dari pihak suami
maupun dari pihak istri. Kata reproduksi berasal dari kata procreate ( = menjadi ayah,
menghasilkan), artinya meneruskan keturunan.
Anak merupakan dambaan setiap suami istri. Suami istri adalah sarana Tuhan untuk
melanjutkan keturunan. Pernikahan itu sendiri bukanlah bertujuan untuk memperoleh anak,
namun ada suami istri yang merasa belum lengkap jika belum/tidak memiliki anak, padahal
ternyata tidak setiap perempuan dan tidak setiap laki-laki memiliki benih yang memenuhi syarat
bagi terbentuknya janin dan selamatnya kehamilan. Reproduksi atau lahirnya anak berkaitan
dengan alat-alat reproduksi. Ada laki-laki/perempuan yang “subur”, sehingga kelahiran anak
tidak menjadi masalah. Ada laki-laki/perempuan yang “tidak subur” bahkan mandul, sehingga
sulit atau tidak dapat memiliki anak. Hal ini dapat menimbulkan masalah yang menganggu
kelestarian pernikahan.
3. Penyelewengan seksual
Penyelewengan seksual dapat saja terjadi di dalam kehidupan suami istri. Ada berbagai sebab
yang dapat menimbulkan tindak penyelewengan seksual, a.l. :
a. Hubungan suami istri tidak harmonis lagi
Keharmonisan dapat terjadi karena ada masalah yang tidak terselesaikan. Kurang adanya
keterbukaan di dalam mengatasi/menyelesaikan masalah. Ketidakharmonisan ini
menyebabkan salah satu pihak atau kedua belah pihak mencari kepuasan di luar rumah. Bisa
saja diawali dengan perjumpaan dan pergaulan biasa di antara dua orang yang berbeda jenis
kelamin. Pergaulan yang biasa ini lama-lama dapat menjadi pegaulan khusus dan akhirnya
terjadilah penyelewengan seksual.
b. Usia perkawinan yang makin bertambah
Usia perkawinan yang makin bertambah jika tidak dipelihara dengan baik dan tidak ada
variasi, dapat menimbulkan kebosanan. Misalnya suasana rumah yang tetap saja sejak
memulai hidup bersama : segala sesuatu terletak permanen di tempatnya, aktivitas yang rutin
dari bangun tidur sampai berangkat tidur lagi, suasana pada waktu pacaran tidak ada lagi.
Kemudian masing-masing mecari suasana baru di luar rumah yang akhirnya dapat menjadi
tindak penyelewengan.
c. Ketidakpuasan dalam hubungan seksual
Ketidakpuasan salah satu pihak atau kedua belah pihak yang terjadi berkali-kali dapat
membuat pasangan itu mencari kepuasan di luar rumah. Pasti ada hal (hal-hal) yang dapat
menimbulkan ketidakpuasan, misalnya : sedang menderita sakit, penyakit yang menahun,
tidak melakukannya dengan sepenuh hati (hanya sebagai kewajiban, bukan kebutuhan),
teknik yang tidak sesuai.
d. Kelainan dan penyimpangan seksual : homoseksual, masokhisme, sadisme
Kelainan dan penyimpangan seksual adalah tingkah laku seksual yang tidak normal
(abnormal). Hal ini dapat terjadi baik pada perempuan maupun laki-laki.
Homoseksual adalah tingkah laku seksual dengan orang yang sejenis, cinta seksual antara
laki-laki dengan laki-laki (homoseks) atau perempuan dengan perempuan (lesbian). Kelainan
ini dapat terjadi sejak kelahiran (pembawaan) karena cedera otak menjelang dan selama
kelahiran berlangsung. Di samping itu, ada pula yang terjadi karena perkembangan psikis
yang terganggu misalnya : kesalahan dalam pendidikan, pengalaman dalam masyarakat.
Namun demikian, ada juga yang sebenarnya heteroseksual tetapi berperilaku homoselsual
karena situasi misalnya lama di LP atau di tempat yang terasing dan tidak dapat mengatasi
kesepiannya.
