Anda di halaman 1dari 43

BUKU KATEKISASI PRA-NIKAH

BAB I MAKNA CINTA KASIH DAN SEKSUALITAS DALAM KELUARGA


1. Makna Cinta Kasih
2. Deskripsi tentang Cinta Kasih
3. Seksualitas dalam Kemitraan Wanita - Pria

BAB II HAKIKAT PERNIKAHAN KRISTEN


1. Pengertian Pernikahan dan Perkawinan
2. Makna Pernikahan Kristen
3. Sifat-sifat Pernikahan Kristen
4. Tujuan Pernikahan Kristen
5. Kewajiban Orang yang Menikah
6. Asas Pernikahan yang Ideal adalah Monogami
7. Keluarga sebagai Wujud Pernikahan
8. Tata Cara Pernikahan
9. Sekelumit tentang Undang-undang Perkawinan

BAB III TATA LAKSANA KELUARGA KRISTEN


1. Hubungan Suami-Isteri
2. Hubungan Orang Tua dengan Anak (Keluarga Inti)
3. Hubungan Keluarga dengan Sanak-saudara (Keluarga Luas)
4. Hubungan Keluarga Kristen dengan Tetangga (Masyarakat)
5. Hubungan Keluarga Kristen dengan Pemerintah (Penguasa)
6. Hubungan Keluarga Kristen dengan Gereja dan Pelayanan
7. Keluarga Kristen dan Ekonomi Rumah Tangga
8. Keluarga Kristen dan Pekerjaan
9. Keluarga Kristen dan Penggunaan Waktu
10.Keluarga Kristen dan Pendidikan

BAB IV KELUARGA KRISTEN DAN ADAT ISTIADAT


1. Adat Istiadat Dalam Rentang Kehidupan Manusia
2. Beberapa Sikap Iman Kristen terhadap Adat Istiadat
3. Kesimpulan

BAB V KELUARGA KRISTEN DI TENGAH-TENGAH KEMAJUAN IPTEK


1. Dampak Iptek
2. Ajaran Gereja tentang Iptek
3. Pemanfaatan Iptek secara Tepat Dana dan Tepat Guna

BAB VI KELUARGA KRISTEN DALAM KRISIS


1. Beberapa Faktor Penyebab Krisis
2. Beberapa Solusi Antisipatif terhadap Krisis
3. Mengatasi Konflik
4. Perceraian

BAB VII KELUARGA BERTANGGUNGJAWAB


1. Istilah “Keluarga Berencana/KB” dan “Keluarga Bertanggungjawab/KBj”
2. Pertimbangan-pertimbangan untuk Mewujudkan KBj
3. Kontrasepsi : Manfaat dan Penyalahgunaannya
4. Usaha-usaha untuk Memiliki (Melahirkan) Anak bagi yang Kurang atau Tidak
Subur : Manfaat dan Bahayanya
5. Pencegahan Kelahiran

BAB VIII HIDUP MELAJANG


1. Melajang
2. Hidup Melajang : Menjadi Cemoohan ?
3. Hidup Melajang : Pola Pemikiran Kristen
4. Hidup Melajang : Relevansinya pada Masa Kini
BAB I
MAKNA CINTA KASIH DAN SEKSUALITAS DALAM KELUARGA

1. MAKNA CINTA KASIH


Hampir tiap hari kita mendengar atau membaca tentang kata cinta. Dalam musik-musik pop tidak
pernah sepi dengan ungkapan cinta melalui lirik dan syair lagu serta ekspresi penyanyinya.
Media cetak kita baik itu majalah, koran, novel maupun yang lain, juga tidak pernah absen
menonjolkan masalah cinta dengan berbagai versi dan kasus. Tayangan iklan di televisi rupanya
dianggap kurang menarik dan menggigit bila tidak diekspresikan dengan gaya dan bahasa cinta.
Bahkan di dalam bacaan-bacaan Kristen pun kata itu selalu ditonjolkan, walaupun dengan
motivasi dan cara yang berbeda dengan yang lain. Dari kenyataan ini kemudian muncul dalam
hati kita bagaimana sebenarnya kita dapat memahami makna cinta menurut iman Kristen,
sehingga cinta ini dapat membangun kesejahteraan kita.

Ada beberapa cara penyalahgunaan makna cinta, yaitu :


a. Cinta sebagai alat menipu orang lain.
Seorang pemuda merayu gadis pujaannya dengan mengatakan bahwa ia sangat mencintainya.
Sebagai konsekuensinya ia meminta agar gadis itu menyerahkan kehormatannya sebagai
perimbangan akan cintanya. Setelah kehormatan gadis itu direnggutnya, ia pergi tanpa pesan.
Dalam kasus ini cinta sebagai alat penipuan.
b. Cinta sebagai alat untuk menguasai orang lain.
Banyak orang menggunakan cinta untuk membuat orang lain menjadi tergantung hidupnya
pada orang yang mencintainya. Seorang wanita menjadi tidak bebas berbuat sesuatu bila
tanpa ijin dari seorang pria yang ia cintai. Ia begitu takut kehilangan orang yang dicintai bila
tidak tunduk pada kehendaknya.
c. Cinta sebagai alat untuk menyembunyikan kelemahan diri.
Seorang pemuda yang mempunyai kelainan fisik (kecil – pendek), selalu berganti-ganti pacar
walaupun dalam hati kecil ia tidak senang dengan perbuatan semacam ini. Ia melakukan hal
ini sebagai alat untuk menunjukkan salah satu kelebihan di dalam kelemahannya.

Selain contoh-contoh di atas, sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh lain yang ingin
menjelaskan makna cinta. Namun yang penting bagi kita sekarang adalah bagaimana makna cinta
dalam kehidupan orang percaya.
Untuk membicarakan makna cinta kasih dalam kehidupan pria dan wanita, kita kembali pada
pemahaman kitab Kejadian 1:27 “...Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya,
menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka...”. Dari
ayat ini kita dapat memahami bahwa :
a. Sejak semula Allah sebagai Sang Pencipta menghendaki pembedaan jenis kelamin antara
manusia yang satu yang disebut Adam dan manusia yang lain yang disebut Hawa.
b. Potensi pembedaan jenis kelamin (sexes) ini menjadi daya dorong terjadinya cinta kasih
antara pria dan wanita.
c. Dorongan seksual dalam diri manusia sebenarnya hal yang baik dan suci (ingat bahwa setelah
segala sesuatu diciptakan, Tuhan mengatakan bahwa segala sesuatu yang diciptakanNya itu
sungguh amat baik dan segala sesuatu yang diciptakan Tuhan itu sempurna tanpa cacat),
sehingga pelaksanaan cinta kasih atas dorongan seksual ini harus dalam rangka kesucian
maksud Allah, yaitu seperti yang terdapat dalam Kejadian 1:28 “...Beranak cuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut
dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi...”.
d. Untuk melaksanakan maksud Allah yang suci bagi kehidupan pria dan wanita, Tuhan
mengatur dalam Kejadian 2:24 “...Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya
dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging...”. Ayat ini
kita mengerti sebagai kehendak Allah atas pernikahan pria dan wanita. Oleh karena itu dalam
rangka pria dan wanita sebagai ciptaan yang berbeda jenis kelamin melaksanakan maksud
kesucian Allah dalam hidup pria dan wanita, dorongan seksual yang ada pada dirinya hanya
dapat direalisir dalam kehidupan pernikahan yang dikehendaki Allah.
2. BEBERAPA JENIS CINTA KASIH
Agar cinta kasih yang terjadi dalam kehidupan pernikahan adalah conta kasih yang dapat
menjamin keberlangsungan kesejahteraan orang bernikah, maka kita perlu mengenal beberapa
jenis cinta kasih yang sering terjadi dalam kehidupan pria dan wanita sebagai berikut :
a. Jenis cinta kasih agape, adalah jenis cinta kasih yang dilandasi oleh motif kesediaan untuk
berkorban. Baik pria maupun wanita yang saling mengasihi dengan jenis ini senantiasa rela
berkorban demi yang dikasihinya secara bertanggungjawab. Artinya korban yang berada
dalam bingkai kebenaran Allah. Demi cinta kasihnya yang agape ini seorang suami mau
mengorbankan hobi, kepuasan, waktu, tenaga, pikiran, harta, kehormatan pribadi, dan
sebagainya. Ia rela walaupun orang yang dikasihinya tidak lagi memuaskan keinginannya.
Hal ini tentu terjadi sebaliknya bagi kaum wanita terhadap yang dikasihinya.
b. Jenis cinta kasih philia, adalah jenis cinta kasih yang dilandasi prinsip timbal balik. Jenis
cinta kasih ini biasa juga disebut cinta bisnis, artinya bahwa yang terjadi adalah berapa yang
dapat aku peroleh setelah sekian kali aku berkorban. Setiap kali kita melakukan perbuatan
sekecil apapun terhadap orang yang kita kasihi, kita selalu berpikir apa bentuk imbal
perbuatan yang dapat kita peroleh dari orang yang kita kasihi itu.
c. Jenis cinta kasih eros, adalah jenis cinta kasih yang dilandaskan pada motif penguasaan pada
obyek yang dikasihi demi kepentingan kepuasan diri sendiri. Bila jenis ini terjadi dalam suatu
kehidupan suami istri dalam keluarga, akan sangat berbahaya karena sifat kasih ini akan
bersifat sangat sementara, sepanjang masing-masing pihak memuaskan kebutuhan pihak-
pihak lain. Mungkin suami akan terpuaskan sewaktu istrinya masih muda dan cantik, namun
kalau sudah tua dan tidak cantik lagi akan tidak mengasihi. Istri akan mengasihi suami,
sepanjang suami masih muda, masih kuat bekerja, dan mendatangkan banyak uang, namun
begitu sudah tua tidak mampu bekerja lagi, maka menjadi lain persoalannya.

3. SEKSUALITAS DALAM KEMITRAAN PRIA – WANITA


Kita akui bahwa ada sekian banyak motivasi yang mendorong pria-wanita menjalin hubungan
perkawinan. Salah satu dari sekian banyak motivasi ini adalah motif seksual. Perlu kita ingat pula
bahwa pengertian seksual di sini tidak hanya sesempit pada hubungan seks pria-wanita, tetapi
sebenarnya mencakup kebutuhan-kebutuhan untuk mencintai dan dicintai; menguasai dan
dikuasai; memuaskan dan dipuaskan; dan lain-lain. Tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita
katakan bahwa motivasi seksual inilah yang paling menonjol atau yang paling kuat dorongannya
terhadap terbentuknya sebuah keluarga. Pendapat ini paling tidak, dikuatkan oleh teori
Psikoanalisis Sigmund Freud bahwa libido (instink seksual) menjadi kekuatan pendorong semua
pola tingkah laku manusia. Dorongan seksual yang melekat dalam diri semua manusia baik pria
maupun wanita merupakan potensi gerak yang memerlukan pemenuhan wajar dan seimbang. Bila
pemenuhan kebutuhan ini terganggu akan mempengaruhi stabilitas emosi seseorang. Instabilitas
emosi seseorang akan nampak dalam fenomena tingkah laku. Dalam kaitannya dengan kehidupan
rumah tangga, keganjilan-keganjilan ini dapat menyebabkan disharmoni dalam keluarga.

Ketimpangan yang terjadi yang menyebabkan disharmoni dalam keluarga dalam kaitannya dengan
seksualitas pria-wanita pada umumnya disebabkan adanya beberapa faktor :
a. Kurangnya pemahaman diri dan partnernya tentang karakteristik seksual pria-wanita.
Pada garis besarnya memang sudah diketahui bahwa karakter seksual pria berbeda dengan
wanita. Namun lebih dari itu karakter individual seksual pria/wanita yang satu berbeda dengan
karakter individual seksual pria/wanita yang lain. Masing-masing karakter seksual adalah unik.
Tidak ada teori umum seksual yang dapat diterapkan persis pada pasangan pria-wanita tanpa
menghargai karakteristik seksual individu masing-masing pasangan. Kondisi ini tentu harus
dipahami oleh masing-masing pasangan supaya ada penyesuaian pola tingkah laku seksual
yang sehat.
b. Tidak terbuka terhadap pengalaman seksual pria-wanita dalam keluarga.
Sama dengan pengalaman kegagalan pada umumnya, kegagalan seksual pada masa lalu suami-
istri juga menjadi pengalaman yang traumatis. Pengalaman ini sangat mempengaruhi
aktualisasi seksual suami-istri. Pemenuhan seksual menjadi sekedar memenuhi kebutuhan
hukum. Hal itu sekedar masalah hak dan kewajiban tanpa didasari kasih yang saling
memperhatikan.
c. Egoisme seksual.
Ada sekian banyak data kasus pastoral yang menunjukkan disharmoni keluarga disebabkan
faktor egoisme seksual. Aktualisasi hubungan seksual suami-istri sangat dikuasai oleh emosi
pribadi tanpa memperhatikan kebutuhan emosi partnernya. Yang dilakukan suami sekedar apa
yang perlu tanpa memperhatikan apa yang dibutuhkan istri.
d. Budaya seksual yang tidak seimbang.
Ada banyak pepatah dalam budaya Jawa yang sangat diskriminatif terhadap hubungan seksual
pria-wanita dalam keluarga.
 “Wong wadon iku apindha samir saupamane”. Samir adalah lembaran daun pisang yang
dibentuk indah sedemikian rupa dijadikan alas lauk pauk yang ditempatkan di atas suap
nasi dalam suatu bungkus. Samir itu dibentuk, dihias, dielus/dibersihkan sedemikian rupa
manakala ia akan dipakai, tapi nasib samir akan langsung dicampakkan ke bak sampah
manakala sudah selesai dipakai.
 “Wong wadon iku paribasan esuk nggo batur bengi nggo kasur, esuk nggo theklek bengi
nggo lemek”. Ungkapan ini simbol dominasi pria atas wanita dalam segala hal, termasuk
dalam hal seksualitas. Wanita di mata pria sekedar sebagai alat kerja dan alat pemuas
seksual.
 “Wong wadon iku paribasan swarga nunut, neraka katut”. Dari dimensi kemitraan,
ungkapan ini menunjukkan wanita tidak mempunyai hak apa-apa di depan pria. Ia
sekedar ikut menikmati. Ia tidak mempunyai inisiatif dan kenikmatan seksual dalam
keluarga.

Pengaruh lekatnya budaya ini dalam kehidupan keluarga di lingkungan kita menyebabkan
peran wanita sekedar sebagai mesin seks. Ia melakukan aktifitas seksual tanpa penghayatan.

Kalau ketimpangan posisi seksualitas dalam kemitraan pria-wanita ini menjadi salah satu
pemicu disharmoni dalam kehidupan rumah tangga, ujung-ujungnya dapat berakhir pada
kehancuran dan ketidaksucian keluarga. Pertanyaan kita adalah bagaimana upaya kita untuk
mengembalikan posisi mitra pemenuhan seksualitas dalam keluarga ?

Pertama-tama kita melihat bagaimana kesaksian Alkitab. Kejadian pasal 1 dan 2 hal
seksualitas pria-wanita mengangkat 3 ide dasar yaitu ide kesepadanan, ide satu ketelanjangan,
dan ide satu kesedagingan. Ide-ide dasar ini menunjukkan bahwa masing-masing pihak pria-
wanita dalam keluarga mempunyai kesamaan hak pemenuhan, kesamaan hak keterbukaan,
dan kesamaan hak keintiman (hak untuk dikasihi).

Kesaksian Perjanjian Baru baik dalam I Korintus 7:3-5 maupun dalam Efesus 5:22-33, Kolose
3:18-19, ternyata ide sama lemah dan sama kuat, sama butuh dan sama dibutuhkan dalam
seksualitas suami istri nampak jelas. Suami atau istri ternyata tidak bisa sendiri puas, dan
tidak bisa sendiri butuh, tetapi sama-sama mencari puas, dan sama-sama merasa butuh.

Hal yang kedua yang perlu kita perhatikan adalah bunyi Undang Undang Perkawinan No. 01
tahun 1974 pasal 33 yang berbunyi : “Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain”. Dari
bunyi pasal ini juga dapat kita mengerti bahwa ada amanat untuk saling memperhatikan,
saling menghormati dan saling membantu dalam hal pemenuhan kebutuhan seksual dalam
kehidupan suami-istri.
BAB II
HAKIKAT PERNIKAHAN KRISTEN

1. PENGERTIAN PERKAWINAN DAN PERNIKAHAN


Pada umumnya orang menyamakan pengertian kawin dan nikah. Namun, di sini kita perlu
membedakan pengertian antara Perkawinan dengan Pernikahan. Letak perbedaannya demikian :
 Perkawinan adalah peristiwa hubungan biologis yang bersifat netral, artinya : Perkawinan itu
merupakan hubungan seksual antar makhluk hidup yang berbeda kelaminnya secara
naluriah/alamiah (tanpa pertimbangan akal, tanpa tata-nilai/etika); oleh karena itu Perkawinan
dapat dilakukan oleh tumbuhan, binatang, dan juga manusia.
 Pernikahan adalah peristiwa hubungan antar-orang yang mempunyai makna tertentu, artinya :
Pernikahan itu hanya terjadi pada manusia yang mempunyai kepribadian (maksudnya mempunyai
status dan martabat, baik secara psikologis, sosiologis, yuridis, dan teologis) yang dipahami dan
dilakukan menurut pertimbangan akal sehat dan etika yang jelas.

Dengan pembedaan ini maka dapat dipahami secara khusus bagaimanakah hakikat Pernikahan
secara kristiani, dalam arti : pemahaman secara teologis menurut Alkitab (khususnya etika
Kristen).

Catatan : Undang-undang di Indonesia memakai istilah “Undang-Undang Perkawinan”,


karena kata “Perkawinan” bersifat lugas dan netral.

2. MAKNA PERNIKAHAN KRISTEN


Pernikahan itu mempunyai makna yang khas dan dapat dihayati di dalam pengalaman kehidupan
manusia. Pernikahan adalah persekutuan hidup secara total antara dua orang berlainan jenis.

a. Pernikahan sebagai Persekutuan Hidup


Di dalam kitab Kej.1:26 dikatakan bahwa manusia diciptakan menurut peta dan gambar
Allah; hal ini berarti bahwa manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga ia mampu
berhubungan dengan Allah. Di sini pengertian hubungan ini dipahami sebagai suatu
pergaulan antar-pribadi antara manusia dengan Allah.

Bagaimanakah pergaulan manusia dengan Allah itu ? Alkitab – khususnya kitab Kejadian –
tidak banyak menjelaskannya, namun yang jelas bahwa pergaulan itu dapat dirasakan,
dinikmati, dan dihayati melalui hubungan antar-manusia. Hal ini nyata dari penciptaan
manusia, bahwa Allah menciptakan manusia yang pertama yaitu adam, kemudian diciptakan
manusia yang kedua yaitu Hawa. Penciptaan kedua manusia – sebagai pria dana wanita – ini
disengaja oleh Allah sedemikian rupa sehingga keduanya berhubungan/bergaul secara
harmonis. Dalam hal ini, hubungan antara pria dan wanita ini berlaku Hukum Kasih (seperti
tertulis dalam Mat. 23:37-40).

Dengan demikian jelas bahwa Pernikahan itu secara teologis terletak di dalam konteks
perhubungan atau pergaulan. Namun demikian, perhubungan/pergaulan ini harus ditempatkan
dalam rangka hubungan manusia dengan Allah, artinya : hubungan dalam Pernikahan itu
tidak an sich (semata-mata) hanya hubungan manusiawi belaka, tetapi hubungan yang ada
sangkut-pautnya dengan Allah; sehingga dengan demikian Pernikahan itu sungguh-sungguh
menyangkut/menyentuh kehidupan yang hakiki, yaitu kehidupan iman. Di dalam Pernikahan
itu, masing-masing pribadi harus menempatkan dirinya sebagai sekutu bagi yang lain dalam
kerangka perwujudan sebagai sekutu Allah.

b. Pernikahan sebagai Persekutuan yang Total


Alkitab (Kej. 2:24) menyatakan bahwa Pernikahan itu membawa akibat bagi kedua orang
yang terlibat dalam Pernikahan menjadi “satu daging”. Ungkapan ini mempunyai makna
bahwa dua orang yang menikah itu sungguh-sungguh menjadi satu secara utuh/total.

Pemahaman akan Pernikahan sebagai persekutuan hidup yang total atau utuh itu akan
membawa akibat atau konsekuensi yang kompleks. Pernikahan bukanlah sekedar
persahabatan yang berdasarkan hobby saja, atau ia bukan sekedar alat untuk melegitimasi
(mendahkan) perhubungan seksual saja, atau ia juga bukan perhubungan untuk sekedar
maksud-maksud ekonomis yang hanya mencari keuntungan, atau ia juga bukanlah usaha
untuk menyatukan ideologi dan politik; tetapi – lebih dari semua itu – Pernikahan itu
merupakan usaha untuk menyatukan segenap aspek kehidupan secara menyeluruh
(utuh/total). Dengan demikian, Pernikahan itu mengandung pesan untuk hidup dalam
penyesuaian diri dengan orang lain di tengah-tengah perbedaan-perbedaan yang ada.

