Di Susun Oleh :
IX – A
A. Latar Belakang
Belanda tidak mau membicarakan masalah Irian Barat dengan Indonesia.
Berdasarkan keputusan KMB pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag
Belanda, “Bahwa masalah Irian Barat akan dibicarakan antara Indonesia dengan
Belanda satu tahun setelah Pengakuan Kedaulatan”
B. Perjuangan Diplomasi
- Bilateral : Perundingan 2 negara
- Multilateral : Perundingan banyak negara
Walaupun dilakukan perundingan lewat siding di PBB, tahun 1954 mengalami
kegagalan.
Pada tanggal 30 September 1948, seluruh kota Madiun dapat di rebut kembali
oleh TNI yang dipimpin oleh Kol. A.H. Nasution. Musso melarikan diri ke luar kota
dan dapat di kejar yang akhirnya di tembak oleh TNI. Sedangkan Amir Syarifudin
tertangkap di hutan Ngrambe, Grobogan, Purwadadi dan akhirnya di hukum mati.
B. Peristiwa DI/TII dan Cara yang Dilakukan Oleh Pemerintah
dalam Penanggulangannya
Tindakan yang dilakukan oleh DI/TII ini antara lain, membakar rumah – rumah
rakyat, membongkar sel kereta api, dan merampok harta benda penduduk.
1. Keadaan Politik
3. Keadaan Budaya
Kondisi politik dan ekonomi yang semakin tegang, berdampak pada social
budaya masyarakat. Budaya yang berbau bangsa barat di larang keras untuk
masuk ke Indonesia.
Indonesia memutuskan keluar dari PBB pada tanggal 7 Januari 1965. Penyebab
utamanya adalah
Pengaruh PKI yang besar dalam bidang politik sehingga memengaruhi terhadap
kebijaka pemerintah. Semua organisasi yang anti komunis dituduh sebagai anti
pemerintah. Manifesto Kebudayaan (Manikebu), sebagai organisasi para seniman
dibubarkan pemerintah pada bulan Mei 1964. Kebijakan politik luar negeri RI pada
waktu itu lebih condong ke Blok Timur yaitu dengan terbentuknya poros Jakarta –
Peting (Sekarang Beijing). Dan kemudian bergabung dengan Pyong Young dan
Hanoi.
1. Aksi Sepihak
MASYUMI
MURBA
PSI
3. Mengusulkan Angkatan Ke – 5
Mengusulkan angkatan ke – 5 yang terdiri dari para Buruh dan Petani dengan
memberikan mereka senjata.
PKI melatih 3000 kader yang terdiri dari pemuda, rakyat, dan Gerwani di
Lubang Buaya, Jakarta Timur tanpa sepengetahuan pemerintah.
5. Memfitnah TNI – AD
F. Pelaksanaan G 30 S/PKI
Puncak ketegangan politik terjadi pada dini hari tepatnya pukul 04.00 tanggal
30 September 1965 (memasuki 1 Oktober 1965) aksi ini di pimpin oleh Let. Kol
Untung Sutopo, komandan Batalyon I Cakrabirawa. Para pimpinan TNI – AD di
culik dan di bunuh oleh kelompok G 30 S/PKI yang di sebut dengan Pasukan
Pasupati. Target dari penculikan tersebut adalah :
Jasadnya di masukkan kedalam sebuah sumur tua yang telah kering dan di
kubur oleh tanah, di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Dengan menghimpun pasukan lain termasuk Divisi Siliwangi dan Resimen Para
Komando Angkatan Darat (RPKAD), kecuali Ali yang mendukung G 30 S/PKI. Di
pimpin oleh Kol. Inf. Sarwo Edhi Wibowo mulai melakukan penumpasan terhadap
G 30 S/PKI.
Pada tanggal 1 Oktober 1965, pasukan RPKAD berhasil merebut kembali kantor
Telkom dan RRI pada pukul 19.20. Selanjutnya menjelang sore hari pada 2 Oktober
1965, pasukan RPKAD dapat mengambil kembali Bandar Udara Halim
Perdanakusumah yang menjadi pusat kegiatan G 30 S/PKI.
Dalam operasi pembersihan yang di lakukan pada 3 Oktober 1965 atas
petunjuk Brig. Pol. Sukitman, di temukannya sumur tua tempat jenazah para
pimpinan TNI – AD di kubur. Pada 4 Oktober 1965, di lakukan pengambilan jenazah
oleh pasukan Amphibi KKO AL (Marinir) sampai pukul 15.00. Dan keesokan harinya
para jenazah tersebut di makamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Nyono
Utomo Ramelan
Zamkamara Zaman
Kol. Sahirman
Mayor Mulyono
BAB XIV
4. NAWAKSARA
MPRS memninta pertanggung jawaban terhadap Presiden Soekarno dalam
Sidang Umum MPRS 1966 atas terjadinya pemberontakan G 30 S/PKI, Presiden
Soekarno menyampaikan amanatnya pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul
NAWAKSARA.
Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden Soekarno memberikan pelengkap
NAWAKSARA. Akan tetapi, isinya tidak dapat memuaskan banyak pihak. Oleh
karena itu DPR – GR mengajukan Resolusi dan memorandum tanggal 9 Februari
1967, menolak NAWAKSARA. Pada tanggal 22 Februari 1967, Presiden Soekarno
menyerahkan kekuasaaan kepada pengemban ketetapan MPRS No. IX, Jendral
Soeharto.
3. GBHN (Operasional)