Masokhisme adalah kepuasan seksual yang dialami istri apabila hubungan seksual dilakukan
dengan kasar (sadis). Sebaliknya, suami yang mengalami kepuasan seksual karena hubungan
seksual yang dilakukan dengan kasar (sadis).
Kecuali itu, dapat terjadi pula terjadi ketidakpuasan karena suami yang impoten atau istri
yang frigid (bersikap dingin) dalam melakukan hubungan seksual.
e. Pernikahan yang tidak menghasilkan anak (lihat no. A. 2).
Sebenarnya, penyelewengan seksual tidak selalu disebabkan oleh adanya kelainan atau
penyimpangan sesksual, tetapi dapat juga karena tidak adanya sikap yang saling menghargai di
antara suami istri.
4. Ekonomi keluarga
Krisis dalam keluarga dapat terjadi baik di dalam keluarga yang keadaan ekonominya baik
maupun yang keadaan ekonominya kurang baik. Keluarga yang keadaan ekonominya cukup
atau berlimpah, dapat kehilangan dasar pernikahan yaitu cinta kasih. Segala keperluan hidup
sehari-hari tersedia, perabotan serba modern, namun tidak ada kehangatan dalam keluarga.
Anak-anak dapat menggunakan uang untuk hal-hal yang tidak terpuji.
Keluarga yang keadaan ekonominya kurang, tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari
sehingga dapat menimbulkan percekcokan di antara suami istri. Untuk mengatasinya, istri
maupun suami bekerja sehingga anak-anak tidak terurus. Jika masih tetap tidak teratasi, anak-
anak ikut bekerja yang dapat mengganggu sekolah mereka. Akibat negatif yang dapat muncul
adalah anak-anak dapat melakukan perbuatan tercela misalnya mencuri, menipu, dan
sebagainya sebab kebutuhan mereka tidak terpenuhi.
Gaji istri yang lebih besar daripada gaji suami atau pangkat dan kedudukan istri yang lebih
tinggi daripada suami dapat pula menimbulkan krisis, sebab budaya Jawa menempatkan istri di
bawah suami; istri tidak dianggap setara dengan suami, sehingga suami
mendominasi/menguasai istri. Dalam situasi seperti ini dapat terjadi yang sebaliknya, yaitu istri
mendominasi/menguasai suami sebagaimana suami mendominasi istri. Baik dominasi suami
terhadap istri maupun dominasi istri terhadap suami tidak sesuai dengan hakikat manusia
sebagai gambar Allah.
6. Hubungan sosial
Suatu keluarga tidak dapat hidup sendiri tanpa kelauga/orang-orang lain.Ornag-orang yang dekat
dengan kehidupan keluarga setiap harinya adalah tetangga, teman sekerja, teman sekolah. Dalam
hidup bertetangga, di tempat kerja maupun di sekolah bisa terjadi kesalahpahaman yang
membuat hidup pergaulan menjadi kurang baik. Termasuk di dalamnya adalah pertengkaran di
antara anak-anak dalam pergaulan dapat merambat dalam hubungan antarorang-tua sehingga
menjadi renggang. Jika berlarut-larut, tidak segera diselesaikan, akan menjalar dalam kehidupan
keluarga dan mengganggu kehidupan keluarga utamanya suami istri. Keluarga dapat menjadi
sasaran kemarahan/obyek kemarahan, kejengkelan dan sebagainya sehingga tidak kerasan
tinggal di rumah.
Karena masalah ekonomi, banyak keluarga yang tinggal berdempetan dan dalam petak-petak
atau di RSS (rumah sangat sederhana) dan dalam kehidupan modern saat ini, sudah banyak
keluarga yang tinggal di rumah susun. Kehidupan seperti ini menimbulkan masalah sosial yang
mungkin sulit diatasi karena masyarakat belum siap misalnya keluarga yang tinggal di rumah
susun (nyetel radio atau TV keras, bicara keras). Di samping itu, anak-anak tidak memiliki lahan
untuk bermain, sehingga bermain jauh dari rumah atau di tepi jalan yang membahayakan
jiwanya.