Dengan pemahaman yang demikian ini kita dapat mengharapkan terwujudnya Pernikahan secara
benar dan baik.

3. SIFAT-SIFAT PERNIKAHAN KRISTEN


Ada beberapa sifat yang melekat pada sebuah Pernikahan, yaitu :
a. Pernikahan itu bersifat Eksklusif
Pernikahan itu pada dasarnya adalah perhubungan dua orang secara khusus. Di dalam
Pernikahan itu tidak bisa dimasuki pihak ketiga (misalnya : orangtua, saudara, teman kerja,
PIL [Pria Idaman Lain] atau WIL [Wanita Idaman Lain], dll.); sebab jika ada campurtangan
pihak ketiga maka akan mengacaukan perhubungan kedua orang yang terikat Pernikahan itu.

b. Pernikahan itu bersifat Permanen (Kontinyu dan Abadi)


Pernikahan itu bersifat permanen (tetap), artinya : hal itu berlangsung “terus menerus selama
mereka hidup”. Pernikahan yang sejati tidak boleh dibatasi oleh waktu, misalnya : orang
menikah untuk beberapa tahun saja. Oleh karena itu, setiap orang yang menikah pertama-
tama harus menyadari bahwa ia terikat hubungan dalam Pernikahan untuk selamanya.
Perpisahan ikatan Perkawinan hanya terjadi oleh kematian salah satu pihak (Mat. 19:6, Mrk.
10:9).

c. Pernikahan itu bersifat Harmonis


Setiap orang yang berjumpa dan kemudian terikat pada Pernikahan biasanya mempunyai latar
belakang yang berbeda, entah itu karena berbeda hobbynya, kebiasaannya, cita-citanya, dll.
Tapi mereka yang menikah harus mempunyai kesediaan untuk menyadari perbedaan itu dan
bahkan menyesuaikan diri dengan partnernya. Penyesuaian diri ini dapat berupa toleransi,
penyabaran, penerimaan, kemauan untuk memberi dan membela terhadap
partner/pasangannya.

Dengan demikian, tampaklah dengan jelas bahwa Pernikahan itu merupakan “rekayasa” yang
memerlukan “kerja keras” dan tanggungjawab untuk membentuknya sedemikian rupa sehingga
tampak indah, baik, dan benar.

4. TUJUAN PERNIKAHAN
Pertanyaan dasar yang diajukan bagi orang yang akan menikah adalah : mengapa orang menikah ?
Pertanyaan ini menimbulkan banyak jawaban, misalnya : untuk melegalisir seks, atau untuk
memperoleh anak, atau untuk mempertahankan/meningkatkan status sosial, atau untuk mencari
pembantu yang siap menolong. Alasan-alasan ini memang cukup rasional, tetapi alasan ini tidak
cukup memadai/kuat untuk membangun/mempertahankan Pernikahan. Alasan mendasar untuk
menikah adalah untuk mewujudkan kasih secara benar (Mat. 22:37-40). Kesungguhan/keseriusan
orang untuk menyatakan kasih kepada Allah dan sesama. Kasih yang benat yaitu kasih yang tanpa
pamrih dan kasih yang mau memberikan diri untuk orang lain tanpa syarat. Kasih yang demikian
ini dapat dinyatakan dalam pergaulan Pernikahan. Inilah kasih yang membahagiakan !

5. KEWAJIBAN ORANG YANG MENIKAH


Untuk mencapai tujuan Pernikahan, maka ada beberapa hal yang harus dilakukan orang yang
menikah, yaitu :
a. Mewujudkan kesatuan keluarga, dalam ikatan kasih sejati dengan saling memperhatikan,
tidak mementingkan diri sendiri, dan saling menolong, karena orang yang menikah itu telah
dipersatukan oleh Allah.
b. Menjaga kelestarian keluarga, karena Allah menghendaki yang telah dipersatukanNya tidak
boleh diceraikan oleh manusia.
c. Menjaga kekudusan keluarga, karena Tuhan menghendaki agar suami-istri memelihara
Pernikahan dengan menghindari segala bentuk perjinahan dan keinginan bahwa nafsu seperti
yang dilakukan oleh orang yang tidak mengenal Allah.
d. Selalu silih asah, silih asuh, dan silih asih berdasarkan Firman Tuhan, karena Allah
menghendaki setiap keluarga mengasihiNya dengan segenap hidup, senantiasa
memperhatikan FirmanNya, dan mengajarkan Firman itu dengan sungguh-sungguh kepada
keluarga.
e. Berusaha senantiasa bersyukur kepada Tuhan, karena Allah menghendaki setiap keluarga
mempersembahkan hidupnya menjadi kurban yang hidup, yang kudus dan yang berkenan
kepada Allah sebagai ucapan syukur. Ucapan syukur tersebut diwujudkan dengan jalan :
tekun bekerja sehingga dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, menjadi warga masyarakat
dan warga gereja yang bertanggunjawab, senantiasa menjadi garam dan terang dunia,
senantiasa bersukacita dalam kehidupan keluarga dan senantiasa bersandar kepada Allah.

6. AZAS PERNIKAHAN YANG IDEAL ADALAH MONOGAMI


Sebenarnya ada banyak bentuk Pernikahan (misalnya: poligami, baik seorang pria dengan banyak
wanita atau seseorang wanita dengan banyak pria), namun Pernikahan yang ideal berazaskan
monogami, artinya : Pernikahan itu terjadi dari seorang pria dan seorang wanita pada suatu masa.
Dikatakan “ideal” karena Pernikahan monogami dapat mewujudkan tujuan Pernikahan secara
efektif dan efisien (berdaya-guna dan berhasil-guna) dan dapat menghindari banyak masalah yang
mungkin timbul di dalam Pernikahan.

7. KELUARGA SEBAGAI WUJUD PERNIKAHAN


Pernikahan yang abadi dan tertib harus mengambil suatu wujud yang dapat dilihat dan dirasakan.
Hal ini dapat dilakukan jika Pernikahan itu mewujud dalam bentuk lembaga, yaitu bermuara pada
hidup berkeluarga. Namun, hal ini tidak bisa berlaku sebaliknya : orang berkeluarga tanpa
Pernikahan! Orang yang hidup berkeluarga haruslah orang yang benar-benar menikah (Sesuai
dengan pengertian Pernikahan). Orang yang berkeluarga tanpa ikatan Pernikahan biasa disebut
“kumpul kebo”; istilah yang sarkatis (kasar) untuk menggambarkan Perkawinan dalam taraf
binatang. Perkawinan yang manusiawi harus diangkat dalam tata-nilai yang luhur dan mewujud
secara khas dalam bingkai iman kepada Tuhan.

8. TATA-CARA PERNIKAHAN
Tata-cara Pernikahan di Indonesia, khususnya yang dilakukan oleh orang Kristen, mengandung
dua aspek yang mutlak harus dipenuhi/dilakukan, yaitu: tata-cara administratif dan tata-cara
gerejawi. Adapun hal-hal yang harus dilakukan adalah sbb:
a. Tata-cara Gerejawi
Pernikahan yang dilakukan di dalam kehidupan gereja menunjukkan bahwa Pernikahan itu
bersangkut-paut dengan Tuhan dan sesamanya. Pada satu sisi Allah berkenan dan memberkati
orang yang menikah, dan pada sisi yang lain sesama-kita mempedulikan orang yang menikah
(artinya: mengakui dan menghormati seseorang yang menikah, sehingga ia tidak akan
mengganggunya, tetapi bahkan ia bersedia menolongnya). Dan pemahaman yang demikian
ini maka secara gerejawi ada dua hal yang perlu dilakukan :
i. Pelayanan perkunjungan-pastoral
Orang yang hendak menikah harus memberitahukan rencanan Pernikahan kepada Majelis
Gereja (sebaiknya secara tertulis). Pemberitahuan ini sebaiknya dilakukan setelah
pertunangan (bagi yang mulai dengan bertunangan) atau dua bulan sebelum Pernikahan
dilakukan (bagi yang tidak bertunangan). Setelah Majelis mendengar rencana Pernikahan
itu, maka Majelis diwakili dua orang utusan mengunjungi calaon mempelai dan
orangtuanya. Perkunjungan ini dimaksudkan untuk mencari tahu kepastian Pernikahan
dan sekaligus mempersiapkannya. Adapun hal-hal yang perlu disinggung dalam
perkunjungan ini adalah :
- identitas mempelai : nama, kelahiran, status, alamat, sidhi
- prakarsa/kehendak untuk menikah ini dari siapa
- sepengetahuan atau sepersetujuan orang tua/wali/pengampi
- kedewasaan dan kemandirian mempelai
- anjuran mengikuti katekisasi pra-nikah
- disampaiakan peretelaan dan liturgi kebaktian Pernikahan

ii. Pelayanan kebaktian Pernikahan


Kebaktian Pernikahan sebaiknya dilakukan di gedung gereja, kecuali ada hal-hal tertentu
yang tidak memungkinkan dan atas persetujuan/kebijaksanaan Majelis. Di dalam
kebaktian Pernikahan ini menggunakan liturgi yang telah ditetapkan Majelis. Salah satu
bagian dalam liturgi kebaktian Pernikahan yang perlu diperhatikan/ dihafalkan/diingat
adalah janji penganten, yang demikian rumusannya : “DI HADAPAN TUHAN ALLAH
DAN JEMAAT KRISTEN DI SINI, SAYA MENGAKUI BAHWA .............. ADALAH
(ISTRI/SUAMI) SAYA, KARUNIA TUHAN. SAYA BERJANJI AKAN
SENANTIASA MENGASIHI DAN MENOLONGNYA, DAN SETIA BAIK DALAM
SUKA MAUPUN DUKA, SESUAI DENGAN KEWAJIBAN (SUAMI/ISTRI) YANG
BAIK. SAYA DAN (ISTRI/SUAMI0 SAYA AKAN SENANTIASA BERBAKTI
KEPADA TUHAN ALLAH DAN HIDUP SUCI DENGAN MEMATUHI FIRMAN-
NYA”.

b. Tata-cara Administratif
Persyaratan administratif Pernikahan dipergunakan untuk melengkapi keabsahan Pernikahan
secara yuridis. Pelaksanaan tata-cara ini menyangkut/berhubungan dengan kantor Catatan
Sipil setempat. Persyaratan administratif sebaiknya dilengkapi sebulan sebelum Pernikahan
berlangsung dan sebaiknya dikonsultasikan dengan Pejabat Pembantu Pencatat Pernikahan di
Kantor Catatan Sipil setempat (biasanya seorang pendeta). Adapun hal-hal yang harus
dipenuhi misalnya:
- Surat pengantar dari Kelurahan
- Surat pernyataan belum pernah kawin
- Surat persetujuan orang tua
- Fotocopy akte kelahiran
- Fotocopy KTP
- Fotocopy akte Pernikahan orang tua
- Fotocopy akte perceraian atau surat kematian bagi yang pernah kawin
- Surat pemeriksaan dokter (immunisasi)
- Pasfoto yang berjajar

Catatan : persyaratan ini hanyalah contoh saja dan biasaya masing-masing daerah berbeda;
untuk itu perlu diperjelas di Kantor Catatan Sipil setempat (terlebih-lebih yang menyangkut
Perkawinan WNI keturunan dan WNA).

9. SEKELUMIT TENTANG UNDANG-UNDANG PERKAWINAN


Masalah Perkawinan adalah masalah yang penting, oleh karena itu harus diperhatikan dengan
seksama. Perkawinan bukanlah sekedar masalah hubungan dua orang saja, tetapi melibatkan
banyak orang; dan untuk itulah Perkawinan perlu diatur/diatat dengan baik. Pengaturan
Perkawinan di Indonesia terdapat pada UU No.1/1974 dan peraturan pelaksanaannya pada PP No.
9/1975.

Di dalam perundang-undangan Perkawinan di Indonesia ada beberapa hal yang patut diperhatikan
Pengertian Perkawinan
Pasal 1 UUP menyatakan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga/ rumah
tangga yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pernyataan ini
tersirat pengertian sbb. :
- Perkawinan itu merupakan ikatan/kesatuan yang total antara pria dan wanita sebagai
suami-istri dalam keluarga
- dasarnya adalah cinta sejati antar pribadi
- ada penerimaan – baik lahir maupun batin – di antara kedua pihak
a. Tujuan Perkawinan
Dari rumusan pasal 1 UUP di atas, nampak bahwa tujuan Perkawinan adalah membentuk
keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi,
yang ingin dicapai adalah kebahagiaan lahir-batin. Idealnya, Perkawinan itu langgeng, artinya
: Perkawinan itu hanya berakhir karena kematian; sebab Perkawinan itu dilandasi oleh
restu/berkat Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, hubungan antar pribadi dalam
Perkawinan itu bersifat sakral/suci yang konkritisasinya diwujudkan dalam Perkawinan
menurut hukum/aturan agama. Dengan pengertian ini, UUP secara tidak langsung menentang
praktek kumpul-kebo, kawin kontrak atau kawin bersyarat.

b. Sahnya Perkawinan
Suatu Perkawinan dinyatakan sah menurut hukum apabila dilakukan berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang diisyaratkan oleh UUP dan PP. Menurut pasal 2 UUP, Perkawinan itu sah
apabila dilakukan berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta
dicatatkan di Kantor Catatan Nikah (KUA bagi orang Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi
orang non-Islam). Konkritisasi keabsahan Perkawinan nampak dari pelaksanaan Perkawinan
yang berlangsung di hadapan pejabat agama dan dicatatkan pada Kantor Catatan Nikah.

Prasyarat lain untuk keabsahan Perkawinan adalah :


- Persetujuan dari kedua pihak yang bersangkutan
- Umur minimal calon yang hendak kawin : 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita
(ketentuan ini berfungsi untuk mencegah Perkawinan pada usia muda)
- Ijin/persetujuan dari orang tua/wali bagi mereka yang pada waktu kawin belum berusia 21
tahun

Di dalam kenyataan (praktek), untuk sahnya Perkawinan biasanya masih harus


mempertimbangkan :
- Kedewasaan seseorang (sikap mental dan pola perilaku)
- Kemandirian dalam bidang ekonomi (misalnya : telah bekerja)
- Kesehatan calon yang akan menikah (terutama calon Ibu)

c. Halangan-halangan Perkawinan
Pasal 8 dan 11 UUP menentukan halangan-halangan Perkawinan sbb. :
- Berhubungan darah dalam garis lurus ke atas maupun ke bawah
- Berhubungan darah dalam garis menyamping
- Berhubungan secara semenda (ikatan keluarga karena Perkawinan)
- Ada hubungan darah dengan istri, atau sebagai bibi, atau kemenakan dari istri dalam hal
poligami
- Dalam keadaan masih terikat tali Perkawinan, meskipun sudah dalam status pisah meja
dan ranjang
- Khusus untuk seorang wanita, masih dalam tenggang waktu tunggu

d. Pencegahan Perkawinan
Pasal 13-21 UUP mengatur pencegahan atas Perkawinan sbb. :
- Para keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah atau wali nikah pengampu dari
salah satu calon
- Istri atau suami dari salah satu calon
- Pejabat yang ditunjuk

e. Batalnya Perkawinan
Pasal 22 UUP menyatakan bahwa Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan Perkawinan. Pembatalan ini harus diajukan ke
Pengadilan di tempat berlangsungnya Perkawinan atau tempat kediaman suami-istri atau bisa
juga di tempat kediaman suami atau istri.

Alasan-alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan :


- Tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UUP
- Karena adanya ancaman, kekerasan, atau paksaan

f. Harta dalam Perkawinan


Pasal 35 UUP mengatur sbb. :
- Harta bawaan : dikuasai oleh masing-masing pembawa harta asal
- Harta bersama (harta yang diperoleh dalam/selama Perkawinan berlangsung) : dikuasai
bersama-sama antara istri dan suami.
- Jika mereka mempunyai anak, maka tidak timbul masalah, karena baik harta bawaan
maupun harta bersama menjadi hak waris semua anak
- Jika mereka tidak mempunyai anak dan tidak mengangkat anak maka harta bawaan
kembali ke asal pembawa harta tersebut dan harta bersama dibagi sehingga sebagian jatuh
ke keluarga suami dan sebagian jatuh ke keluarga istri
- Jika mereka tidak mempunyai anak dan mengangkat anak, maka :
i. Harta bawaan : tetap kembali ke asalnya
ii. Harta bersama : menjadi hak wari s anak angkat

g. Putusnya Perkawinan
Perkawinan dapat putus, karena :
- Kematian
- Perceraian
- Putusan pengadilan (misalnya : putusan pembatalan Perkawinan)

Putusnya Perkawinan karena perceraian dapat terjadi jika :


- Diajukan ke pengadilan
- Harus mempunyai cukup alasan

Pasal 19 UUP memberikan batasan untuk alasan perceraian, yaitu :


- Zinah, pemabol, pemadat, penjudi yang sulit disembuhkan
- Meninggalkan suami/istri selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin
- Menjalani hukuman penjara minimal 5 tahun
- Kekejaman dan penganiayaan
- Cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak dapat menjalankan tugas sebagai
suami-istri sebagaimana mestinya
- Cekcok terus-menerus dan sulit untuk rukun/bersatu kembali
BAB III

TATA LAKSANA KELUARGA KRISTEN


( DALAM TERANG ALKITAB )

Kata ‘ tata ‘ memiliki arti : aturan dan kata ‘ laksana ‘ lebih menunjuk lebih kata arti dasar :
berjalan , berbuat / perbuatan , tingkah laku . Dengan dekian kata : “ tata laksana “ di maksudkan
sebagai aturan-aturan yang di pergunakan/ yang di perukan untuk berjalannya kehidupan keluarga
Kristen.
Aturan di sini di pahami sebagai suatu sarana ( dan bukan tujuan ) untuk mencapai sesuatu. Oleh
karena itu , apa isi dan materi aturan itu sendiri tidak boleh bersifat harga mati , melainkan justru
terbuka dan melayani tujuan yang akan di raih. Pernikahan Kristen itu mempunyai tujuan :
a) mewujudkan kehendak Allah dalam kehidupan dirinya yang adalah gambar dan rupa Allah ,
memlalui persekutuan hidup atas dasar cinta kasih dalam pernikahan
( bandingkan Kejadian. 1 : 26 – 27 )
b) mewujudkan panggilan dan tanggung jawabnya sebagai mandataris Allah untuk mengusai,
mengatur dan mengembangkan bumi bagi kesejahteraan.
( bandingkan Kejadian 1 : 28 )
sedangkan kata “ keluarga “ di sini menunjuk pada : suatu relasi antara ayah, ibu, anak-anak dalam
suatu ikatan pernikahan.
Dan kata “ Kristen “ dimasudkan sebagai suatu landasan yang di pergunakan atau keyakinan yang
mendasari tata laksana tersebut.
Dalam bab inni akan di bahas secara singkat beberapa hubungan yang penting di pahami dalam
kehidupan pernikahan Kristen.

A. HUBUNGAN SUAMI - ISTERI


Berkaitan dengan makna pernikahan menurut kesaksian Alkitab (lihat bab II) dan mendasarkan
pada maksud penciptaan manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, maka hubungan
suami dan isteri dalam pernikahan Kristen di istilahkan dalam hubungan : kemitraan (partnership).
Kata “ kemitraan “ di pakai untuk menekankan adanya unsur kesejajaran / kesederajatan di antara
keduanya/ dengan tanpa menghilangkan keunikan masing-masing yang di ciptakan Allah.
Keberadaan seorang laki-laki (suami) dan seorang perempuan ( isteri ) sama-sama diciptapkan
sebagai gambar dan rupa Allah, walapun memang seorang laki-laki ( suami ) memiliki keunikan
yang tidak sama dengan yang ada pada seorang perempuan ( isteri ) .
Namun dalam persekutuan hidup pernikahan itu perbedaan itu justru di hubungkan dan di satukan
untuk saling melengkapi, saling memberi, saling menolong ke arah kesempurnaan (bandingkan
Kejadian 2 : 18 )

Dalam kenyataan kehidupan pernikahan saat ini, kedudukan kepala keluarga umumnya di
berikan kepada laki-laki ( suami ).
Bagaimana kita memahami kedudukan yang berbeda itu ?
Kedudukan kepala keluarga di tengah masyarakat kita banyak di artikan secara keliru , seakan-
akan menjadi bukti bahwa derajat kaum laki-laki ( suami ) lebih tinggi dan dengan demikian
berhak mengusai pihak perempuan ( isteri ) . Demikian juga banyak ayat Alkitab yang di
manfaatkan secara salah sehingga dapat memberi kesan bahwa pendapat yang demikianpun ada
ayat dukungannya di Alkitab misalnya : Kisah Rasul 10 : 2, 11 : 14, 18 : 8 , I Kor I : 16 , I Tim 5: 4
dst . ( bandingkan juga I kor I : 3 bahwa “…….laki – laki adalah kepala dari perempuan …..”)
Kedudukan kepala keluarga , berkaitan dengan upaya mengatur dan menjalankan suatu keluarga.
Untuk mengatur dan menjalankan sesuatu lembaga sebagai mana ada pada lembaga keluarga
memang di butuhkan penunjukan siapa yang bertugas dan berperan sebagai pemimpin. Namun
kedudukan tersebut bukanlah di maksudkan untuk membedakan tinggi rendah dengan
menyertakan kuasa untuk sewenang-wenang memerintah dan menunjukan kepemimpinannya atas
anggota keluarga yang lain.Kedudukan suami yang yang membawakan kepemimpinan dalam
keluarga justru untuk melayani dan menumbuhkan berfungsinya peran-peran lain yang di
pimpinnya, agar dengan demikian masing- masing dapat saling melayani.
“ ….Hendaklah suami memenuhi kewajibanya terhadap isterinya , demikian pula isteri terhadap
suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri tetapi suaminya, demikian pula suami tidak
berkuasa atas tubuhnya sendiri tetapi isterinya ( I Kor 7 : 3 – 4 ) mendasarkan pada inti makna ayat
tersebut, maka nasihat untuk “ menundukan/ merendakan diri “ itu bukan hanya ditujukan pada
para isteri, tetapi semua anggota jemaat, termasuk para suami “ Kamu semua ..….rendahkanlah
dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus !
( Efesus 5 : 21 dan I Petrus 5 :5 ) “…..hai isteri – isteri , tunduklah kepada suamimu, supaya jika
ada di antara mereka tidak taat kepada Firman , mereka juga tanpa perkataan di menangkan oleh
kelakuan isterinya ,……….dst. Demikian juga hai kamu, suami-suami, hiduplah bijaksana dengan
isterimu,sebagai kaum yang lebih lemah ! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih
karunia yaitu kehidupan , supaya doamu jangan terhalang “ ( I Petrus 3 : 1 dan 7 ) menurut
kesaksian Alkitab, laki - l;aki ( suami ) dan permpuan ( isteri ) adalah sama.Kesamaan ini
menentukan hubungan mereka sebagai partner dalam keluarga saling melengkapi, saling memberi
dan menerima dan saling menyempunakan .
Hubungan suami – isteri dalam pernikahan menurut kedua belah pihak untuk berlaku setia, saling
percaya dan menyabari , mau dan berani berkorban dan mempunyai tanggung jawab bersama.

