Anda di halaman 1dari 15

FILSAFAT DAN AGAMA

Rosita Dewi1 Siti Aminah2 Muhammad Karnadi Alfan3

1
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al-Amin
2
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al-Amin
3
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Al-Amin

Rd071252@gmail.com
Aminahstit21@gmail.com
alpankarnadi@gmail.com

ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang filsafat dan agama yang didalamnya terdapat aliran-aliran atau agama yang
pernah ada pada filsafat dahulu. Yang penjelasannya dimulai mengenai aliran Gnostisisme atau neo
phytagoras, yaitu adalah aliran yang melangjutkan pemahaman dari filosof phytagoras. Aliran ini lebih
mendekat kepada agam kristen. Kemudian ada filsafat yahudi, yaitu filsafat yang dibentuk oleh filsof
bernama philo, untuk menjelaskan dan memperthankan tradisi agama yahudi. Dan yang terakhir terdapat
neo platonisme yaitu pemahaman baru yang muncul dari pemahamn plato sebelumnya, tokoh dari
neoplatonisme ini adalah plotinos yaitu filsuf pertama yang mengemukakan pandangan teori emanasi dan
remanasi.
Kata Kunci: aliran Gnostisisme (neo phytagoras), filsafat yahudi, neo platonisme.

ABSTRAC
This paper discusses philosophy and religion in which there are schools or religions that have
existed in philosophy before. The explanation begins with the flow of Gnosticism or neo
Pythagoras, which is a school that continues the understanding of the Pythagorean philosophers.
This flow is closer to Christianity. Then there is Jewish philosophy, namely the philosophy
formed by a philosopher named Philo, to explain and defend the Jewish religious tradition. And
finally, there is neo-platonism, which is a new understanding that emerges from Plato's previous
understanding. The figure of this neoplatonism is plotinos, the first philosopher to put forward
the view of the theory of emanation and remanation.

Keywords: flow of Gnosticism ( neo Phytagoras), jewish phylosophy, neoplatonism.


PENDAHULUAN

Filsafat Dan Agama

Ketika membincangkan relasi antara filsafat dan agama maka hal yang menarik untuk
kita tilik adalah bagaimana mencari titik temu anatar filsafat dan agaam itu sendiri. Mengapa?
Salah satu sebabnya adalah bahwa kendati agama dan filsafat masing-masing berangkat dari titik
pijakan yang berbeda, agama berangkat dari landasan keyakinan, sementar filsafat ber,mula dari
keraguan dan kebertanyaan. Keraguan kebertanyaan yang menjadi ciri khas berfilsafat ini
merupakan landasan yang bersebrangan dengan keyakinan agama, namun keduanya memiliki
fungsi yang sama sebagai pencari kebenaran. Filsafat berasal dari Yunani dan dikenal dengan
Filsafat Yunani.

Filsafat Yunani muncul terpisah dari agama yunani yang penuh dengan khurafat dan
mitos. Hal ini berbanding terbalik dengan bangsa yahudi yang sangat mengagumi filsafat Yunani
dan menganggap nya sebagai medan berfikir untuk akal, sambil tetap berpegangan pada kitab
suci mereka beserta ajaran-ajaran yang terdapat didalam nya.

Pada abad-abad pertengahan, bangsa Eropa menjadikan filsafat sebagai sarana untuk
mengharmoniskan antara akal dengan apa yang di bawa oleh agama. Bahkan para ahli teologi di
Barat dan ahli kalam di dunia Islam telah menjadikan filsafat sebagai “tameng” pertahanan
akidah dengan segala argumentasi rasional nya. Namun hubungan antara filsafat dengan agama
tidak selalu mulus. Kekuasaan agama selama beberapa lama pernah begitu kejam memusuhi
filsafat, misalnya yang terjadi pada masa kebangkitan Eropa (Renaissance) dan pada masa Islam
pada mereka yang fanatik menentang kebebasan berfikir. Saat itu, mereka ingin membelenggu
pemikiran manusia sambil menjadikan diri mereka sebagai “panglima” bagi akal (pemikiran).
Dengan begitu, sesungguhnya mereka telah mengotori agama dan ajaran-ajaran luhurnya (karena
sesungguhnya agama sangat menghargai akal). Jadi pertentangan yang ada bukanlah antara
filsafat dengan agama, tetapi antara filsafat dengan para pemuka agama yang fanatik.
Walaupun demikian, pandangan picik sebagian pemuka agama tersebut, tidak melemahkan
sebagian besar filsuf untuk terus untuk terus mempertahankan dan membela filsafat.