Pengaturan ERT perlu dibicarakan bersama antara suami istri. Pengelolaan uang dan anggaran
belanja perlu diatur bersama dengan sebaik-baiknya. Diperlukan keterbukaan di antara suami
istri baikvmengenai pemasukan maupun pengeluarannya. Diperlukan keterbukaan dalam
mengelola keuangan. Suami istri perlu membuat kesepakatan tentang cara/sistem pengaturan
ERT, karena dengan kesepakatan itu dapat dihindari penggunaan uang yang tidak bertanggung
jawab. Dengan kesepakatan menjadi jelas siapa bertanggung jawab terhadap apa. Ada
bermacam-macam cara untuk mengatur ERT, jika suami istri bekerja, a.l. :
- menyatukan penghasilan/pemasukan dan pengeluaran di rencanakan bersama-sama.
-suami dan istri menggunakan uang masing-masing dengan pembagian pengeluaran yang sudah
disepakati; suami bertanggung jawab terhadap sejumlah pengeluaran, demikian pula istri.
Namun demikian, pemasukan dan pengeluaran tetap diketahui oleh keduanya.
Karena anak adalah bagian dari keluarga, maka sebaiknya anak/anak-anak juga diberi
pengertian tentang ERT. Mereka perlu mengetahui berapa penghasilan yang diterima oleh
orang-tua mereka dan kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi setiap harinya (bagi yang
menerima gaji harian), selama satu minggu (bagi yang menerima gaji mingguan) atau satu
bulan (bagi yang menerima gaji bulanan). Dengan demikian, mereka akan ikut serta
bertanggung jawab atas kebutuhan sendiri dan keluarga.
7. Memelihara kehidupan bertetangga
Keluarga Kristen hidup di tengah keluarga-keluarga lain yang menjadi tetangganya. Apabila
kehidupan bertetangga tidak dipelihara dengan baik, dapat menimbulkan masalah. Masalah
yang tidak segera terselesaikan akan menimbulkan hubungan yang kurang baik yang akan
berpengaruh terhadap kehidupan keluarga. Fungsi sebagai terang dan garam juga merupakan
panggilan keluarga Kristen yang perlu diwujudkan dalam hidup bertetangga (lihat Bab III.D.).
Manfaat konflik
Bagaimana pun konflik ada pula manfaatnya bagi kehidupan bersama. Menurut Dr. A. Supratiknja
dalam bukunya “Komunikasi Antar Pribadi, tinjauan psikologis”yang mengutip dari Johnson, ada
beberapa manfaat konflik antara lain :
1. Konflik menyadarkan kita, bahwa ada persoalan yang harus diselesaikan, tidak dibiarkan saja
tanpa penyelesaian.’
2. Konflik dapat mendorong kita untuk melakukan perubahan-perubahan dalam diri kita
3. Konflik dapat menumbuhkan dorongan dalam diri kita untuk memecahkan persoalan yang
selama ini tidak jelas kita sadari, yang kita biarkan terbenam.
4. Konflik dapat menjadikan kehidupan lebih menarik. Timbulnya perdebatan karena suatu
persoalan akan mendorong kita untuk lebih memahami persoalan tersebut.
5. Perbedaan pendapat dapat membimbing ke arah tercapainya keputusan-keputusan bersama yang
lebih matang dan lebih bermutu.
6. Konflik dapat menghilangkan ketegangan-ketegangan kecil yang sering kita alami dengan
sesama kita.
7. Konflik menjadikan kita sadar tentang siapa atau seperti apa diri kita sesungguhnya.
8. Konflik dapat mempererat dan memperkaya hubungan. Melalui konflik masing-masing sadar,
bahwa hubungan yang ada selama ini ternyata sangat berharga, sehingga hubungan kemudian
menjadi semakin erat karena bebas dari ketegangan-ketegangan dan menyenangkan.
