Anda di halaman 1dari 4

Implementasi Pengebirian dalam UU

Perlindungan Anak dan Kode Etik


Kedokteran
Perppu Pengebirian telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, pada tanggal 9 November 2016 lalu. Namun sampai 7
bulan setelah disahkan, sampai saat ini belum dibentuk peraturan pelaksana untuk
memudahkan pelaksanaan eksekusi.

Undang-Undang ini bertujuan untuk melindungi hak anak agar dapat hidup dan
berkembang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Selain itu agar setiap
anak Indonesia dapat mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan baik
fisik maupun psikis.

Pengebirian merupakan bentuk hukuman yang bertujuan untuk mengurangi


keinginan hasrat seksual seseorang. Hukuman kebiri muncul setelah semakin
maraknya kejahatan seksual terhadap anak. kejahatan yang baru saja terjadi menimpa
seorang anak menuju remaja berusia 13 tahun di daerah Cengkareng, Jakarta Barat,
yang diperkosa disertai dengan pembunuhan yang mengakibatkan kematian. Pelaku
memperlakukan korban dengan tidak manusiawi karena ketika di ketemukan korban
dalam kondisi terikat kaki dan lehernya.

Kejahatan seksual merupakan kejahatan yang sangat kejam karena untuk


menghilangkan jejak dapat saja mereka melumpuhkan sampai dengan menghilangkan
nyawa korbannya, sehingga negara sebagai pelindung masyarakat berupaya mencari
pola dan sistem pembinaan yang komprehensif sehingga dapat mengendalikan jiwa
dan pikiran manusia untuk dapat menghindari penyaluran hasrat seksual secara
immoral dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Meskipun telah adanya sanksi yang sangat berat dan tegas bagi pelaku
kejahatan seksual terhadap anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, namun pada kenyataannya ancaman hukuman tersebut
belum dapat memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Hal ini dapat di lihat dengan semakin meningkatnya kejahatan seksual terhadap anak
secara signifikan yang merambah sampai dengan pengancaman dan membahayakan
jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak. Sehingga hal
tersebut mengganggu kenyamanan, ketentraman, keamanan, dan ketertiban
masyarakat.

Karena itu, kemudian dibentuklah Perpu pengebirian yang ditetapkan menjadi


Undang-Undang Nomor 17 Tahun tentang Perlindungan Anak. Dalam pelaksanaan
hukuman pengebirian, banyak pihak yang akan terlibat didalamnya salah satu pihak
yang terlibat adalah tenaga medis (dokter). Salah satu fungsi dokter adalah untuk
menyembuhkan dan tidak untuk menyakiti atau menghilangkan hak seseorang. Dalam
kaitan dengan pelaksanaan hukuman kebiri tersebut apakah dokter yang terikat dengan
kode etik profesi kedokteran memungkinkan melaksanakan hukuman tersebut?

Kejahatan seksual merupakan salah satu kejahatan luar biasa yang dapat
menghilangkan hak orang lain, dan bertentangan dengan konstitusi, khususnya dalam
pasal 28J UUD 1945 Ayat (1) yang menegaskan: 'Setiap orang wajib menghormati hak
asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara'.

Ayat (2): 'Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis'.

Jika kita membaca dengan seksama Pasal 28J tersebut maka setiap orang wajib
menghormati hak orang lain. Namun dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hak orang
lain yang berimplikasi sangat besar terhadap masa depan korban dan jika dikaitkan
dengan kejahatan seksual yang dapat berimplikasi sangat luas baik terhadap masa
depan ataupun kehidupan korban maka pengenaan sanksi tambahan berupa
pengebirian dan pemberian chip kepada pelaku kejahatan seksual merupakan sesuatu
yang sangat setimpal.

Selain itu pengenaan sanksi yang merupakan pidana tambahan ini juga hanya
bersifat sementara dan tidak selamanya. Bagi kalangan medis yang memiliki keahlian
terhadap pelaksanaan hukuman kebiri ini sudah selayaknya dapat melakukan eksekusi
terhadap pelaku, yang berdasarkan Pasal 28J tersebut, telah melanggar hak orang lain.
Hak ini menurut penulis tidak dapat dikatakan sebagai kegiatan yang melanggar kode
etik kedokteran yang dimiliki oleh Profesi kedokteran.