TINJAUAN PUSTAKA
Didalam sebuah penulisan dibutuhkan dukungan dari hasil-hasil penulisan yang sudah
ada sebelumnya dan berhubungan dengan penulisan yang dilakukan pada saat ini. Saya merujuk
dari jurnal penelitian Syarif Hidayatullah Relasi Filsafat dan Agama (perspektif islam) (2006)
yang berasal dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Kelebihan Jurnal penelitian Syarif
Hidayatullah ini adalah membahas filsafat dan agama secara terperinci dari perspektif islam,
namun jurnal ini memiliki kekurangan karena tidak adanya penjelasan mengenai filsafat dan
agama diluar perspektif islam begitu juga dengan aliran-aliran yang pernah ada pada filsafat
dulu.

METODE PENELITIAN
Penulisan jurnal ini menggunakan metode penelitian Study pustaka ( study research )
yaitu dengan pengumpulan data melalui beberapa buku-buku dan jurnal-jurnal yang pernah
meneliti mengenai kafalah sebelumnya. Penulis akan mengkaji pokok masalah melalui literatur-
literatur atau referensi-referensi yang berkaitan dan relevan dengan judul penulisan ini.

PEMBAHASAN

A. Aliran Gnostisisme (Neo Pythagoras)

Dinamakan Neo Pyithagoras karena ia berpangkal pada ajaran Pyithagoras yang mendidik
kebatinan dengan belajar menyucikan roh. Yang mengajarkannya mula-mula ialah Moderatus
dan Gades. Yang hidup dalam abad pertama tahun masehi. Ajaran itu kemudian diteruskan oleh
Nicomachos dari Gerasa. Neo Phytagoras juga dikenal dengan Aliran Gnostisisme.

Gnostisisme berasal dari kata Latin gnosis yang berarti pengetahuan (ma’rifah). Ia
merupakan paham filsafat klasik yang berdiri di atas perpaduan antara filsafat dan agama, serta
campuran dari berbagai pemikiran dan pengetahuan, yang berdasarkan pada emanasi serta
pandangan-pandangan mistik serta illuminisme. Paham gnostisime berkembang subur dalam
peradaban Helenik klasik (Yunani kuno), khususnya di Persia, yang mana pemikiran pokoknya
berporos pada keyakinan bahwa pengetahuan adalah jalan keselamatan, bukan kepercayaan pada
agama tertentu, baik jalan kepercayaan agama itu adalah teks-teks agama maupun akal, atau
sekaligus keduanya.

Gnostisisme telah mulai muncul sebagai satu aliran filsafat sinkretis dari Hellenisme Yunani,
khususnya Neo-Platonisme dan kabalisme Yahudi, yang merupakan agama masyarakat Yahudi
klasik, serta filsafat dan agama Persia kuno: monisme. Gnostisisme merupakan jalan untuk
mencapai keselamatan melalui “kesalehan” individu serta pengalaman spirituil pribadi yang
mengangkat pelakunya ke alam fana (annihilation) ke dalam Dzat yang mutlak, bukan melalui
aturan agama (syari‟ah). Gnostisisme memberi andil besar dalam menyelewengkan agama
Kristen dari prinsip tauhid. Di antara tokoh Kristen penganut gnostisisme pada abad kedua
Masehi ialah Valentinus dari Mesir dan Pasilidus dari Suriah.

Untuk mendidik perasaan cinta dan mengabdi kepada Tuhan, aliran ini harus menghidupkan
dalam perasaannya jarak yang jauh antara Tuhan dan manusia. Makin besar jarak itu makin besar
cinta kepada Tuhan. Dalam aliran ini, tajam sekali dikemukakan perbedaan antara Tuhan dan
manusia, Tuhan dan barang. Bedanya Tuhan dan manusia di gambarkan dalam mistik Neo
Pythagoras sebagai perbedaan antara yang sebersih-bersihnya dengan yang bernoda. Yang
sebersih-bersihnya adalah Tuhan, yang bernoda ialah manusia. Menurut mereka, Tuhan sendiri
tidak membuat bumi ini, sebab apabila Tuhan membuat bumi ini, berarti ia mempergunakan
barang yang bernoda Kaum ini percaya bahwa jiwa ini akan hidup selama-lama nya dan
pindahpindah dari angkatan mahluk turun temurun. Kepercayaan inilah yang menjadi pangkal
ajaran mereka tentang inkarnasi.