D. PERCERAIAN
Tidak ada pasangan suami istri yang mengharapkan perceraian, namun dalam kenyataan kita
menjumpai terjadinya perceraian. Dalam pernikahan Kristen tidak ada tempat bagi perceraian,
namun ternyata terjadi juga.
Penyebab perceraian
Dewasa ini situasi pernikahan dirasa lebih buruk daripada waktu-waktu sebelumnya. Mengapa
sekarang makin banyak terjadi perceraian? Menurut Dr. J.L.Ch. Abineno dalam bukunya
“Perkawinan” adalah :
1. Terjadinya perubahan dalam masyarakat
Dahulu kehidupan bersama dalam masyarakat merupakan kehidupan yang tertutup. Kehidupan
orang per orang diawasi dengan ketat oleh seluruh kaum keluarga, karena mereka hidup di satu
desa. Jika ada yang melakukan kesalahan dapat segera diingatkan, bahkan bisa jadi kaum
keluarga meberi hukuman yang diterima dengan baik oleh orang yang dihukum. Sekarang ini
kehidupan masyarakat terbuka dan keluarga tidak lagi tinggal di satu desa, sehingga tidak dapat
lagi diawasi secara ketat. Kecuali itu, suami istri itu sudah hidup mandiri, tidak lagi bergantung
kepada orang-tua dan keluarga mereka. Mereka berhak mengambil keputusan sendiri, juga dalam
hal perceraian.
2.Emansipasi wanita
Dulu wanita hanya dipersiapkan untuk menjadi istri dan ibu rumah tangga., sekarang tidak lagi.
Banyak istri yang bekerja baik untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga maupun untuk
mengaktualisasikan diri bahkan sebelum menikah. Penghasilan istri yang lebih tinggi dapat
menjadi faktor terjadinya perceraian, karena suami belum siap menerima kenyataan itu. Istri
yang bekerja tidak lagi khawatir apabila terpaksa terjadi perceraian, sehingga ada kemungkinan
hal ini menjadi penghambat terjadinya usaha pelestarian pernikahan.
3.Perubahan mentalitas
Mentalitas orang-orang sekarang berbeda dari nenek moyang mereka. Kita sekarang memiliki
nilai-nilai dan norma-norma yang berbeda dari nilai-nilai dan norma-norma nenek moyang kita.
Kita sekarnag ini hidup di alam kebebasan, sedangkan nenek moyang kita hidup di alam feodal.
Masalah-maalah yang dihadapi nenek moyang kita berbeda dari masalah-masalah yang kita
hadapis ekarnag ini, juga dalam hidup pernikahan. Kebahagiaan yang tidak dapat terwujud di
dalam pernikahan, dicarinya di luar penikahan.
4.Pernikahan yang tidak berdasarkan cinta
Pernikahan yang tidak didasarkan pada cinta yang murni tidak akan kekal. Mungkin tidak terjadi
pengenalan yang mendalam sebelum pernikahan, sehingga tidak terjadi saling mencintai yang
sesungguhnya. Mungkin juga karen pernikahan itunbukan kehendak mereka, melainkan karena
kehendak orang-tua.
5. Kemandulan
Kemandulan bisa terjadi pada suami maupun istri (lihat B.1.b.).
6. Perzinahan
Munculnya orang ketiga dalam pernikahan pasti menimbulkan masalah bagi kelangsungan
pernikahan (lihat B.1.3.).
Kecuali keenam hal tersebut, perceraian juga dapat disebabkan karena adanya krisis yang tidak
teratasi yang kemudian berkembang menjadi konflik yang tak teratasi pula (lihat B dan C).
Akibat buruk perceraian tidak hanya dialami oleh bekas suami istri itu, tetapi juga anak-anak. Oleh
karena itu perlu dilakukan usaha-usaha untuk mencegahya dengan cara mencegah terjadinya krisis
dan timbulnya konflik yang berkepanjangan yang tak teratasi. Namun demikian, apabila keadaan
sudah sedemikian rupa sehingga terciptalah “neraka di dunia”, mungkin perceraian merupakan
jalan yang terbaik dari yang terburuk.
