Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa
melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
Pancasila dan Permasalahan SARA (Suku,Ras,Agama, dan Antargolongan).

Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memberikan informasi
tentang pentingya pemahaman nilai-nilai Pancasila sebagai wujud rasa persatuan dan
persaudaraan sebagai tugas yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa.

Makalah ini disusun berdasarkan artikel yang telah dibaca, namun dalam penyusunannya,
penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh dari taraf kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna menyempurnakan
segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.

Satu harapan penulis semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca.

Palopo, 4 Desember 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
. i

DAFTAR ISI
. ii

BAB I PENDAHULUAN..
1

1.1 Latar Belakang .. 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penulisan .. 2


1.4 Manfaat Penulisan 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


3

2.1 Kajian teori .. 3

2.1.1 Pancasila 3

2.1.2 Suku,Ras,Agama dan Antargolongan (SARA). 4

BAB III PEMBAHASAN .


7

3.1 Pancasila dan permasalahan SARA yang ada di Indonesia 7

3.2 Penanganan konflik /kasus SARA di Indonesia .. 10

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 13

4.1 Kesimpulan .. 13

4.2 Saran . . 13

DAFTAR PUSTAKA
14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah Negara kepulauan dan memiliki berbagai suku, agama, ras, budaya, bahasa
daerah, dan golongan serta beberapa agama yang diperbolehkan berkembang di Indonesia.
Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa memiliki
kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Selain itu masing-masing suku
bangsa juga memiliki norma sosial yang mengikat masyarakat di dalamnya agar taat dan
melakukan segala yang tertera didalamnya. Dalam hal cara pandang terhadap suatu masalah atau
tingkah laku memiliki perbedaan. Ketika terjadi pertentangan antar individu atau masyarakat
yang berlatar belakang suku bangsa yang berbeda, mereka akan mengelompok menurut asal-usul
daerah dan suku bangsanya (primodialisme). Itu menyebabkan pertentangan\ketidakseimbangan
dalam suatu negara(disintegrasi). Secara umum, kompleksitas masyarakat majemuk tidak hanya
ditandai oleh perbedaan-perbedaan horizontal, seperti yang lazim kita jumpai pada perbedaan
suku, ras, bahasa, adat-istiadat, dan agama. Namun, juga terdapat perbedaan vertikal, berupa
capaian yang diperoleh melalui prestasi (achievement). Indikasi perbedaan-perbedaan tersebut
tampak dalam strata sosial, sosial ekonomi, posisi politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan
dan kondisi permukiman.

Sedangkan perbedaan horizontal diterima sebagai warisan, yang diketahui kemudian bukan
faktor utama dalam insiden kerusuhan sosial yang melibatkan antarsuku. Suku tertentu bukan
dilahirkan untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran
mana pun di Indonesia yang secara absolut menanamkan permusuhan etnik.

Sementara itu, dari perbedaan-perbedaan vertikal, terdapat beberapa hal yang berpotensi sebagai
sumber konflik, antara lain perluasan batas-batas identitas sosial budaya dari sekelompok etnik,
perubahan sosial, perebutan sumberdaya, alat-alat produksi dan akses ekonomi lainnya. Selain
itu juga benturan-benturan kepentingan kekuasaan, politik dan ideologi. Untuk menghindari
diperlukan adanya konsolidasi antar masyarakat yang mengalami perbedaan. Tetapi tidak semua
bisa teratasi hanya dengan hal tersebut. Untuk menuju integritas nasional yaitu keseimbangan
antar suku bangsa diperlukan toleransi antar masyarakat yang berbeda asal-usul kedaerahan.
Selain itu faktor sejarahlah yang mempersatukan ratusan suku bangsa ini. Mereka merasa
mempunyai nasib dan kenyataan yang sama di masa lalu. Kita mempunyai semboyan Bhineka
Tunggal Ika. Yaitu walaupun memiliki banyak perbedaan,tetapi memiliki tujuan hidup yang
sama. Selain itu,pancasila sebagai ideologi yang menjadi poros dan tujuan bersama untuk
menuju integrasi,kedaulatan dan kemakmuran bersama. Sehingga masalah sosial terkait SARA
(Suku Agama Ras dan Antargolongan) di Indonesia perlu diperhatikan karena tanah air kita ini
terdiri dari negara kepulauan dan memiliki berbagai suku bangsa yang mempunyai perbedaan
antar daerah. Hal tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial antar kelompok masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah :

1. Bagaimana peranan Pancasila dalam menyelesaikan kasus SARA dalam kehidupan


berbangsa dan bernegara ?
2. Bagaimana peranan Pancasila dalam membangun persatuan bangsa ?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Mengetahui cara penyelesaian kasus SARA dengan Pancasila


2. Mengetahui peranan Pancasila dalam membangun rasa persatuan bangsa.

1.4 Manfaat penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah :


1. Memberikan tambahan pengetahuan kepada masyarakat bagimana menyikapi
permasalahan SARA.
2. Menyadarkan masyarakat tentang arti penting Pancasila dalam mewujudkan rasa
persatuan bangsa.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian teori

2.1.1 Pancasila

1. Definisi

Pancasila ialah sebagai dasar negara sering juga disebut dengan dasar falsafah negara (dasar
filsafat negara atau philosophische grondslag) dari negara, ideologi negara (staatsidee). Dalam
hal tersebut Pancasila dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan negara. Dengan
kata lain ialah , Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur seluruh penyelenggaraan
negara.