B. HUBUNGAN ORANGTUA DENGAN ANAK


( KELUARGA INTI )
Orang yang menikah di sebut juga sebagai orang membangun keluarga baru . Itu berarti
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mempersatukan diri ke dalam ikatan pernikahan itu
sebenarnya bukan hanya berhentipada bertautnya dua pihak / unsur yakni ayah dan ibu, akan tetapi
dengan unsur anak yang saat itu belum ada, tetapi yang dalam proses berikutnya dimungkinkan
untuk ada.
Hubungan antara ayah, ibu dan anak-anak dalam suatu ikatan pernikahan di istilahkan dengan
keluarga inti ( nuclear famili )
Sebagai di yakini bahwa pernikahan adalah lembaga yang di pakai Allah untuk ke langsungan
keturunan manusia , maka kehadiran anak dalam pernikahan / melibatkan campur tangan Allah.
a) sebagai orng tua, perlu senantiasa menyadari bahwa anak yang di lahirkan di tengah keluarga
bukanlah semata-mata miliknya . Anak adalah milik Allah yang di hadirkan di tengah
keluarganya dan yang harus mendapat perlakuan sebagaimana Allah berkenan. Kesadaran
yang demikian memberikan dampak kekuatan di satu sisi kesadaran itu mendorong untuk
bertanggungjawab mendidik dan membesarkan anak ke arah kehendak Allah. Orang tua
bertanggung jawab kepada Tuhan atas kehidupan anak-anaknya. Pada sisi yang lain ia juga di
kuatakan untuk meyakini bahwa ia beroleh kesanggupan/ dimampuan memdidik dengan
bijaksana dan wibawa serta kasih Tuhan ( bandingkan Kolose 3 : 21, Efesus 6 : 1, Keluaran
20 : 12 )

b) sebagai anak, ia harus melihat bahwa Allah mengatur kehidupannya melalui keberadaan
orangtuanya . Dengan demikian seorang anak patutlah menempatkan orangtuanya sebagai
yang patut di hormati karena
kehendak Allah. Kemudahan dan kemajuan fasilitas dalam kehidupan modern ini
memungkinkan seorang anak memiliki ke pandaian, keahlian
dan tingkat kemapanan ekonomi yang melebihi orangtuanya, namun kenyataan ini bukanlah
alas an untuk meniadakan hormatnya kepada orangtuanya ( bandingkan Kolose 3 : 20 Efs 6 :
1 kel 20 : 12 )

C. HUBUNGAN KELUARGA DENGAN SANAK SAUDARA ( Keluarga.luas)


Keberadaan suatu keluarga,tidak dapat lepas dari hubungan saudara lainnya dalam keluarga
itu, baik keluarga suami atau keluarga isteri . Saudara yang masih dalam ikatan keturunan / darah
dalam satu keluarga yang demikian, biasanya disebut sanak saudara atau keluarga luas
( EXTENDED FAMILI ) sanak - saudara yang di perjumpakan karena pernikahan salah satu
anggotanya itupun masih dapat di sebut keluarga luas tetapi juga di sebut kerabat. Sebagaimana
terjadi dalam hubungan di dalam keluarga sendir. Pada prinsipnya hubungan dengan sanak
saudara tetap di jalankan berdasarkan pertalian kasih. Hanya saja tanggung jawab ekonomi dan
jenis kebutuhan lainya , masing – masing keluarga patutlah berupaya untuk mandiri dan berupaya
tidak saling mengganggu dan memberatkan. Sikap yang demikian tidak berarti meniadakan
kepekaan dan ke pedulian dan keluarga yang satu menganggap keluarga lain sebagai sama sekali
orang lain. Cara meminta dan memberi perhatian / bantuan di antara keluarga dan sanak-keluarga
perlulah mempertimbangkan penghayatan kemandirian berkeluarga masing-masing jangan sampai
terjebak sifat egois tetapi juga jangan terjerumus hubungan yang tanpa terbatas .

D. HUBUNGAN KELUARGA KRISTEN DENGAN TETANGGA ( MASYRAKAT )


Keluarga di sebut juga sebagai sel / lembaga terkecil dari masyrakat Keluarga hidup
berdampingan dengan tetangga, dimana setiap hari mereka bertemu, bertegur – sapa dan bergaul .
tetangga sekitarlah pihak terdekat dan di mungkinkan untuk memberi dan di mintai pertolongan
pertama apabila ada kejadian mala - petaka atau kerepotan lainnya. Kepada orang / keluarga yang
merantau ada pepatah mengatakan : saudaramu adalah tetanggamu. Pepatah ini ingin mekukiskan
suatu kenyataan yang terjadi di masyarakat betapa perlunya menjalin hidup bertetangga
Terlebih bagi keluarga Kristen, tetangga di sekitar kecuali mereka itu adalah saudara yang di
perjumpakan Tuhan dalam hidup kita, maka sebenarnya untuk tetangga / masyarakat itulah
keberadaan misi kita harus di wartakan lewat pergaulan dan praktek hidup sehari – hari betapa
janggalnya kita mengaku telah bersaksi baik di masyarakat bila ternyata kita tidak biasa
mewujudkan hidup bertetangga dan bermasyarakat kita.

E. HUBUNGAN KELUARGA KRISTEN DENGAN PEMERINTAH ( PENGUASA )


Sebagaimana pernikahan yang sah itu juga yang di sahkan dan tercatat dalam ketetapan
pemerintah, maka selayaknya keluarga yang kita bangun berada dalam hubungan yang positif
bukan berarti senantiasa menyetujui setiap kebijaksanaan pemerintah tanpa koreksi kritis, tetapi
justru kehidupan keluarga kita perlu bersifat aktif memperhatikan setiap perkembangan dan
permasalahaan yang kita hadapi pemerintah.
Kita mendukung setiap apa yang di tetapkan sebagai aturan masyarakat dan memberikan
koreksi melalui prosedur yang benar sebagai garam dan terang kehidupan untuk ikut mengarahkan
jalannya pemerintahan ke arah yang benar

F. HUBUNGAN KELUARGA KRISTEN DENGAN GEREJA DAN ( PELAYANAN )


Keluarga Kristen adalah perwujudan dari gereja milik Kristus yang ada di dunia. Keluarga
Kristen merupakan bagian dari Gereja.sebagai bagian dari GerejaNya maka keluarga juga
merupakan tubuh Kristus di mana Kristus sendiri menjadi kepala.( Yoh 15 : 1 – 8 ) Itulah sebabnya
kehidupan keluarga Kristen tidak dapat di lepaskan dari upaya untuk senantiasa dekat dengan
kuasaNya .Hal itu di tunjukan lewat kegiatan memahami Firman dan kehendak-Nya serta doa
keluarga .Menghadirkan kuasa Allah hidup mengusai sepanjang aktifitas berkeluarga , merupakan
tugas yang senantiasa yang harus di upayakan dan di wujudkan. Upaya menghadirkan kuasa Allah
dalam kehidupan , keluarga, tidak dapat di nyatakan dan di tunjukan bagi seisi keluarga.
Keluarga Kristen perlu menampakan keluar secara bersama-sama dengan keluarga Kristen yang
lain dalam rangka bergereja .
Pelayanan yang di atur bersama-sama dalam bergereja dengan demikian merupakan bagian yang
harus di dukung dan di lakukan oleh setiap keluarga Kristen. Tidak harus bahwa kebersamaan itu
di artikan selalu kemana – mana di hadirkan semua keluarga marga gereja tersebut, malah
mungkin akan terjadi kekisruhan yang tidak menghasilkan karya yang efesien dan efektif . Tetapi
bahwa keterlibatan dan perhatian keluaga Kristen terhadap pelayanan yang berlangsung itu perlu
menjadi keprihatinan dan tanggung jawab bersama .

H. KELUARGA KRISTEN DAN PEKERJAAN


Orang yang memasuki hidup berkeluarga,pada umumnya tergolong dan di golongkan sebagai
orang yang dewasa. Salah satu kekhasan orang dewasa adalah bertanggung jawab atas tindakan
dan pilihan yang ia kerjakan. Membentuk keluarga sudah barang tentu bagi orang dewasa juga
bukanlah sesuatu yang terpaksa , melainkan yang di sadari dan di persiapkan. Ia perlu
mempersiapkan keberlangsungan bagi keluarganya dan merencanakan bagaimana. Keluarga ini
dapat di hidupi.Wajarlah jika seseorang yang berniat membangun keluarga, diharapkan mereka
sudah memiliki pekerjaan sebagai tempat mata pencaharian yang menopang kebutuhan hidup
keluarga.memang tidak sedikit pasangan pasangan pernikahan yang memulai hari – hari
pernikahan dengan penghasilan / pendapatan pekerjaan yang kecil dan tidak mencukupi semua
kebutuhan keluarga baru . Dalam hal ini pasangan baru ini dalam banyak hal masih memerlukan
campur tangan kedua orang tua masing –masing , Keterbatasan yang di sadari , akan
menumbuhkan keprihatinan dalam mengayuh biduk rumah tangga yang pada gilirannya akan
menghadirkan kebahagian yang akan memperkokohkan cinta kasih berkeluarga.Dalam situasi awal
seperti ini bentuk – bentuk uluran tangan pihak orang tua memang masih disebut wajar , akan
tetapi menjadi tidak wajar untuk seterusnya, keluarga baru ini menggantungkan pada uluran tangan
dan bahkan tidak mau berusaha memiliki pekerjaan untuk kehidupan keluarga . Dapat di catat juga
bahwa dalam kenyataan tidak sedikit pasangan keluarga baru yang sama sekali tidak
mempersiapkan pekerjaan yang menopang hidup keluarga dan mereka tidak merasa risau karena
selau di subsidi oleh kelimpahan harta orang tua mereka .
Akan tetapi kasus seperti ini bukanlah contoh yang patut di teladani
Siapakah yang harus bekerja ? Suamikah atau isteri juga ? Nafkah keluarga datang dari pihak-
pihak yang mengikatkan diri dalam kehidupan suami-isteri karenanya dapat datang dari pihak
suami atau dari pihak isteri tetapi juga datang dari pihak suami dan isteri, semua itu tergantung
dari situasi dan kondisi yang harus melalui kesepakatan keduanya . pada umumnya keluarga –
keluarga di masyarakat di Indonesia memempatkan suami mencari nafkah. Hal ini termasuk
pengaruh budaya ,yang berarti pandangan itu diciptakan oleh manusia Secara prinsip tidak ada
keharusan mutlak bahwa pencari nafkah monopoli suami, begitu juga sebaliknya tidak ada
keharusan yang baku bahwa isteri itu harus ikut menjadi pencari nafkah bagi keluarga .
Yang jelas bahwa kelangsungan hidup keluarga perlu di topang oleh dan menjadi tanggung jawab
mereka yang mengakibatkan diri dalam kehidupan suami – isteri. Kenyataan dalam menghadapi
kemajuan jaman
Sering menempatkan keluarga pada kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi hal itu menjadi
pendorong kuat yang seakan-akan memojokan.
Untuk mengambil keputusan bahwa suami-isteri harus bekerja .ada juga penyebab lain sehingga
suami dan isteri itu berkarier dalam kerja. Misalnya karena pendidikan kesarjanaan yang di miliki
suami isteri, sehingga sayang jika tidak di manfaatkan untuk bekerja atau mungkin takut merasa
bersalah karena sudah memilih bidang studi sendiri.kenapa di ingkari dan tidak di manfaatkan ?
atau, keduanya bekerja karena memang mereka bertemu jodoh ketika masing-masing sudah
bekerja. Apapun pilihan untuk mereka berdua bekerja atau salah satu saja yang bekerja haruslah
merupakan hasil kesepakatan bersama dengan pertimbangan-pertimbangan yang dewasa dan
matang . Yang jelas pendidikan anak janganlah terlupakan .

I. KELUARGA KRISTEN DAN PENGGUNAAN WAKTU


Waktu adalah arena yang di gelar Tuhan bagi keluarga .Pernyataan singkat ini perlu di pahami
keluarga Kristen sebagai pengakuan bahwa kehidupan keluarga Kristen itu sepenuhnya hanya
dapat di rasakan dalam waktu yang di sediakan Tuhan .Keluarga Kristen dengan demikian perlu
menumbuhkan penghayatan untuk mempertanggungjawabkan seluruh penggunaan waktu kepada
Tuhan.
Bentuk sederhana pertanggungan jawab itu antara lain di tandai dengan penyediaan waktu
secara khusus untuk membawa keluarga memiliki / berada dalam kedekatan relasi dengan Tuhan.
Mengkhususkan waktu untuk beribadah bersama jemaat , bersekutu di kelompok / wilayah dalam
kegiatan doa maupun pemahaman Alkitab serta menyelenggarakan Doa keluarga / pribadi
Membiasakan mendekatkan keluarga pada Tuhan, merupakan kenyataan yang tidak mudah di
lakukan terlebih di era ke majuan teknologi hiburan
Yang sanggup merampas perhatian dan waktu orang takluk menjadi budak teknologi hiburan
dan melupakan kepentingan lain yang seharusnya di lakukan. Bagaimanapun sulitnya,namun
keluarga perlu berjuang dan berusaha mengatasi dengan bijaksana penggunaan waktu yang
bertanggung jawab, juga dapat di tengarai dengan melihat tujuan dan motif penggunaan waktu ada
banyak hal yang dapat di kerjakan dan pada umumnya dapat menghabiskan banyak waktu, namun
waktu yang di manfaatkan untuk kelestarian kehidupan kesejahteraan keluarga ( secara jangka
dekat maupun panjang ) kiranya menjadi hal mendapat prioritas . Memang bukan maksudnya
bahwa sepanjang waktu itu di habiskan untuk runtang-runtung , sekeluarga ada kalanya waktu
untuk bekerja mengajar berdagang , berwira-swasta, dan itu tidak berarti berada di tengah
keluarga, namun tujuan dan motifnya, Tetap untuk kesejahteraan keluarga dalam kenyataan lain,
banyak waktu luang di mana tidak sedang di gunakan untuk bekerja, misalnya sepulang dari
bekerja dan berada di rumah bersama keluarga .Maka ada banyak hal dapat di manfaatkan
misalnya untuk menyalurkan hobi berkebun/ bertanam , mengatur kebersihan rumah bersama,
berkunjung bersama ke orang tua / Famili / kerabat atau bahkan sekedar jalan-jalan bersama
keluarga. Bermanfaat kiranya jika semua itu di lakukan dengan tujuan dan motif yang terbuka bagi
kesejahteraan relasi berkeluarga.

J. KELUARGA KRISTEN DAN PENDIDIKAN


( i ) Orang tua adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya
Bagi setiap orang yang memasuki hidup pernikaha senantiasa perlu menyadari bahwa ia
bersiap menghadapi tugas. Untuk memberikan pendidikan bagi keluarganya . Tugas tersebut
berakar dalam panggilan karya penciptaan Allah, dengan di lahirkanya anak-anak di dalam
pernikahan, orangtua memiliki tugas dan berkewajiban untuk membantu agar pribadi yang
baru itu tumbuh, berkembang dan sungguh-sungguh mampu hidup sepenuhnya sebagai
manusia. Dapat di katakannya bahwa dengan pendidikan yang demikian, sebenarnya setiap
orangtua sedang menyampaikan hidup sebagai mana di kehendaki Allah kepada anak – anak
mereka. Menciptakan suasana keluarga yang di jiwai oleh cinta kasih dan sikap hormat
kepada Allah dan orang-orang lain sehingga di antara anak-anaknya tumbuh dan berkembang
pribadi dan social yang utuh adalah menjadi kewajiban orangtua . Keluarga adalah sekolah
pertama demi keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat. Itulah
sebabnya bagi keluarga Kristen, mendidik anak-anak adalah pendidikan kehidupan yang
merupakan tugas mulia . Orangtua adalah pendidik yang pertama dan terutama bagi anak-
anak mereka . Peranan sebagai pendidik hampir tidak ada suatu apapun yang dapat mengganti
bila mereka gagal menuaikan tugas itu .
Paparan di atas sudah barang tentu beranggapan bahwa pengertian pendidikan di sini semata -
mata sebagai mana di perankan oleh sekolah sebagai suatu lembaga pendidik, tetapi lebih luas
lagi yakni pendidikan yang diarungi keluarga di tengah kehidupan luas masyarakatnya hak
dan sekaligus kewajiban orangtua untuk memberikan pendidikan adalah hal yang esensial ,
sebab berhubungan dengan hal meneruskan hidup manusia untuk orang tua memiliki peranan
yang asli dan utama bagi anak-anak.Mereka bila di bandingkan dengan peranan mendidik
yang di emban pihak-pihak lain sebab hubungan penuh kasih antara orang tua dengan anak –
anaknya bersifat khas bahkan hubungan yang demikian itu merupakan hal yang tak
tergantikan serta tak teralihkan dan dengan demikian juga tidak dapat dilimpahkan seluruhnya
kepada orang-orang lain. Pihak-pihak lain lain di sekitar keluarga seperti sanak-saudara
pembantu sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dan pihak-pihak lain di masyarakat ini
harus di pahami sebagai peran pembantu bagi orangtua.Orangtua harus berupaya sedemikian
rupa agar peranannya tidak tergeser atau bahkan di gantikan pihak lain . Sebagai manusia
yang memiliki ketidak sempurnaan, memang akan terlihat juga dalam keterbatasan dan
ketidakmampuan mendidik anak-anak mereka , wajarlah jika kekurangan itu di lengkapi
dengan melibatkan peran pihak-pihak lain , namun orang tua harus tetap menyadari bahwa
tanggungjawab pendidikan bagi anak-anaknya ada di bahunya .