***
***
BAB VII KELUARGA BERTANGGUNG JAWAB
.
Pemahaman tentang "Keluarga Berencana" (KB)
Istilah Keluarga Berencana (KB) sudah tidak asing lagi bagi kita. Secara umum KB dipahami
sebagai suatu cara untuk mengatur dan membatasi kelahiran anak agar tercipta keluarga yang
sejahtera. Maka muncullah Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sekjahtera (NKKBS). Program KB di
Indonesia masih perlu dilakukan (di beberapa negara barat sekarang justru dikampanyekan agar para
istri mau melahirkan lagi secara maksimal, sebab tidak punya lagi generasi muda akibat KB).
Program ini dilancarkan oleh pemerintah kita, sebab pemerintah melihat bahaya peledakan
penambahan jumlah penduduk yang dapat menjadikan rakyat tidak hidup bahagia dan sejahtera. Demi
kesejahteraan rakyat baik yang menyangkut kesejahteraan ekonomi dan sosial maupun kesempatan
menerima pendidikan yang layak, maka jumlah pertambahan penduduk harus ditekan sekecil
mungkin. Untuk menekan pertambahan jumlah penduduk, seringkali petugas melakukannya dengan
tidak bijaksana. Sering mereka hanya mengejar jumlah akseptor tanpa memperhatikan hak azasi
seseorang. Tentu ini menjadi tugas panggilan setiap orang Kristen untuk mengatasinya, utamya yang
bekerja di bidang kesehatan: medis, paramedis maupun nonmedis.
Pemahaman kita tentang KB, tidak hanya berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi atau
masalah peraturan pemerintah, tetapi juga masalah tanggung jawab. Allah telah memberikan mandat
kepada manusia untuk menguasai dan mengatur alam, termasuk di dalamnya menguasai dan mengatur
dirinya sendiri. Oleh karena itu, KB harus dilaksanakan dengan bertanggung jawab. Yang penting
ialah tanggung jawab suami-istri yang membentuk keluarga itu. Juga bertanggung jawab dalam
menguasai dan mengatur kehidupan seksualnya. Orang yang merasa mampu secara materi tidak
berarti boleh terus menambah jumlah anak, apalagi dengan maksud yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan yang hanya memikirkan kesejahteraan keluarganya sendiri/marga sendiri
tanpa mengingat kesejahteraan bersama. Dengan jumlah anak yang banyak berarti keluarga itu juga
menghabiskan/mengkonsumsi pangan dan sandang yang banyak, padahal keluarga lain juga
membutuhkan hal yang sama. Cadangan sumber alam akan lebih cepat habis karena yang
mengkonsumsi tak terkendali.
Dengan demikian pembentukan keluarga perlu diatur. Yang dimaksud dengan pembentukan
keluarga ialah: memiliki anak, membesarkan anak tersebut, serta mendidiknya agar menjadi manusia
yang baik dan bertanggung jawab.
1. Memiliki anak: sebelum anak dilahirkan, manusia telah menghayati kemanusiaannya. Mereka
dengan sadar harus mempersiapkan diri dan dengan gembira menerima tanggung jawab yang harus
dipikul oleh suami istri. Setiap suami istri harus siap untuk menjadi ayah dan ibu bagi anak-anak
mereka. Suami istri tidak selayaknya menghindari tanggung jawab sebagai ayah dan ibu, sehingga
tidak mau memiliki anak karena kehadiran anak dirasa mengganggu kenikmatan hidup mereka
berdua, menggangu meningkatnya karier mereka.
2. Membesarkan anak: tanggung jawab untuk memiliki anak yang sudah diterima terus berlanjut,
bahkan bertambah berat. Pelaksanaan tanggung jawab untuk membesarkan anak ini memerlukan
banyak sekali waktu dan tenaga. Hal ini mencakup sebagian besar hidup suami istri.