B. Filsafat Yahudi

Orang-orang Yahudi sebelum kedatangan Islam tidak memiliki filsafat rasional. Di dalam
Taurat tidak terdapat benih-benih pemahaman filafat maupun metafisika yang memungkinkan
untuk dipaparkan. Agama Yahudi dan kitab-kitab sucinya merupakan pemberitahuan mengenai
doktrin agama saja tanpa ada pandangan rasional. Memang doktrin agama tersebut berisi ma'rifat
kepada Allah dan tuntutan agar orang Yahudi memberitahukan ma'rifat ini kepada bangsa-
bangsa selain mereka, akan tetapi orang-orang Yahudi meyakini bahwa wahyu itu khusus hanya
untuk mereka dan ma'rifat kepada Allah terbatas hanya untuk mereka. Mereka adalah anak-anak
Israel, sedangkan bangsa-bangsa selain mereka menjadi budak anak-anak Israel. Mereka merasa
selamanya tidak butuh pandangan rasional maupun pemikiran falsafi.
Pada abad ke dua SM. Terdapat sekitar 1 juta orang Yahudi di Mesir. Mereka dapat
digolongkan dalam tiga golongan:

 Mereka yang setia pada ajaran nenek moyang mereka dan menantikan Mesias.
 Mereka yang mengikuti aliran Ortodoks.
 Mereka yang berusaha mengawinkan agama Yahudi dengan filsafat Helenis.

Pada abad inilah mulai terjadi proses Helenisasi kebudayaan Yahudi.

Tokoh terbesar dari filsafat Yahudi adalah , Philo (±30 SM – 50 M). Ia dilahirkan di
Aleksandria dari keluarga iamam. Segala kemampuannya dipakai guna menyesuaikan agama
Yahudi dengan Filsafat Helenisme.

Agama Yahudi digarapnya begitu rupa, sehingga cocok untuk di sintesakan dengan
filsafat Yunani. Menurut dia kitab Perjanjian Lama (Kitab agama Yahudi), bahkan juga
terjemahannya di dalam kitab Yunani ( Kitab Septuaginta) diwahyukan oleh Tuhan dengan para
nabi sebagai alatalatNya. Akan tetapi orang bijak Yunani Jga mendapat hikmah yang sama
dengan para Nabi. Selanjutnya kitab Perjanjian Lama juga ditafsirkan secara alleoris atau secara
kiasan. Ia membedakan antara tafsiran yang lahiriah dengan tafsiran yang batiniah. tafsiran
lahiriah adalah tafsiran yang harafiah. Tafsiran ini disukai oleh orang yang dangkal ilmunya,
oleh karenanya harus di tolak. Tafsiran ini jikalau ditarik secara konsekuen akan sampai pada
hal-hal yang tidak mungkin. Hal ini disebabkan Karena secara lahiriah Kitab Perjanjian Lama
sendiri telah mengandung gambaran-gambaran yang salah. Tafsiran yang baik adalah tafsiran
batiniah, yang bersifat rohani, dan mencari arti kiasan segala hal yang terdapat dalam kitab suci.
Karena tafsirannya yang demikian itu ia sampai kepada ajaran yang demikian: Allah adalah roh
yang transenden, yang tidak di dalam dunia ini, melainkan disebrang sana. Negatip tentang Allah
dapat dikatakan, bahwa ia tidak dijadikan, tidak mempunyai sifat-sifat manusiawi, tidak dibatasi
oleh ruang dan waktu, tidak berwujud. Hakekatnya tidak dapat dikatakan bagaimana, sebab ia
tidak bernama. Manusia hanya tau, bahwa Allah ada, akan teitapi manusia tidak dapat tau apakah
Dia itu. Sebab Allah tidak dapat di uraikan bagaimana. Ia adalah Sang Ada (Ho On). Sekalipun
demikian menurut Philo, sedikit manusia dapat juga menguaikan Allah secara positip. Tidak
disangkal, bahwa penguraian tentang Allah ini dipengarui oleh Plato. Ada perbedan yang mutlak
antara Allah dan dunia, sebab Allah adala roh, sedang dunia adalah benda. Keduanya tidak bisa
dipersatukan. Oleh karena itu diperlukan tokoh-tokoh pengantara. Tokoh tokoh ini dapat disebut
dengan bermacam-macam sebutan, yaitu: idea-idea, atau gagasangagasan yang yang dipakai
sebagai pola dalam menciptakan dunia; kekuatan-kekuatan ilahi, yang bekerja di dalam dunia;
malaikat-malaikat yaitu para utusan Allah yang melaksanakan kehendakNya. Semuanya itu
dipersatukan di dalam istilah Logos, pengantara Allah dan dunia. Logos adalah idea dari segala
idea, yang juga disebut kebijaksanaan, kekuatan dunia yang universal, yang juga disebut
kebijaksanaan, kekuatan dunia yang universal. Sekalipun demikian Logos ini bukanlah Allah,
bukan mahluk, bukan tidak di jadikan, dan bukan di jadikan seperti para mahluk. Mengenai
dunia diajarkan, bahwa dunia bukan di jadikan, tetapi di bentuk oleh Logos. Pembentukan itu
terjadi demikian, bahwa kekuatan Logos memasuki benda, mengenakan benda sebagai
pakaiannya, sehingga benda dapat dibentuk menjadi dunia yang menurut gambar dan rupaNya
sendiri.