( ii ) Nilai Hakiki Pendidikan


Letak kekhasan peranan mendidik yang di emban orangtua bagi anak-anaknya sebenarnya ada
pada cinta kasih orangtua. Cinta kasih itu merupakan unsur paling mendasar dalam
pelaksanaan peran mendidik juga yang menjadi kunci keberhasilan peran yang dilakukan
pihak-pihak lain yang berperan sebagai peran pembantu orangtua, menghargai orang lain dan
menghargai dirinya, sebagai sosok pribadi. Anak-anak harus menjadi besardan dewasa
dengan sikap yang bebas tepat terhadap barang-barang jasmani dan sepenuhnya yakin bahwa
manusia lebih berharga karena jati dirinya daripada karena apa yang di punyainya . inilah
hakiki pendidikan.
Di tengah laju perkembangan situasi dan kondisi masyarakat yang guncang dan di pecah
belah oleh ketegangan-kegangan dan pertentangan-pertentangan akibat perbenturan keras
berbagai macam wujud individualisme dan egoisme anak-anak harus di perkaya tidak hanya
dengan kesadaran atas nilai keadilan sebagai yang melahirkan sikap untuk menghormati
matabat pribadi tiap-tiap individu , tetapi juga secara lebih kuat lagi dengan kesadaran akan
cinta kasih yang di pahami sebagai kepedulian tulus ikhlas terhadap orang lain, terutama
kepada orang yang lemah dan kekurangan. Keluarga adalah sekolah yang pertama dan
mendasar untuik hidup bermasyarakat sebagai persekutuan cinta kasih. Keluarga menemukan
dan menumbuh-kembangkan pemberian diri ( nilai pengorbanan ) sebagai hukum yang
membimbing kehidupan anak-anaknya. Pemberian diri yang menjiwai cinta kasih suami-
isteri satu sama lain adalah contoh dan kaidah untuk pemberian diri yang harus di jalankan
dalam hubungan-hubungan antar saudara dalam keluarga dan sesamanya. Persatuan dan bagi
rasa yang menjadi bagian hidup sehari-hari dalam rumah tangga pada saat gembira dan pada
saat sukar adalah pedagogi yang paling konkrit dan efektif untuk mempersiapkan anak- anak
secara aktif bertanggungjawab kepada Tuhan dalam memasuki masyarakat yang lebih luas
lingkupnya

(iii) Kerjasama Yang Saling Melengkapi


Orangtua ( unsur keluarga ) dengan pihak-pihak peran pembantu pendidikan ( seperti
sekolah lembaga pendidikan dll ) perlu membangun kerja sama saling melengkapi. Usaha
pendidikan di sekolah haruslah melengkapi dan menyambung usaha pendidikan yang ‘’ tak
dikembangkan “( karena keterbatasan ) di keluarga oleh orangtua . Begitu pula sebaliknya
orang tua selalu harus berusaha memberi perhatian segi-segi yang belum di kembangkan di
sekolah. Untuk itu harus ada kepercayaan timbal-balik yang dekat dan dialog secara teratur
antara kedua pihak .Dalam dialog dapat di rembug secara demokratis dan terus terang isi dan
cara-cara pendidikan di keluarga dan di sekolah agar usaha-usaha pendidikan keduanya ini
benar-benar saling melengkapi dan saling menyambung.

BAB IV
KELUARGA KRISTEN DAN ADAT ISTIADAT

PENDAHULUAN : Pemahaman istilah dan problematik.


Yang dimaksudkan dengan keluarga Kristen di dalam bab ini tidak terlepas dari apa yang telah
dijelaskan pada bab-bab terdahulu, yaitu suatu relasi yang ada antara suami istri dan anak-anak
ataupun orang lain yang ada dalam suatu lembaga pernikahan; dan hubungan ini nampak dalam sikap
dan perilaku ketika mereka berhadapan dan menanggapi peristiwa-peristiwa sepanjang perjalanan
hidup keluarga.

Dengan istilah Kristen dimaksudkan ialah landasan ataupun keyakinan yang dipakai untuk mendasari
sikap etis ketika keluarga menghadapi dan memberikan tanggapan dalam peristiwa-peristiwa
sepanjang perjalanan hidup keluarga.

Dengan istilah adat-istiadat ialah sesuatu yang dikenal atau diketahui dan diulang-ulangi sebagai suatu
kebiasaan di dalam masyarakat dan hal ini dapat berupa kata-kata maupun macam-macam bentuk
perbuatan. Adat-istiadat ini ada yang berbentuk Norma, hukum, aturan-aturan yang melembaga yang
harus dilakukan, dan kalau tidak dapat mendapatkan sangsi baik secara moril maupun materiel; adat-
istiadat juga dapat berupa tradisi/kebiasaan yang dipakai untuk merayakan hal-hal yang resmi dan
sering disertai dengan upacara-upacara tertentu untuk moment-moment penting yang ada di dalam
hidup manusia sejak lahir sampai dengan kematiannya.

Maka akan muncul persoalan, apakah dibenarkan keluarga-keluarga Kristen melakukan tradisi-
tradisi/upacara-upacara yang muncul dari kebiasaan masyarakat tertentu (misalnya budaya
Jawa/Tionghoa) dan di sisi lain keluarga tersebut juga serentak harus melakukan norma maupun
upacara-upacara yang ada sesuai dengan paham maupun iman Kristen.

Sikap apa yang harus diputuskan oleh keluarga Kristen dalam peristiwa-peristiwa adat-istiadat, tradisi,
upacara-upacara tertentu dalam budaya tertentu dengan tetap berlandaskan ajaran imannya ?

1. ADAT-ISTIADAT DALAM RENTANG KEHIDUPAN MANUSIA.


Pada setiap suku, banyak sekali upacara adat-istiadat yang dilakukan sepanjang rentang
kehidupan, baik dari upacara kelahiran sampai dengan kematian. Berkenaan dengan hal tersebut
maka pada bagian ini hanya akan dibahas upacara/adat-istiadat perkawinan dalam tradisi suku
Jawa.
Perlu juga diketahui bahwa adat-istiadat perkawinan suku Jawa juga bermacam-macam, ada yang
dari pesisiran, ada pula yang dari pedalaman, bahkan yang dari pedalaman pun sangat tergantung
daerahnya. Oleh karena itu yang akan diambil contoh adalah adat-istiadat/tatacara perkawinan
suku Jawa dari daerah Surakarta.

Di dalam tradisi ini, tatacara perkawinan dibagi dalam beberapa tahap yang memiliki kegiatan
masing-masing serta memberikan gambaran makna simbol tertentu, antara lain seperti
diungkapkan di bawah ini :

1.1. Persiapan pernikahan. Antara lain :


a. Pemasangan Tarub/Tenda serta Pepohonan.
Tiga hari sebelum pelaksanaan, biasanya para kerabat dari pihak wanita mewujudkan (bela-
tresna) ikut mengayubagya, berdatangan pada keluarga pengantin wanita, mengingat banyak
kerabat yang datang, maka dipasanglah tenda sesuai kebutuhan dan sebagai tanda bahwa ada
perhelatan maka dipasanglah pada pintu masuk rumah pepohonan dan buah-buahan yang
memiliki nama di mana mempunyai simbol-simbol, antara lain :
- Pohon pisang raja dengan buahnya sebagai simbol, pengantin akan diberi anak seperti
buah pisang yang banyak (sudah tidak relevan dengan jaman KB)
- Tebu, sebagai simbol mantabnya kalbu (hati) melakukan hajad
- Cengkir (buah kelapa muda) simbol lencenging pikir (lurus pikir)
- Padi sebagai simbol banyak rejeki
- Juga diberi plisir kain berwarna merah dan putih sebagai simbol bahwa keluarga baru
nanti akan mengabdi pada nusa dan bangsa.

b. Siraman.
Upacara mandi bagi calon pengantin pria maupun wanita yang dilakukan oleh para sesepuh.
Biasanya upacara ini dilakukan sekitar jam 09.00-11.00, pada saat mana di dalam legenda
kuno para putri dari nirwana turun ke bumi untukmandi. Adat ini dilakukan sebagai simbol
yang memiliki harapan bahwa para calon pengantin akan beroleh tuah menjadi bersih dan
cemerlang seperti para putri dewata.

c. Malam midodareni (malam sebelum upacara pernikahan).


Yang terjadi ialah bahwa keluarga pengantin pria mengantar calon pengantin pria dan
menyerahkan kepada orangtua pengantin wanita dan dalam acara ini diisi dengan acara antara
lain :
- Nyantri
- Nebus Kembar Mayang
- Majemukan (selamatan)
Yang terakhir ini yang penting karena pokok ini merupakan doa bagi yang empunya hajat
mohon berkat dari Yang Maha Kuasa supaya segala sesuatu yang dilakukan esok hari
dapat selamat. Menurut tradisi semestinya acara ini dilakukan pada jam 24.00-01.00
ketika suasana sudah semakin sepi.

1.2. Pelaksanaan pernikahan.


Acara ini terdiri dari 3 kegiatan, yaitu :
- Ijab : acara peresmian nikah secara legal hukum agama/negara.
- Panggih : “pesta perkawinan” dengan disaksikan kerabat/tamu.
- Wisudan Pengantin
Tidak semua pokok acara akan dijelaskan, kecuali pada acara panggih yang sarat dengan
acara adat yang penuh makna.

Pada acara Panggih ini adat yang sering dilakukan ialah :


1. Pengantin pria menginjak telor dan kakinya dibersihkan oleh pengantin wanita yang
mempunyai makna :
2. Kacar-kucur : pengantin pria menuangkan uang logam ke pangkuan pengantin wanita
sebagai simbol bahwa pria wajib menyerahkan hasil nafkahnya dan si wanita menerima
dengan menatanya untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga.
3. Dulangan yang diwujudkan saling menyuapkan nasi kepada pasangannya sebagai simbol
supaya mereka berdua tetap senantiasa dapat secara lahir dan batin merasakan apa yang
mereka cita-citakan.
4. Makan dan minum rujak degan (kelapa muda buah pertama) sebagai simbol harapan
segera mendapatkan anak, dan dalam berkeluarga mereka tidak bercabang hati, menjadi
contoh yang baik.
5. Timbangan : di mana ayah pengantin putri duduk di tengah-tengah pengantin pria dan
wanita serta mengungkapkan bahwa timbangan berat baik anak maupun menantunya
adalah sama. Ungkapan ini sebagai simbol untuk mengingatkan para orangtua bahwa
mereka harus bersikap timbang/adil dalam segala hal baik kepada anak maupun kepada
menantu.
6. Sungkeman (sujud). Dilakukan dengan cara pengantin pria maupun pengantin wanita
sungkem/sujud kepada para orangtua dan mertua, sebagai simbol supaya pengantin tetap
mempunyai rasa wajib hormat kepada orangtua dan orangtua wajib mengayomi mereka
dengan seri tauladan.

1.3. Akhir hajad.


Ada dua kegiatan yaitu yang disebutkan dengan :
- Sepasaran (lima hari). Yang terjadi pada saat ini mereka diberi nama sepuh/tua;
artinya : mereka telah memiliki satu nama, dan nama ketika kanak-kanak
ditinggalkan atau tidak dipakai lagi.
- Selapanan (tiga puluh lima hari). Mengumpulkan kerabat dekat mohon doa restu
bahwa pengantin baru sudah akan melepas dari rumah tangga orangtua, dan
bertanggungjawab sendiri. Ini sebagai tanda seluruh rangkaian acara upacara
pernikahan telah selesai.

Catatan : Pada dasarnya acara ini sangat kompleks, karena itu pembiayaan juga tidak
sedikit, yang diuraikan di atas hanyalah pokok-pokok saja.

2. BEBERAPA SIKAP IMAN KRISTEN TERHADAP ADAT-ISTIADAT.


a. Sikap menentang/meninggalkan adat-istiadat. (sikap konfrontatif)
Sikap ini mau menunjukkan bahwa keluarga Kristen harus secara tegas memilih di antaranya,
artinya bahwa sebagai keluarga Kristen semestinya kalau tidak lagi menggunakan tatacara
hidup yang berdasar pada kebiasaan yang ada di dalam masyarakat. Seorang hamba tidak bisa
mengabdi pada dua tuan.

Paham ini menggunakan dasar Alkitab seperti yang ada di dalam surat Yohanes pertama:
“...Janganlah kamu mengasihi dunia dan yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi
dunia maka kasih Bapa tidak ada di dalam orang itu, sebab semua yang ada di dalam dunia
yaitu keinginan daging dan keinginan mata bukanlah berasal dari Bapa melainkan dari dunia
ini...” (I Yoh. 2:15-16). Jadi sudah seharusnya kalau keluarga Kristen tidak lagi terikat dan
menggunakan adat-istiadat/tradisi kebudayaan yang ada.

Paham ini ada pada aliran-aliran pietisme, yang menekankan tentang kesalehan hidup yang
bertitiktolak pada paham bahwa setiap perkara-perkara duniawi dan mengabaikan tuntutan
Allah, jadi harus menolak segala sesuatu yang dari dunia ini.

b. Sikap menggunakkan/menyelaraskan diri dengan adat-istiadat. (sikap akomodatif)


Sikap ini bertentangan sama sekali dengan sikap yang pertama, sebagai keluarga Kristen
hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan adat-istiadat setempat/yang ada. Paham ini
didasarkan pada kenyataan bahwa Allah mengasihi dunia, manusia, orang Kristen dan Gereja
ada di dalam dunia ini. Jadi unsur-unsur yang ada di dalam Gereja juga sama yang ada di
dalam adat-istiadat/kebudayaan setempat.

Sikap ini ada di dalam kelompok sinkretisme yaitu yang cenderung menggabungkan/
menyamakan unsur-unsur yang ada di dalam adat-istiadat dan yang ada di dalam paham
Gereja/Iman Kristen, dan atas dasar ini maka keluarga Kristen hendaknya dapat
menggunakan adat-istiadat yang ada di dalam paham Kristen. Di dalam paham sinkretisme
ini, akan mengusahakan suatu bentuk kekristenan yang memakai unsur-unsur adat-istiadat,
supaya dengan demikian kekristenan dapat lebih menarik dan lebih diterima.

Di dalam sejarah memang cara dan sikap ini menjadikan penyebaran pengaruh Kristen (PI)
mudah diterima oleh banyak orang, mereka mudah kompromi, toleran sehingga orang-orang
Kristen mudah diterima dan dapat bekerjasama dengan berbagai golongan yang memiliki
paham bermacam-macam.

Namun perlu diingat secara kritis, kalau paham Kristen itu memiliki unsur-unsur kesamaan
dengan adat-istiadat setempat, mengapa orang harus menjadi Kristen, bukankah Kristen tidak
berbeda dengan adat-istiadat.

c. Sikap memadukan paham Kristen dengan adat-istiadat. (Sikap Kristen Menguasai/mengatasi


adat-istiadat).
Paham ini agak mirip dengan paham akomodatif, yaitu menjadi orang Kristen tidak perlu
melakukan pemilihan antara memberlakukan Injil (paham-paham Kristen) dengan adat-
istiadat setempat. Mereka mengakui bahwa dua-duanya dapat dipakai dalam hidup keluarga
Kristen, namun karena adat-istiadat itu berasal dari manusia yang tidak terlepas dari dosa,
maka hendaknya dilihat dalam terang Firman Allah.

Paham ini juga didasari bahwa manusia memiliki tanggungjawab terhadap sesamanya.
Membangun sesamanya, Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk sosial, karena itu
manusia (orang Kristen) perlu memiliki relasi dengan dunia (manusia lain dengan adat-
istiadatnya) sebagai rencana Tuhan dan sesuai dengan kehendakNya.

Namun pada pihak lain, kelompok ini juga mengakui bahwa ada perbedaan antara paham
Kristen dengan adat-istiadat, paham Injil Kristen lebih tinggi daripada sekedar adat-istiadat,
tujuan hidup manusia tidak hanya dicapai dengan adat-istiadat/budaya tetapi adalah karunia
dari Tuhan (Injil).

Dengan kata lain bahwa adat-istiadat yang dilaksanakan hendaknya dibaptiskan, diisi,
disucikan dengan warna dan kehendak Kristus.

d. Sikap dualis (Injil dan Adat-Istiadat dalam paradok)


Paham ini mengembangkan dua hal sekaligus, yaitu bahwa orang Kristen harus mentaati
Kristus dengan konsisten namun juga harus mengembangkan adat-istiadat, sekaligus
membedakan kewajiban-kewajiban atas keduanya.

Menurut paham ini, manusia telah berdosa terhadap Allah, dan hanya dapat dibenarkan
karena pengampuanan dalam kasih karunia Kristus. Dosa ini mempengaruhi semua bentuk
budaya/aadat manusia, sehingga apapun wujudnya upaya manusia dengan segala adatnya
adalah diwarnai dengan dosa keakuan (bahasa Alkitab = kebodohan).

Adat istiadat bagaimanapun baiknya adalah ibarat menara megah yang didirikan di atas tanah
yang jelek. Karena itu sebagai orang yang telah dikuduskan hendaknya memakai segala
pikiran dan tenaganya untuk mengembangkan adat-istiadat yang ada. Sikap ini berarti bahwa
dengan segala pengetahuan dan kebebasan yang telah diperbaharui Kristus hendaknya setiap
orang memutuskan apa yang diwajibkan oleh adat-istiadat.

Sikap ini ditampakkan di dalam kesetiaan untuk melakukan kehidupan kristianinya namun
sekaligus juga melakukan hukum-hukum adat-istiadat, mereka wajib melayani Tuhan dengan
ketentuan-ketentuan Kristiani, tetapi juga wajib melayani Tuhan dengan ketentuan-ketentuan
dunia yang ada. Ia menjalankan kekristenannya tetapi ia juga menjalankan kebiasaan
masyarakatnya tanpa keduanya saling terganggu.
e. Sikap pembaruan. (transformsi) : memperbarui adat istiadat
Sikap ini dilakukan dengan dasar pemahaman bahwa Kristus adalah pembaharu dunia, dunia
dengan segala upaya yang dikerjakan manusia termasuk di dalamnya adat-istiadat/budaya
telah diwarnai oleh dosa.

Bahwa Allah telah menciptakan dunia/manusia dengan segala akal budinya


untukmenaklukkan alam dengan segala kebudayaannya, namun oleh pengaruh dosa, budidaya
ini termasuk di dalamnya adalah adat-istiadat telah rusak. Karena itu Allah di dalam Kristus
mau memperbarui produk manusia (segala sesuatu yang dikerjakan untuk menunjang
kehidupannya, termasuk di dalamnya adat istiadat yang dihasilkan oleh akal budi manusia).

Tuhan Yesus tidak menghapus yang telah ada tetapi memperbarui dengan makna dan isi yang
baru. Ia memakai simbol baptisan yang telah ada di dalam kebiasaan adat-istiadat agama
misteri, yang melambangkan orang yang telah memiliki kerohanian yang tinggi, dengan
makna yang baru, ada transformasi makna, yaitu bahwa baptisan sebagai tanda kehidupan
yang baru namun sekaligus diberi kepercayaan, transformasi kepercayaan, bahwa Allah di
dalam Tuhan Yesus dan atas pertolongan RohNya yang kudus meyakini di dalamnya ada
keselamatan.

3. KESIMPULAN :
1. Sebagai orang keluarga Kristen perlu memahami makna perilaku yang diwujudkan dalam
berbagai adat-istiadat kehidupan manusia dari peristiwa kelahiran sampai dengan kematian
dan sekaligus memahami kepercayaan apa yang terkandung di dalamnya. Hal ini dapat
dilakukan dengan mempelajari secara seksama melalui berbagai informasi yang ada baik
berupa tulisan maupun lisan.

2. Memanfaatkan adat-istiadat yang ada dengan memberikan transformasi makna serta


transformasi kepercayaan, sejauh hal tersebut tidak kontradiktif dengan asas-asas iman
Kristen yang berpusat pada tindakan penyelamatan Allah di dalam Kristus, dan sekaligus
tidak menjadi sandungan (perhatika I Kor. 10), segala sesuatu dilihat dari asas manfaat dan
asas membangun dengan segala aspek yang terkandung di dalamnya.

3. Implementasi. Mengajak yang bersangkutan meminta pertimbangan kepada majelis Gereja.

BAB V
KELUARGA KRISTEN DITENGAH-TENGAH KEMAJUAN IP-TEK

A PENDAHULUAN : KELUARGA DAN PENGARUH KEMAJUAN IP - TEK


Kemajuan ilmu pengetahuan yang sedemikian pesat telah membawa perubahan yang besar
didalam berbagai segi kehidupan manusia. Tidak hanya di kota – kota besar , melainkan juga di
pedesaan, perubahan dan perkembangan ini telah menggeser peradaban manusia dari budaya
agraris ke peradaban industri tehnologi modern dengan segala dampaknya di satu pihak kemajuan
ilmu pengetahuan sebagai akibat pencerahan akal budi manusia dan yang membawa berbagai
kemajuan wajib di syukuri namun di pihak lain perubahan – perubahan ini juga mempunyai
dampak langsung maupun tidak langsung baik dalam pola pikir maupun perilaku manusia,
termasuk di dalam hal ini adalah pengaruhnya dalam berbagai sendi hidup berkeluarga, karena itu
sudah sewajarnya hal ini mendapat perhatian yang cukup dalam mempersiapkan diri untuk
membangun keluarga.

Peradaban tehnologi modern sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan memang telah
memberi sumbangan besar untuk hidup manusia semakin baik . walau didalam kenyataan juga
harus di akui bahwa peradaban baru ini tidak sedikit membawa dampak negatif dalam kehidupan
manusia ; itulah sebabnya bahwa menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi perlu
sebagai orang beriman / pengikut Kristus hendaknya memiliki pemahaman dan sikap yang tepat.

Pokok – pokok ajaran Gereja ( GKJ ) tentang IP – Tek dicantumkan pada pokok pengajaran
minggu ke 17 yang terdiri atas 10 pokok, yaitu pertayaan 185 sampai dengan 195 , yang dapat di
ringkas sebagai berikut :

a. Bahwa manusia sebagai ciptaan Allah dan di tugasi untuk mengatur dan melestarikan
kehidupan didunia di lemngkapi akal dan budi.
b. Dengan akal budinya mansia wajib mengembangkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
tehnologi untuk keselamatan dan kelestarian dunia.
c. Namun demikian hidup manusia memiliki cacat – cidera manusiawi. Sehingga dalam
mengelola ilmu pengetahuan dan tehnologi dengan akal budinya ada kecenderungan berbuat
dosa.
d. Oleh karena itu, di dalam mengelola ilmu pengetahuan dan tehnologi,manusia hendaknya
mampu menangkap, menata dan menyimpan serta mengembangkan sesuai dengan manusia
yang bermartabat, yaitu memanfaatkannya bagi keselamatan dan kelestarian dunia.