Sebagai dasar negara Pancasila dipergunakan untuk dapat mengatur seluruh tatanan kehidupan
bangsa serta negara Indonesia, dalam artian , segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelaksanaan suatu sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) haruslah
berdasarkan Pancasila. Hal tersebut berarti juga bahwa semua peraturan yang ada dan berlaku di
negara Republik Indonesia harus bersumberkan pada Pancasila.

2. Fungsi Pancasila

Dalam kedudukannya sebagai dasar negara itu maka Pancasila berfungsi sebagai : sumber dari
segala sumber hukum (sumber tertib hukum) Negara Indonesia. Dengan demikian Pancasila
ialah :

1. asas kerohanian tertib hukum Indonesia;


2. suasana kebatinan (geistlichenhinterground) dari UUD;
3. cita-cita hukum bagi hukum dasar negara;
4. Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
5. Pancasila Sebagai Jiwa Bangsa Indonesia
6. Pancasila ialah sebagai kepribadian bangsa Indonesia, yang berarti Pancasila lahir
bersama dengan lahirnya bangsa Indonesia serta ialah ciri khas bangsa Indonesia dalam
sikap mental ataupun tingkah lakunya sehingga dapat membedakan dengan bangsa lain.
7. Perjanjian Luhurberarti Pancasila telah disepakati secara nasional sebagai dasar negara
tanggal 18 Agustus 1945 melalui sidang pada PPKI (Panitia Persiapan kemerdekaan
Indonesia)
8. Sumber dari segala sumber tertib hukumberarti , bahwa segala peraturan perundang-
undangan yang telah berlaku di Indonesia harus bersumberkan pada Pancasila atau tidak
bertentangan dengan Pancasila.
9. Cita- cita dan tujuan yang akan dicapai bangsa Indonesia, ialah masyarakat adil
serta makmur yang merata materil serta spiritual yang berdasarkan Pancasila.
10. Pancasila sebagai falsafah hidup yang mempersatukan Bangsa Indonesia.
11. Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia.

2.1.2 Suku,Ras,Agama, dan Antar Golongan (SARA)

1. Definisi

SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang
menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang
melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan
golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan
kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia. SARA dapat digolongkan
dalam tiga kategori yaitu :

Kategori pertama yaitu Individual : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh
individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun
pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina
identitas diri maupun golongan.
Kategori kedua yaitu Institusional : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu
institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau
tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun
kebijakannya.
Kategori ke tiga yaitu Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide
diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.Dalam pengertian lain SARA dapat di
sebut Diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu
tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu
tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat
manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang
lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku,
antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau
karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan.

2. Konflik SARA

Menurut pengertian, konflik SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) yaitu suatu
kekerasan yang dilatarbelakangi sentimental antar suku, agama, ras,atau golongan tertentu.
Konflik Sara biasanya karena adanya egoisitas seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan
dengan jalan kekerasan. Konflik tersebut bisa disebabkan hanya karena hal sepele, seperti
tersinggung, diledek atau hal-hal yang sekiranya tidak perlu dibesar-besarkan. Bukan hanya fisik
yang terkena dampaknya, psikispun terganggu. Pasca konflik tersebut seseorang mungkin saja
trauma akibat perlakuan yang tidak pernah dialami sebelumnya dan tidak mau mengalaminya
lagi. Sedangkan primordialisme yaitu suatu paham yang menganggap bahwa kelompoknya lebih
tinggi dan lebih hebat dari kelompok lain. Primordialisme tertuju kepada pemikiran suatu
kelompok terhadap kelompok lain. Paham tersebut mengakibatkan anggota-anggotanya lebih
menghormati kelompoknya sendiri dibandingkan dengan kelompok lain. Primordialisme dapat
berdampak positif dan juga dapat berdampak negative. Dampak positifnya, lebih mengeratkan
hubungan antar anggota-anggotanya tetapi dampak negatifnya, melihat kelompok lain lebih
rendah dan hina dihadapan mereka, serta segala halnya harus seperti yang mereka lakukan. Ada
sekelompok orang yang ingin mendominasi suatu kelompok tertentu dan ingin menguasai semua
hal yang menurut mereka berharga dan tak ternilai harganya. Entah itu Sumber Daya Alam,
Sumber Daya manusia, Pertambangan dan lain sebagainya. Tetapi kelompok yang terdominasi
ini melawan sekuat tenaga dan terjadilah konflik. Namun kelompok tersebut tidak dapat
melawan maka, mereka tidak segan-segan menyakiti atau bahkan membunuh demi kepentingan
mereka. Setelah mereka mengambil dan mengeruknya sampai habis, lalu mereka meninggalkan
dan mencari yang lainnya, ini akan berlanjut terus menerus karena ambisi manusia tidak pernah
reda. Konflik tersebut seharusnya dapat diatasi bila kita saling menghormati satu sama lain dan
menjaga agar tidak terjadi konflik yang berkelanjutan demi keutuhan hidup yang tentram dan
damai.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pancasila dan Permasalahan SARA yang ada di Indonesia

Permasalahan SARA yang ada di Indonesia sangatlah beragam. Mulai dari konflik
Suku,Agama,Ras maupun Golongan. Seperti yang sudah kita ketahui dan kita pelajari sejak
masih di Sekolah Dasar, bahwa semboyan Negara Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah kutipan dari buku atau kitab Sutasoma karya Mpu
Tantular. Kata Bhineka Tunggal Ika merupakan bahasa Jawa kuno yang jika diartikan bhinneka
berarti beraneka ragam atau berbeda-beda, tunggal berarti satu, sedangkan ika berarti itu. Secara
harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan Beraneka Satu Itu, yang bermakna meskipun
berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap satu kesatuan. Semboyan ini
digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa,
agama dan kepercayaan. Dipersatukan dengan bendera, lagu kebangsaan, mata uang, bahasa dan
lain-lain yang sama.