Dalam ajarannya tentang manusia, Philo mengajarkan bahwa dalam strukturnya manusia
adalah gambar alam semesta. Tetapi sebagai idea, yaitu manusia yang tidak bertubuh, manusia
telah ada sejak kekal di dalam Logos. Jiwa manusia tersusun dari jiwa sebagai kekuatan hidup
dan jiwa yang bersifat akali. Jiwa tidak dapat binasa. Jiwa memasuki tubuh dari luar dan
terbelenggu dalam tubuh. Kematian mewujudkan suatu, dimana orang dibangkaitkan dalam
hidup yang sejati dan dalam kebebasan.

Menurut Philo, ada tiga tingkatan kebijakan, yaitu:

1) Apathea, yaitu keadaan tanpa perasaan, dimana orang melepaskan diri dari segala hawa nafsu
dan segala yang bersifat badani.

2) Kebijaksanaan, yaitu karunia Ilahi, yang di arahkan kepada kesusilaan atau kesalehan.

3) ekstase, yaitu meleburkan diri dalam yang Ilahi.

Orang Yahudi sangat sadar tentang keterbatasan anusia itu sendiri. Dibandingkan dengan
kemuliaan surgawi, manusia “adalah debu”. Dibandingkan dengan kekuatankekuatan alam yang
mengelilinginya, ia amat lemah. Bahkan saat manusia sangat bangga akan dirinya ia dihantui
oleh kesadaran akan kekurangannya, ia lemah sebagai “sesuatu yang hancur” . Namun hidupnya
dimuka bumi ini sangat singkat. Ibarat rumput yang tumbuh dan berbunga di waktu pagi, “di
waktu sore ia di babat dan layu”. Tidak hanya sekali, tetapi berulang-ulang orang Yahudi
terpaksa mengajukan pertanyaan yang bersifat retoris ini: “Apakah manusia itu sehingga Tuhan
sendiri perlu mengingatnya?” Demikianlah cara Philo menagwinkan agama Yahudi dengan
filsafat Helenisme. Ajarannya yang mengenai Allah berbeda sekali dengan ajaran kitab suci
agama Yahudi. Oleh Philo Allah digambarkan sebagai tidak dapat dikenal secara mutlak,
sehingga Ia sama sekali tidak dapat dikatakan bagaimana . Juga Allah di gambarkan sebagai
tansenden dalam arti “yang bersemayam jauh diatas segala sesuatu” Allah yang demikian
dipandang tidak layak untuk secara langsung menciptakan dunia. Oleh karena itulah Ia memakai
pengantara-pengantara, yang dapat disebut Idea-idea, sehingga tampaklah pengaruh Plato.

1) Agama Yahudi dan Filsafat

Pada masa sebelum kelahiran Kristus, orang-orang Yahudi telah menggunakan filsafat
Yunani untuk menjelaskan doktrin di dalam agama mereka. Hal ini terlihat, misalnya, di dalam
Kitab Perjanjian Lama (Old Testament)/Bibel Yahudi (Hebrew Bible). Perkataan Paul kepada
Areopagus (Bab 17 Perjanjian Lama) menggunakan filsafat Stoa untuk keperluan yang sifatnya
apologetik.

Orang Yahudi pertama yang memelajari filsafat Yunani dan menggunakannya untuk
menjelaskan serta mempertahankan tradisi di dalam agama Yahudi adalah Philo Judaeus atau
Philo dari Alexandria (15 SM-45 M.) Philo menulis komentar yang panjang lebar terhadap Kitab
Perjanjian Lama, terutama Kitab Kejadian (Genesis.) Menurut Philo, wahyu yang pernah
diberikan kepada Nabi Musa sejalan dengan ajaran para filsuf Platonis.Meskipun, orang-orang
Yahudi ortodoks setelahnya tidak mengakui Philo dan tidak membaca karyakaryanya, namun,
justru pengaruh Philo terhadap Kristen sangat besar sejak abad ke-2 M. Philo menentukan model
spekulasi filosofis di kalangan Kristen.