3. Mendidik anak: kepada anak yang makin bertambah besar itu harus diperkenalkan norma-norma,
nilai-nilai, dan harkat manusia yang harus diketahui dan ditaati oleh anak. Salah satu aspek dari
pendidikan ini ialah menyampaikan berita tentang karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus
kepada anak-anak. Mengarahkan ana-anak itu untuk beriman dan hidup selaku anak-anak yang
sudah diselamatkan oleh karya Allah dalam Kristus.
Apa pun yang kita lakukan dalam KB adalah tindakan orang beriman yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Keluarga yang bertanggung jawab adalah keluarga yang
terdiri atas orang-orang yang berpikiran matang, yang memperhatikan kesejahteraan keluarganya dan
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan keputusan bersama. Yang penting tidak
hanya melahirkan anak, tetapi juga membesarkan dan mendidik anak-anak itu dengan bertanggung
jawab.
Lahirnya anak-anak dalam pernikahan adalah berkat (tambahan) dari Tuhan. Tuhan meminta
kita supaya kita bersedia menerima berkat itu. Tuhan minta agar kita berani menerima berkat
(tambahan) itu dan bertanggung jawab sebagai ibu dan ayah, sebagai orang-tua. Pelaksanaan
tanggung jawab itu harus dipercakapkan bersama di antara suami istri dan dilandasi dengan doa
kepada Tuhan. Dalam pelaksanaan tanggung jawab ini kada ng-kadang diperlukan bantuan
dokter (yang menyangkut masalah-masalah medis) yang bertanggung jawab atau orang-orang lain
yang memiliki perhatian terhadap kehidupan keluarga yang sejahtera.
Pertimbangan-pertimbangan untuk mewujudkan KB
Untuk mewujudkan KB diperlukan pertimbangan dari segi sosial, psikologis, dan iman.
Ketiga segi tersebut saling berkaitan dan teranyam yang merupakan satu keasatuan. Beberapa hal
yang perlu kita renungkan dalam membentuk keluarga, dalam nenentukan segera tidaknya memiliki
anak adalah :
a. Keputusan untuk menentukan jumlah anak dan mengatur jarak kelahirannya adalah tanggung
jawab penuh suami istri di hadapan Tuhan.
b.Yang penting bukan jumlah anak yang maksimum (sebanyak-banyaknya) atau minimun (sedikit-
dikitnya), melainkan yang optimum (sebaik-baiknya), yang dapat dipertanggungjawabkan demi
kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
c. Di dalam memilih cara-cara dan alat-alat untuk mengatur (membatasi atau menjarangkan)
kelahiran hendaknya dipertimbangkan masak-masak, misalnya:
1) Cara/alat-alat yang digunakan dapat diterima oleh suami maupun istri.
2) Tidak berbahaya bagi kesehatan suami lebih-lebih bagi istri, sebab sampai sekarang pihak istri
yang lebih menjadi obyek penggunaan kontrasepsi daripada suami sehingga risikonya bagi istri
juga lebih tinggi.
3) Cukup berdaya guna dan terjangkau oleh kemampuan keuangan.
Keputusan yang bertanggung jawab untuk mewujudkan KB dilakukan antara lain dengan alasan-
alasan:
a. Berkaitan dengan kehidupan masyarakat: pertambahan penduduk yang amat cepat akan
berakibat pada bidang ekonomi dan sosial (kurangnya kesempatan kerja, pengangguran yang
makin bertam-bah, kepadatan penduduk yang tidak merata, terhambatrnya pembangunan
secara menyeluruh).
b. Berkaitan dengan kehidupan keluarga sendiri: kesehatan ibu dan anak terganggu, beratnya
ekonomi keluarga, pendidikan anak yang tidak memadai, soal perumahan, beban psikis
utamanya ibu/istri.
c. Demi cinta kasih: cinta kasih antara suami istri; cinta kasih kepada anak-anak.
d. Demi kesejahteraan umum: gereja dan masyarakat.