Kata-kata Bhinneka Tunggal Ika juga terdapat pada lambang negara Republik Indonesia yaitu
Burung Garuda Pancasila. Di kaki Burung Garuda Pancasila mencengkram sebuah pita yang
bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika.

Seakan kontras akan semboyan yang selama ini selalu kita bicarakan, kejadian yang ada di
lapangan justru jauh dari makna Bhineka Tunggal Ika. Banyaknya konflik yang terjadi karena
keberagaman suku, agama, atau apapun itu adalah indikasi bahwa tidak semua orang paham akan
makna semboyan negara kita tersebut. Jika mereka mengaku paham akan makna semboyan
Bhineka Tunggal Ika, mereka justru akan memahami perbedaan tersebut sebagai keberagaman
yang akan memperkaya negeri mereka. Tetapi yang terjadi adalah keberagaman tersebut
dijadikan alasan untuk menonjolkan perbedaan prinsip dan pendapat antar kelompok dan
golongan. Bagi yang menjadikan SARA sebagai konflik, maka mereka belum memahami
kesamaan yang ada dalam diri mereka, karena sebenarnya mereka adalah satu darah, satu bangsa,
dan satu tanah air yaitu Indonesia.

Jika kita lihat fenomena maraknya konflik berbau SARA saat ini, sebenarnya merupakan refleksi
proses panjang bangsa Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang sedang diuji. Jika
kita melihat kembali pada masa lalu, tidak akan ada kita lihat orang berperang atas nama
perbedaan. Para pahlawan contohnya. Walaupun mereka berbeda daerah asal, tapi mereka sama-
sama bertujuan dan bertempur melawan penjajah. Tidak ada yang saling berdebat bahwa cara
peperangan yang baik adalah dari daerahku, atau agama yang paling baik untuk dipertahankan
dan disebarkan pada masyarakat adalah agamaku. Semua seakan berjalan selaras dan saling
berdampingan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mengakui banyak perbedaan dan
seharusnya tidak ada konflik yang berujung pada kekerasan. Konflik sebagai alat berekspansi
merupakan sifat dasar manusia yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga
menimbulkan konflik. Kalau ada solusi untuk konflik itu maka ada perubahan untuk
penyesuaian, sedangkan kalau tidak ada solusi maka yang terjadi adalah peperangan.

Dengan adanya konflik SARA yang sering muncul akhir-akhir ini, mungkin kita tidak bisa hanya
menyalahkan orang-orang yang berkonflik saja, tetapi kita juga patut mengamati kinerja
pemerintahan dalam menangani konflik. Selama ini pemerintah hanya menyampaikan slogan-
slogan untuk meredam konflik, tanpa ada ketegasan dalam sebuah aturan dan tindakan kongkrit.
Pemerintah seolah menggampangkan kasus ini hanya menurunkan anggota militer yang
contohnya dalam kasus penyerangan jemaat Ahmadiyah di Banten yang saat terjadi penyerangan
hingga merusak satu rumah dan menelan tiga korban jiwa, mereka tetap tidak berkutik untuk
menghalang massa tersebut.

Sedangkan jika dilihat dari dasar negara kita pada sila ketiga yang berbunyi Persatuan
Indonesia mengajak masyarakat Indonesia untuk bersatu, menjaga perdamaian antar individu
dan antar kelompok. Dalam sila tersebut jelas digambarkan sebagai pohon beringin yang
melambangkan negara yang besar dimana rakyatnya bisa berlindung dibawah satu pemerintahan
yang kuat. Pancasila adalah ideologi bangsa, suatu jati diri bangsa, kepribadian bangsa, cita
cita bangsa. Jika kita gagal mempertahankan makna dari salah satu sila tersebut, maka dengan
kata lain kita pun mulai menghancurkan sendiri jati diri bangsa kita dihadapan bangsa lain, kita
menjatuhkan martabat bangsa kita yang mengaku sebagai negara dan bangsa yang menganut
sistem demokrasi. Cita-cita yang luhur mulia yang dibuat oleh para perintis kemerdekaan sedikit
demi sedikit pudar karena tingkah laku kita yang tidak bisa menjadi sikap dan perilaku kita.

