Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

FILSAFAT DAN AGAMA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Filsafat

Dosen Pengampu: Dr. Tien Rohmatin M.A.

Oleh:

Kelompok 10

Muhamad Faizul Ilmi 11220340000049

Mohammad Farhan 11220340000101

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2023 M/ 1444 H
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah ‘Azza wa Jalla yang senantiasa melimpahkan rahmat,
nikmat dan karunia-Nya, sehingga pemakalah mampu menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Filsafat Pra Socrates (Filsafat Alam)”. Tidak lupa,
shalawat serta salam tercurahkan kepada Baginda Agung Rasulullah SAW yang
telah membimbing kita menuju jalan yang lurus, sampai akhirnya zaman telah
dipenuhi dengan ilmu pengetahuan.

Adapun penyusunan makalah ini, bertujuan untuk memenuhi tugas


kelompok mata kuliah pengantar filsafat dan menambah wawasan tentang Filsafat
Pemikiran Plato, dengan dosen pengampu Dr. Tien Rohmatin, M.A.

Pemakalah berharap agar makalah ini mampu memberikan pengetahuan


bagi pembaca. Dengan kerendahan hati, pemakalah memohon maaf, apabila ada
kesalahan dalam proses pembuatan makalah. Pemakalah membuka kritik dan saran
yang membangun sebagai bagian revisi makalah pengantar filsafat ini.

Ciputat, 1 November 2023

Pemakalah
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Filsafat adalah cabang ilmu pengetahuan yang berfokus pada
pencarian sistem kebenaran sebagai hasil dari berfikir radikal,sistematis
dan universal. Pemikiran filsafat dapat dijadikan wahana untuk
meningkatkan kualitas hidup umat manusia dengan jalan menerapkan
pemikiran kefilsafatan sebagai bagian dari induk ilmu pengetahuan.
Proses penerapan itu, di masa lampau menghasilkan peralatan-peralatan
dan berbagai sarana hidup seperti kapak dan batu di zaman itu hingga
peralatan komputer dizaman sekarang ini, serta alat-alat yang canggih
(mutakhir) lagi untuk masa-masa mendatang.

Dalam upaya memperoleh kebenaran pengetahuan atau pun


pengetahuan yang benar, maka filsafat sesungguhnya bisa menjadi alat yang
baik untuk menjelaskan dan memperkokoh kedudukan agama, sedangkan
agama dapat menjadi sumber inspirasi bagi timbulnya pemikiran filosofis
yang kuat dan benar. Tidak sedikit pemikiran filosofis ternyata bermuara
kepada keimanan akan adanya Tuhan, sebuah ciri dasar agama sebagai
sistem kepercayaan kepada Tuhan, sehingga tidak sedikit pula para filsuf
yang semakin kuat keimanannya justru setelah melakukan pengembaraan
filosofis di dunia yang mereka geluti secara mendalam.

Oleh karena itu, didalam makalah ini kami memaparkan bagaimana


arti dari sebuah agama dan filsafat beserta sejarah, tokoh-tokoh didalam
materi yang ingin kami paparkan pada hari ini.
2. Rumusan Masalah
1). Apa itu Aliran Gnostisisme?
2). Bagaimana agama dan Filsafat Yahudi?
3). Apa itu ayat ayat Falsafi?
4). Bagaimana kehidupan Spiritual itu?
5). Apa itu teori Emanasi tentang penciptaan dan teori tentang Remanasi?
3. Tujuan
1). Mengetahui aliran Gnostisisme
2). Mengetahui agama dan Filsafat Yahudi
3). Mengetahui ayat ayat Falsafi
4). Mengetahui arti dari kehidupan Spiritual
5). Mengetahui Arti teori Emanasi dan teori Remanasi
PEMBAHASAN

