D. Pendapat
Penggambaran Bung Karno sakit keras :
Sukarno adalah pribadi yang hidup, jiwanya bergelora tapi dalam film itu ia
digambarkan sedang sakit keras, semangat hidupnya nyaris tak ada. Di dalam cerita
ini pemeran Bung Karno, Umar Khayam kerjanya hanya di tempat tidur atau
berjalan seperti orang bingung. Bahkan adegan pertama dimulai dengan
penggambaran sakitnya Bung Karno. Pesan dari tampilnya Bung Karno yang sakit
ini adalah "Raja Sedang Sakit" dalam negara yang demokrasinya gagal, sakitnya raja
akan selalu melahirkan suasana kalut, takut, dan mencekam karena akan terjadi
bayangan perang suksesi. Disini yang siap dalam perang suksesi adalah PKI yang
selalu digambarkan rapat terus menerus. Padahal di masa terjadinya Penculikan
Untung sebelum dan sesudah Bung Karno dalam kondisi bugar, ia bagai banteng
ketaton jadi penggambaran Bung Karno di dalam ranjang yang kusam adalah sebuah
pesan sesuai dengan jalan cerita yang diinginkan oleh pembuat film dan penyokong
fim itu.
Setelah adanya tampilan raja sakit itu :
kemudian digambarkan dua sisi masyarakat, satu kelompok kelas menengah yang
isinya seorang laki-laki pensiunan bicara terus menerus dengan isteri dan anaknya
yang sedang latihan drumband dengan mengetuk-ngetukkan meja. Dan
penggambaran kedua adalah orang Miskin, gelandangan yang baru tiba di Jakarta.
Pesan dari film ini adalah masyarakat terdidik resah dengan kondisi negara yang
kacau balau sementara rakyat gelandangan ada dimana-mana. Kontras semakin bisu
setelah penggambaran Istana Sukarno dengan tampilan gelandangan, secara
tersembunyi film itu ingin mengesankan bahwa Sukarno yang hidup bagai raja,
sementara rakyatnya tidur di pinggir jalan dan kelaparan. Padahal realitasnya di
jaman itu Sukarno begitu dielu-elukan rakyatnya, walaupun rakyatnya miskin tapi
jiwa rakyat masih mendukung Bung Karno sebagai pemimpin mereka, bahkan di
saat itu Bung Karno berdiri di pihak rakyat jelata berhadap-hadapan vis a vis dengan
kelompok elite yang secara status quo menolak revolusi Bung Karno yang
mengganggu kenyamanan mereka.
Rapat-rapat PKI dan asap rokok terus meneru.
Digambarkan dalam rangkaian sebelum kejadian penculikan rapat-rapat PKI terjadi,
dan asap mengepul dimana-mana. Pesan dari adegan ini adalah seluruh gerakan dari
semua proses dialektis politik seakan-akan terjadi karena PKI, PKI dianggap sebagai
pusat penyadaran dari aktivitas Pra Penculikan para Jenderal. Padahal sebelum
terjadinya gerakan Untung, kegiatan intelijen tidak hanya dilakukan PKI, bahkan
PKI sendiri masih bagian kecil dari gerakan itu. Gerakan intel ada yang dari
kelompok Bandrio melalui BPI, gerakan Angkatan Darat lewat segala macam move
politiknya, gerakan Partai-Partai Politik baik yang sudah disortir macam PSI lewat
Gemsos-nya dan pelarian di luar negeri yang membangun jaringan politik
internasional, Masyumi yang habis gara-gara PRRI kemudian digantikan posisinya
oleh NU, HMI yang bertahan dari ancaman DN Aidit untuk dibubarkan, Gerakan
Ganjang Malaysia yang lagi seru-serunya, Sosialisasi Angkatan Ke V yang ditolak
Yani, Gerakan diam-diam Nasution yang juga menggunakan agen intel bernama
Oejeng Suwargana (banyak diceritakan baik oleh Rosihan Anwar ataupun AM
Hanafi), Ditemukannya rekaman rencana Dewan Djenderal oleh beberapa orang
Partai yang memuat nama S Parman, dipersiapkan sebagai Jaksa Agung dan banyak
lagi selentingan-selentingan yang memang wajar di masa semuanya bersiap dalam
pertarungan politik di masa revolusi Sukarno. Tapi yang jelas PKI bukanlah satu-
satunya pusat dari pertarungan itu.
DN Aidit dan asap rokok.
Digambarkan DN Aidit sebagai seorang perokok, padahal yang perokok bukanlah
DN Aidit tapi pemeran DN Aidit dalam film itu : Syu'bah Asa. Hanya saja sebagai
penguatan karakter orang yang sedang membangun rencana maka asap rokok
diperlukan untuk menjadi sebuah arahan bagaimana orang sedang berpikir keras
untuk membangun rencana jahatnya sesuai dengan keinginan pembuat film. Dalam
peran antagonis di film ini, rokok menjadi salah satu blocking yang menarik.
Hadirnya Suharto yang tiba-tiba.
Dalam film itu setelah penculikan Untung Suharto ada secara tiba-tiba. Di awal-awal
sebelum penculikan seakan-akan Suharto tidak ada dan tidak berperanan. Film ini
ingin memesankan : Suharto tidak tahu menahu soal perencanaan dan tidak bermain
di prolog Gestapu dan film ini berakhir dalam adegan penggalian lobang buaya dan
ditambahi suara rekaman AH Nasution. Film ini hanya menekankan pada aksi
penculikan, makanya setelah film G 30 S/PKI sebenarnya ada film lanjutan judulnya
'Supersemar' tapi entah kenapa film lanjutan itu tidak jadi dipertunjukkan, oleh sebab
memang penyimpangan Suharto yang paling utama terjadi setelah pasca penculikan
seperti penafsiran masalah Supersemar. Padahal dalam kejadian sebenarnya Suharto
juga berperanan dalam prolog kejadian Untung seperti : Suharto memerintahkan
dengan mengeluarkan radiogram no. T 220/9 pada tanggal 15 September 1965 dan
radiogram lanjutan T 230/9 Yon 530 Brawijaya dan Yon 454 'Banteng Raiders'
Diponegoro untuk datang ke Jakarta dengan kelengkapan penuh. Sementara pada
tanggal 29 September 1965 Suharto melakukan inspeksi ke Pasukan tersebut. Dua
Batalyon yang datang inilah yang kemudian terlibat dalam peristiwa penculikan
Untung. Selain Resimen Cakrabirawa yang juga digunakan oleh Letnan Kolonel
Untung untuk melakukan pekerjaan gilanya. Jadi hadirnya Suharto dalam peristiwa
G 30 S/PKI bukanlah tiba-tiba apalagi pada tahun 1978 pada Pledoi Kolonel Latif
dinyatakan Suharto dua kali dilapori oleh Latif tentang rencana operasi Latif ini dan
Suharto sudah mendapatkan kabar, tapi ini sama sekali tidak pernah ada adegan
dalam film itu.
Film ini tidak secara jelas siapa yang memerintahkan membunuh para Jenderal itu.
Artinya film G 30 S/PKI yang sangat indah dalam filmis dan wajib tonton lebih
menekankan pada histeria massa. Ketakutan-ketakutan yang ditimbulkan seperti
peristiwa penginjakan Al Qur'an dan segala macam bentuk kemuraman yang
mengelilinginya. Film itu berakhir dengan datangnya fajar dimana gelandangan tadi
melihat Jakarta yang cerah seakan-akan hadir sebuah jaman baru.