Dalam sila Persatuan Indonesia diharapkan kita bisa mendukung antara satu dengan yang lain,
membentuk tujuan bersama yang nantinya dapat kita wujudkan dalam tindakan toleransi kepada
semua golongan tanpa melihat adanya status perbedaan yang dapat mewujudkan Indonesia yang
aman, nyaman, dan layak untuk dijadikan contoh sebagai negara keberagaman yang dapat
menyatukan perbedaan sehingga terciptalah keselarasan yang indah.
Pada prinsipnya Pancasila dibangun di atas kesadaran adanya kompleksitas, heterogenitas atau
pluralitas kenyataan dan pandangan. Artinya segala sesuatu yang mengatasnamakan Pancasila
tetapi tidak memperhatikan prinsip ini, maka akan gagal. Berbagai ketentuan normatif tersebut
antara lain: Pertama, Sila ke-3 Pancasila secara eksplisit disebutkan Persatuan Indonesia.
Kedua, Penjelasan UUD 1945 tentang Pokok-pokok Pikiran dalam Pembukaan terutama pokok
pikiran pertama. Ketiga, Pasal-Pasal UUD 1945 tentang Warga Negara, terutama tentang hak-
hak menjadi warga negara. Keempat, Pengakuan terhadap keunikan dan kekhasan yang berasal
dari berbagai daerah di Indonesia juga diakui, (1) seperti yang terdapat dalam penjelasan UUD
1945 tentang Pemerintahan Daerah yang mengakui kekhasan daerah, (2) Penjelasan Pasal 32
UUD 1945 tentang puncak-puncak kebudayaan daerah dan penerimaan atas budaya asing yang
sesuai dengan budaya Indonesia; (3) penjelasan Pasal 36 tentang peng-hormatan terhadap
bahasa-bahasa daerah. Kiranya dapat disimpulkan bahwa secara normatif, para founding fathers
negara Indonesia sangat menjunjung tinggi pluralitas yang ada di dalam bangsa Indonesia, baik
pluralitas pemerintahan daerah, kebudayaan, bahasa dan lain-lain. Justru pluralitas itu merupakan
aset yang sangat berharga bagi kejayaan bangsa. Beberapa prinsip yang dapat digali dari
Pancasila sebagai alternatif pemikiran dalam rangka menyelesaikan masalah SARA ini antara
lain: Pertama, Pancasila merupakan paham yang mengakui adanya pluralitas kenyataan, namun
mencoba merangkumnya dalam satu wadah ke-indonesiaan. Kesatuan tidak boleh
menghilangkan pluralitas yang ada, sebaliknya pluralitas tidak boleh menghancurkan persatuan
Indonesia. Implikasi dari paham ini adalah berbagai produk hukum dan perundangan yang tidak
sejalan dengan pandangan ini perlu ditinjau kembali, kalau perlu dicabut, karena jika tidak akan
membawa risiko sosial politik yang tinggi. Kedua, sumber bahan Pancasila adalah di dalam tri
prakara, yaitu dari nilai-nilai keagamaan, adat istiadat dan kebiasaan dalam kehidupan bernegara
yang diterima oleh masyarakat. Dalam konteks ini pemikiran tentang toleransi, kerukunan,
persatuan, dan sebagainya idealnya digali dari nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kebiasaan
kehidupan bernegera yang diterima oleh masyarakat.

3.2 Penanganan Konflik/Kasus SARA di Indonesia

Indonesia adalah negara hukum, dimana semua hal di Indonesia diatur dengan hukum. Hal
tersebut berlaku pula dalam konflik/kasus SARA. Berikut adalah Undang-undang yang mengatur
tentang kasus SARA yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan


Etnis

Pasal 4

1. Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa:


Memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada
ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan,
atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di
bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau
2. Menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis
yang berupa perbuatan:
3. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di
tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;
4. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau
tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
5. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum
atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau
6. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul,
pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras
dan etnis.

Pasal 16

Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain
berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1,
angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi


Elektronik

Pasal 28

(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Pasal 45

(2) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Pasal 156 KUHP barang siapa di depan umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian
atau merendahkan terhadap satu atau lebih suku bangsa indonesia di hukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya 4 (empat tahun) dengan hukuman denda setinggi-tingginya 450.000,00
(empat ratus lima puluh ribu rupiah).

Pasal 157 Ayat 1 barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau
lukisan di muka umum yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian,
atau merendahkan di antara atau terhadap golongan rakyat indonesia, dengan maksud supaya
isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan
.

UUD No 32 Tahun 2004 Pasal 78 Huruf B dalam kampanye dilarang menghina seseorang,
agama, ras, suku, golongan, dan calon kepala daerah atau wakil kepala daerah atau partai politik.
.

Pasal 116 Ayat 2 bagi tiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan
pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 Huruf B. Maka akan diancam
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga bulan) atau palin lama 18 (delapan belas bulan) dan
atau denda paling sedikit 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak 6.000.000,00
(enam juta rupiah)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan berbagai fakta yang telah kami paparkan di bab sebelumnya, kami dapat
menyimpulkan bahwa Pancasila telah menata kehidupan sosial di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Berkaitan dengan konflik SARA yang sering terjadi di negara ini, Pancasila telah
menjelaskan tentang pentingnya persatuan yang sebagaimana tercantum dalam Sila ketiga
Pancasila yang berbunyi Persatuan Indonesia. Namun rendahnya pemahaman masyarakat
tentang makna sila-sila Pancasila khususnya Sila ketiga ini menimbulkan banyaknya konflik
SARA yang terjadi.

4.2 Saran

Melihat kurangnya pemahaman masyarakat tentang makna sila-sila dalam Pancasila khususnya
sila ketiga, maka kami menyarankan agar pemerintah lebih mengedukasi masyarakat tentang
makna-makna sila dalam Pancasila demi tericptanya rasa persatuan,persaudaraan, rasa sebangsa
dan setanah air.