A. Gnostitisme
1. Latar Belakang Gnostisisme
Asal-usul Gnostisisme tetap tinggal tidak jelas tetapi dapat
dipastikan bahwa Gnotisisme sudah ada sejak awal kekristenan. Ada yang
menduga aliran ini berasal dari Mesopatamia lalu menyusupi Yudaisme
sebelum berkontak dengan kekristenan awal. Gnostik baru berkembang
pesat antara tahun 130 dan 180 Masehi. Pusat-pusat gnostis terdapat di
Alexandria, Anthiokhia dan (untuk periode tertentu) Roma.1
Perkembangan Gereja saat itu beriringan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dalam literer terutama bagi kaum Helenistik, yakni orang-
orang Yunani yang sangat mengagungkan ratio. Dalam kekristenan,
Gnostik muncul pertama kali sebagai sekolah pemikiran dan kemudian
melepaskan diri dari Gereja Universal pada akhir abad kedua. Pada zaman
itu, banyak orang terpelajar mengejar hikmat tertinggi itu dengan dengan
giat, sebab akal sanubarinya kurang dipuaskan oleh agama biasa yang
mudah dipahami.2
Ditandai dengan situasi seperti ini Gnostisisme terbentuk begitu saja
melalui setiap orang yang sungguh-sungguh mengagungkan pengetahuan.
Kekuatannya terletak pada kemampuannya memberikan interpretasi atau
penjelasan yang sah kepada pribadi-pribadi beragama mengenai diri mereka
sendiri. Tindakan-tindakan seperti itu memiliki kesamaan seperti yang
dilakukan oleh Gereja melalui ajaran-ajaran yang disampaikan Gereja.
Akhirnya, Gnostisisme memandang Gereja sebagai saingan dan berusaha
mengalahkannya dari dalam. Mereka menyusup ke tengah jemaat dan
memecah belah dengan membentuk sel-sel Gnostik di dalam tubuh Gereja.

1
Eddy Kristianto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 28.
2
Dr. H. Berkhof, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 19.
Tetapi baru pada abad kedua, Gnostik Kristen mulai terasa kuat
pengaruhnya di dalam Gereja. Di mana-mana terbentuklah kelompok-
kelompok orang-orang Kristen yang merasa dirinya lebih berhikmat dan
rohani daripada jemaat biasa.3 Itu semua berasal dari sel-sel Gnostik yang
dibentuk oleh gnostisisme. Mereka memahami iman kristiani dengan
menggabungkan ajaran Kristen dengan berbagai ajaran ke dalamnya.
Penganut Gnostik itu berbeda-beda dalam Gereja. Ada yang masih bergaul
dengan jemaat lain, ada yang mengadakan perkumpulannya sendiri, dan ada
pula yang dikucilkan oleh pemimpin Gereja.

Situasi Gereja pada saat itu membuat aliran Gnostik berkembang


cepat sehingga menjadi tantangan yang amat berat bagi Gereja. Pada saat
itu setiap jemaat masih berdiri sendiri. Para rasul dan pengganti mereka
sudah meninggal sehingga tidak ada tokoh-tokoh yang berwibawa seperti
mereka. Selain itu, Gereja belum memiliki lembaga pusat yang memberi
bimbingan dan penerangan kepada jemaat-jemaat dan belum ada sinode-
sinode.4 Hubungan antar jemaat yang ada bersifat kebetulan dan sukarela,
seperti Ignatius, mengirim surat-surat kepada jemaat-jemaat di Asia Kecil
dan uskup Clemens dari Roma menegur jemaat Korintus lewat surat. Maka,
kalau ada jemaat yang dipengaruhi Gnostik, jemaat yang jauh tidak
mengetahuinya sehingga tidak ada pendapat umum tercipta untuk menolak
aliran sesat ini.

2. Tokoh-Tokoh Gnostisisme

Ada banyak tokoh-tokoh yang lahir dalam Gnostisisme dan sangat


fundamental dengan alirannya. Tokoh-tokoh tersebut seperti Theodotus,
Valentinus, Ptolemaeos, murid Valentinus, Basiledes, dan Marcion.
Marcion kemudian membuat alirannya sendiri dengan memasukkan banyak

3
Dr. H. Berkhof, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 20.
4
Dr. Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta, PT. BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 44.
pikiran Gnostik ke dalam ajarannya. Alirannya kemudian disebut dengan
Marcionisme. Mereka semua menyampaikan pemikirannya dan menyerang
Gereja dengan pemikirannya itu.