Mengingat bahwa dalam kehidupan dewasa ini peradaban tehnologi modern dengan segala
dampaknya mau tidak mau akan di hadapi oleh semua anggota keluarga yang ada di dalamnya ,
karena itulah sudah selayaknya kalau setiap pembentukan keluarga harus di siapkan dengan baik
melalui bimbingan maupun pendampingan.

B. DAMPAK POSITIF-NEGATIF PENGGUNAAN HASIL TEHNOLOGI BAGI PERTUMBUHAN


KELUARGA KRISTEN
1. Pergeseran ke arah Industrialisasi
Peradaban modern yang di cirikan dengan Industrialisasi telah membawa banyak perubahan
bagi kehidupan bagi keluarga – keluarga , hal ini tampak adanya pergeseran dari masyarakat
agraris ke masyarakat industri. Sebagai akibatnya muncul pola pikir maupun perilaku yang
berubah, beberapa hal yang dapat di sebutkan antara lain :
a ) Mengendorkan komunikasi antara anggota keluarga,
Dalam masyarakat agraris hubungan antar keluarga cukup erat, biasanya mereka tinggal
dalam satu rumah besar , hidup bersama, bekerja / bertani secara bersama. Di dalam
masyarakat industri, karena pengaruh urbanisasi pada umumnya membuat mereka tidak lagi
hidup bersama, dengan demikian hubungan kekerabatan semakin kendur.

b) POLA PIKIR PEMBENTUKAN KELUARGA


dalam masyarakat agraris karena berfungsi memproduk kebutuhan hidup, maka ada paham
banyak anak banyak rejeki, karena banyak anak berarti banyak tenaga untuk mengolah lahan. Hal
ini pasti berbeda dalam masyarakat industri, karena biaya hidup mahal, baik komsumsi,
akomodasi pendidikan, maka banyak anak adalah sengsara.

C) PERAN – PERANAN YANG LEBIH DEMOKRATIS


Kemajuan dalam hal pendidikan telah mengubah yang semula peran suami / ayah sangat
dominan , di mana istri maupun anak seakan – akan sebagai pelengkap ( Konco wingking /
obyek ) telah berubah , istri sebagai partner / mitra dalam menentukan kebijakan – kebijakan ,
sedemikian anak di hargai pendapatnya. Di dalam hal ini termasuk adalah pemilihan jodoh /
teman hidup kalau dulu peran orang tua lebih dominan, dewasa ini anak memilih sendiri pola
interaksi antar anggota keluarga telah mengubah struktur keluarga.

2. Peradaban Tehnogi modern dan dampaknya


Dampak positif modernisasi bagi keluarga – keluarga, khusunya yang tinggal di kota – kota
besar sangat di rasakan.
Ke4majuan di bidang pendidikan , tranportasi, kesehatan , lapangan kerja
Hasil – hasil industri yang menjadikan keluarga semakin dapat menikmati kehidupan dan fasilitas
peralatan modern.
Menghargai kebebasan pendapat pribadi telah membuat perkawinan berkeluarga sebagai
penentuan pribadi – pribadi yang menjalani kemandirian keluarga semakin di akui, tanggung
jawab dalam melahirkan anak , membesarkan , mendidik mendapat perhatian yang besar
demikian martabat masing – masing anggota keluarga juga semakin di hargai sehingga mereka
lebih di mungkinkan untuk berkembang menjadi keluarga yang harmonis .

Namun demikian modernisasi sebagai akibat industrialisasi juga membawa peradaban


individualisme serta sekularisme dan yang sangat mendewakan ‘ aku ‘ dan “ materi “ di dalam
situasi yang demikian tidak mustahil Tuhan dan sesama di kesampingkan nilai – nilai yang
berasal dari nrma ke agamaan dan martabat manusia telah di gantikan dengan nilai – nilai materi
dan aku ( materialisme dan egoisme )

Pengaruh materialisme telah menjadikan hubungan antar manusia di kesampingkan di ganti


dengan usaha untuk mendapatkan materi sebanyak – banyaknya , dan ini menuntut hampir
seluruh waktu yang di miliki, sebagai akibatnya dewasa ini banyak orang mengalami Frustasi,
Konflik , Stres oleh karena kesepian ataupun kesalah pahaman komunikasi antar manusia

Karena Tuhan di kesampingkan, maka penghayatan iman mengendur dan sebagai akibatnya
maka muncul etika permisif ( menghalalkan cara ) Misalnya : pergaulan bebas , kumpul kebo,
pertukaran pasangan dan lain sebagainya .
Demikian pula karena penghayatan iman mengendur, maka banyak masalah social
kemasyarakatan ( kekeluargaan ) tidak di selesaikan dengan kasih kesabaran, pengusan diri,
pengampunan, tidak memperhatikan kebutuhan sendi – sendi ke utuhan keluarga maka cara yang
paling tepat adalah perceraian.
Semua ini mempunyai dampak yang langsung pada kehidupan keluarga, sehingga keluarga
banyak mengalami kesulitan dalam memenuhi panggilan yang luhur dalam kehidupan suami –
isteri dalam komunikasi pembinaan bagi anggota keluarga

3. Ancaman bagi kehidupan keluarga

Industrialisasi yang membawa peradaban modern mengakibatkan sekularisme yang


sangat mendewakan “ aku “ – egoisme – dan pendewaan “materi “ – materialisme – sungguh
mengancam kehidupan manusia dalam dalam sendi sendi keluarga

- melunturkan nilai – nilai iman yang membawa kerusakan moral spiritual


- Pendewaan terhadap materi, keberhasilan melulu di nilai bidang keberhasilan dalam bidang
pangkat dan harta kekayaan, dalam hal itu menjadi dasar pemilihan jodoh, cinta kasih di
kesampingkan
- Pengejaran materi menyebabkan kesibukan orang tua di utamakan pada nafkah di banding
dengan pembinaan keluarga , muncul brkem – home
- Ekonomi keluarga terancam oleh budaya konsumerisme, hedonisme
Keluarga tergoda dengan iklan – iklan yang bergensi

Contoh di atas hanya merupakan bagian kecil dari pengaruh dari kemajuan ilmu pengetahuan
dan tehnologi, yang jika tidak dianatisipasi Dengan sungguh – sungguh dapat menjadi sumber masalah
yang dalam membangun keluarga yang sejahtera secara jasmani dan rohani

C.PEMANFAATAN HASIL TEHNOLOGI DENGAN TEPAT DANA DAN TEPAT GUNA

Harus di akui bahwa perubahan yang diakibatkan oleh ke majuan ilmu – ilmu – pengetahuan
dan tehnologi di rasakan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, namun perlu juga di ingat seperti
telah di uraikan terdahulu bahwa teknologi dan pengaruhnya juga mampu menjadikan ancaman bagi
kehidupan manusia / keluarga
Ambivalen dari akal budi manusia yang tercermin dari hasil tehnologi baik yang sederhana
maupun modern memang dapat berupa berkat ( hasil positif ) tetapi juga dapat berupa laknat ( hasil
negatif ) karena itulah di dalam menggunakan tehnologi ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan
antara lain :

1. Demi kesejahteraan dan martabat manusia

Tidak dapat di hindari dalam kehidupan manusia ( keluarga - keluarga ) dewasa ini akan
berhadapan dengan kemajuan ilmu pengetahuan maupun tehnologi modern, hal yang penting
untuk di perhatikan ialah asas manfaat . Apakah penggunaan hasililmu pengetahuan dan
tehnologi modern itu membuat kehidupan semakin sejahtera secara utuh / holistik ( phisik,
rohani, social, mental ) ; demikian pula penggunaan dengan tetap memperhatikan demi
martabat manusia sebagai insan Allah. Didalam hal ini Alkitab sendiri mengajarkan bahwa
segala sesuatu boleh asalkan hal itu memililki asas manfaat dan membangun ( bandingkan
PPAG pertanyaan 205 dan I Kor 10 : 23 )

2. Kebutuhan di sesuaikan dengan kemampuan / keterjangkauan

Tidak dapat di pungkiri bahwa hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi modern
menjadikan kehidupan manusia semakin dapat menikmatinya, dalam berbagai aspek
kehidupan : Pendidikan , Kesehatan, tranportasi, komunikasi , fasilitas – fasilitas lainya.
Namun untuk menikmatinya di butuhkan dana yang tidak sedikit, karena itu untuk
manfaatkan fasilitas tehnologi modern itu hendaknya benar – benar memperhatikan skala
prioritas kebutuhan serta dengan mengingat keterjangkauan dari segi dana
BAB VI
KELUARGA KRISTEN DALAM KRISIS

Kehidupan suatu keluarga tidak selalu berjalan lancar serta dipenuhi suasana aman dan damai.
Setiap keluarga pasti pernah mengalami dan mungkin masih akan mengalami masa-masa krisis, yaitu
masa-masa genting, masa-masa berbahaya bagi kelangsungan kehidupan keluarga. Ada berbagai
faktor penyebab terjadinya krisis di dalam keluarga, antara lain :

A. BEBERAPA FAKTOR PENYEBAB KRISIS


Perjalanan kehidupan berkeluarga tidak selalu mulus dan aman. Sebagaimana layaknya sebuah
perahu yang sedang mengarungi lautan, pasti ada badai dan gelombang yang kadang-kadang
menghantam perahu itu, demikian pula perjalanan keluarga. Perjalanan kehidupan keluarga tidak
akan lepas dari badai dan gelombang yang menerpanya. Badai dan gelombang itu dapat
menyebabkan terjadi krisis (keadaan genting/bahaya/kemelut) dalam keluarga. Hal ini perlu
diwaspadai oleh setiap keluarga. Beberapa hal yang dapat menimbulkan krisis dalam keluarga
adalah :
1. Kesehatan
Kesehatan adalah dambaan setiap keluarga. Setiap orang menginginkan hidup sehat tanpa sakit,
namun tentu hal ini tidak mungkin terwujud. Penyakit apa pun dapat menghampiri kita setiap
waktu karena memang daya tahan tubuh kita terhadap penyakit terbatas. Ada beberapa
penggolongan penyakit :
a. Penyakit yang timbul karena memiliki kelemahan-kelemahan tertentu terhadap sesuatu atau
beberapa jenis penyakit. misalnya : ada orang yang mudah masuk angin; ada yang mudah sakit
flu; ada yang mudah sakit maag/nyeri lambung; ada yang mudah terkena penyakit tipus; dsb.
b. Penyakit menahun
Penyakit menahun adalah penyakit yang sudah lama diderita oleh seseorang dan diderita
sepanjang masa atau muncul pada saat-saat tertentu, misalnya : TBC, malaria, jantung,
epilepsi/ayan.
c. Penyakit pembawaan
Penyakit pembawaan adalah penyakit yang dibawa sejak lahir, misalnya : kelainan jantung
atau organ tubuh lainnya, cacat tubuh (bibir sumbing, timpang), dan sebagainya.
d. Penyakit keturunan
Penyakit keturunan adalah penyakit yang diturunkan dari orang tua atau generasi sebelumnya,
misalnya : asma, diabetes (dapat menyebabkan keguguran), kelainan jiwa.
e. Penyakit menular seksual (PMS) dan AIDS
PMS adalah penyakit yang diderita akibat hubungan seksual, misalnya GO (gonorrhroe =
penyakit kencing nanah), syphilis, dsb. Anak yang dilahirkan dapat menderita penyakit
tersebut atau ketularan penyakit tersebut.
Sedangkan AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh rusaknya sistem kekebalan tubuh
untuk memerangi penyakit yang menyerang tubuh manusia.
f. Penyakit akibat perkawinan darah
Perkawinan dengan saudara dekat, apalagi seayah atau seibu kandung akan menimbulkan cacat
pada anak-anak yang dilahirkan. Cacata yang diderita anak biasa berupa cacat fisik (kelainan
darah) maupun cacat nonfisik (mental maupun jiwa).

Akibat yang ditimbulkan karena menderita suatu penyakit tertentu, dapat menimbulkan berbagai
krisis, misalnya :
1) Dalam bidang keuangan. Jika biaya pengobatan harus ditanggung sendiri, pasti akan
merepotkan keluarga yang pengahasilannya pas-pasan, apalagi pengobatan untuk penyakit
menahun atau penyakit keturunan atau penyakit pembawaan.
2) Dalam segi psikologis. Dapat menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan lagi karena
pasangannya menderita PMS dan AIDS misalnya. Biasanya suamilah yang menopang
kebutuhan keluarga. Jika yang sakit suami sehingga tidak dapat bekerja lagi, kemudian istri
yang mencari nafkah atau lebih giat mencari nafkah. Pergeseran peran atau fungsi ini dapat
timbul rasa rendah diri dalam diri suami karena budaya Jawa menempatkan suami/laki-laki di
atas istri/perempuan (budaya ini diharapkan dapat berubah sesuai dengan perkembangan
budaya itu sendiri), sehingga ada kesetaraan di antara suami/laki-laki dan istri/perempuan).
3) Dalam bidang soaial. Suami atau istri yang menderita suatu penyakit tertentu mengalami
hambatan di dalam bergaul dengan sesamanya di tempat kerja maupun di tengah masyarakat
atau malu mengajak bergaul pasangannya yang sakit itu.
4) Dalam hubungan fisik termasuk hubungan seksual. Hal ini terjadi apabila suami atau istri
menderita dibetes atau TBC misalnya.

2. Ketiadaan keturunan
Pasangan yang tidak memiliki anak bisa disebabkan oleh tidak normalnya organ tubuh/alat-alat
reproduksi, yaitu organ tubuh yang berkaitan dengan kelahiran anak, baik dari pihak suami
maupun dari pihak istri. Kata reproduksi berasal dari kata procreate ( = menjadi ayah,
menghasilkan), artinya meneruskan keturunan.
Anak merupakan dambaan setiap suami istri. Suami istri adalah sarana Tuhan untuk
melanjutkan keturunan. Pernikahan itu sendiri bukanlah bertujuan untuk memperoleh anak,
namun ada suami istri yang merasa belum lengkap jika belum/tidak memiliki anak, padahal
ternyata tidak setiap perempuan dan tidak setiap laki-laki memiliki benih yang memenuhi syarat
bagi terbentuknya janin dan selamatnya kehamilan. Reproduksi atau lahirnya anak berkaitan
dengan alat-alat reproduksi. Ada laki-laki/perempuan yang “subur”, sehingga kelahiran anak
tidak menjadi masalah. Ada laki-laki/perempuan yang “tidak subur” bahkan mandul, sehingga
sulit atau tidak dapat memiliki anak. Hal ini dapat menimbulkan masalah yang menganggu
kelestarian pernikahan.

3. Penyelewengan seksual
Penyelewengan seksual dapat saja terjadi di dalam kehidupan suami istri. Ada berbagai sebab
yang dapat menimbulkan tindak penyelewengan seksual, a.l. :
a. Hubungan suami istri tidak harmonis lagi
Keharmonisan dapat terjadi karena ada masalah yang tidak terselesaikan. Kurang adanya
keterbukaan di dalam mengatasi/menyelesaikan masalah. Ketidakharmonisan ini
menyebabkan salah satu pihak atau kedua belah pihak mencari kepuasan di luar rumah. Bisa
saja diawali dengan perjumpaan dan pergaulan biasa di antara dua orang yang berbeda jenis
kelamin. Pergaulan yang biasa ini lama-lama dapat menjadi pegaulan khusus dan akhirnya
terjadilah penyelewengan seksual.
b. Usia perkawinan yang makin bertambah
Usia perkawinan yang makin bertambah jika tidak dipelihara dengan baik dan tidak ada
variasi, dapat menimbulkan kebosanan. Misalnya suasana rumah yang tetap saja sejak
memulai hidup bersama : segala sesuatu terletak permanen di tempatnya, aktivitas yang rutin
dari bangun tidur sampai berangkat tidur lagi, suasana pada waktu pacaran tidak ada lagi.
Kemudian masing-masing mecari suasana baru di luar rumah yang akhirnya dapat menjadi
tindak penyelewengan.
c. Ketidakpuasan dalam hubungan seksual
Ketidakpuasan salah satu pihak atau kedua belah pihak yang terjadi berkali-kali dapat
membuat pasangan itu mencari kepuasan di luar rumah. Pasti ada hal (hal-hal) yang dapat
menimbulkan ketidakpuasan, misalnya : sedang menderita sakit, penyakit yang menahun,
tidak melakukannya dengan sepenuh hati (hanya sebagai kewajiban, bukan kebutuhan),
teknik yang tidak sesuai.
d. Kelainan dan penyimpangan seksual : homoseksual, masokhisme, sadisme
Kelainan dan penyimpangan seksual adalah tingkah laku seksual yang tidak normal
(abnormal). Hal ini dapat terjadi baik pada perempuan maupun laki-laki.
Homoseksual adalah tingkah laku seksual dengan orang yang sejenis, cinta seksual antara
laki-laki dengan laki-laki (homoseks) atau perempuan dengan perempuan (lesbian). Kelainan
ini dapat terjadi sejak kelahiran (pembawaan) karena cedera otak menjelang dan selama
kelahiran berlangsung. Di samping itu, ada pula yang terjadi karena perkembangan psikis
yang terganggu misalnya : kesalahan dalam pendidikan, pengalaman dalam masyarakat.
Namun demikian, ada juga yang sebenarnya heteroseksual tetapi berperilaku homoselsual
karena situasi misalnya lama di LP atau di tempat yang terasing dan tidak dapat mengatasi
kesepiannya.
Masokhisme adalah kepuasan seksual yang dialami istri apabila hubungan seksual dilakukan
dengan kasar (sadis). Sebaliknya, suami yang mengalami kepuasan seksual karena hubungan
seksual yang dilakukan dengan kasar (sadis).
Kecuali itu, dapat terjadi pula terjadi ketidakpuasan karena suami yang impoten atau istri
yang frigid (bersikap dingin) dalam melakukan hubungan seksual.
e. Pernikahan yang tidak menghasilkan anak (lihat no. A. 2).

Sebenarnya, penyelewengan seksual tidak selalu disebabkan oleh adanya kelainan atau
penyimpangan sesksual, tetapi dapat juga karena tidak adanya sikap yang saling menghargai di
antara suami istri.

4. Ekonomi keluarga
Krisis dalam keluarga dapat terjadi baik di dalam keluarga yang keadaan ekonominya baik
maupun yang keadaan ekonominya kurang baik. Keluarga yang keadaan ekonominya cukup
atau berlimpah, dapat kehilangan dasar pernikahan yaitu cinta kasih. Segala keperluan hidup
sehari-hari tersedia, perabotan serba modern, namun tidak ada kehangatan dalam keluarga.
Anak-anak dapat menggunakan uang untuk hal-hal yang tidak terpuji.
Keluarga yang keadaan ekonominya kurang, tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari
sehingga dapat menimbulkan percekcokan di antara suami istri. Untuk mengatasinya, istri
maupun suami bekerja sehingga anak-anak tidak terurus. Jika masih tetap tidak teratasi, anak-
anak ikut bekerja yang dapat mengganggu sekolah mereka. Akibat negatif yang dapat muncul
adalah anak-anak dapat melakukan perbuatan tercela misalnya mencuri, menipu, dan
sebagainya sebab kebutuhan mereka tidak terpenuhi.
Gaji istri yang lebih besar daripada gaji suami atau pangkat dan kedudukan istri yang lebih
tinggi daripada suami dapat pula menimbulkan krisis, sebab budaya Jawa menempatkan istri di
bawah suami; istri tidak dianggap setara dengan suami, sehingga suami
mendominasi/menguasai istri. Dalam situasi seperti ini dapat terjadi yang sebaliknya, yaitu istri
mendominasi/menguasai suami sebagaimana suami mendominasi istri. Baik dominasi suami
terhadap istri maupun dominasi istri terhadap suami tidak sesuai dengan hakikat manusia
sebagai gambar Allah.

5. Perubahan/fungsi peran antara suami istri


Sekarang ini kita berada dala era kesetaraan antara pria dan wanita. Pemahaman tentang
kesetaraa ini terus berkembang yang mau tidak mau juga menyangkut kehidupan suami istri.
Kalau dulu suami dipandang sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga,
sekarang fungsi/peran itu dapat berubah. Fungsi/peran sebagai kepala keluarga itu dapat pula
dilakukan oleh istri, sedangkan suami dapat fungsi sebagai bapak rumah tangga. Dengan
demikian, fungsi/peran itu tidak tetap, dapat berubah dan dapat dilakukan secara bergantian.
Kalau dulu suami dipandang sebagai pencari nafkah dan istri mengurs keluarga, sekarang tidak
lagi demikian. Istri yang berpendidikan ingin mengamalkan pendidikan yang diperolehnya,
sehingga perlu bekerja juga. Kalau keduanya bekerja, lalu siapa yang mengurus rumah dan
anak-anak ? Suami atau istri yang belum siap mengenai hal ini akan mengalami goncangan
yang membahayakan kehidupan rumah tangga.