Para Platonis Kristen, mengikuti Philo, menaruh perhatian yang besar terhadap wahyu dan
menggunakan filsafat Platonis untuk memahami dan mempertahankan ajaran di dalam Alkitab
maupun tradisi gereja. Selain menerima pengaruh dari filsafat Platonis, Kristen juga dipengaruhi
oleh filsafat mazhab Stoa, yakni dalam persoalan etika. Ajaran mazhab Stoa bahwa Tuhan dan
jiwa merupakan tubuh yang halus dan unik, tidak diadopsi oleh orang-orang Kristen. Begitu juga
terhadap ajaran pantheisme (Tuhan identik dengan alam), tidak digunakan karena tidak sesuai
dengan ajaran Kristen.
2) Takwil Ayat-Ayat Falsafi

Menurut bahasa ta‟wil secara etimologi, ta'wil berasal dari kata al-awlu yang artinya ar-
ruju‟ (kembali) dan al-„aqibah (akibat atau pahala), seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa': 59
dan hadits yang artinya : “Barangsiapa yang berpuasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak
berpuasa dan tidak ada balasannya. Sedangkan dalam terminologi Islam, Ibnu Manzhur
menyebutkan dua pengertian ta'wil secara istilah dalam Lisan Al-Arab; pertama, ta'wil adalah
sinonim (muradhif) dari tafsir. Kedua, ta'wil adalah memindahkan makna zhahir dari tempat
aslinya kepada makna lain karena ada dalil.

Al-Jurjani dalam kamus istilahnya yang terkenal At-Ta'rifat, menyatakan "Ta'wil secara
bahasa bermakna kembali, sedangkan secara istilah bermakna mengalihkan lafazh dari
maknanya yang zhahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna
yang lain itu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah".

Ibnu Al-Jawzi dalam bukunya Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah mengatakan bahwa,


"Ta'wil adalah mengalihkan lafazh ambigu (muhtamal) dari maknanya yang kuat (rajih) kepada
makna yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh
pembicara adalah makna yang lemah".

Imam Haramain Al-Juwaini dalam bukunya Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh berkata, "Ta'wil
adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna yang dimaksud (esoteris) dalam
pandangan penta'wil".

Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul mengatakan,
"Ta'wil adalah sebuah ungkapan (istilah) tentang pengambilan makna dari lafazh yang ambigu
(muhtamal) dengan didukung dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang
ditunjukkan oleh lafazh zhahir".

Abu Al-Hasan Al-Amidi Rahimahullah salah seorang ulama ushul dalam Al-Ihkam fi
Ushul Al-Ahkam mengatakan, "Ta'wil adalah mengalihkan lafazh yang muhtamal dari makna
zhahirnya berdasarkan dalil yang menguatkannya".

Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Ta'wil menyatakan


bahwa ulama mutaqaddimin (salaf) berpendapat bahwa ta'wil merupakan sinonim dari tafsir,
sehingga hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama. Seperti yang digunakan oleh Ibnu
Jarir AtThabari dalam tafsirnya Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Ayat Al-Qur'an; ta'wil dari ayat ini
adalah demikian, para ulama berbeda pendapat tentang ta'wil ayat ini. Kata ta'wil yang
dimaksudkan oleh beliau adalah tafsir. Sedangkan ta'wil menurut ulama mutaakhkhirin (khalaf)
dari kalangan ulama ushul, kalam, dan tashawwuf adalah mengalihkan makna lafazh yang kuat
(rajih) kepada makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.

Lebih terperinci lagi, Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa menegaskan bahwa istilah
ta'wil memiliki tiga pengertian; pertama, berarti maksud dari sebuah perkataan baik sesuai
dengan zhahir lafazh maupun bertentangan (makna esoteris). Makna inilah yang sering
digunakan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, seperti QS. Al-A'raf: 53.Contoh lain, riwayat dari
'Aisyah Radhiyallah 'anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam rukuk dan
sujudnya banyak membaca Subhanakaalhumma Wabihamdika Allahummaghfirli (Maha Suci
Engkau ya Allah dan segala puji bagi-Mu, ya Allah ampunilah aku) sebagai ta'wil dari firman
Al-Qur'an QS. AnNashr: 3. Kedua, berarti tafsir sebagaimana yang digunakan oleh kebanyakan
para ulama ahli tafsir. Seperti perkataan Mujahid (imam al-mufassirin), "Sesungguhnya orang-
orang yang mendalam ilmunya (rasikhun) mengetahui ta'wil ayat-ayat mutasyabihat". Kata ta'wil
yang beliau maksudkan adalah tafsir dan penjelasan maknanya. Ketiga, berarti mengalihkan
lafazh dari makna zhahirnya karena adanya dalil yang menunjukkan hal itu. Pengertian istilah ini
belum ada pada zaman salaf, baru dikenal pada zaman mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ahli
fiqih, kalam, dan tasawuf.

Jadi, ta'wil dalam istilah salaf adalah sinonim dari tafsir. Kemudian pada masa khalaf
mengalami perubahan makna menjadi suatu pengalihan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada
makna yang lemah (marjuh) dengan berdasarkan dalil.