Kode Etik Kedokteran

Kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh
suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma
sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk
dalam kategori norma hukum yang didasari kesusilaan. Kode Etik juga dapat diartikan
sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan
atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman
berperilaku dan berbudaya. Tujuan kode etik agar profesionalisme memberikan jasa
sebaik-baiknya kepada pemakai jasanya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan
yang tidak profesional.

Kode etik adalah pedoman perilaku yang berisi garis-garis besar, adalah
pemandu sikap dan perilaku. Dalam kedokteran, kode etik menyangkut 2 (dua) hal yang
harus diperhatikan ialah:
1. Etik Jabatan Kedokteran (medical ethics). Menyangkut masalah yang berkaitan
dengan sikap dokter terhadap teman sejawat, para pembantunya serta terhadap
masyarakat dan pemerintah.

2. Etik Asuhan Kedokteran (ethics of medical care). Mengenai sikap dan tindakan
seorang dokter terhadap penderita yang menjadi tanggungjawabnya.

Ketika berbicara mengenai kode etik kedokteran maka terkait di dalamnya


pedoman bagi dokter Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan praktik kedokteran,
berdasarkan Pasal 7a kode etik kedokteran. Seorang dokter harus dalam setiap praktik
medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan
moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas
martabat manusia.

Berdasarkan Pasal tersebut pengenaan hukuman pengebirian yang merupakan


mengambil hak tertentu dari seseorang merupakan hal yang bertentangan dengan kode
etik kedokteran yang telah ada. Karena pada hakekatnya tenaga medis bertujuan untuk
menyembuhkan dan menyehatkan pasiennya bukan menyakiti ataupun menghilangkan
kemampuan dari sehat menjadi sakit.

Tidak Bertentangan

Hukum Kebiri bukanlah hukuman yang baru, karena banyak negara yang telah
melaksanakan hukuman kebiri untuk menekan angka kejahatan seksual di negaranya.
Setidaknya ada 20 Negara yang sampai saat ini masih menerapkan hukuman kebiri,
baik secara sukarela (atas permintaan sendiri) seperti yang di lakukan di Jerman dan
inggris atau karena hukuman mandatory/dengan putusan pengadilan atau sifatnya
pemaksaan, seperti di negara polandia, rusia, skandinavia, korea selatan.

Selain negara-negara tersebut, Negara-negara bagian Amerika Serikat juga ada


yang menjatuhkan hukuman kebiri kimia. Di negara bagian California, Florida, Georgia,
Iowa, Louisiana, Montana, Oregon, Texas dan Wisconsin, hakim diperbolehkan
menjatuhkan hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual.

Kebiri kimia dilaksanakan dengan pemberian obat yang membuat kadar


testoteron sama seperti anak yang belum akhil baliq. Berdasarkan hasil penelitian di
Skandinavia, efek kebiri kimia secara signifikan dapat mengurangi kemungkinan pelaku
melakukan kejahatannya kembali. Secara prosentase setelah adanya hukuman
pengebirian, sebanyak 40% pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya. Namun
demikian masih terdapat 5% pelaku yang menjalani kebiri akan mengulangi
perbuatannya.

Pengebirian merupakan pidana tambahan yang bertujuan untuk mengurangi


hasrat seksual agar pelaku kejahatan seksual dapat jera dan tidak akan melakukan
kejahatannya kembali dan berdasarkan penelitian di skandinavia dapat mengurangi
40% pelaku tidak akan melakukan kejahatan seksual kembali. Jika melihat dari hal
tersebut maka tidak ada alasan bagi tenaga medis untuk menolak melakukan tindakan
pengebirian terhadap pelaku kejahatan seksual dengan alasan kode etik kedokteran.
Alasannya, berdasarkan Pasal 28J suatu hak dapat direnggut dari seseorang
ketika orang tersebut sudah 'melanggar' atau mengambil dan meniadakan hak orang
lain. Selain itu eksekusi pengebirian adalah perintah undang-undang dan ada dasar
hukumnya sehingga dokter sebagai pelaksana eksekusi tidak dapat menolak. Hal ini
dapat dianalogikan dengan tugas dari kepolisian.

Sesuai ketentuan, polisi dilarang menembak mati namun karena perintah


undang-undang, polisi selama ini tetap melaksanakan eksekusi hukuman mati dengan
dasar melaksanakan keputusan undang-undang yang memerintahkan. Beberapa
negara di Eropa dan Asia telah melakukan praktik pengebirian dan kini kita tinggal
menunggu implementasi dari peraturan yang sudah di buat oleh negara untuk
melindungi warga negaranya.

Anda mungkin juga menyukai