A. Theodotus

Theodotus memberikan rumusan umum tentang Gnosis. Rumusan


umum itu adalah pengetahuan akan memberi jawaban-jawaban yang
memberikan kebebasan terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar:
siapakah kita sebelumnya? Dari apakah kita dibebaskan? Apa itu kelahiran?
Apa itu kelahiran kembali? Ide mendasar untuk menjawab pertanyaan itu
adalah batung manusia yang terdalam rindu akan kesatuan dengan Allah
sejati, sempurna tapi tidak dikenal. Akan tetapi karena takdirnya yang aneh
yakni dibuang ke dunia yang tak sempurna yang bukan ciptaan dari Allah
maha tinggi, tetapi ciptaan satu adaan yang lebih rendah dan tak sempurna
dan memimpin dengan kuasa jahat. Manusia dibebaskan dari kungkunga si
jahat ini hanya bila dia dengan benar mengenal dirinya dan sadar bahwa dia
terpisah dari Allah sempurna. Ia mengatakan bahwa hanya pengetahuan ini
yang memungkinkannya kembali ke dunia cahaya tempat kediaman Allah.

B. Valentinus

Menurut Valentinus, Dunia yang penuh penderitaan yang kita


pandang ini, tidak mungkin merupakan ciptaan suatu Allah uang baik. 5
Allah dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang jahat. Allah yang maha
baik itu diperkenalkan oleh Kristus. Kristus adalah salah seorang dari roh-
roh yang hidup dalam dunia terang, tetapi Ia turun dari dunia atas untuk
menembus percikan-percikan terang yang telah menjadi roh orang-orang
tertentu yang terkurung dalam tubuh. Kristus mengajar kepada roh-roh itu
tentang asal-usul mereka dan tentang jalan untuk kembali ke dunia terang.
Kristus sendiri tidak mempunyai tubuh manusia. Tubuhnya yang
dipercakapkan dalam Injil hanyalah semu, sehingga pura-pura saja Ia mati

5
Dr. Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, (Jakarta, PT. BPK Gunung Mulia, 1988), hlm. 43.
diatas kayu salib. Kristus menebus kita bukan dengan jalan kematian dan
kebangkitan, keselamatan itu diperoleh dengan jalan mengingkari tubuh
kita (askese) dan memiliki pengetahuan rahasia tentang jalan ke dunia
terang. Ptolemaeos, murid Valentinus menjadikan tradisi apostolik atau
kata-kata Yesus sendiri sebagai pendukung ajarannya. Hal ini tampak dari
tulisannya yakni Surat kepada Flora.

C. Basiledes

Basiledes menyampaikan ajarannya tentang Yesus Kristus yang


dianggap sesat oleh Gereja. Ia berpendapat bahwa bukan Yesus yang
menderita sengsara, melainkan Simon dari Cyrene, yang terpaksa
menanggung salibnya sebagai ganti-Nya. Simon disalibkan, akibat
kesilapan dan kekeliruan, sebab rupa Simon telah diubah olehNya, agar
orang mengira bahwa dialah Yesus. Padahal Yesus sedang berdiri di dekat
dengan rupa Simon sambil menertawakan mereka. Patutlah orang-orang
percaya tidak percaya kepada dia yang disalibkan, melainkan kepada Dia
yang datang dalam rupa seorang manusia, dan yang hanya dianggap
disalibkan dan yang disebut Yesus. Kalau seseorang percaya kepada dia
yang disalibkan itu, maka ia masih seorang budak.