DAFTAR PUSTAKA

http://jhonmiduk8.blogspot.com/2014/06/indonesia-tanpa-diskriminasi-sara.html (diakses 4
Desember 2016)

http://www.documents.tips_makalah-pancasila-sara (diakses 4 Desember 2016)

http://research.amikom.ac.id/index.php/sti/article/download/6184/4597 (diakses 4 Desember


2016)
Latar Belakang Masalah

Dalam perjalanan sejarah eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat Negara Republik IndonesiaIndonesia.
mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi poliltik sesuai dengan kepentingan
penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung di balik legitimasi ideology
Negara Pancasila. Dengan kata lain Pancasila tidak lagi dijadikan Pandangan hidup bangsa
dan Negara

Berdasarkan kenyataan tersebut diatas gerakan reformasi berupaya untuk mengembalikan kedudukan dan fungsi
Pancasila yaitu sebagai dasar Negara Republik Indonesia yang direalisasikan dalam TAP SI MPR No.
XVIII/MPR/1998 disertai dengan pencabutan P-4 dan sekaligus juga pencabutan Pancasila sebagai satu-satunya
azas bagi Organisasi Sosial Politik (ORSOSPOL) di Indonesia.

Pancasila merupakan pandangan hidup dan falsafah bangsa Indonesia yang mana dahulu pernah akan
digantikan keberadaannya dari hati sanubari rakyat Indonesia oleh paham ideology lain. Pancasila adalah
pandangan hidup yang ber-Ketuhanan Maha Esa yang artinya bahwa manusia adalah makhluk ciptaan tujan
yang wajib percaya dan menyembah-NYA. Pancasila menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, persatuan,
kesatuan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Pancasila bersifat akomodatif dan menganut system
pemerintahan demokrasi berdasarkan kebijaksanaan musyawarah dan mufakat. Pancasila diamalkan melalui
pembangunan nasional dalam empat bidang politik, ekonomi, social budaya dan pertahanan keamanan. Dengan
mendalami nilai-nilai luhur Pancasila tentu kita sadar dan yakin akan keunggulan Pancasila.

Hal-hal tersebut diatas merupakan modal utama untuk menangkal bahaya laten komunisme ataupun laten-laten
yang lain. Cara pandang masyarakat mengenai Pancasila mulai masa Orde Baru sampai Orde Reformasi
mengalami perkembangan persepsi yang berbeda. Masa Orde Baru dimana penerapan Pancasila dilaksanakan
secara konsisten dan terarah walaupun masih banyak penyimpangannya. Dari dulu hingga sekarang kita kenal
dengan Wawasan Nusantara yang artinya cara pandang bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungan
nya kini lambat laun pudar dan hampir-hampir siswa sekolah kurang mengerti akan hal ini, itu merupakan salah
satu contoh kemunduran dari penerapan dari nilai-nilai Pancasila. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila yang biasa kita kenal dengan P4 mungkin merupakan salah satu contoh upaya pemerintah dalam
menanamkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila tapi pada masa reformasi nilai-nilai tersebut
mulai pudar dan hilang dalam pandangan masyarakat Indonesia. Pada masa reformasi penghayatan dan
pengamalan Pancasila rupanya mulai hilang dari benak warga Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa
merupakan salah satu contoh kurangnya pemahaman terhadap nilai luhur Pancasila. Toleransi beragama pun
juga mengalami pengapuran. Jadi bila dibandingkan dengan masa reformasi penerapan nilai-nilai luhur
Pancasila lebih baik pada masa orde baru yang pelaksanaannya dilakukan dengan konsisten serta
tanggungjawab. Tapi mengapa TAP MPR No. 2 tahun 1978 di cabut tanpa harus ada formula penggantinya?
Banyak sekali permasalahan yang harus kita sikapi dengan cermat mengenai perlunya kita memahami Pancasila
dan bagaimana menjalankannya secara murni dan konsekuen ?

Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis Pancasila beserta Permasalahannya yang berkaitan dengan masalah SARA, HAM dan Krisis
Ekonomi
2. Dapat memahami dan memperluas wawasan tentang permasalahan-permasalahan yang sering terjadi
dewasa ini di Indonesia
3. Menyimpulkan dan mencari jalan keluar (solusi) dari berbagai macam masalah yang berkaitan dengan
penerapan dan pengamalan Pancasila.

2. Permasalahan

2. 1. Isu SARA

Realitas budaya nusantara yang plural berdasarkan kemajemukan komunitas etnis yang
hidup di atas pulau atau gugusan pulau yang dipisahkan oleh lautan menunjukkan berbagai
macam perbedaan. Perbedaan peta geografis dan etnis-kultural inilah yang berpotensi sebagai
sumber dari berbagai jenis konflik yang timbul secara alamiah atau yang dengan sengaja
direkayasa menjadi konflik. Jenis konflik ditimbulkan, antara lain, oleh isu SARA dan oleh
adanya ketegangan antara keinginan untuk mempertahankan diri sebagai komunitas lokal
pada satu sisi, dan pada sisi lain lemahnya perekat keadilan yang seharusnya dapat merekat
seluruh komunitas agar dapat mempersatukan diri sebagai sebuah bangsa dengan makna
dalam ungkapan bhinneka tunggal ika sebagai jatidiri.