6. Hubungan sosial
Suatu keluarga tidak dapat hidup sendiri tanpa kelauga/orang-orang lain.Ornag-orang yang dekat
dengan kehidupan keluarga setiap harinya adalah tetangga, teman sekerja, teman sekolah. Dalam
hidup bertetangga, di tempat kerja maupun di sekolah bisa terjadi kesalahpahaman yang
membuat hidup pergaulan menjadi kurang baik. Termasuk di dalamnya adalah pertengkaran di
antara anak-anak dalam pergaulan dapat merambat dalam hubungan antarorang-tua sehingga
menjadi renggang. Jika berlarut-larut, tidak segera diselesaikan, akan menjalar dalam kehidupan
keluarga dan mengganggu kehidupan keluarga utamanya suami istri. Keluarga dapat menjadi
sasaran kemarahan/obyek kemarahan, kejengkelan dan sebagainya sehingga tidak kerasan
tinggal di rumah.
Karena masalah ekonomi, banyak keluarga yang tinggal berdempetan dan dalam petak-petak
atau di RSS (rumah sangat sederhana) dan dalam kehidupan modern saat ini, sudah banyak
keluarga yang tinggal di rumah susun. Kehidupan seperti ini menimbulkan masalah sosial yang
mungkin sulit diatasi karena masyarakat belum siap misalnya keluarga yang tinggal di rumah
susun (nyetel radio atau TV keras, bicara keras). Di samping itu, anak-anak tidak memiliki lahan
untuk bermain, sehingga bermain jauh dari rumah atau di tepi jalan yang membahayakan
jiwanya.

B. BEBERAPA SOLUSI ANTISIPATIF TERHADAP KRISIS


Beberapa solusi (jalan keluar) yang perlu dipikirkan sebelumnya agar tidak terjadi krisis adalah :
1. Pemeriksaan kesehatan sebelum pernikahan.
a. Pemeriksaan kesehatan secara umum. Pemeriksaan kesehatan sebelum pernikahan harus
dilakukan dengan kesungguhan, dengan kejujuran, tidak sebagai formalitas untuk memenuhi
persyaratan. Bagaimana pun hasilnya (sehat atau berpenyakit), kedua pihak harus dapat
menerima dengan lapang dada jika pernikahan akan tetap dilangsungkan. Hasil pemeriksaan
itu membantu calon pasangan mengetahui keadaannya sendiri maupun keadaan calon
pasangannya.
b. Perlu pemeriksaan yang berkaitan dengan reproduksi (organ tubuh - laki-laki maupun
perempuan - yang berkaitan dengan berlangsungnya keturunan)
Bagi pasangan yang subur, perlu dijaga agar kelahiran diatur sedemikian rupa sehingga
kehidupan keluarga tidak terganggu karena hadirnya anak-anak yang tidak terbatas
jumlahnya. Kesuburan dapat menjadi masalah kalau tidak ada kontrasepsi yang cocok atau
tidak tertib menggunakan kontrsepsi yang telah disepakati, sehingga lahir anak yang tidak
dikehendaki.
Bagi pasangan yang tidak subur, ketiadaan anak dapat menimbulkan masalah walaupun
sudah mengetahui hasil pemeriksaan kesehatan. Dapat terjadi saling menyalahkan
pasangangannya atau saling membenarkan diri sendiri atau kemudian kecewa dengan keadaan
itu. Dapat menjadi pemicu munculnya keinginan untuk bercerai. Pada zaman modern ini
banyak kemajuan di bidang kedokteran dan kesehatan, sehingga ada kemungkinan
ketidaksuburan dapat diatasi. Namun demikian, manusia hanya dapat berusaha, termasuk
memanfaatkan kemajuan teknologi dan ilmu kedokteran. Keputusan terakhir ada pada Tuhan
sendiri.

2. Memelihara suasana seperti pada masa berpacaran.


Banyak pasangan yang tidak memperhatikan hal ini disebabkan kesibukan masing-masing atau
menganggap bahwa hal tersebut tidak perlu lagi. Perlu menyisihkan waktu khusus untuk
memelihara “semangat yang mula-mula”, “cinta kasih yang mula-mula”, jauh dari keramaian
anak-anak. Dengan demikian, cinta kasih akan selalu hidup dan mendasari kehidupan keluarga
seluruhnya.

3. Selalu mengingat janji pernikahan


Janji yang telah diucapkan di hadapan Tuhan pada waktu pemberkatan pernikahan harus selalu
diingat. Selalu ingat, bahwa yang telah disatukan Tuhan tidak boleh dipisahkan oleh manusia.
Akan hidup bersama dalam suka dan duka dengan penuh kesetiaan. Dengan demikian, akan
terhindar dari masuknya orang ketiga yang akan mengacaukan kehidupan pernikahan.
Dalam pertelaan pernekihan yang baru tidak lagi disebutkan perbedaan peran dan tanggung
jawab di antara suami istri. Keduanya memupnyai peran dan tanggung jawab untuk
melestarikan kehidupan keluarga yang dibangunnya.

4. Bimbingan selama kehamilan


Istri yang sedang hamil, apalagi baru pertama kali, perlu menjaga diri dengan baik dan perlu
memperoleh bimbingan yang baik dari suami maupun dari tenaga medis. Pemeliharaan
kehamilan ini termasuk di dalamnya makanan yang cukup dan bergiizi, mengatur pekerjaan dan
kegiatannya, mengikuti senam kehamilan, mengatur emosi, dan mengantisipasi jika terjadi hal-
hal yang di luar dugaaan. Kehamilan yang tidak dipelihara dengan baik akan menyebabkan
kegagalan kehamilan maupun kelahirannya. Suami memegang peranan penting dalam hal ini,
karena kehamilan juga merupakan tanggung jawab suami.

5. Membaca buku-buku dan tukar pengalaman dengan keluarga senior


Membaca buku-buku yang berkaitan dengan kehidupan keluarga dan tukar pengalaman dengan
keluarga senior sangat penting. Keluarga senior yang sudah menjalani kehidupan keluarga
cukup lama memiliki banyak pengalaman tentang hidup berkeluarga dengan suka dan dukanya.
Dengan bertukar pengalaman, akan memperoleh masukan yang berharga bagi kelangsungan
kehidupan keluarga.

6. Mengatur ekonomi rumah tangga (ERT)


Kata ekonomi dibentuk dari kata bahasa Yunanai, oikos yang berarti rumah atngga dan nomos
yang berarti aturan atau tata. Jadi, artyi asli ekonomi adalah pedoman untuk mengatur ekonomi
rumah tangga. Tuntutan kebutuhan hidup rasanya terus meningkat, sehingga dapat terjadi
pengeluaran lebih besar daripada pemasukan. Untuk mengatasi hal ini dapat muncul pertanyaan
: pemasukan yang ditambah karena selalu kurang atau pengeluaran yang dikurangi karena selalu
bertambah. Jalan keluarnya tentu tidak sekedar menambah penghasilan dan mengurangi
pengeluaran, sebab untu menambah penghasilan atau mengurani penegluaran bukanlah hal yang
sederhan.. Yang menjadi ukuran dan pedoman dalam mengatur ERT adalah mampu tidaknya
mengatur pemasukan dan pengeluarannya.
Mampu mengatur ERT berarti a:
a. Mampu mengatur pengeluaran sesuai dengan keadaan keuangan dan rencana yang telah
disusun
b.Mampu menyeleksi kebutuhan-kebutuhan antara kebutuhan yang saat ini, saat mendatang,
maupun yang kurang perlu.
c. Memapu mengadakan tabungan untuk merealisasikan kebutuhan masa mendatang yang sudah
direncanakan.
d.Mampu mengatur keuangan sedemikian rupa, sehingga tidak terjebak hutang yang tidak
produktif atau membeli secara kredit.

Pengaturan ERT perlu dibicarakan bersama antara suami istri. Pengelolaan uang dan anggaran
belanja perlu diatur bersama dengan sebaik-baiknya. Diperlukan keterbukaan di antara suami
istri baikvmengenai pemasukan maupun pengeluarannya. Diperlukan keterbukaan dalam
mengelola keuangan. Suami istri perlu membuat kesepakatan tentang cara/sistem pengaturan
ERT, karena dengan kesepakatan itu dapat dihindari penggunaan uang yang tidak bertanggung
jawab. Dengan kesepakatan menjadi jelas siapa bertanggung jawab terhadap apa. Ada
bermacam-macam cara untuk mengatur ERT, jika suami istri bekerja, a.l. :
- menyatukan penghasilan/pemasukan dan pengeluaran di rencanakan bersama-sama.
-suami dan istri menggunakan uang masing-masing dengan pembagian pengeluaran yang sudah
disepakati; suami bertanggung jawab terhadap sejumlah pengeluaran, demikian pula istri.
Namun demikian, pemasukan dan pengeluaran tetap diketahui oleh keduanya.
Karena anak adalah bagian dari keluarga, maka sebaiknya anak/anak-anak juga diberi
pengertian tentang ERT. Mereka perlu mengetahui berapa penghasilan yang diterima oleh
orang-tua mereka dan kebutuhan apa saja yang harus dipenuhi setiap harinya (bagi yang
menerima gaji harian), selama satu minggu (bagi yang menerima gaji mingguan) atau satu
bulan (bagi yang menerima gaji bulanan). Dengan demikian, mereka akan ikut serta
bertanggung jawab atas kebutuhan sendiri dan keluarga.
7. Memelihara kehidupan bertetangga
Keluarga Kristen hidup di tengah keluarga-keluarga lain yang menjadi tetangganya. Apabila
kehidupan bertetangga tidak dipelihara dengan baik, dapat menimbulkan masalah. Masalah
yang tidak segera terselesaikan akan menimbulkan hubungan yang kurang baik yang akan
berpengaruh terhadap kehidupan keluarga. Fungsi sebagai terang dan garam juga merupakan
panggilan keluarga Kristen yang perlu diwujudkan dalam hidup bertetangga (lihat Bab III.D.).

C. KONFLIK SEBAGAI REALITAS DALAM KEHIDUPAN KELUARGA


Konflik bisa terjadi kapan saja dan dialami oleh siapa saja, sebab setiap hubungan pribadi
mengandung unsur-unsur konflik. Rasanya tidak ada keluarga yang tidak pernah mengalami
konflik. Konflik bisa terjadi di antara suami istri, di antara anak-anak, maupun di antara orang-tua
dengan anak-anak.
Konflik adalah suatu situasi di mana hubungan antara dua orang atau lebih terganggu. Perbuatan
satu orang berlawanan dengan perbuatan orang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling
terganggu. Disebut terganggu, sebab perbuatan itu tidak mendukung, membantu, memudahkan
situasi hidup yang sedang berlangsung. Sebaliknya perbuatan itu justru merugikan, menghambat,
mengganggu, bahkan melumpuhkan kehidupan bersama itu.
Konflik bisa jadi berawal dengan terjadinya salah paham karena komunikasi yang kurang baik atau
salah menangkap pesan, sehingga masing-masing membenarkan diri sendiri. Salah paham itu
dapat terjadi mungkin karena kejenuhan masing-masing pihak dalam menjalani kehidupan sehari-
hari, kemudian terjadi perselisihan.
Pada umumnya orang memandang konflik sebagai keadaan yang buruk dan harus dihindari.
Konflik dipandang sebagai faktor yang merusak hubungan, maka harus dicegah agar tidak terjadi
konflik. Sekarang, orang mulai menyadari bahwa rusaknya suatu hubungan sebenarnya bukan
terletak pada konflik itu sendiri, melainkan terletak pada kegagalan mengatasi konflik secara
konstruktif, adil, dan memuaskan kedua belah pihak. Apabila kita mampu mengelola konflik
secara konstruktif, konflik itu dapat memberikan manfaat bagi diri kita sendiri maupun orang lain.

Manfaat konflik
Bagaimana pun konflik ada pula manfaatnya bagi kehidupan bersama. Menurut Dr. A. Supratiknja
dalam bukunya “Komunikasi Antar Pribadi, tinjauan psikologis”yang mengutip dari Johnson, ada
beberapa manfaat konflik antara lain :
1. Konflik menyadarkan kita, bahwa ada persoalan yang harus diselesaikan, tidak dibiarkan saja
tanpa penyelesaian.’
2. Konflik dapat mendorong kita untuk melakukan perubahan-perubahan dalam diri kita
3. Konflik dapat menumbuhkan dorongan dalam diri kita untuk memecahkan persoalan yang
selama ini tidak jelas kita sadari, yang kita biarkan terbenam.
4. Konflik dapat menjadikan kehidupan lebih menarik. Timbulnya perdebatan karena suatu
persoalan akan mendorong kita untuk lebih memahami persoalan tersebut.
5. Perbedaan pendapat dapat membimbing ke arah tercapainya keputusan-keputusan bersama yang
lebih matang dan lebih bermutu.
6. Konflik dapat menghilangkan ketegangan-ketegangan kecil yang sering kita alami dengan
sesama kita.
7. Konflik menjadikan kita sadar tentang siapa atau seperti apa diri kita sesungguhnya.
8. Konflik dapat mempererat dan memperkaya hubungan. Melalui konflik masing-masing sadar,
bahwa hubungan yang ada selama ini ternyata sangat berharga, sehingga hubungan kemudian
menjadi semakin erat karena bebas dari ketegangan-ketegangan dan menyenangkan.

Suatu konflik bersifat konstruktif, apabila sesudah mengalami konflik :


1. Hubungan justru menjadi lebih erat, lebih mudah berinteraksi dan bekerja sama.
2. Saling menyukai dan mempercayai.
3. Sama-sama merasa puas dengan akibat-akibat yang timbul setelah berlangsungnya konflik.
4. Kedua belah pihak makin terampil mengatasi secara konstruktif konflik-konflik baru yang
terjadi di antara mereka.
5. Masing-masing mengupayakan hubungan yang lebih erat.
Perselisihan suami istri merupakan hal yang paling rawan, yang terjadi pada awal usia pernikahan
mereka sampai sekitar tahun kedua. Pada tahun-tahun itu keduanya masih diwarnai oleh cinta
yang romantis, bukan cinta yang realistis sebagaimana ada pada kedua belah pihak. Oleh karena
itu, cinta yang romantis itu perlu segera diubah menjadi cinta penyerahan diri. Dengan saling
menyerahkan diri, keduanya justru dapat makin memahami perbedaan-perbedan yang ada,
sehingga dapat saling menerima dan mempererat ikatan yang sudah dijalin dalam pernikahan.
Jika konflik yang muncul dalam kehidupan suami istri, di antara anak-anak maupun di antara
orang-tua dengan anak-anak dapat diatasi secara konstruktif, maka konflik itu akan menunjang
perkembangan pribadi masing-masing.
Menyadari dan menghadapi perbedaan-perbedaan
Tidak ada orang yang sama dalam segala hal, juga di antara suami istri. Suami isteri masing-
masing memiliki perbedaan, baik kebudaya, tradisi, maupun kebiasaan yang dibawa dari rumah
masing-masing Di samping itu juga memiliki perbedaan sifat dan watak yang dapat menimbulkan
perbedaan-perbedaan dalam melihat sesuatu atau menanggapi sesuatu. Perbedaan-perbedaan itu
dapat menjadi faktor timbulnya konflik. Perbedaan-perbedaan yang ada perlu dibicarakan.
Menurut Kathleen Fischer Hart dan Thomas N. Hart dalam bukunya “Dua tahun pertama hidup
berkeluarga” cara membicarakan perbedaan-perbedaan adalah :
1. Mempercakapkan perbedaan-perbedan yang ada
Perbedaan-perbedaan yang dapat membuka konflik harus dipercakapkan bersama. Diperlukan
waktu khusus untuk mempercakapkan perbedaan-perbedaan yang muncul, bukan dengan cara
sambil lalu.
2. Mengindari anggapan “benar-salah”, tidak membenarkan diri sendiri dan menyalahkan pihak
lain.
3. Jika persoalan yang muncul lebih dari satu macam, membicarakannya satu per satu, tidak
bersama-sama pada waktu yang sama, agar percakapan menjadi jelas, sehingga dapat
menyelesaiakan dengan jelas pula.
4. Mengenali perkara yang sesungguhnya
Mungkin tidak mudah untuk mengenali perkara yang sesungguhnya, padahal tanpa mengenali
dengan sungguh-sungguh apa yang sedang dihadapi, tidak akan dapat menyelesaikannya dengan
tepat. bahkan akan berkembang menjadi makin kabur.
5. Berorientasi pada masa kini
Dalam konflik biasanya orang senang mengungkit-ungkit masa lalu. Hal seperti ini tidak banyak
menolong. Lebih baik memusatkan perhatian pada masa kini dan masa depan, karena masa lalu
tidak dapat diubah, sedangkan masa depan dapat kita rancang ke arah yang lebih baik.

Cara mengatasi konflik dalam keluarga adalah :


Bagaimana pun usaha kita untuk mencegah terjadinya konflik, kadang terjadi juga. Konflik yang
muncul itu perlu segera diatasi agar tidak berkembang ke arah negatif.
Kathleen Fischer Hart dan Thomas N. Hart juga menyebutkan cara untuk mengatasi konflik.
Ketiga cara tersebut adalah :
1. Saling memberi dan mengalah secara sukarela
Cara ini tentu tidak mudah dilakukan, sebab biasanya orang menyukai “imbalan” (syarat)
daripada memberikan dengan sukarela, tanpa syarat. Disebut saling memberi dna mengalah
berarti bergantian di antara suami istri, bukan yang satu memberi terus dan yang lain mengalah
terus. Memberi dan mengalah tidak hanya dalam hal materi, tetapi dalam segala hal : perasaan,
keinginan, pendapat, kesenangan.
2. Mengadakan kompromi
Dalam kompromi tentu ada yang kehilangan dan ada yang mendapat. Dalam kompromi perlu
diusahakan agar sama-sama mendapat demi kabaikan bersama.

3. Sepakat bahwa berbeda


Kadang-kadang perbedaan mempunyai nilai yang penting, misalnya suami emosional sedangkan
istri rasional atau sebaliknya. Keduanya memiliki nilai yang penting dalam menghadapi suatu
masalah. Perbedaan ini perlu dipahami oleh keduanya.

D. PERCERAIAN
Tidak ada pasangan suami istri yang mengharapkan perceraian, namun dalam kenyataan kita
menjumpai terjadinya perceraian. Dalam pernikahan Kristen tidak ada tempat bagi perceraian,
namun ternyata terjadi juga.

Penyebab perceraian
Dewasa ini situasi pernikahan dirasa lebih buruk daripada waktu-waktu sebelumnya. Mengapa
sekarang makin banyak terjadi perceraian? Menurut Dr. J.L.Ch. Abineno dalam bukunya
“Perkawinan” adalah :
1. Terjadinya perubahan dalam masyarakat
Dahulu kehidupan bersama dalam masyarakat merupakan kehidupan yang tertutup. Kehidupan
orang per orang diawasi dengan ketat oleh seluruh kaum keluarga, karena mereka hidup di satu
desa. Jika ada yang melakukan kesalahan dapat segera diingatkan, bahkan bisa jadi kaum
keluarga meberi hukuman yang diterima dengan baik oleh orang yang dihukum. Sekarang ini
kehidupan masyarakat terbuka dan keluarga tidak lagi tinggal di satu desa, sehingga tidak dapat
lagi diawasi secara ketat. Kecuali itu, suami istri itu sudah hidup mandiri, tidak lagi bergantung
kepada orang-tua dan keluarga mereka. Mereka berhak mengambil keputusan sendiri, juga dalam
hal perceraian.
2.Emansipasi wanita
Dulu wanita hanya dipersiapkan untuk menjadi istri dan ibu rumah tangga., sekarang tidak lagi.
Banyak istri yang bekerja baik untuk membantu mencukupi kebutuhan keluarga maupun untuk
mengaktualisasikan diri bahkan sebelum menikah. Penghasilan istri yang lebih tinggi dapat
menjadi faktor terjadinya perceraian, karena suami belum siap menerima kenyataan itu. Istri
yang bekerja tidak lagi khawatir apabila terpaksa terjadi perceraian, sehingga ada kemungkinan
hal ini menjadi penghambat terjadinya usaha pelestarian pernikahan.
3.Perubahan mentalitas
Mentalitas orang-orang sekarang berbeda dari nenek moyang mereka. Kita sekarang memiliki
nilai-nilai dan norma-norma yang berbeda dari nilai-nilai dan norma-norma nenek moyang kita.
Kita sekarnag ini hidup di alam kebebasan, sedangkan nenek moyang kita hidup di alam feodal.
Masalah-maalah yang dihadapi nenek moyang kita berbeda dari masalah-masalah yang kita
hadapis ekarnag ini, juga dalam hidup pernikahan. Kebahagiaan yang tidak dapat terwujud di
dalam pernikahan, dicarinya di luar penikahan.
4.Pernikahan yang tidak berdasarkan cinta
Pernikahan yang tidak didasarkan pada cinta yang murni tidak akan kekal. Mungkin tidak terjadi
pengenalan yang mendalam sebelum pernikahan, sehingga tidak terjadi saling mencintai yang
sesungguhnya. Mungkin juga karen pernikahan itunbukan kehendak mereka, melainkan karena
kehendak orang-tua.
5. Kemandulan
Kemandulan bisa terjadi pada suami maupun istri (lihat B.1.b.).
6. Perzinahan
Munculnya orang ketiga dalam pernikahan pasti menimbulkan masalah bagi kelangsungan
pernikahan (lihat B.1.3.).