D. Marcion

Marcion adalah salah satu tokoh yang mempengaruhi ajaran


gnostisisme. Dia merupakan seorang yang berkehendak kuat dalam
berorganisasi. Dia seorang kaya kelahiran Asia Minor di bandar Sinope di
pesisir laut hitam. Pada usia muda dia berkonflik dengan pemimpin Kristen
lokal, kemungkinan karena perbedaan pendapat mengenai tafsiran atas
ajaran Paulus. Dia dikeluarkan dari jemaat di kotanya dan juga ditolak oleh
pihak pemimpin Kristen Asia. Sekitar tahun 140 Marcion datang ke Roma
dan bergabung dengan komunitas Kristen yang diberinya banyak
sumbangan finansial.
Bagi Marcion, Allah Perjanjian Lama bukanlah Allah yang benar,
Bapa Yesus Kristus, tetapi hanya Allah yang keras dan adil yang melalui
Hukum Musa meletakkan beban berat yang tak tertanggung kepada orang
Yahudi. karena pemikiran Marcion yang aneh membuat orang menolak dia
dalam jemaat kristen. Akhirnya pada musim gugur tahun 144 Masehi dia
terpaksa meninggalkan Gereja Kristen.6

B. . Neo Platonisme (Plotinus)

1. Pengertian Neo Platonisme

Kata Neo Platonisme terdiri beberapa rangkaian kata yaitu, neo,


Plato dan isme. Kata neo memiliki arti baru, sedangkan Plato merujuk pada
seorang filosof yang mencetuskan konsep realitas idea dalam teori
filsafatnya, isme memiliki arti faham. Jadi apabila dirangkai memiliki
pengertian ide-ide baru yang muncul dari ide-ide filsafat yang telah
dimunculkan oleh Plato. Faham ini bertujuan menghidupkan kembali
filsafat yang dikemukakan oleh Plato. Meskipun begitu tidak berarti bahwa
pengikut-pengikutnya tidak terpengaruh dengan aliran yang dibawa oleh
para filsuf selain Plato. Dapat disimpulkan juga bahwa aliran Neo
Platonisme merupakan sintesa dari semua aliran filsafat sampai saat itu,
dimana Plato diberi tempat istimewa. Faham ini dicetuskan pertama kali
oleh Plotinus dari Mesir. Faham Neo Platonisme memiliki ciri-ciri umum,
diantaranya :

a. Aliran ini menggabungkan filsafat Platonis dengan tren-tren


utama lain dari pemikiran kuno, kecuali epikuarisme. Bahkan sistem ini
mencakup unsur-unsur relegius dan mistik.

6
Hubert Jedin (ed.), History of the Church From the Apostolic Comunity to constantine,Jilid
I,(London: Burns & Oates, 1980), hlm. 190-191
b. Menggunakan filsafat Plato dan menafsirkannya dengan cara
khusus. Cara interpretasi itu cenderung mengaitkan Allah dengan prinsip
kesatuan seperti yang tampak dalam proses emanasi.7

2. Ajaran teori Metafisika Plotinus

Kesamaan antara Plato dan Plotinus terletak pada konsep realitas


idea. Meskipun begitu terdapat pula perbedaan diantara keduanya. Pada
Plato idea bersifat umum, sedangkan pada Plotinus idea bersifat partikular
sama dengan dunia yang partikular. Sistem metafisika Plotinus ditandai oleh
transendens. Menurut pendapatnya didalam fikiran terdapat tiga realitas,
The one, The Mind dan The Soul. The One (Yang Esa) adalah Tuhan dalam
pandangan Philo. Yaitu realitas yang tidak mungkin difahami melalui
metode sains, indera dan logika. Ia berada di luar eksisitensi, di luar segala
nilai. Keberadaannya bersifat transenden dan hanya dapat dihayati. Ia dapat
didekati dengan tanda-tanda dalam alam. Realitas kedua adalah nous (the
mind). Ini adalah gambaran tentang yang Esa dan di dalamnya mengandung
idea-idea Plato. Idea-idea itu merupakan bentuk asli objek-objek.
Kandungan nous adalah benar-benar kesatuan. Untuk menghayatinya mesti
melalui perenungan. Sedangkan the soul yang merupakan bagian ketiga dari
filsafat Plotinus diartikan sebagai arsitek semua fenomena yang ada di alam
ini. Soul mengandung satu jiwa dunia dan banyak dunia kecil. Jiwa dunia
dapat dilihat dalam dua aspek, ia adalah energi yang ada di belakang dunia
dan pada waktu yang sama ia adalah bentuk-bentuk alam semesta.8