Secara alamiah timbul konflik pada sebagian komunitas nusantara yang ingin
mempertahankan identitas komunalnya dalam konteks etnis-kultural, termasuk SARA,
menghadapi nasionalisme melalui arus transformasi politik yang ingin membangun sebuah
masyarakat baru, yaitu masyarakat bangsa dari seluruh komunitas nusantara yang hidup di
dalam bekas wilayah jajahan Hindia Belanda yang heterogenik. Berdasarkan keinginan
alamiah inilah pula, maka ada elite yang ingin daerahnya merdeka sebagai negara atau
merdeka di dalam status negara federal setelah proklamasi 17 Agustus 1945.
Di antara konflik yang paling meresahkan ialah konflik yang bersumber dari isu SARA
dan isu yang ditimbulkan oleh kecenderungan kuat sebagian warga dan kelompok komunitas
nusantara yang menolak persatuan Indonesia (NKRI) atau tak menginginkan terbangunnya
masyarakat baru yang bernama bangsa Indonesia. Konflik di dalam membangun sebuah
masyarakat bangsa yang utuh, aman, dan damai ditimbulkan oleh transformasi politik yang
diwujudkan melalui pembangunan bangsa secara tak adil atau yang menyimpang dari tujuan
nasional sebagai manifestasi dari kepentingan bersama.

Secara fenomenal dapat disimak bahwa sebagian kerusuhan dan pemberontakan di


sejumlah daerah bermuatan bibit konflik yang berisu SARA atau berisu separatisme. Sebagian
pemberontakan yang bernuansa separatisme disebabkan oleh kesenjangan dari proses
pembangunan dan hasilnya antara pusat dan daerah. Keadilan yang tidak dapat atau kurang
dinikmati, baik di dalam partisipasi pembangunan, maupun di dalam penikmatan hasil
pembangunan antara pusat dan daerah, telah melahirkan kesenjangan yang mengundang
konflik dan ketegangan yang berkembang menjadi pemberontakan.

Pemadaman pemberontakan terhadap gerakan separatis di sejumlah daerah, seperti


RMS, PRRI/Permesta, Daud Beureu di Aceh, Kartosuwiryo di Jabar, Kahar Muzakkar di Sulsel,
dan gerakan OPM, secara militer atau secara represif tidak menyelesaikan akar persoalan.
Selama keadilan yang menjadi substansi utama yang dapat merekat segenap masyarakat
plural di atas bumi nusantara gagal diwujudkan, selama itu potensi konflik akan tetap
mengancam, termasuk ancaman politik yang bernuansa separatisme.

Berbagai kerusuhan yang bernuansa SARA selama ini dan api pemberontakan di tahun
50-an dan sesudahnya beraroma separatisme sudah berhasil dipadamkan. Namun, bara
apinya mungkin saja masih tersisa. Lanjutan tindakan pemulihan kehidupan masyarakat
melalui pembangunan yang berkeadilan dan berkeseimbangan adalah jawaban jitu untuk
benar-benar memadamkan seluruh sumber api kerusuhan dan pemberontakan dalam berbagai
bentuknya. Terwujudnya keadilan akan menyempitkan kesenjangan sebagai lahan subur bagi
tumbuh dan berkembangnya potensi konflik, baik yang bernuansa SARA, maupun yang
bermuatan isu separatisme.

Isu-isu SARA yang saat ini sedang menjadi perbincangan di kalangan publik tentang
maraknya paham-paham sesat yang sangat meresahkan bahkan sampai kasus penistaan
agama yang dilakukan oleh salah satu ormas agama tertentu tehadap agama lain sangat
mengganggu ketentraman kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Bila kita bertolak dari
dasar Negara kita yaitu Pancasila sebagai Pandangan hidup bangsa Indonesia khususnya sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa telah dijelaskan secara gamblang bahwa setiap
warganegara Indonesia diwajibkan memeluk agama yang telah ada untuk diyakini. Dalam
pengertian inilah maka Negara menegaskan dalam Pokok Pikiran ke IV UUD 1945 bahwa
Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa atas dasar Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab. Pada proses reformasi dewasa ini di beberapa wilayah Negara Indonesia terjadi
konflik sosial yang bersumber pada masalah SARA khususnya masalah agama. Hal ini
menunjukkan kemunduran bangsa Indonesia kearah kehidupan beragama yang tidak
berkemanusiaan dan betapa melemahnya toleransi kehidupan beragama yang berdasarkan
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Bila kita mengerti dan memahami apa yang telah
dijabarkan dalam butir-butir Pancasila tentunya kasus-kasus konflik social yang menjurus pada
SARA tentunya dapat kita hindari. Dengan semangat saling menghormati perbedaan
keyakinan, toleransi beragama dan tenggang rasa tentu kita bisa mewujudkan suasana
kehidupan yang harmonis dan penuh kerukunan menuju Indonesia yang Merdeka
seutuh-utuhnya.

2. 2. Hak Asasi Manusia (HAM)

Masalah HAM menjadi salah satu pusat perhatian manusia sejagat, sejak pertengahan
abad kedua puluh. Hingga kini, ia tetap menjadi isu aktual dalam berbagai peristiwa sosial,
politik dan ekonomi, di tingkat nasional maupun internasional.