Kecuali keenam hal tersebut, perceraian juga dapat disebabkan karena adanya krisis yang tidak
teratasi yang kemudian berkembang menjadi konflik yang tak teratasi pula (lihat B dan C).
Akibat buruk perceraian tidak hanya dialami oleh bekas suami istri itu, tetapi juga anak-anak. Oleh
karena itu perlu dilakukan usaha-usaha untuk mencegahya dengan cara mencegah terjadinya krisis
dan timbulnya konflik yang berkepanjangan yang tak teratasi. Namun demikian, apabila keadaan
sudah sedemikian rupa sehingga terciptalah “neraka di dunia”, mungkin perceraian merupakan
jalan yang terbaik dari yang terburuk.

***

***
BAB VII KELUARGA BERTANGGUNG JAWAB

.
Pemahaman tentang "Keluarga Berencana" (KB)
Istilah Keluarga Berencana (KB) sudah tidak asing lagi bagi kita. Secara umum KB dipahami
sebagai suatu cara untuk mengatur dan membatasi kelahiran anak agar tercipta keluarga yang
sejahtera. Maka muncullah Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sekjahtera (NKKBS). Program KB di
Indonesia masih perlu dilakukan (di beberapa negara barat sekarang justru dikampanyekan agar para
istri mau melahirkan lagi secara maksimal, sebab tidak punya lagi generasi muda akibat KB).
Program ini dilancarkan oleh pemerintah kita, sebab pemerintah melihat bahaya peledakan
penambahan jumlah penduduk yang dapat menjadikan rakyat tidak hidup bahagia dan sejahtera. Demi
kesejahteraan rakyat baik yang menyangkut kesejahteraan ekonomi dan sosial maupun kesempatan
menerima pendidikan yang layak, maka jumlah pertambahan penduduk harus ditekan sekecil
mungkin. Untuk menekan pertambahan jumlah penduduk, seringkali petugas melakukannya dengan
tidak bijaksana. Sering mereka hanya mengejar jumlah akseptor tanpa memperhatikan hak azasi
seseorang. Tentu ini menjadi tugas panggilan setiap orang Kristen untuk mengatasinya, utamya yang
bekerja di bidang kesehatan: medis, paramedis maupun nonmedis.
Pemahaman kita tentang KB, tidak hanya berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi atau
masalah peraturan pemerintah, tetapi juga masalah tanggung jawab. Allah telah memberikan mandat
kepada manusia untuk menguasai dan mengatur alam, termasuk di dalamnya menguasai dan mengatur
dirinya sendiri. Oleh karena itu, KB harus dilaksanakan dengan bertanggung jawab. Yang penting
ialah tanggung jawab suami-istri yang membentuk keluarga itu. Juga bertanggung jawab dalam
menguasai dan mengatur kehidupan seksualnya. Orang yang merasa mampu secara materi tidak
berarti boleh terus menambah jumlah anak, apalagi dengan maksud yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan yang hanya memikirkan kesejahteraan keluarganya sendiri/marga sendiri
tanpa mengingat kesejahteraan bersama. Dengan jumlah anak yang banyak berarti keluarga itu juga
menghabiskan/mengkonsumsi pangan dan sandang yang banyak, padahal keluarga lain juga
membutuhkan hal yang sama. Cadangan sumber alam akan lebih cepat habis karena yang
mengkonsumsi tak terkendali.
Dengan demikian pembentukan keluarga perlu diatur. Yang dimaksud dengan pembentukan
keluarga ialah: memiliki anak, membesarkan anak tersebut, serta mendidiknya agar menjadi manusia
yang baik dan bertanggung jawab.
1. Memiliki anak: sebelum anak dilahirkan, manusia telah menghayati kemanusiaannya. Mereka
dengan sadar harus mempersiapkan diri dan dengan gembira menerima tanggung jawab yang harus
dipikul oleh suami istri. Setiap suami istri harus siap untuk menjadi ayah dan ibu bagi anak-anak
mereka. Suami istri tidak selayaknya menghindari tanggung jawab sebagai ayah dan ibu, sehingga
tidak mau memiliki anak karena kehadiran anak dirasa mengganggu kenikmatan hidup mereka
berdua, menggangu meningkatnya karier mereka.
2. Membesarkan anak: tanggung jawab untuk memiliki anak yang sudah diterima terus berlanjut,
bahkan bertambah berat. Pelaksanaan tanggung jawab untuk membesarkan anak ini memerlukan
banyak sekali waktu dan tenaga. Hal ini mencakup sebagian besar hidup suami istri.
3. Mendidik anak: kepada anak yang makin bertambah besar itu harus diperkenalkan norma-norma,
nilai-nilai, dan harkat manusia yang harus diketahui dan ditaati oleh anak. Salah satu aspek dari
pendidikan ini ialah menyampaikan berita tentang karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus
kepada anak-anak. Mengarahkan ana-anak itu untuk beriman dan hidup selaku anak-anak yang
sudah diselamatkan oleh karya Allah dalam Kristus.
Apa pun yang kita lakukan dalam KB adalah tindakan orang beriman yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Keluarga yang bertanggung jawab adalah keluarga yang
terdiri atas orang-orang yang berpikiran matang, yang memperhatikan kesejahteraan keluarganya dan
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan keputusan bersama. Yang penting tidak
hanya melahirkan anak, tetapi juga membesarkan dan mendidik anak-anak itu dengan bertanggung
jawab.
Lahirnya anak-anak dalam pernikahan adalah berkat (tambahan) dari Tuhan. Tuhan meminta
kita supaya kita bersedia menerima berkat itu. Tuhan minta agar kita berani menerima berkat
(tambahan) itu dan bertanggung jawab sebagai ibu dan ayah, sebagai orang-tua. Pelaksanaan
tanggung jawab itu harus dipercakapkan bersama di antara suami istri dan dilandasi dengan doa
kepada Tuhan. Dalam pelaksanaan tanggung jawab ini kada ng-kadang diperlukan bantuan
dokter (yang menyangkut masalah-masalah medis) yang bertanggung jawab atau orang-orang lain
yang memiliki perhatian terhadap kehidupan keluarga yang sejahtera.
Pertimbangan-pertimbangan untuk mewujudkan KB
Untuk mewujudkan KB diperlukan pertimbangan dari segi sosial, psikologis, dan iman.
Ketiga segi tersebut saling berkaitan dan teranyam yang merupakan satu keasatuan. Beberapa hal
yang perlu kita renungkan dalam membentuk keluarga, dalam nenentukan segera tidaknya memiliki
anak adalah :
a. Keputusan untuk menentukan jumlah anak dan mengatur jarak kelahirannya adalah tanggung
jawab penuh suami istri di hadapan Tuhan.
b.Yang penting bukan jumlah anak yang maksimum (sebanyak-banyaknya) atau minimun (sedikit-
dikitnya), melainkan yang optimum (sebaik-baiknya), yang dapat dipertanggungjawabkan demi
kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
c. Di dalam memilih cara-cara dan alat-alat untuk mengatur (membatasi atau menjarangkan)
kelahiran hendaknya dipertimbangkan masak-masak, misalnya:
1) Cara/alat-alat yang digunakan dapat diterima oleh suami maupun istri.
2) Tidak berbahaya bagi kesehatan suami lebih-lebih bagi istri, sebab sampai sekarang pihak istri
yang lebih menjadi obyek penggunaan kontrasepsi daripada suami sehingga risikonya bagi istri
juga lebih tinggi.
3) Cukup berdaya guna dan terjangkau oleh kemampuan keuangan.

Keputusan yang bertanggung jawab untuk mewujudkan KB dilakukan antara lain dengan alasan-
alasan:
a. Berkaitan dengan kehidupan masyarakat: pertambahan penduduk yang amat cepat akan
berakibat pada bidang ekonomi dan sosial (kurangnya kesempatan kerja, pengangguran yang
makin bertam-bah, kepadatan penduduk yang tidak merata, terhambatrnya pembangunan
secara menyeluruh).
b. Berkaitan dengan kehidupan keluarga sendiri: kesehatan ibu dan anak terganggu, beratnya
ekonomi keluarga, pendidikan anak yang tidak memadai, soal perumahan, beban psikis
utamanya ibu/istri.
c. Demi cinta kasih: cinta kasih antara suami istri; cinta kasih kepada anak-anak.
d. Demi kesejahteraan umum: gereja dan masyarakat.

Pengaturan kehamilan dapat dilakukan baik secara alamiah dengan melakukan pantang
berkala maupun secara medis dengan menggunakan kontrasepsi. Pantang berkala dapat dilakukan
apabila istri mengalami menstrusi secara teratur. Sedangkan kontrasepsi yang dapat digunakan ada
bermacam-macam, antara lain kondom (karet KB), tablet, suntikan, jelly, krim, pasta, spiral (IUD =
Intra Uterine Divice = alat yang dimasukkan ke dalam rahim), tissu KB. Secara umum cara kerja
kontrasepsi itu adalah mencegah terjadinya pertemuan antara sperma dan sel telur sehingga tidak
terjadi pembuahan. Karena tidak terjadi pembuahan, maka tidak terjadi kehamilan. Ada pula yang
mencegah masaknya sel telur seperti pil anti hamil. Ibu-ibu yang menderita penyakit tertentu seperti :
ginjal, jantung, tekanan darah tinggi, dan beberapa penyakit lainnya tidak diperbolehkan
menggunakan pil ini. Oleh karena itu, perlu pemeriksaan oleh dokter sebelum menggunakan
kontrasepsi agar dapat menggunakan kontrasepsi yang cocok dengan kondisi kesehatan masing-
masing. Apabila suami istri memutuskan untuk memiliki anak lagi, penggunaan kontrasepsi
dihentikan.
Apabila suami istri telah memutuskan untuk KB, harus melakukannya dengan disiplin dan
konsekuen. Hal ini perlu diperhatikan, sebab bisa saja dalam pelaksanaannya ternyata tidak
konsekuen. Pada waktunya ternyata masing-masing tidak mau mengurbankan kepuasannya, atau
kurang disiplin menggunakan kontrsepsi yang telah dipilihnya.
Alat-alat tesebut dapat digunakan dengan baik untuk mencapai tujuan KB, namun juga dapat
disalahgunakan baik oleh orang yang sudah menikah maupun oleh orang yang belum menikah.
Penggunaan kontrasepsi yang tidak bertanggung jawab akan merugikan diri sendiri dan orang lain.
Berkaitan dengan pencegahan kehamilan kita juga mengenal sterilisasi, baik vasektomi (untuk
suami) maupun tubektomi (untuk istri). Kiranya perlu dipertimbangkan dengan sunggguh-sungguh
sebelum melakukannya. Sebaiknya dijadikan pilihan terakir setelah semua cara tidak dapat digunakan
atau tidak cocok untuk keduanya, sebab sterilisasi merupakan pencegahan yang permanen. Memang
ada kemungkinan saluran yang sudah ditutup itu dapat dibuka lagi, tetapi keberhasilannya kecil,
utamanya tubektomi.

Usaha-usaha untuk memiliki (melahirkan) anak


Bagi pasangan yang kurang subur atau tidak subur dapat dilakukan usaha-usaha tertentu
untuk memiliki anak, namun usaha-usaha ini disamping bermanfaat juga ada bahayanya.
Dalam kehidupan suami istri tidak jarang yang mendambakan kehadiran anak, namun yang
ditunggu-tunggu tidak muncul juga. Dari hasil pemeriksaan medis ternyata salah satu atau keduanya
tidak ada kemungkinan untuk memperoleh anak karena mandul. Kemandulan dapat berarti “tidak
subur” (= infertilitas) atau “ketidakmampuan total untuk menurunkan anak” (= sterilitas). Wanita
disebut infertil apabila setelah satu tahun melakukan hubungan seksual secara tertatur dengan
suaminya yang sehat sepenuhnya tetapi tidak hamil. Demikian pula, pria disebut infertil apabila
setelah satu tahun melakukan hubungan seksual secara teratur dengan istrinya yang sehat sepenuhnya,
tetapi tidak berhasil membantu istrinya hamil. Sterilitas merupakan kemandulan yang lebih berat
daripada infertilitas, sebab pria atau wanita yang steril tidak mempunyai kemampuan sama sekali
untuk menurunkan anak. Hal ini dapat disebabkan karena halangan fisik maupun halangan psikis.
Oleh karena itu, sterilitas hampir tidak dapat disembuhkan, sedangkan infertilitas lebih mudah
disembuhkan. Tentu perlu waktu untuk menerima kenyataan ini.
Suami istri yang mengalami hal ini perlu segera berkonsultasi dengan dokter. Dalam dunia
modern ini, ada jalan keluar untuk memperoleh anak di luar cara yang alamiah. Ada banyak usaha
dilakukan oleh para ahli kedokteran untuk merekayasa kehamilan. Namun demikian, tidak semua cara
dapat ditempuh, sebab masih menjadi pergumulan iman. Kita harus melihat dengan mata iman kita
untuk memilih cara-cara tersbut. Beberapa rekayasa kehamilan yang masih terus dipergumulkan
antara lain :

1. Pembuahan buatan (inseminasi artifisial)


Kehamilan terjadi tanpa melakukan hubungan seksual. Sperma dimasukkan ke dalam rahim,
agar bertemu dengan sel telur pada saluran telur (tuba), dan menghasilkan pembuahan.
Sperma dapat diambil dari suami sendiri maupun dari pria lain. Dari segi teknik kedua hal itu
dapat dilaksanakan dengan kemudahan yang sama, namun dari segi etis-moral, makna
tindakan dalam kedua hal itu amat berbeda.
Pembuahan buatan yang menggunakan sperma dari pria yang bukan suaminya sukar
dibenarkan secara etis-moral. Tindakan itu jelas melepaskan prokreasi (menghasilkan
keturunan) dari perkawinan, yang diakui oleh kebanyakan agama dan asyarakat sebagai
lembaga prokreatif satu-satunya. Anak yang akan lahir bukan anak dari suami istri yang sah,
melainkan anak yang lahir dari seorang istri dan dari pria lain yang bukansuaminya. Dari
segi kejiwaan anak, tindakan itu menimbulkan keberatan, karena anak tersebut tidak
mengetahui ayahnya yang sebenarnya, sebab biasanya pria itu dirahasiakan oleh semua
pihak. Cinta kasih suami terhadap “anak istrinya”, yang “bukan anaknya” itu tidak dapat
dijamin sebab ia tahu betul bahwa anak itu bukan anaknya sendiri. Dari segi hukum timbul
kesulitan untuk menentukan siapakah “ayah” anak itu. Pria pemberi sperma pun tidak
mempunyai hak atas anak itu, karena menurut hukum ia bukan suami yang sah dari ibu anak
tersebut. Perlu dicatat pula, bahwa sperma dari pria seringkali diambil dari “bank sperma”,
yang pada umumnya menggunakan pedoman-pedoman yang komersial dan materialistis!
2. Persewaan kandungan
Pertemuan antara sperma dan sel telur dilakukan di luar kandungan. Setelah terjadi
pembuahan kemudian dimasukkan ke dalam rahim perempuan lain. Cara ini harus ditolak.
Kecuali kematian embrio yang belum teratasi, juga timbul persoalan tentang kepribadian
anak yang akan lahir. Tidak adanya hubungan antara anak dengan ibunya yang sah akan
menimbulkan akibat yang merugikan kepribadian nak tersebut. Hubungan dengan
perempuan yang meminjamkan/ menyewakan rahimnya pun dapat menimbulkan kesulitan.
Ia melahirkan anak yang bukan anaknya sendiri (Pernah terjadi seorang nenek mengandung
dan melahirkan cucunya. Bagaimana status anak itu: anak atau cucu? Pernah juga terjadi
seorang perempuan mengandung dan melahirkan anak pasangan suami istri. Setelah
melahirkan, anak tersebut tidak boleh diminta oleh pasangan suami istri itu sesuai dengan
perjanjian. Perempuan itu merasa, bahwa anak itu adalah anaknya karena ialah yang
mengandung dan melahirkan).
3. Bank sperma
Bank sprema adalah bank yang menyimpan sperma. Sperma itu dapat diambil dan
ditanamkan pada rahim seseorang tanpa boleh tahu siapa yang memiliki sprema tersebut
Sperma ini disediakan bagi pasangan suami istri yang suaminya tidak memproduksi sperma
yang prima, namun sperma ini juga dapat disalahgunakan [lihat 4.1) a.].
4. Produksi manusia super
Suatu usha untuk menghasilkan manusia yang hebat dalam segala hal. Caranya ialah dengan
mempertemuan sel telur dan sperma yang unggul, yang terbaik dari segala segi tanpa
memandang ras, suku bangsa, warna kulit, dsb. Yang penting ialah hasilnya memuaskan dan
merupakan perpaduan dari berbagai macam keunggulan.
Secara etis tentu usaha ini harus ditolak, sebab tidak memanusiakan manusia dan tidak
menghargai Allah Sang Pencipta. Andaikata berhasil, siapakah yang menjadi ibu dan ayah
anak itu? Bagaimana status hukum anak itu, dsb.

Adopsi
Cara lain untuk memiliki anak ialah dengan jalan adopsi. Adopsi ada mengangkat anak orang
lain dijadikan anaknya.
Tidak sedikit suami istri yang tanpa anak melakukan adpsi. Anak angkat ini
diterima/diperlakukan sebagai anak sendiri dan dalam pekerjaan juga mendapat hak/tunjangan
sebagai anak sendiri jika disertai surat adopsi yang sah (dari pengadilan).
Sebelum mengadopsi, perlu dipikirkan dengan sungguh-sungguh konsekuensinya dan masa
depan anak tersebut dalam kaitannya dengan masalah sosial dan psikologis, misalnya dalam
pergaulan dan perkembangan pribadinya.
Secara teologis tentu adopsi yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab
merupakan perwujudan dari kasih. Di samping untuk kelangsungan hidup bersama suami istri
dan memelihara kasih di antara keduanya, juga menolong anak yang kurang beruntung
misalnya jika anak yang diadopsi itu berasal dari keluarga kurang mampu. Dengan demikian,
juga menolong anak tersebut menapaki masa depannya dengan penuh harapan.
Namun demikian, perlu dipikirkan juga bagaimana kelak memberi tahu anak tersebut, bahwa ia
adalah anak angkat; jangan sampai ia justru tahu dari orang lain.

5. Pencegahan kelahiran
Pencegahan kelahiran adalah suatu tindakan untuk mencegah agar bayi tidak lahir. Tindakan ini
dilakukan karena berbagai hal, di antaranya:
a. Bayi itu tidak diinginkan karena alasan sosial-ekonomis, misalnya karena “kecelakaan” atau
perkosaan atau belum ingin memiliki anak karena belum dapat mencukupi kebutuhan atau masih
mengejar karier, dsb. Biasanya, cara yang digunakan ialah dengan menggugurkannya secara
langsung (abortus provocatus). Tindakan ini tentu tidak dapat dibenarkan secara etis, sebab
berarti melakukan pembunuhan. Kalau alasannya sosial-ekonomis ya harus diselesaikan secara
sosial-ekonomis.
b. Karena alasan medis: membahayakan keselamatan ibu. Dalam situasi seperti ini harus segera
diambil tindakan medis. Pengguguran seperti ini dilakukan demi keselamatan ibu dan dapat
dipertanggung-jawabkan secara etis-moral. Daripada keduanya meninggal, lebih baik diusahakan
salah satu selamat. Dalam kenyataan, biasanya jiwa ibu yang diselamatkan. Misalnya dalam
kasus: janin muda yang menderita kanker ganas, kehamilan di luar kandungan. Walaupun
demikian, tindakan medis ini harus dipertimbangakn dengan sungguh-sungguh, misalnya
sesudah mendapat kepastian bahwa bagaimana pun janin itu tidak mungkin dipertahankan
bahkan akan menyebabkan juga kematian ibu.
*****
BAB VIII
HIDUP MEMBUJANG

1. PENGANTAR
Baik di lingkungan Kristen maupun dalam masyarakat luas, hidup membujang sering
dianggap sebagai jalan hidup yang tidak lumrah. Oleh karenanya, mengejutkan dan menimbulkan
tanda tanya. Pertanyaan itu bisa biasa-biasa saja : mengapa ?, bisa juga bernada ingin tahu lebih
mendalam : ada apa ?, bahkan bisa juga pertanyaan yang mengandung kecurigaan : jangan-jangan
ada udang di balik batu ?
Istilah “membujang” berasal dari kata “bujang”. Kata ini memiliki banyak arti : (a) laki-laki
atau perempuan yang tidak kawin atau belum kawin, (b) anak laki-laki (bhs. Sunda), (c) pembantu
rumah tangga atau jongos. Kata “bujang” dalam tulisan ini dipakai untuk menyebut laki-laki atau
perempuan yang tidak kawin. Dengan demikian “membujang” artinya menjalani kehidupan sindiri,
dalam arti tidak kawin.
Istilah lain yang cukup lazim digunakan ialah “lajang”, “wadat”, “selibat”. Kata
“lajang” menunjuk kepada situasi hidup seorang laki-laki atau perempuan yang belum
kawin, dan masih banyak kemungkinan untuk kawin. Sedangkan kata “wadat”,
terutama menunjuk kepada kemandirian atau kesendirian tanpa hubungan dengan
orang lain, dan ada unsur terpencil. Kemudian kata “selibat”, lebih menunjuk kepada
pranata yang mengharuskan orang tidak menikah seumur hidup. Pemilihan istilah
“membujang” dalam tulisan ini, hendak menekankan adanya pilihan yang didasari
sepenuhnya oleh orang yang menjalani hidup sendiri dalam arti tidak kawin.