Dalam ajaran Plotinus, jiwa tidak bergantung pada materi, atau


dengan kata lain jiwa aktif dan materi bersifat pasif. Oleh karena itu jiwa
merupakan esensi tubuh material. Tubuh dengan segala keterbatasannya ini
berisi prinsip-prinsip ketiadaan dan penuh kejahatan. Ia mempunyai jarak
yang jauh dari yang Maha Esa.Meskipun Plotinus berpendapat demikian
bukan lantas mengabaikan jasad seperti orang-orang gnostik. Tentang

7
Teguh, Pengantar Filsafat Umum(Surabaya: eLKAF, 2005), Hal. 116-118
8
Tafsir Ahmad, Filsafat Umum (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), Hal. 111
penciptaan, Plotinus berpendapat bahwa Yang Paling Awal merupakan
Sebab yang Pertama. Disini mulailah Plotinus memulai teori emanasinya
yang belum pernah diajukan oleh filosof lainnya. Tujuan dari teori ini untuk
meniadakan anggapan keberadaan Tuhan sebanyak makhlukNya.

Alam ini diciptakan melalui proses emanasi yang berlangsung tidak


dalam waktu. Sebab ruang dan waktu terletak pada tingkat terbawah dari
emanasi, ruang dan waktu adalah pengertian dalam dunia yang lahir. Dalam
emanasi The One (Yang Esa) tidak mengalami perubahan. Yang Esa adalah
semuanya, tetapi tidak mengandung di dalamnya satu pun dari barang yang
banyak (makhluk). Dasar makhluk tidak mungkin kalau makhluk itu
sendiri,akan tetapi Yang Esalah yang menjadi dasar semua makhluk. Di
dalam filsafat klasik Yang Esa itu dikatakan sebagai penggerak yang
pertama(al-muharrik al-awwal), yang berakibat Yang Esa dideskripsikan
berada di luar alam nyata. Dalam emanasi Plotinus alam ini terjadi dari
Yang Melimpah, yang mengalir itu tetap menjadi bagian Yang Melimpah.
Sehingga dapat disimpulkan dari teori Plotinus bahwa alam berada dalam
Tuhan. Hubungannya sama dengan hubungan suatu benda dengan
bayangannya. Makin jauh yang mengalir dari Yang Asal, maka makin tidak
sempurna ia. Alam ini merupakan bayangan yang asal akan tetapi tidak
sempurna seperti halnya Yang Asal.9

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa corak


filsafat Plotinus berkisar pada konsep Yang Satu. Artinya, semua yang ada
bersumber dan akan kembali kepada Yang Satu. Oleh karenanya dalam
realitas seluruhnya terdapat dua gerakan, yaitu:

a. Dari atas ke bawah

Teori yang pertama ini dapat digambarkan sebagaimana dalam emanasi.


Pancaran dari Yang Satu memancar menjadi budi(nus). Akal Budi ini sama
dengan ide-ide Plato yang dianggap Plotinus sebagai intelek yang

9
Tafsir Ahmad, Filsafat Umum (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), Hal. 112
memikirkan dirinya. Jadi akal budi sudah tidak satu lagi. Hal ini karena
dalam akal budi terdapat dualisme (pemikiran dan yang difikirkan). Dari
akal budi itu muncullah Jiwa Dunia (psykhe). Akhirnya dari jiwa dunia ini
mengeluarkan materi (hyle) yang bersama dengan jiwa dunia merupakan
jagat raya. Karena materi memiliki tingkatan paling rendah, maka ia berupa
makhluk yang paling kurang sempurna dan sumber-sumber kejahatan.