Menurut konsiderans UU Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 bahwa yang dimaksud dengan
hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-NYA yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Disamping itu menurut UU No.
39 ttahun 1999 tersebut juga menentukan Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar atau hak-
hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak
Asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.
Hak Asasi tidak dapat dituntut pelaksanaannya secara mutlak karena penuntutan pelaksanaan
hak asasi secara mutlak berarti melanggar hak asasi yang sama dari orang lain.

Menurut sejarahnya asal mula hak asasi manusia ialah dari Eropa Barat yaitu Inggris.
Tonggak pertama kemenangan hak asasi manusia ialah pada tahun 1215 dengan lahirnya
Magna Charta. Perkembangan berikutnya ialah adanya revolusi Amerika 1776 dan revolusi
Perancis 1789. Dua revolusi dalam abad ke XVIII ini besar sekali pengaruhnya pada
perkembangan hak asasi manusia.

Hak Asasi Manusia yang kemudian disingkat HAM adalah permasalahan yang selama dua
atau tiga tahun terakhir menjadi bahan perbincangan masyarakat. Banyak contoh kasus-kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran HAM pada saat pelaksanaan jajak
pendapat Referendum Timor Timur. Kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di daerah Serambi
Mekkah Aceh yang banyak menelan korban jiwa dari pihak masyarakat sipil dan disinyalir
banyak di lakukan oleh oknum-oknum tentara yang notabene adalah para aparat-aparat
Negara sampai dengan kasus sengketa tanah yang melibatkan salah satu unsur alat
pertahanan negara yaitu tentara dalam hal ini Marinir dengan warga Alas Tlogo Pasuruan. Hal
ini sangat bertentangan dengan apa yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila. Banyak tokoh
yang dinyatakan sebagai tersangka tapi pada kenyataannya para pelaku masih bebas
berkeliaran sementara keluarga korban menanti kepastian hukum tentang apa yang
dialaminya. Tapi perlu kita ketahui sebenarnya kesalahan maupun pelanggaran itu juga tidak
sepenuhnya dilakukan oleh para oknum tentara. Masyarakat sipil mempunyai hak untuk hidup
tentara pun demikian. UU No. 39 tahun 1999 juga menentukan Kewajiban Dasar Manusia
yaitu seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana
dan tegaknya hak asasi manusia. Seperti yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945
pasal 28i ayat 5 (amandemen ke 2) yang berbunyi Untuk menegakkan dan melindungi hak
asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak
asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal
28j ayat 1 dan 2 (amandemen ke 2) yang intinya setiap manusia wajib menghormati hak asasi
manusia dan wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis. Jadi dalam masalah ini kita perlu secara cermat menanggapi kasus-
kasus seperti ini karena permasalahan yang demikian sangatlah kompleks dan sangat rentan
terhadap perpecahan atau ancaman diintegrasi bangsa.

Hak Asasi Manusia: Makna dan Historisitas.


Dari membandingkan beberapa definisi tentang hak, ia dapat dimaknai sebagai sesuatu
nilai yang diinginkan seseorang untuk melindungi dirinya, agar ia dapat memelihara dan
meningkatkan kehidupannya dan mengembangkan kepribadiannya.[i] Hak itu mengimplisitkan
kewajiban, karena pada umumnya seseorang berbicara tentang hak manakala ia mempunyai
tuntutan yang harus dipenuhi pihak lain. Dalam pergaulan masyarakat, adalah mustahil
membicarakan tanpa secara langsung mengaitkan hak itu dengan kewajiban orang atau pihak
lain.

Dari sejumlah hak-hak manusia itu ada yang dinilai asasi. Dalam kata asasi terkandung
makna bahwa subjek yang memiliki hak semacam itu adalah manusia secara keseluruhan,
tanpa membedakan status, suku, adat istiadat, agama, ras, atau warna kulit, bahkan tanpa
mengenal kenisbian relevansi menurut waktu dan tempat. Dengan demikian, hak asasi
manusia haruslah sedemikian penting, mendasar, diakui oleh semua peradaban, dan mutlak
pemenuhannya.

Kesadaran akan hak asasi dalam peradaban Barat timbul pada abad ke-17 dan ke 18
Masehi sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja kaum feodal terhadap rakyat yang
mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan. Sebagaimana dapat diketahui dalam
sejarah, masayarakat manusia pada zaman dahulu terdiri dari dua lapisan besar : lapisan atas,
minoritas, yang mempunyai hak-hak; dan lapisan bawah, yang tidak mempunyai hak-hak tetapi
hanya mempunyai kewajiban-kewajiban, sehingga mereka diperlakukan sewenang-sewenang
oleh lapisan atas. Kesadaran itu memicu upaya-upaya perumusan dan pendeklerasian HAM,
menurut catatan sejarah HAM berkembang melalalui beberapa tahap. Hal ini terutama dapat
dilihat dalam sejarah ketatanegaraan di Inggris dan Prancis. Yaitu ditandainya dengan
keberhasilan rakyat Inggris memperoleh hak tertentu dari raja dan pemerintahan Inggris yang
dituangkan dalam berbagai piagam seperti: Petition Of Rights tahun 1628, Habeas Corpus Act
tahun 1679 dan Bill Of Rights tahun 1689 serta dikeluarkannya Declaration des D du Citoyen
tahun 1789 di Prancis.[ii] Selain dua negara di atas, Bill Of Rights juga terjadi di negara bagian
Virginia tahun 1776, deklarasi kemerdekaan 13 Negara Bagian Amerika Serikat tahun 1789.