3) Kehidupan Spiritual
Dapat disimpulkan bahwa filsafat yahudi merupakan suatu disimplin akademik yang
diciptakan pada abad ke 19 untuk memelihara dan mengembangkan tradisi yahudi, serta untuk
menegaskan akar akademisnya. Tema utama filsafat yahudi adalah tradisi dan agama yahudi
yang kemudian dijadikan bahan refleksi filosofis. Yang juga harus disadari adalah, bahwa tradisi
itu berubah sejalan dengan perubahan zaman. Disisi lain, agama dan tradisi yahudi juga memilki
banyak aliran. Didalam filsafatnya, Maimonides hendak merumuskan kembali pandangan dunia
yahudi yang dikaitkan dengan konteks zamannya. Dia semacam mendirikan aliran sendiri
dengan menubah pandangan orang yahudi, yang sebelumnya memang masih bersifat tradisional,
menjadi lebih progresif.

Pada masa abad pertengahan, tidak ada pemisahan yang tegas antara akal budi dan
wahyu. Pemisahan itu baru dilakukan setelah Eropa mulai mengenal dan menerapkan prinsip
pemisahan negara dan gereja. Bahkan menueurt penelitian, para filsuf besar abad pertengahan
seperti Avveroes ( Ibn Sina ), Maimonides, dan Thomas Aquinas tidak melihat keberadaan
pemisahan antara akal budi dan wahyu agama. Proyek filsafat abad pertengahan dan juga filsafat
yahudi adalah untuk memahami dan menafsirkan wahyu yang terdapat didalam agama tertentu
melalui rasionalitas. Sekali lagi tujuan dari filsafat abad pertengahan, dan juga didalam filsafat
yahudi abad pertengahan bukan mempertanyakan tradisi dan agama, melainkan memahaminya
dengan cara-cara yang rasional. Tradisi keagamaan yahudi berasal dari proses sejarah yang
panjang, melalui lisan para nabi dan rabi mereka, dengan konsep-konsep ketuhanan dan moral
yang terus-menerus diwariskan dan dimatangkan. Adapun tema sentral agama yahudi adalah
hubungan manusia dengan tuhannya melalui perjanjian yang ditetapkan. Tuhan adalah maha
kuasa pencipta segalanya yang mendengarkan dan menyelamatkan hambanya.

C. Neo Platonisme
Kata NeoPaltonisme terdiri dari beberapa rangkaian kata yaitu, neo, Plato dan isme. Kata
neo memiliki arti baru, sedangkan Plato merujuk pada seorang filosof yang mencetuskan konsep
realitas idea dalam teori filsafatnya, isme memiliki arti faham. Jadi apabila dirangkai memiliki
pengertian ide-ide baru yang muncul dari ide-ide filsafat yang telah dimunculkan oleh Plato.
Faham ini bertujuan menghidupkan kembali filsafat yang dikemukakan oleh Plato. Meskipun
begitu tidak berarti bahwa pengikut-pengikutnya tidak terpengaruh dengan aliran yang dibawa
oleh para filsuf selain Plato. Dapat disimpulkan juga bahwa aliran NeoPaltonisme merupakan
sintesa dari semua aliran filsafat sampai saat itu, dimana Plato diberi tempat istimewa. Faham ini
dicetuskan pertama kali oleh Plotinus dari Mesir. Faham NeoPaltonisme memiliki ciri-ciri
umum, diantaranya :
a. Aliran ini menggabungkan filsafat Platonis dengan tren-tren utama lain dari
pemikiran kuno, kecuali epikuarisme. Bahkan sistem ini mencakup unsur-unsur
relegius dan mistik.
b. Menggunakan filsafat Plato dan menafsirkannya dengan cara khusus. Cara
interpretasi itu cenderung mengaitkan Allah dengan prinsip kesatuan seperti yang
tampak dalam proses emanasi.

2. Biografi Plotinos ( 205 – 270 )


Plotinos dilahirkan pada tahun 204 M di Lykopolis di Mesir, yang pada waktu itu
dikuasai oleh Roma. Pada tahun 232 M ia pergi ke Alexandria untuk belajar filsafat pada
seorang guru yang bernama Animonius Saccas selama 11 tahun. Pada tahun 243M ia
mengikuti Raja Gordianus III berperang melawan Persia. Pada usia 40 tahun ia pergi ke
Roma. Di sana ia menjadi pemikir terkenal pada zaman itu. Ia meninggal di Minturnea
pada 270 M di Minturnae, Campania, Italia. Ia bermula mempelajari filosofi dari ajaran
Yunani, terutama dari buah tangan Plato. Plotinos mulai menulis karya-karyanya dalam
usia 50 tahun. Pendapat-pendapat yang dikemukakan dalam karya-karyanya itu adalah
didasarkan pada filsafat Plato, terutama ajarannya tentang idea tertinggi, baik atau
kebaikan. Oleh karena itu maka filsafat Plotinos disebut Platonisme.
Muridnya yang bernama Porphyry mengumpulkan tulisannya yang berjumlah 54
karangan. Karangan itu dikelompokkan menjadi 6 set yang tiap set berisi 9 karangan.
Masing-masing set itu disebut ennead, diantaranya:
 Ennead pertama berisi tentang masalah etika, kebajikan, kebahagiaan, bentuk-bentuk
kebaikan, kejahatan, dan masalah penacabutan dari kehidupan.
 Ennead kedua berisi tentang fisik alam semesta, bintang-bintang, potensialitas dan
aktualitas, sirkulasi gerakan, kualitas dan bentuk, dan kritik terhadap gnostisisme.
 Ennead ketiga berisi tentang implikasi filsafat tentang dunia, seperti masalah iman, kuasa
Tuhan, kekekalan, waktu, dan tatanan alam.
 Ennead keempat berisi tentang sifat dan fungsi jiwa.
 Ennead kelima berisi tentang roh Ketuhanan (alam idea).
 Ennead keenam berisi tentang free will dan ada yang menjadi realitas.
Dalam ajaran Plotinus, jiwa tidak bergantung pada materi, atau dengan kata lain jiwa
aktif dan materi bersifat pasif. Oleh karena iru jiwa merupakan esensi tubuh material. Tubuh
dengan segala keterbatasannya ini berisi prinsip-prinsip ketiadaan dan penuh kejahatan. Ia
mempunyai jarak yang jauh dari yang Maha Esa. Meskipun Plotinus berpendapat demikian
bukan lantas mengabaikan jasad seperti orang-orang gnostik. Tentang penciptaan, Plotinus
berpendapat bahwa Yang Paling Awal merupakan Sebab yang Pertama. Disini mulailah
Plotinus memulai teori emanasinya yang belum pernah diajukan oleh filosof lainnya. Tujuan
dari teori ini untuk meniadakan anggapan keberadaan Tuhan sebanyak makhlukNya.

a) Teori Emanasi tentang penciptaan

Tentang penciptaan. Plotinus berpendapat bahwa Yang Esa adalah Yang paling Awal,
Sebab pertama. Disinilah teori penciptaan yang terkenal dengan Emanasi. Suatu teori yang
belum pernah diajukan oleh filosof yang lain. Tujuan pertama teori ini ialah untuk
menjelaskan bahwa yang banyak (makhluk) ini tidak menimbulkan pengertian bahwa
didalam Yang Esa tidak menimbulkan pengertian yang banyak. Maksudnya, teori emanasi
tidak menimbulkan pengertian bahwa Tuhan tidak sebanyak makhluknya.

Emanasi adalah teori filsafat yang menjelaskan bahwa segala yang ada memancar dari zat
yang satu. Kata emanasi berasal dari bahasa Inggris, emanation, yang berarti memancar. Dalam
bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan sebutan al-faid.

Filsafat emanasi Plotinus menjelaskan asal mula penciptaan alam yang terjadi dengan
cara memancar atau melimpah dari Yang Asal atau Yang Esa. Yang Asal itu adalah satu dan
tidak ada pertentangan di dalamnya; tidak dapat dikenal sebab tidak ada ukuran untuk
membandingkannya; permulaan dan sebab yang pertama dari segala yang ada. Karena memancar
dari Yang Asal, alam ini jelas merupakan bagian dari-Nya. Kalau Yang Asal itu adalah Tuhan,
berarti alam menjadi bagian dari Tuhan atau lebih tepat dikatakan berada dalam Tuhan, namun
sama sekali tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan berada dalam alam. Makin jauh yang mengalir
itu dari asalnya, makin tak sempurna wujudnya. Demikian pula keadaan alam yang memancar
dari Yang Asal. Akan tetapi, menurut Plotinus, emanasi alam dari yang asal itu jangan dipahami
sebagai suatu kejadian yang berlaku dalam dimensi ruang dan waktu. Sebab ruang dan waktu
terletak pada tingkat yang terbawah dari emanasi. Ruang dan waktu itu adalah pengertian dalam
keduniawian. Dalam ajaran Plotinus, dari Yang Esa memancar akal. Selanjutnya, dari akal
memancar jiwa dunia dan dari jiwa dunia memancar materi dunia.

b) Teori Remanasi

Seperti telah dikatakan sebelumnya, Plotinus juga seorang mistikus dan mengklaim
mengalami pengalaman mistik didalam hidupnya. Dengan demikian ia tidak hanya tertarik untuk
berfilsafat namun mencari jalan untuk kembali ke TO HEN (remanasi).

