Undang-Undang ini bertujuan untuk melindungi hak anak agar dapat hidup dan
berkembang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Selain itu agar setiap
anak Indonesia dapat mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan baik
fisik maupun psikis.
Meskipun telah adanya sanksi yang sangat berat dan tegas bagi pelaku
kejahatan seksual terhadap anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, namun pada kenyataannya ancaman hukuman tersebut
belum dapat memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Hal ini dapat di lihat dengan semakin meningkatnya kejahatan seksual terhadap anak
secara signifikan yang merambah sampai dengan pengancaman dan membahayakan
jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak. Sehingga hal
tersebut mengganggu kenyamanan, ketentraman, keamanan, dan ketertiban
masyarakat.
Kejahatan seksual merupakan salah satu kejahatan luar biasa yang dapat
menghilangkan hak orang lain, dan bertentangan dengan konstitusi, khususnya dalam
pasal 28J UUD 1945 Ayat (1) yang menegaskan: 'Setiap orang wajib menghormati hak
asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara'.
Ayat (2): 'Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis'.
Jika kita membaca dengan seksama Pasal 28J tersebut maka setiap orang wajib
menghormati hak orang lain. Namun dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hak orang
lain yang berimplikasi sangat besar terhadap masa depan korban dan jika dikaitkan
dengan kejahatan seksual yang dapat berimplikasi sangat luas baik terhadap masa
depan ataupun kehidupan korban maka pengenaan sanksi tambahan berupa
pengebirian dan pemberian chip kepada pelaku kejahatan seksual merupakan sesuatu
yang sangat setimpal.
Selain itu pengenaan sanksi yang merupakan pidana tambahan ini juga hanya
bersifat sementara dan tidak selamanya. Bagi kalangan medis yang memiliki keahlian
terhadap pelaksanaan hukuman kebiri ini sudah selayaknya dapat melakukan eksekusi
terhadap pelaku, yang berdasarkan Pasal 28J tersebut, telah melanggar hak orang lain.
Hak ini menurut penulis tidak dapat dikatakan sebagai kegiatan yang melanggar kode
etik kedokteran yang dimiliki oleh Profesi kedokteran.
Kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh
suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma
sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk
dalam kategori norma hukum yang didasari kesusilaan. Kode Etik juga dapat diartikan
sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan
atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman
berperilaku dan berbudaya. Tujuan kode etik agar profesionalisme memberikan jasa
sebaik-baiknya kepada pemakai jasanya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan
yang tidak profesional.
Kode etik adalah pedoman perilaku yang berisi garis-garis besar, adalah
pemandu sikap dan perilaku. Dalam kedokteran, kode etik menyangkut 2 (dua) hal yang
harus diperhatikan ialah:
1. Etik Jabatan Kedokteran (medical ethics). Menyangkut masalah yang berkaitan
dengan sikap dokter terhadap teman sejawat, para pembantunya serta terhadap
masyarakat dan pemerintah.
2. Etik Asuhan Kedokteran (ethics of medical care). Mengenai sikap dan tindakan
seorang dokter terhadap penderita yang menjadi tanggungjawabnya.
Tidak Bertentangan
Hukum Kebiri bukanlah hukuman yang baru, karena banyak negara yang telah
melaksanakan hukuman kebiri untuk menekan angka kejahatan seksual di negaranya.
Setidaknya ada 20 Negara yang sampai saat ini masih menerapkan hukuman kebiri,
baik secara sukarela (atas permintaan sendiri) seperti yang di lakukan di Jerman dan
inggris atau karena hukuman mandatory/dengan putusan pengadilan atau sifatnya
pemaksaan, seperti di negara polandia, rusia, skandinavia, korea selatan.