2. HIDUP TAK MENIKAH : MENJADI CEMOOHAN ?

2.1. Hidup Membujang sebagai Suatu Realitas


Pilihan orang untuk menjalani kehidupan membujang, tidak saja kita jumpai
dalam ceritera pewayangan, seperti terjadi dalam diri Resi Bisma atau Raden Lesmana.
Namun juga dapat kita temui dalam kehidupan konkrit, baik dulu maupun kini, baik di
lingkungan masyarakat pada umumnya, maupun kalangan Kristen.
Di dalam ceritera pewayangan didapati kisah Resi Bisma dan Raden Lesmana
yang mengambil sumpah prasetia untuk tidak menikah. Dari kisah pewayangan yang
berasal dari beberapa puluh abad yang lalu semacam itu menandakan bahwa hidup
membujang bukanlah suatu model kehidupan yang baru ada sekarang ini.
Ada berbagai alasan yang menyebabkan orang memilih cara hidup membujang,
mulai dari alasan yang kurang bertanggungjawab, misalnya tidak ingin mengurusi
rumah tangga. Ada juga alasan yang memang tidak bisa disangkal kebenarannya,
misalnya karena alasan bahwa dirinya mandul dan merasa tidak akan ada gunanya
untuk hidup berumahtangga apabila tidak mempunyai keturunan. Terdapat juga orang
membujang karena benar-benar memiliki motivasi sungguh-sungguh dari dalam dirinya
untuk melayani Tuhan dan sesama secara penuh. Tetapi ada juga yang karena
“terpaksa”, misalnya karena pernah gagal dan merasa dikhianati cintanya dalam
berpacaran lalu menutup diri tidak mau berkawan lagi.
Berhadapan dengan realitas tersebut, muncul penilaian dan sikap yang berbeda-
beda dalam masyakarat. Ada yang menghormatinya, namun ada juga yang
melecehkannya.

2.2. Perkembangan Penilaian Masyarakat terhadap Hidup Membujang


Dalam masyarakat primitif, ada kecenderungan penilaian yang ambivalen (serba
mendua) terhadap cara hidup membujang. Pada satu pihak membujang dinilai sebagai
“tabu” atau terlarang untuk dibicarakan, tetapi pada pihak lain dihargai atau dinilai
mulia untuk orang-orang tertentu. Namun sikap yang terutama kita jumpai pada
masyarakat primitif adalah sikap yang pertama : “tabu”.
Dalam masyarakat primitif, kehidupan bersama manusia ditandai dengan adanya
ikatan-ikatan yang sangat kuat, baik ikatan darah, maupun ikatan terhadap alam. Di
dalam kehidupan yang seperti itu dikenal berbagai macam hukum yang dikenakan
kepada manusia. Hukum-hukum tersebut harus ditaati, bahkan dianggap kodrat
manusia. Salah satu diantaranya adalah “tugas” untuk melanjutkan keturunan.
Di dalam masyarakat primitif, garis keturunan menjadi penting. Seseorang
dikenal berdasarkan silsilah keluarganya. Orang yang tidak memiliki keturunan
dipandang rendah dan tidak sempurna.
Namun ada juga orang yang memang memilih untuk hidup menyendiri, misalnya
dengan bertapa di gunung atau di goa-goa. Di antara mereka ada yang sudah pernah
menikah dan ada pula yang tidak menikah. Biasanya masyarakat tidak terlalu
bermasalah dengan kelompok ini, karena mereka tidak berada di tengah-tengah
masyarakat. Atau bahkan masyarakat memandang hormat pada orang-orang seperti ini,
jika mereka menolong kesulitan masyarakat. (Hal semacam ini seringkali muncul di
dalam berbagai mitos dan ceritera rakyat).
Dalam masyarakat yang lebih maju, cara hidup membujang dinilai sebagai
sesuatu yang “tidak lumrah tetapi dimaklumi”. Di sini ikatan-ikatan tradisional sudah
mulai bergeser dari “darah dan alam” kepada “sosial”. Manusia mulai dilihat
berdasarkan status sosialnya. Maka masalah pernikahan sering juga hanya menjadi
masalah status sosial. Di dalam masyarakat yang demikian terdapat pembedaan
“bapak”, “ibu”, dan “anak”. Jadi tidak ada tempat bagi orang yang hidup membujang.
Biasanya mereka dimasukkan begitu saja ke salah satu kelompok. Kalau mereka laki-
laki berusia di atas 30 tahun, disebut “bapak”. Kalau wanita berusia di atas 30 tahun,
disebut “ibu”. Tetapi situasi menjadi agak susah dalam beberapa kasus. Di dalam arisan
ibu-ibu, misalnya, pembicaraan menjadi “tidak nyambung” ketika pokok pembicaraan
di seputar suami dan anak-anak.
Pada kesempatan lain terdapat juga kecurigaan tertentu terhadap orang hidup
membujang. Kecurigaan ini terutama berasal dari pasangan yang telah menikah.
Mereka ini cepat berprasangka bahwa “jangan-jangan ada udang di balik batu” ketika
seorang wanita yang hidup membujang (misalnya) terlihat berdekatan dengan suami
mereka.
Dalam masyarakat modern, hidup membujang dinilai sebagai sesuatu yang
“wajar dan dapat dimengerti”. Di sini ikatan-ikatan yang ada sebelumnya semakin
hilang. Orang tidak lagi dilihat berdasarkan “darah dan alam” atau berdasarkan “status
sosial”nya, tetapi berdasarkan kemampuannya. Hal berkeluarga atau hidup membujang
dianggap sebagai urusan pribadi seseorang. Norma yang berlaku hanya “apakah ia
mengganggu orang lain atau tidak”.

2.3. Hidup Membujang sebagai Suatu Alternatif


Pada masa yang lebih awal orang tidak memiliki pilihan lain selain berkeluarga,
karena hal itu dianggap sebagai kodrat manusia yang harus dijalankan. Hanya beberapa
orang yang memiliki cukup keberanian untuk memilih hidup membujang. Tetapi ini
belum menjadi suatu alternatif pilihan. Pilihan yang ada masih satu : Berkeluarga. Dan
orang yang memilih hidup membujang harus siap menerima cemoohan karena
melanggar kodratnya sebagai manusia.
Pada zaman modern seperti sekarang ini, cara berpikir manusia dalam
memandang segala sesuatu bersifat fungsional. Artinya segala sesuatu dipandang dalam
kaitannya dengan peran manusia. Sesuatu baru diterima kalau memang dialami secara
konkrit oleh manusia dan bermakna bagi kehidupan manusia. Cara berpikir demikian,
mempengaruhi penilaian seseorang mengenai kehidupan ini, termasuk di dalamnya
mengenai kehidupan berkeluarga. Hal berkeluarga tidak lagi dipandang sebagai kodrat
manusia yang “dari sananya sudah demikian”. Tetapi kini dicari maknanya dalam
kaitannya dengan kehidupan manusia itu sendiri. Bagaimanakah pengalaman orang-
orang yang berkeluarga? ; Bermaknakah hidup berkeluarga bagi pengembangan diri
manusia?. Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang menjadi pergumulan kehidupan
manusia saat ini.
Perubahan penilaian itu, turut mendorong semakin terbukanya kemungkinan
hidup membujang sebagai suatu alternatif yang dapat dipilih oleh seseorang. Jadi kini
sudah tersedia pilihan : Berkeluarga atau hidup membujang. Orang dapat memilih satu
diantaranya dengan alasan-alasannya sendiri, asalkan ia bertanggungjawab atas
pilihannya tersebut.

3. HIDUP TAK MENIKAH : POLA PEMIKIRAN KRISTEN

3.1. Kesaksian Alkitab mengenai Hidup Membujang


Alkitab PL memberikan penilaian yang lebih negatip terhadap hidup membujang
bila dibandingkan dengan penilaian PB, yang sebagai orang yang dicemooh, tersingkir,
terbuang, tersisih dari lingkungan.
Sejak penciptaan manusia, dinyatakan bahwa “tidak baik, kalau manusia itu
seorang diri saja…” (Kej. 2:18). Maka sudah sejak semula pula seorang laki-laki dan
seorang perempuan bertemu untuk saling menjadi penolong yang sepadan. Sehingga
kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya. (Bdk. Pkh. 4:8-11). Begitulah
nada yang terdengar dari kitab PL, yang seakan-akan menyarankan seseorang untuk
tidak hidup membujang.
Nampaknya kebudayaan masyarakat Yahudi (PL) masih ditandai pola pemikiran
bahwa tidak memiliki anak (keturunan) dipandang sebagai “aib” (Bdk. Kej. 30:1, 23).
Hal ini pula yang menyebabkan orang yang “kebiri” dianggap najis (Bdk. Im. 21:17-
20; Ul. 23:1), yaitu karena ia tidak bisa lagi memperoleh keturunan.
Namun situasi ini mulai berubah sejak masa Trito Yesaya. Di sana ditegaskan
bahwa melakukan kehendak Tuhan adalah lebih baik daripada mempunyai
anak/keturunan (Bdk. Yes. 56:3b-5)
Dalam kitab PB, kesaksian mengenai “hidup membujang” lebih positip, bahkan
dihargai sebagai suatu yang terhormat, apabila dilandasi oleh motivasi yang benar dan
bertanggungjawab yaitu motivasi demi Kerajaan Allah. Yesus menyebutkan hal itu
sebagai salah satu alasan yang menjadikan orang tidak menikah (Mat. 19:12). Dan
Yesus sendiri pun telah memilih untuk tidak menikah demi pelayananNya di dunia.

3.2. Hidup Membujang sebagai Karunia Allah


Dalam tradisi pasca Yesus Kristus, “hidup membujang” dinilai sebagai suatu
“karunia khusus dari Allah bagi seseorang” (I Kor. 7:7). Hal itu dilontarkan oleh Paulus
karena dua alasan. Pertama, Paulus melihat bahwa “... waktunya singkat...dunia seperti
yang kita kenal sekarang akan berlalu ...” (I Kor. 7:29, 31). Kedua, Paulus
mengkaitkannya dengan hal pelayanan terhadap sesama dan hubungannya dengan
kasih akan Allah. Hidup dengan cara itu lalu bisa memusatkan perhatian pada perkara
Tuhan, yaitu dengan “... melayani Tuhan tanpa gangguan ...” (I Kor. 7:32-36).
Memang disadari bahwa mesyarakat masih susah untuk mengerti hal tersebut.
Ada orang yang memilih untuk hidup membujang karena ia “takut” menghadapi
tanggungjawab di dalam hidup berkeluarga. Kiranya hal ini patut dihindari, karena
setiap pilihan memiliki tanggungjawabnya masing-masing. Dan mereka yang memilih
untuk tidak berkeluarga oleh karena Kerajaan Sorga perlu dihormati (Bdk. Mat. 19:10-
12). Seseorang membutuhkan karunia khusus untuk mengerti dan memahami hal itu,
kemudian memperjuangkannya di dalam kehidupannya.

3.3. Demi Allah dan demi Sesama


Hidup membujang sebagai wujud keterlibatan terhadap pekerjaan Allah dalam
menghadirkan Kerajaan-Nya, tidak bertentangan dengan hidup membujang sebagai
wujud keterlibatan seseorang dalam pekerjaan Allah mendatangkan kesejahteraan
hidup seluruh ciptaan.
Hidup membujang sebagai wujud keterlibatan dalam pelayanan kepada Allah
dan kepada sesama, tidak lebih utama dari keterlibatan seseorang dalam pelayanan
kepada Allah dan sesama yang dilakukan dengan hidup berumah tangga. Begitu pula
sebaliknya. Keduanya merupakan cara hidup/pilihan hidup yang sama-sama diberkati
oleh-Nya.
Melalui hidup berumahtangga, sebagaimana lazimnya dilakukan manusia,
suami-isteri dan anak memiliki tanggung jawabnya masing-masing. Di dalam rumah
tangga, masing-masing harus menjaga kekudusannya di hadapn Tuhan. Di tengah-
tengah masyarakat masing-masing menunjukkan kasihnya kepada sesama.
Namun hidup membujang juga dapat merupakan pilihan yang baik. Selama
disadari bahwa melalui pilihan tersebut seseorang dapat melayani Allah dengan
sepenuh waktu, maka ia pun terkena tanggungjawab untuk mewujudkan pelayanan itu
di sepanjang kehidupannya. Tetapi ia tidak perlu merasa kecil hati karena tidak
memiliki keturunan, karena Allah memberikan kepadanya suatu nama abadi yang tidak
akan lenyap (Yes. 56:5). Ia pun tidak perlu menjauh dari masyarakat. Bahkan melalui
pelayanannya ia memperoleh tempatnya di tengah-tengah masyarakat. Sama seperti
Yesus yang berkata “... sebab siapapun yang melakukan kehendak BapaKu di sorga,
dialah saudaraKu laki-laki, dialah saudaraKu perempuan, dialah ibuKu.” (Mat. 12:49-
50).

4. HIDUP TAK MENIKAH : RELEVANSI PADA MASA KINI


Dalam suatu masyarakat yang sedang berkembang seperti di negeri kita, belum
seluruh masyarakat berpikir modern. Oleh karena itu, penilaian terhadap “hidup
membujang” pun juga masih beragam. Meskipun demikian, pembicaraan mengenai cara
hidup membujang pada masa kini bisa dilakukan dengan lebih terbuka.
Pembicaraan tentang “hidup membujang” sebagai suatu pilihan hidup yang
bertanggungjawab dalam tulisan ini, sekurang-kurangnya dapat menolong kita sekalian
untuk menghindarkan diri dari kecenderungan “menikah demi status sosial”, artinya orang
menikah bukan karena ingin menikah, tetapi karena menjaga nama baik. Sehingga ketika
dijodohkan orang tua iapun akhirnya menikah. Hal inilah yang justru membuka peluang
terjadinya “ketidakjujuran” di dalam kehidupan rumah tangga atau dalam istilah yang
sekarang “selingkuh”, atau dapat juga membuka peluang terjadinya pernikahan yang tidak
kekal atau beberapa hari saja sudah ingin bercerai atau dalam istilah sekarang “sepasar
bubar”,.
Sekarang ini orang dapat lebih bebas untuk memilih menikah atau tidak. Namun
kebebasan yang ada bukan berarti bahwa orang boleh memilih semaunya sendiri. Masing-
masing pilihan memiliki tanggungjawabnya masing-masing. Berarti kita perlu menguji
motivasi sebelum menentukan pilihan. Pilihan apapun yang diambil adalah sama di mata
Allah.
Hidup membujang memang masih asing di mata kita. Beberapa orang bahkan tidak
berminat sama sekali untuk mendengar istilah tersebut. Mungkin masih ada yang
beranggapan bahwa hal itu melawan “kodrat” manusia. Tetapi sebenarnya dari ketulusan
motivasi seseorang yang memilih hidup membujang demi Kerajaan Allah, manusia
mendapat semacam peringatan : apa yang anda maksud dengan “kodrat” manusia?
Dengan ini berarti harus dipertanyakan lagi apa yang selama ini dianggap sebagai “kodrat”
manusia. Apakah memang sesuatu yang pada dasarnya melekat pada diri manusia, yang
tidak boleh ditentangnya? Mudah-mudahan hal tidak ada yang beranggapan bahwa
“kodrat” manusia hanyalah pemuasan nafsu belaka. Maka hidup berkeluarga pun
janganlah dipandang sebagai “ajang” pemuasan nafsu belaka.
Justru adanya pilihan untuk hidup membujang seakan-akan membuka mata kita
bahwa ada tujuan hidup yang lebih utama : melayani Tuhan dan sesama. Sekarang terserah
kepada kita bagaimana menjawab tujuan hidup itu : berkeluarga atau hidup membujang.
BUKU KATEKISASI PRA-NIKAH

BAB I MAKNA CINTA KASIH DAN SEKSUALITAS DALAM KELUARGA

A. Makna Cinta Kasih


1. Penyalahgunaan Makna “Cinta”
2. Makna “Cinta Ksih”

B. Deskripsi tentang Cinta Kasih


1. Agape
2. Philia
3. Eros

C. Seksualitas dalam Kemitraan Wanita - Pria


1. Motivasi Seksual
2. Ketimpangan Pemenuhan Kebutuhan Seksual
3. Upaya Menanggulangi Ketimpangan Pemenuhan Kebutuhan Seksual

BAB II HAKIKAT PERNIKAHAN KRISTEN

A. Azas Pernikahan Kristen


1. Pengertian Pernikahan dan Perkawinan
2. Pernikahan Monogami dan Sendi-sendi Pokok Pernikahan
3. Keluarga sebagai Wujud Pernikahan

B. Makna, Sifat, dan Tujuan Pernikahan Kristen


1. Makna Pernikahan Kristen
2. Sifat-sifat Pernikahan Kristen
3. Tujuan Pernikahan Kristen

C. Tata Cara Pernikahan Kristen


1. Tata Cara Pernikahan Gerejawi dan Pemerintahan
2. Sekelumit tentang Undang-undang Perkawinan

BAB III TATA LAKSANA KELUARGA KRISTEN

A. Tata Laksana dalam Berkeluarga


1. Hubungan Suami-Isteri
2. Hubungan Orang Tua dengan Anak (Keluarga Inti)
3. Hubungan Keluarga dengan Sanak-saudara (Keluarga Luas)

B. Tata Laksana dalam Ber-Gereja, Bermasyarakat, dan Bernegara


1. Hubungan Keluarga Kristen dengan Tetangga (Masyarakat)
2. Hubungan Keluarga Kristen dengan Pemerintah (Penguasa)
3. Hubungan Keluarga Kristen dengan Gereja dan Pelayanan

C. Tata Laksana dalam Memenuhi Kebutuhan Fisiologis


1. Keluarga Kristen dan Ekonomi Keluarga
2. Keluarga Kristen dan Pekerjaan
3. Keluarga Kristen dan Penggunaan Waktu
4. Keluarga Kristen dan Pendidikan

BAB IV KELUARGA KRISTEN DAN ADAT ISTIADAT


A. 1. Adat Istiadat dalam Rentang Kehidupan Manusia
2. Beberapa Sikap Iman Kristen terhadap Adat Istiadat

B. 3. Kesimpulan

BAB V KELUARGA KRISTEN DI TENGAH-TENGAH KEMAJUAN IPTEK

A. Iptek
1. Pengertian Iptek
2. Iptek : Manfaat dan Dampaknya
3. Ajaran Gereja tentang Iptek

B. Dampak Iptek bagi Keluarga Kristen


1.
2.
3. Pemanfaatan Iptek secara Tepat Dana dan Tepat Guna

BAB VI KELUARGA KRISTEN DALAM KRISIS

A. Beberapa Faktor Penyebab Krisis


1. Kesehatan
2. Ketiadaan Keturunan
3. Penyelewengan Seksual

B. Beberapa Solusi Antisipatif terhadap Krisis Keluarga


1. Pemeriksaan Kesehatan sebelum Menikah
2.

C. Konflik dan Perceraian


1. Mengatasi Konflik
2. Perceraian

BAB VII KELUARGA BERTANGGUNGJAWAB

A. KB dan KBj
1. Istilah “Keluarga Berencana/KB” dan “Keluarga Bertanggungjawab/KBj”
2. Pertimbangan-pertimbangan untuk Mewujudkan KBj

B.
3. Kontrasepsi : Manfaat dan Penyalahgunaannya
4. Usaha-usaha untuk Memiliki (Melahirkan) Anak bagi yang Kurang atau Tidak
Subur : Manfaat dan Bahayanya
5. Pencegahan Kelahiran

BAB VIII HIDUP MEMBUJANG

A. Hidup Membujang : Menjadi Cemoohan ?


1. Hidup Membujang sebagai Suatu Realitas
2. Perkembangan Penilaian Masyarakat terhadap Hidup Membujang
3. Hidup Membujang sebagai Alternatif

B. Hidup Membujang : Pola Pemikiran Kristen


1. Kesaksian Alkitab
2 Hidup Membujang sebagai Karunia Allah
3. Demi Allah dan Demi Manusia

C. Hidup Membujang : Relevansinya pada Masa Kini


1. Pilihan Hidup
2. Pilihan Hidup yang Bertanggungjawab

From LPPS < lppsinod@indosat.netb . id>


To : sinodgkj @salatiga .Wasantara net id < sinodgkj @salatiga wasantaranet.id>
Subject bahan rapat pra nikah
Date 21 juli 1999 9:36
Mohon segera di sampaikan ke rapat Tim Pra Nikah Hari ini , ruang deputat terima kasih

Anda mungkin juga menyukai