Pengaturan kehamilan dapat dilakukan baik secara alamiah dengan melakukan pantang
berkala maupun secara medis dengan menggunakan kontrasepsi. Pantang berkala dapat dilakukan
apabila istri mengalami menstrusi secara teratur. Sedangkan kontrasepsi yang dapat digunakan ada
bermacam-macam, antara lain kondom (karet KB), tablet, suntikan, jelly, krim, pasta, spiral (IUD =
Intra Uterine Divice = alat yang dimasukkan ke dalam rahim), tissu KB. Secara umum cara kerja
kontrasepsi itu adalah mencegah terjadinya pertemuan antara sperma dan sel telur sehingga tidak
terjadi pembuahan. Karena tidak terjadi pembuahan, maka tidak terjadi kehamilan. Ada pula yang
mencegah masaknya sel telur seperti pil anti hamil. Ibu-ibu yang menderita penyakit tertentu seperti :
ginjal, jantung, tekanan darah tinggi, dan beberapa penyakit lainnya tidak diperbolehkan
menggunakan pil ini. Oleh karena itu, perlu pemeriksaan oleh dokter sebelum menggunakan
kontrasepsi agar dapat menggunakan kontrasepsi yang cocok dengan kondisi kesehatan masing-
masing. Apabila suami istri memutuskan untuk memiliki anak lagi, penggunaan kontrasepsi
dihentikan.
Apabila suami istri telah memutuskan untuk KB, harus melakukannya dengan disiplin dan
konsekuen. Hal ini perlu diperhatikan, sebab bisa saja dalam pelaksanaannya ternyata tidak
konsekuen. Pada waktunya ternyata masing-masing tidak mau mengurbankan kepuasannya, atau
kurang disiplin menggunakan kontrsepsi yang telah dipilihnya.
Alat-alat tesebut dapat digunakan dengan baik untuk mencapai tujuan KB, namun juga dapat
disalahgunakan baik oleh orang yang sudah menikah maupun oleh orang yang belum menikah.
Penggunaan kontrasepsi yang tidak bertanggung jawab akan merugikan diri sendiri dan orang lain.
Berkaitan dengan pencegahan kehamilan kita juga mengenal sterilisasi, baik vasektomi (untuk
suami) maupun tubektomi (untuk istri). Kiranya perlu dipertimbangkan dengan sunggguh-sungguh
sebelum melakukannya. Sebaiknya dijadikan pilihan terakir setelah semua cara tidak dapat digunakan
atau tidak cocok untuk keduanya, sebab sterilisasi merupakan pencegahan yang permanen. Memang
ada kemungkinan saluran yang sudah ditutup itu dapat dibuka lagi, tetapi keberhasilannya kecil,
utamanya tubektomi.
Adopsi
Cara lain untuk memiliki anak ialah dengan jalan adopsi. Adopsi ada mengangkat anak orang
lain dijadikan anaknya.
Tidak sedikit suami istri yang tanpa anak melakukan adpsi. Anak angkat ini
diterima/diperlakukan sebagai anak sendiri dan dalam pekerjaan juga mendapat hak/tunjangan
sebagai anak sendiri jika disertai surat adopsi yang sah (dari pengadilan).
Sebelum mengadopsi, perlu dipikirkan dengan sungguh-sungguh konsekuensinya dan masa
depan anak tersebut dalam kaitannya dengan masalah sosial dan psikologis, misalnya dalam
pergaulan dan perkembangan pribadinya.
Secara teologis tentu adopsi yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab
merupakan perwujudan dari kasih. Di samping untuk kelangsungan hidup bersama suami istri
dan memelihara kasih di antara keduanya, juga menolong anak yang kurang beruntung
misalnya jika anak yang diadopsi itu berasal dari keluarga kurang mampu. Dengan demikian,
juga menolong anak tersebut menapaki masa depannya dengan penuh harapan.
Namun demikian, perlu dipikirkan juga bagaimana kelak memberi tahu anak tersebut, bahwa ia
adalah anak angkat; jangan sampai ia justru tahu dari orang lain.