b. Dari bawah ke atas

Terma kedua ini dapat pula dikatakan dengan kebersatuan dengan


Yang Satu. Inilah yang menjadi tujuan dari filsafat yang dikonsep oleh
Plotinus. Pada bagian kedua ini jiwa manusia harus memusatkan diri kepada
diri sendiri terlebih dahulu, meninggalkan kesenangan obyek-obyek panca
indera serta menaikkan alam pemikirannya kepada alam pemikiran ke-
Tuhan-nan. Dengan demikian jiwa bisa mencapai alam jiwa-akal Mutlak
(spirit-Nous). Fase terakhir dari perjalanan menuju ketuhanan hanya bisa
dicapai dengan mistik atau semedi (estatic-mystical experience) yang oleh
Plotinus disebut dengan istilah terbang dari pribadi ke Pribadi (the flight of
the alone to Alone) artinya menuju kepada Tuhan. Demikian corak mistik
dan agama pemikiran Plotinus. Pemikiran tersebut kemudian oleh St.
Agustinus dan Dyonisius ke dalam ajaran agama Masehi, dan dengan
demikian Plotinus dianggap sebagai bapak mistik barat.10

10
Tafsir Ahmad, Filsafat Umum (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), Hal. 114
PENUTUP

Manusia dewasa ini dihadapkan dengan berbagai tantangan dan isu global
yang menuntut pesan universal agama untuk berperan aktif dalam mewujudkan
tatanan dunia baru yang lebih berpihak pada perdamaian, keadilan dan
kemanusiaan.

Bahwa agama adalah satu-satunya kebenaran mutlak dan universal


merupakan hal sudah menjadi keyakinan pemeluknya, namun masih perlu
dipertanyakan apakah ungkapan pengalaman keagamaan yang selama ini dilakukan
pemeluk agama selama ini telah benar-benar mencerminkan esensinya sebagai
kebenaran universal yang diwahyukan Allah? Kalau sudah, maka apa jaminannya?
Jika belum, maka artinya pemeluk agama, harus terus membuka diri untuk
mempertanyakan secara radikal seperti apa paradigma pengungkapan pengalaman
keagamaannya yang seharusnya agar mengidentikkan diri dengan esensi kebenaran
wahyu itu sendiri. Di sinilah arti pentingnya filsafat yang menawarkan ketajaman
dalam menghasilkan pertanyaan radikal terhadap agama yang memang terbingkai
oleh bingkai keyakinan dan keimanan yang termapankan, sehingga filsafat dalam
konteks ini menjadi sebuah alat yang tepat dan benar untuk menghantarkan manusia
pada tujuan yang dikehendaki agama seperti yang diyakininya.

Tujuan akhir dari agama bagi manusia, adalah mengembalikan manusia


kepada keadaan sebelum ia ada, dan ini melibatkan upaya pencarian identitas dan
nasib terakhirnya, dengan melakukan perbuatan yang benar. Makna “kembali” di
sini sesungguhnya adalah hidup itu sendiri, yang mencakup pencarian ilmu
(pengetahuan) yang benar, pemahaman terhadap tanda dan lambang Tuhan yang
tertulis dalam kitab alam thabi’i (natural world), dengan menggunakan cahaya
petunjuk firman-Nya dan yang ditafsirkan manusia suci utusan-Nya. Tentunya hal
ini melibatkan penggunaan indera yang sehat dalam mencerna realitas dan
penggunaan akal yang sehat dalam memahami kebenaran tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Tafsir, Ahmad, (2005), Filsafat Umum, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.

Teguh, (2005), Pengantar Filsafat Umum Surabaya: El-Kaf.

Jedin, Hubert, (1980), History of the Church From the Apostolic Comunity to
Constantine, London: Burns and Oates.

End, Van den, (1988), , Harta Dalam Bejana, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

Berkhof, (1998), Sejarah Gereja, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.

Kristianto, Eddy, (2002), Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai