Anda di halaman 1dari 9

Nama : Adi Haryono Sianturi

Mata Kuliah : Ujian Akhir Semester Teologi Biblikum Perjanjian Lama

Dosen : Pdt. Dr. Jontor Situmorang

Program : Pascasarjana

Ujian Akhir Semester Teologi Perjanjian Lama

Jawablah 4 soal dari 6 soal di bawah ini:

1. Jelaskanlah bagaimana pemahaman PL tentang Kematian dan Kebangkitan


dikaitkan dengan kedatangan Yesus keduakalinya.

Perjanjian Lama menyinggung tentang kematian sebagai suatu yang tidak lahiriah
dibandingkan dengan yang dialami oleh manusia sekarang (bnd. Ayb. 7 : 9-10; 10 : 20-21;
Mzm. 6 : 6; 30 : 10). Artinya roh manusia itu tetap hidup di alam maut tetapi tanpa tubuh
jasmani. Suatu jalan keluar dari kesulitan pemikiran tentang eksistensi tanpa tubuh adalah
dengan mengemukakan bahwa meninggalkan kehidupan ini berarti melepaskan diri dari
keseluruhan tatanan waktu. Di sisi lain keadaan orang mati pasca kematian Alkitab memakai
istilah tidur. Barangkali istilah ini dipakai dengan melihat bahwa keadaan orang mati mirip
dengan keadaan orang yang sedang tidur, berhenti dari pekerjaan, berkurangnya tanggungjawab,
menarik diri dari keterlibatan langsung dalam peristiwa, kesadaran dan lainnya (Kis. 7 : 60; 1
Kor. 15 : 5; 1 Tes. 4 :14).
Dalam Perjanjian Lama ada empat bidang konseptual terhadap situasi pasca kematian yakni :
 Harapan untuk berkomunitas dengan Allah yang mengatasi kematian, “ dunia orang mati
terbuka di hadapan Allah, tempat kebinasaan pun tidak ada tutupnya” (Ayb. 26 : 6), “…,
dari tengah – tengah dunia orang mati aku berteriak, dan Kau dengarkan suaraku”
(Yunus 2 : 2).
 Harapan akan kebangkitan yang selektif, yaitu kebangkitan orang benar menuju hidup
abadi, dan kebangkitan orang sesat kepada rasa malu yang abadi (Daniel 12 : 1 - 3).
 Keyakinan atas kebakaan jiwa orang saleh, “tetapi Allah akan membebaskan nyawaku
dari cengkraman dunia orang mati, sebab Ia akan menarik aku” (Mzm. 49 : 16).
 Harapan universal bahwa Allah satu hari nanti akan melucuti kematian dari semua
kekuatannya (Yes. 25 : 6 – 8; 26 : 7 - 21). Allah yang universal adalah khalik seluruh
dunia. Ia satu – satunya Allah yang mempunyai kekuatan atas kematian yang
menghancurkan kehidupan.
Dalam Perjanjian Lama, sedikitnya ada empat kali kisah kebangkitan, yaitu :
- Kebangkitan pertama terjadi di zaman nabi Elia, ketika anak laki-laki seorang ibu janda
di Sarfat mati karena jatuh sakit, dan sakitnya itu sangat keras sampai tidak ada nafasnya
lagi (1 Raja 17:17). Lalu nabi Elia berdoa kepada TUHAN, lau menjulurkana badannya
di atas anak itu tiga kali, dan berseru kepada TUHAN dan berkata: "Ya TUHAN,
Allahku! Pulangkanlah kiranya nyawa anak ini ke dalam tubuhnya, sehingga ia hidup
kembali (1 Raja 17:20-22).
- Nabi Elisa menghidupkan kembali anak seorang perempuan Sunem yang telah mati (2
Raja 4:19-20, 32). Nabi Elisa membaringkan dirinya di atas anak yang sudah mati itu
dengan mulutnya di atas mulut anak itu, dan matanya di atas mata anak itu, serta telapak
tangannya di atas telapak tangan anak itu, dan karena meniarap di atasnya, maka menjadi
panaslah badan anak itu, maka bersinlah anak itu tujuh hali, lalu membuka matanya (34-
35). Dan ada juga satu mayat yang hidup kembali setelah terkena kepada tulang-tulang
Elisa (2 Raja 13:21).
- Di dalam Yesaya 26:19, ada kesaksian bahwa "orang-orang TUIIAN" yang mati akan
hidup pula, mayat-mayat mereka akan bangkit pula.
- Di dalam Daniel 12:2,13, kematian itu adalah sama dengan tidur di dalam debu tanah,
akan bangun, sebagian mendapat hidup yang kekal dan sebagian lagi mengalami
kehinaan dan kengerian yang kekal. Di ayat 13, kematian itu disamakan dengan
"beristirahat" menunggu bangun kembali, pada akhir zaman.

Konsep Perjanjian Lama tentang kedatangan Yesus yang kedua kalinya sering
tergabung pemaknaannya dengan nubuat kedatangan Yesus yang pertama, namun di beberapa
nas di kitab Perjanjian Lama terungkap secara khusus tentang kedatangan Yesus yang kedua
kali. Misalnya dalam Ayub 19 : 25 – 27, yang mengatakan bahwa penebus akan bangkit di atas
debu, walaupun kulit tubuh sangat rusak tanpa daging, tetapi Ayub sendiri akan melihat Allah
yang memihak kepadanya. Dari ayat ini dengan jelas terlihat bahwa ada kebangkitan daging
pada saat kedatangan penebus. Zakharia 14 : 1 – 21, juga merupakah sebuah nas yang
menjelaskan tentang gambaran hari Tuhan atau hari kedatangan Tuhan sebagai hakim atas
segala bangsa. Di mana Ia akan memisahkan orang yang hidup dan yang mati. Ia akan datang
dengan kemuliaanNya dan memerintah sebagai Raja. Disamping itu Di dalam kitab Maleakhi 3 :
1 – 5, juga menggambarkan bagaimana Allah akan mengutus utusanNya untuk datang ke dunia.
Ia akan menampakkan diri seperti tukang pemurni logam, ia akan duduk seperti orang yang
memurnikan dan mentahirkan perak, Ia akan mendekati dan menghakimi juga menjadi saksi
terhadap orang – orang yang hidupnya dijalani dengan tidak ada rasa takut akan Tuhan.
3. Jelaskan bagaimana integritas Ayub dan ketidak-tarikan agama di antara
kamatian dan kehidupan?

Ayub seorang yang takut Allah dan terhindar dari yang jahat (evil) (Ayb. 1:1), yang pada
waktu yang sama dia memiliki kemakmuran yang besar. Dia adalah seorang anggota masyarakat
Yahudi tetapi seorang pribumi dari "tanah Us" yang termasuk wilayah Edom. Ayub adalah
seorang yang peduli kepada anak-anaknya yang biasa melakukan pesta-pesta. Ayub bangkit
setelahnya dan membuat persembahan korban bakaran untuk setiap anak-anaknya, selain itu,
Ayub juga merupakan seorang seorang yang berintegritas dan jujur, seorang yang takut akan
Allah dan menjauhi kejahatan, Kata Ibrani yang digunakan untuk integritas Ayub di sini adalah
tam (lengkap, benar, sehat, teratur, normal, damai, tenang murni, blameless). Alkitab KJV
menterjemahkannya dengan seorang yang sempurna (a perfect). Ini sebuah istilah yang kaya
akan arti dan kompleks menurut penggunaannya. Tam, berarti tidak bersalah atau tidak berdosa
(innocent), tetapi dengan konotasi kepribadian yang berintegritas, telah selesai, komplit,
sempurna, dan karena menjadi contoh. Di dalamnya juga ada arti jujur (just), integritas Ayub
akan dipahami dalam beberapa peristiwa (Ayb. 2:3, 9). Dia sendiri menggunakan kata itu dalam
bentuk jamak (tamim) dalam pernyataan ketidak bersalahannya (9:20-21; 12:4; 27:5; 31:6).
Dalam penamaan "seorang yang berintegritas", itu adalah gambaran yang menekankan
kepribadian internalnya, makanya Ayub juga dinamai dengan seorang yang "jujur" atau honest
(Ibr: yashar). Kata sifat kedua ini menandai penerimaannya akan norma-norma etika (ethical
norms). Ayub adalah seorang yang melakukan keadilan (justice) di dalam kehidupan
masyarakatnya.

Iblis melihat sikap religius dalam agama dapat dijelaskan hanya dengan mengharapkan
imbalan dan ini juga yang dilihat oleh teman-teman Ayub. Allah percaya bahwa kejujuran Ayub
tidak memihak dan karena itu Allah menerima tantangan iblis. Mengharapkan imbalan adalah
inti dari ajaran yang merusak seluruh hubungan dan memainkan peran iblis sebagai penghalang
dalam perjalanan menuju Allah. Dalam agama yang mementingkan diri sendiri, tidak ada
perjumpaan sejati dengan Allah melainkan pembangunan sebuah berhala. Ketika sahabat Ayub
berbicara tentang imbalan bagi mereka yang menghormati Allah (8:5-7, 11:13-19), kita akan
tahu apa yang harus dipikirkan. Untuk percaya dengan “apa-apa” tanpa bayaran, adalah suatu
kebalikan dari iman yang didasarkan pada kepercayaan balas jasa. Allah menerima tantangan
iblis karena Allah percaya kepada Ayub. Allah mengatakan kepada iblis bahwa segala yang
dipunya Ayub ada dalam kuasa iblis tetapi jauhkan tanganmu dari Ayub (1:12). Ayub menerima
kabar kematian putra dan putrinya dan kehilangan harta bendanya (1:13-19) tetapi Ayub tetap
tidak berbuat dosa dan tidak mencela Allah (1:22). Allah memenangkan taruhan. Setelah
kegagalan pertama musuh, Allah secara terbuka menyatakan ketidakbersalahan Ayub di tengah
penderitaannya. Allah berkata kepada iblis bahwa Ayub tetap teguh di dalam integritasnya dan
iblis tidak mendapat apa-apa dengan memprovokasi Allah untuk menghancurkan Ayub (2:3).
Sehingga dengan jelas bahwa Ayub tetap bertekun dalam integritasnya. Artinya bagi Ayub
dalam pandangannya agama tanpa pamrih sajalah yang merupakan agama yang benar.
Pandangan iblis: "Seseorang akan memberikan semua yang dia miliki untuk menyelamatkan
hidupnya." (Ayb. 2:4). Namun nyatanya, "Dalam semua kemalangan ini Ayub tidak
mengucapkan kata-kata berdosa" (2:10). Dia tidak berbicara buruk, dia tidak marah. Ayub atau,
lebih tepatnya, Tuhan telah memenangkan pertaruhan: agama Ayub dengan Iblis.

4. Jelaskan bagaimana pandangan para Reformator (Martin Luther dan Yohannes


Calvin) tentang PL.

Pandangan Luther terhadap otoritas kitab suci. Kitab suci adalah janji; untuk luther
Alkitab adalah buku dari janji atas firman yang dikotbahkan. inti dari kitab suci adalah janji injil
yang dibawa untuk menggambarkan Kristus. otoritasnya bukan yuridis,; bukan buku-buku
dokrtrin yang legal, laporan-laporan atau materil pengujian. Kitab Suci menyampaikan
pemberian firman hidup dari keselamatan yang diberikan kristus kepada yang menerimannya
(penerima) melalui iman saja. Walaupun Lutheranisme awal memahami prinsip kitab suci Luter
sebagai konfensional, namun dia tidak pernah membuang prinsip keutamaan kitab suci diatas
konfesi. Untuk Lutheran otoritas kitab suci tinggal di dalam isi injil itu sendiri. Kitab suci
berarti anugerah. Kitab suci ditulis dari wahyu dimana Allah mengkomunikasikannya kapada
nabi dengan inspirasi Roh Kudus. Allah adalah pemulis sejati dari kitab suci; manusia adalah
allat Allah untuk menghasilkan kitab suci. Kitab suci itu secara keseluruhan bebas dari
kesalahan dan ketidak sempurnaan. Roh kudus mendiktekannya dalam berbagai bahasa. Nabi,
penginjil dan rasul adalah sekretaris yang diinspirasikan. Prinsip yang paling revolusioner dari
luther adalah berhubungan dengan literature, sejarah dan pilosopi eksposisi. Dia menolak
metode alegoris yang telah di praktekan oleh origienes. Dimana mengakibatkan kitab suci
dirampok wibawanya untuk mengkritik tradisi gereja yang berubah. Luther percaya bahwa jika
Kitab Suci di dapatkan kekuatannya di gereja maka penafsirannya pasti terletak pada bahasa
ibrani dan Yunani. Terhadap spritualis yang mencari arti. Roh kudus adalah penulis paling
sederhana dan suci. Dan langkah yang lebih jauh dari prinsip Luther adalah membiarkan Alkitab
itu menterjemahkan/menafsirkan dirinya sendiri. Bagi Luther, keseluruhan Perjanjian Lama
hanya memiliki satu makna yaitu Kristologi. Oleh karena itu ia berusaha untuk menemukan
tidak hanya bayang-bayang Kristus dalam Perjanjian Lama tapi juga pernyataan langsung bahwa
karya Kristus telah terdapat juga dalam Perjanjian Lama. Dalam hal ini, maka Luther berusaha
melampaui penafsiran alegori dan tipologi (Abad Pertengahan), yang mana alegori meniadakan
literal karena dimensi spiritualnya, sementara tipologi menerima makna ganda dari tipe yang ada
(kontemporer maupun masa depan). Inilah hal yang menarik dari Luther, yang berusaha
melampaui keduanya.

 Bagi Luther, juga bagi orang-orang sezamannya di gereja tempat ia dibesarkan, tidak
pernah ada keraguan bahwa Kitab Suci adalah Firman Allah sendiri. Dia tidak hanya dapat
berbicara tentang mereka sebagai Firman Tuhan sendiri, diilhami oleh Roh Kudus, tetapi
dia yakin bahwa mereka memang demikian, jika tidak, mereka tidak akan pernah turun ke
hari dan waktu ini. Singkatnya, Kitab Suci adalah kitab Tuhan yang tertinggi dan terbaik,
penuh penghiburan di setiap pencobaan.
 Tapi apa yang harus dicari terutama di dalam Alkitab? Jawaban Luther sederhana dan
langsung, berdasarkan perikop PB (Yohanes 5:39), Kristus adalah pusat dan jantung Kitab
Suci, bukan hanya Perjanjian Baru tetapi juga PL. Itulah sebabnya dalam eksposisinya
tentang Perjanjian Lama, Luther bersusah payah untuk berulang kali menunjukkan kepada
para pendengarnya bahwa Kristus ada di dalam Kitab Suci. "Keluarkan Kristus dari Kitab
Suci dan apa yang tersisa?" dia dapat dengan tajam bertanya, karena "Kitab Suci hanya di
mana-mana selalu tentang Kristus.
 Bagi Luther Kitab Suci adalah suara hidup dari Allah Tritunggal. Ketika seseorang
mendengarkan seseorang berbicara, untuk memahaminya tidak perlu datang dengan segala
macam kategori pra-belajar dan logooumena. Jadi seseorang harus melakukannya dengan
Kitab Suci: untuk memahami Firman itu perlu untuk percaya pada Tritunggal yang Kudus
dan Terberkati; orang Yahudi tidak dan tidak pernah dapat memahaminya dengan benar -
bagi mereka hanya litera yang penting - bagi orang Kristen itu diterima dalam iman
kepada Bapa, Putra, dan Roh Kudus, Dan itulah sebabnya Kitab Suci diberikan pertama-
tama kepada umat Allah. Itu harus dibaca dengan iman agar iman dapat tumbuh dan
diteguhkan. Mereka ditulis oleh orang-orang beriman - begitulah jalan Tuhan: per homines
hominibus.
 Pandangan Luther tentang peran yang dimainkan Roh Kudus dalam menafsirkan Kitab
Suci. Jelas dari banyak ucapan Luther bahwa sementara dia bersikeras pada pengertian
literal dari teks, makna sebenarnya adalah spiritual. Untuk menemukan ini adalah karunia
Tuhan. "Karena tidak seorang pun dapat memahami dengan benar Tuhan atau Firman-Nya
kecuali seseorang memiliki (tanpa sarana) Roh Kudus." Jika Firman adalah milik Roh,
maka hanya dia yang dapat menghancurkan hati manusia dan menghangatkannya, serta
menghasilkan emosi yang tepat yang memahami kedalaman Roh Allah.
 Oleh karena itu, tidak seorang pun dapat mengklaim telah memahami sepenuhnya Sabda -
"Firman itu memiliki kecerdasan dan hikmat yang tak terbatas". Untuk yang satu ini tidak
perlu dipelajari dan dibuang secara akademis. Untuk memahaminya, perlu berdiri di
bawah teks (kami tidak berkhotbah tentang teks, kami berkhotbah di bawahnya - itu selalu
di atas kami). Oleh karena itu Luther tidak khawatir jika eksegesis tidak seakurat yang
seharusnya, selama pius sensus ditemukan (lih. eksegesis kaum Pietis di kemudian hari,
untuk siapa pengertian ini menjadi pusatnya)
 Luther melihat Alkitab sebagai saksi atas tindakan Allah di Israel, di dalam Kristus di
dunia. Roh Kudus memampukan kita untuk benar-benar melihat karya Allah. Dalam
daging kta tidak dapat melihat hal-hal dari Roh Kudus. Manusia duniawi buta terhadap isi
sebenarnya dari Kitab suci, untuk dapat mengetahuinya olehnya hanya jika itu
diwahyukan oleh Roh Kudus. Tetapi isi yang sebenarnya ini tidak terletak pada penjelasan
ungkapan-ungkapan misterius, tetapi diberikan di dalam Kristus, inkarnasi-Nya, salib-
Nya, kebangkitan-Nya. Melalui karya Roh Kudus hubungan yang hidup diciptakan antara
pembaca dan Alkitab. Kemudian Kitab Suci itu menjadi Roh menaungi dalam diri
manusia, isi Alkitab menjadi saksi hidup dari apa yang Allah lakukan di dalam Kristus.

Pandangan Calvin tentang Taurat dan orang-orang Yahudi dan Yudaisme. Sebagian
berpendapat bahwa Calvin adalah orang yang paling terbuka terhadap orang Yahudi di antara
semua reformis dari masanya, terutama bila dibandingkan dengan Martin Luther. Yang lainnya
berpendapat bahwa Calvin jelas-jelas berada di kelompok anti-semit. Namun para pakar sepakat
bahwa penting kita membedakan antara pandangan Calvin tentang orang Yahudi di Alkitab dan
sikapnya terhadap orang-orang Yahudi kontemporer. Dalam teologinya, Calvin tidak
membedakan antara perjanjian Allah dengan Israel dan Perjanjian yang Baru. Dia menyatakan,
"semua anak-anak perjanjian, yang dilahirkan kembali dari Allah, telah mematuhi perintah iman
yang bekerja melalui kasih, tergolong kepada Perjanjian yang Baru sejak dunia dimulai."
Namun kritik Calvin tentang hal tersebut ialah bahwa orang-orang Yahudi adalah orang-orang
yang ditolak yang harus menerima Yesus untuk masuk kembali ke dalam perjanjian. Sebagian
besar dari pernyataan Calvin tentang orang Yahudi di zamannya adalah polemik. Misalnya,
Calvin pernah menulis, "Saya banyak bercakap-cakap dengan banyak orang Yahudi: saya belum
pernah melihat baik setetes pun kesalehan atau sedikit pun kebenaran atau keluguan mereka –
tidak, saya belum pernah menemukan akal sehat dalam diri setiap orang Yahudi." Dalam hal ini,
dia sedikit berbeda dengan para teolog Protestan lain dan teolog Katolik pada zamannya. Di
antara tulisan-tulisannya yang masih ada, Calvin hanya secara eksplisit membahas isu-isu
kontemporer orang-orang Yahudi dan Yudaisme di salah satu risalah, Menanggapi Pertanyaan
dan Keberatan dari seorang Yahudi. Dalam hal ini, ia berpendapat bahwa orang-orang Yahudi
keliru membaca Kitab Suci mereka sendiri karena mereka kehilangan kesatuan dari Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru.

5. Jelaskan bagaimana permasalahan perang dalam PL menurut Peter Graigie.

Menurut Johnson dan Bainton keyakinan sebagian besar penulis Alkitab serta para
pemikir diperiode awal modern dan klasik bahwa Allah telah memerintahkan perang atau bahwa
firman Allah harus dipertahankan dengan cara berperang merupakan keyakinan yang kurang
tepat, sehingga batas antara perang yang adil dan perang suci menjadi kabur. Gerhard von Rad
menjelaskan karakteristik utama dari perang adalah munculnya aliansi sakral yang
komprehensif. Pada prinsipnya perang digambarkan sebagai respon dari kedua belas suku
sebagai bentuk penyembahan kepada Yahweh, yang bukan hanya berperan sebagai dewa suku
saja tetapi juga merupakan Allah “Israel”. Selanjutnya, perang ini muncul sebenarnya sebagai
suatu bentuk pertahanan dalam kasus ancaman perjanjian suku secara keseluruhan. Bangsa
Israel menganggap bahwa perlakuan Allah terhadap mereka melalui sejarah adalah penyataan,
sama seperti pesan yang disampaikan oleh seorang nabi Allah. Kuasa Allah ditekankan
berulang-ulang dalam Kitab-kitab Yosua, Hakim-hakim dan Rut. Allah memberikan
kemenangan kepada umat Israel atas bangsa Kanaan dalam menaklukkan negeri itu. Allah terus
menyatakan diri Nya sebagai Penguasa Tertinggi atas seluruh alam semesta. Seluruh bumi
adalah milik-Nya (Yos .1:3; 14:1-2; 21; 43). Lagu atau nyanyian Debora dalam Hakim-Hakim 5
memahami peristiwa perang yang dialami oleh bangsa Israel sebagai perang suci: karena
nyanyian itu berisi pujian kepada TUHAN, yang membuat tentara menjadi bersatu dan bersedia;
Yahweh secara pribadi datang ke pertempuran; adanya intervensi dari surga, semua itu
menunjukkan bahwa kejadian tersebut terjadi seperti di ruang sakral dan dalam bentuk sakral.
Bagi Israel, perang dilakukan hanya sesuai dengan kehendak Allah, di bawah pimpinan-Nya,
dan diselesaikan dengan kepercayaan kepada Nya. Musuh Israel adalah musuh Allah.
Kelangsungan hidup umat perjanjian milik Allah harus lestarai. Umat harus disucikan dari
segala immoralitas yang hebat yang merusak kehidupan mereka, karena Israel menjadi alat
penyelamatan ilahi bagi dunia. Hal tersebut membantu pengertian tentang larangan yang
melibatkan pembinasaan tuntas (kherem) yang berarti dikhususkan untuk dimusnahkan (Yos.
6:17). Di sisilain, peperangan juga merupakan alat yang dipakai oleh Allah untuk menghukum
bangsa Israel (Hab. 1:6; Ye. 10:5; Yer 25:1-9; Yeh. 21:8-23). Pondasi ideologis agama dari
perang suci, merupakan bagian dari suatu ritual primitif dari tradisi Israel kuno, sebagai bentuk
praktik pemujaan yang ingin mengatur seluruh ruang kehidupan dalam masyarakat secara sakral
dan terikat satu sama lainnya. Johannes Pedersen telah menggambarkan perang suci sebagai
jaringan magis besar kekuasaan. Allah adalah sumber daya; dan dari Tuhan setiap prajurit secara
individu menerima kekuasaan. Hal tersebut menunjukkan konsep iman dari Israel yang percaya
diri dengan yakin pada tindakan Yahweh, dan hal itu menjadi ciri khas dari perang suci yang
memiliki karakter dinamis dalam masyarakat Isarel kuno.

"Holy War", menurut Peter C. Craigie, adalah perang yang pertama-tama menawarkan
damai kepada orang. Jika mereka tidak mau berdamai, maka itulah alasan untuk memerangi
mereka. Perang itu dilakukan adalah dalam rangka membangun (construction) kehidupan suatu
bangsa, jadi bukan dengan menghancurkan (destruction). Perang dilakukan untuk memenuhi
keinginan Allah (God's will), bukan keinginan manusia (human's will). Dengan membaca
Ulangan 7 dan 20, bersama dengan kitab Yosua, Hakim-hakim dan Samuel, secara teliti sulit
untuk menemukan ketidaksetujuan dengan pandangan Baron de Jomini yang mengatakan:
"religious wars ar above all the most deporable" (perang-perang yang bersifat agama adalah
sangat tercela). Perang penaklukkan yang digambarkan di dalam PL adalah perang bersifat
agama, tidaklah perlu seperti yang dikatakan perang-perang suci. Kata suci (holy) seharusnya
berkaitan dengan kebaikan dan murni. Ekspressi "holy war" bukanlah berasal dari teks-teks
alkitabiah. Para penulis teks-teks alkitabiah memang menunjuk kepada "perang-perang
TUHAN" (Wars of the Lord), (Bil. 21:14; 1 Sam. 18:17; 25:28). Bahwa perang-perang dalam
yang berlangsung di Israel kuno memiliki sebuah karakter keagamaan yang signifikan bagi
mereka. Sebelum suku-suku Israel berangkat perang, mereka berkonsultasi kepada Allah untuk
meminta petunjuk, disimbolkan dengan Tabut Perjanjian. Ketika mereka menang, nyanyian
dinyanyikan dalam kemenangan Allah dalam sebuah selebrasi kemenangan.

Perang suci itu masih tetap pertanyaan besar di dalam pembahasan teologi. Itulah
sebabnya Gerhard von Rad mengatakan bahwa perang di Israel kuno adalah sebuah tindakan
kultus yang berlangsung secara amphictyony (the cultic confederation of Hebrew tribes); itu
kudus karena itu adalah tindak kultus, bukan sesederhana sebuah tindakan berdimensi
keagamaan. Pandangan von Rad ini banyak dikritisi para ahli, yang mengatakan bahwa perang
di Israel tidak dapat disebut perang kudus (holy war), tetapi adalah "perang-perang Yahweh"
(Yahweh war). Ketika perang berkaitan dengan agama, itu tidak lebih sebuah kultus dan
tindakan kudus dari pada pengguntingan domba. Jadi adalah lebih bijaksana jika istilah "holy
war" dijauhkan, dan lebih baik menggunakan "Yahweh war" atau "wars of the Lord". Tetapi
walaupun demikian masih diperlukan debat secara akademik antara batasan "holy war" dengan
"wars of the Lord." Di dalam uraian berikutnya, Craigie memberikan bukti adanya usulan
dengan menggunakan istilah "Just War" yang berangkat dari tulisan Ambrosius dan Agustinus
di abad ke-3 dan ke-4. Di dalam "Just War" ada beberapa aturan tertentu (rules of conduct) yang
harus dilakukan di dalam perang, misalnya, tidak diperlukan korban, tidak perlu kehancuran, dll.

Anda mungkin juga menyukai