Materi sebagai bagian yang paling jauh dari TO HEN adalah bagian yang paling gelap
atau jahat. Disini terlihat pengaruh aliran Gnostik yang melihat dunia sebagai dualism, yang
mengatakan bahwa materi pada dasarnya adalah jahat. Ia adalah hirarki terakhir yang menerima
penciptaan dari atas, dan punya kecenderungan untuk menarik hirarki di atasnya yaitu jiwa ke
bawah. Dengan demikian usaha remanasi yang pertama adalah melawan materi, yang dalam
prakteknya bisa dilakukan dengan berpuasa misalnya. Dalam bahasa latin ini disebut dengan
purificatio, yaitu memurnikan diri, melepaskan diri dari materi.

Hal ini adalah persiapan untuk melakukan langkah kedua, yaitu pencerahan. Pengaruh
filsafat timur terlihat disini. Pencerahan artinya melepaskan diri dari persepsi indrawi, dan
memenuhi diri dengan pengetahuan tentang idea. Ini sama dengan ajaran Plato dan Aristoteles,
yaitu episteme.

Langkah yang terakhir, adalah penyatuan diri dengan TO HEN, yang diberi nama ekstasis
oleh Plotinus. Ekstasis adalah sebuah upaya mengatasi keterpisahan atau diferensiasi dari nous
yang melihat diri sebagai subyek. Jika ia bisa mengatasi batasan diri ini, dengan melihat
bahwa aku sama dengaan dia, sama dengan semua, dengan demikian juga adalah TO HEN.
Disinilah terlihat bahwa Plotinus pada dasarnya adalah seorang mistikus, dan ia menyusun
keseluruhan filsafatnya untuk menuju kesini. Pada titik ini ajarannya sama dengan ajaran mistik
yang lain, baik dari tradisi timur, hindu, budha, tradisi barat, ataupun yang di kejawen dikenal
dengan manunggaling kawulo Gusti, menyatu dengan Allah.

KESIMPULAN

Alira Gnostisisme ( Neo Phytagoras )


Dinamakan Neo Pyithagoras karena ia berpangkal pada ajaran Pyithagoras yang mendidik
kebatinan dengan belajar menyucikan roh. Gnostisisme berasal dari kata Latin gnosis yang
berarti pengetahuan (ma’rifah). Ia merupakan paham filsafat klasik yang berdiri di atas
perpaduan antara filsafat dan agama, serta campuran dari berbagai pemikiran dan pengetahuan,
yang berdasarkan pada emanasi serta pandangan-pandangan mistik serta illuminisme.

Filsafat Yahudi

Orang Yahudi pertama yang memelajari filsafat Yunani dan menggunakannya untuk
menjelaskan serta mempertahankan tradisi di dalam agama Yahudi adalah Philo Judaeus atau
Philo dari Alexandria (15 SM-45 M.).

Neo Platonisme

Kata NeoPaltonisme terdiri dari beberapa rangkaian kata yaitu, neo, Plato dan isme. Kata neo
memiliki arti baru, sedangkan Plato merujuk pada seorang filosof yang mencetuskan konsep
realitas idea dalam teori filsafatnya, isme memiliki arti faham. Jadi apabila dirangkai memiliki
pengertian ide-ide baru yang muncul dari ide-ide filsafat yang telah dimunculkan oleh Plato.

DAFTAR PUSTAKA

Huston Smith. Agama-Agama Manusia. Yayasan Obor Indonesia:jakarta: cet ke 7 2004. hlm309.

Opcit. A Masjkur Anshari. hlm134.

Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat 1. Kanisius:Yogyakarta, hlm63.

A.Maskur Anhari. Filsafat Sejarah dan Perkembangannya dari Abad ke Abad. CV


Karya:Jakarta, 1992, hlm 133.

https://node2.123dok.com/dt03pdf/123dok/001/729/1729805.pdf.pdf?X-Amz-Content-
Sha256=UNSIGNED-PAYLOAD&X-Amz-Algorithm=AWS4-HMAC-SHA256&X-Amz-
Credential=aa5vJ7sqx6H8Hq4u%2F20220702%2F%2Fs3%2Faws4_request&X-Amz-
Date=20220702T063442Z&X-Amz-SignedHeaders=host&X-Amz-Expires=600&X-Amz-
Signature=93d4defc561838547fdafe881d48cca509a1b2a5177309f71e00f2db57b65f4a

Amri, Muhammad. Sejarah, Teologi dan Kebudayaan Yahudi . 2018. Glosaria Media:
Yogyakarta : Cet.1

Anda mungkin juga menyukai