5. Pencegahan kelahiran
Pencegahan kelahiran adalah suatu tindakan untuk mencegah agar bayi tidak lahir. Tindakan ini
dilakukan karena berbagai hal, di antaranya:
a. Bayi itu tidak diinginkan karena alasan sosial-ekonomis, misalnya karena “kecelakaan” atau
perkosaan atau belum ingin memiliki anak karena belum dapat mencukupi kebutuhan atau masih
mengejar karier, dsb. Biasanya, cara yang digunakan ialah dengan menggugurkannya secara
langsung (abortus provocatus). Tindakan ini tentu tidak dapat dibenarkan secara etis, sebab
berarti melakukan pembunuhan. Kalau alasannya sosial-ekonomis ya harus diselesaikan secara
sosial-ekonomis.
b. Karena alasan medis: membahayakan keselamatan ibu. Dalam situasi seperti ini harus segera
diambil tindakan medis. Pengguguran seperti ini dilakukan demi keselamatan ibu dan dapat
dipertanggung-jawabkan secara etis-moral. Daripada keduanya meninggal, lebih baik diusahakan
salah satu selamat. Dalam kenyataan, biasanya jiwa ibu yang diselamatkan. Misalnya dalam
kasus: janin muda yang menderita kanker ganas, kehamilan di luar kandungan. Walaupun
demikian, tindakan medis ini harus dipertimbangakn dengan sungguh-sungguh, misalnya
sesudah mendapat kepastian bahwa bagaimana pun janin itu tidak mungkin dipertahankan
bahkan akan menyebabkan juga kematian ibu.
*****
BAB VIII
HIDUP MEMBUJANG
1. PENGANTAR
Baik di lingkungan Kristen maupun dalam masyarakat luas, hidup membujang sering
dianggap sebagai jalan hidup yang tidak lumrah. Oleh karenanya, mengejutkan dan menimbulkan
tanda tanya. Pertanyaan itu bisa biasa-biasa saja : mengapa ?, bisa juga bernada ingin tahu lebih
mendalam : ada apa ?, bahkan bisa juga pertanyaan yang mengandung kecurigaan : jangan-jangan
ada udang di balik batu ?
Istilah “membujang” berasal dari kata “bujang”. Kata ini memiliki banyak arti : (a) laki-laki
atau perempuan yang tidak kawin atau belum kawin, (b) anak laki-laki (bhs. Sunda), (c) pembantu
rumah tangga atau jongos. Kata “bujang” dalam tulisan ini dipakai untuk menyebut laki-laki atau
perempuan yang tidak kawin. Dengan demikian “membujang” artinya menjalani kehidupan sindiri,
dalam arti tidak kawin.
Istilah lain yang cukup lazim digunakan ialah “lajang”, “wadat”, “selibat”. Kata
“lajang” menunjuk kepada situasi hidup seorang laki-laki atau perempuan yang belum
kawin, dan masih banyak kemungkinan untuk kawin. Sedangkan kata “wadat”,
terutama menunjuk kepada kemandirian atau kesendirian tanpa hubungan dengan
orang lain, dan ada unsur terpencil. Kemudian kata “selibat”, lebih menunjuk kepada
pranata yang mengharuskan orang tidak menikah seumur hidup. Pemilihan istilah
“membujang” dalam tulisan ini, hendak menekankan adanya pilihan yang didasari
sepenuhnya oleh orang yang menjalani hidup sendiri dalam arti tidak kawin.
B. 3. Kesimpulan
A. Iptek
1. Pengertian Iptek
2. Iptek : Manfaat dan Dampaknya
3. Ajaran Gereja tentang Iptek
A. KB dan KBj
1. Istilah “Keluarga Berencana/KB” dan “Keluarga Bertanggungjawab/KBj”
2. Pertimbangan-pertimbangan untuk Mewujudkan KBj
B.
3. Kontrasepsi : Manfaat dan Penyalahgunaannya
4. Usaha-usaha untuk Memiliki (Melahirkan) Anak bagi yang Kurang atau Tidak
Subur : Manfaat dan Bahayanya
5. Pencegahan Kelahiran