Setelah berakhirnya perang dunia I dan II dibentuk PBB dan dikeluarkan pernyataan
HAM internasional : Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948,
dan disusul dengan Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966 dan Covenant on
Economic, Social and Cultur Rights tahun 1966 dan Optional Protocol to he Covenant on Civil
and Political Rights tahun 1966. Kempat dokumen HAM internasional sering disebut sebagai
The International Bill Of Human Rights.
Dokumen-dokumen tersebut merupakan instrumen normatif HAM internasional yang
harus dihormati dan dipatuhi oleh setiap negara anggota PBB. Bahkan dalam Covenant on
Civil and Political Rights dimuat beberapa HAM yang penerapannya tidak dapat
diperkecualikan meskipun dalam keadaan sabagai luar biasa. Apapun kedaaannya hak-hak
yang dianggap sebagai intisari dari HAM harus tetap dihormati.

Adanya pengakuan dan perlindungan kedudukan pribadi dalam instrumen HAM tersebut
menunjukkan adanya kemajuan dalam nilai dan norma yang mendasari hubungan antar
negara. HAM yang dulu lebih merupakan urusan dalam negri masing-masing negara telah
bergeser menjadi nilai dan hubungan internasional, yaitu dibuktikan dengan adanya
persetujuan semua negara, setidak-tidaknya negara-negara anggota PBB terhadap deklarasi,
konvensi dan konvenan HAM internasional.

Deklarasi PBB tersebut dapat diklasifakasikan dalam tiga katagori:

1. Hak sipil dan hak ploitik, hak persamaan /kemerdekaan sejak lahir (pasal 1), hak untuk hidup
(pasal 3), hak untuk memperoleh keadilan didepan hukum (pasal 6-8), hak untuk memperoleh
perlakuan yang manusiawi (tidak sewenang-wenang) dalam penyelesain tertib sosial (pasal 5,
dan 9-11), hak untuk bebas bergerak, mencari suaka ke negara lain, dan menetapkan suatu
kewarganegaraan (pasal 13-15), hak untuk menikah dan membangun keluarga (pasal 16), hak
untuk bebas berpikir, berkesadaran dan beragama (pasal 18-19), dan hak untuk berkumpul
dan berserikat (pasal 20-21).

2. Hak eknomi dan sosial (pasal 22- 28) antara lain; hak untuk bekerja dan memeperoleh upah
yang layak, hak untuk beristirahat dan berkreasi, hak untuk mendapat liburan periodik dengan
(tetap) mendapat upah, hak untuk menikmati standar hidup yang cukup, termasuk perumahan
dan pelayanan medis, hak untuk memperoleh jaminan sosial, hak untuk memperoleh
pendidikan, dan hak untuk berperan serta dalam kegiatan kebudayaan.

3. Dan hak kolektif mencakup hak semua bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, hak semua
ras dan suku bangsa untuk bebas dari segala bentuk diskrimainasi, hak masyarakat untuk
bebas dari neo-kolonialisme (pasal 28-30).

Hak-hak asasi manusia di atas, walaupun merupakan dekalarasi PBB dimana seluruh
bangsa dari pelbagai penjuru dunia terlibat, namun harus diakui berasal dari buah pemikiran
dan anak peradaban barat.

Pengaturan HAM di Indonesia dapat dilihat dari berbagai peraturan perundang-


undangan, khususnya dalam pembukaan dan batang tubuh Undang-undang Dasar 1945 serta
peraturan perundangan lain diluar UUD 1945, misalnya HAM yang berhubungan dengan
proses peradilan dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan sebagainya.
Sedangkan konsepsi HAM bangsa Indonesia dapat dilihat dalam ketetapan MPR No.
II/MPR/1998 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan tercantum dalam Bidang
Pembangunan Hukum yang menyatakan bahwa :

"HAM sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa adalah hak-hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia dan Meliputi : hak untuk hidup layak, hak memeluk agama dan
beribadat menurut agama masing-masing, hak untuk berkeluarga dan memperoleh keturunan
melalui perkawinan yang sah, hak untuk mengembangkan diri termasuk memperoleh
pendidikan, hak untuk berusaha, hak milik perseorangan, hak memperoleh kepastian hukum
dan persamaan kedudukan dalam hukum, keadilan dan rasa aman, hak mengeluarkan
pendapat, berserikat dan berkumpul."

Dari latar historis beberapa perumusan dan dekalarasi HAM (yaitu: perlindungan
terhadap kebebasn individu di depan kekuasan raja, kaum feodal atau negara yang domina
atau tersentaralisasi), dan kesadaran ontologis tentang struktur deklarasi PBB, serta kesadaran
historis tentang peradaban yang melahirkannya, dapatlah diidentifikasi karektaristik utama
HAM. Perspektif Barat dalam melihat HAM dapat disebut bersifat antrhoposentris, dengan
pengertian bahwa manusia dipandang sebagai ukuran bagi segala sesuatu karena ia adalah
pusat atau ttitik tolak dari semua pemikiran dan perbuatan. Produk dari perspektif
antrhoposentris ini tidak lain adalah individu yang otonom.

Hak dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang diinginkan seseorang untuk melindungi
dirinya, agar ia dapat ia memelihara dan meningkatkan kehidupannya dan mengembangkan
kepribadiannya. Ketika diberi imbuhan asasi, maka ia sedemikian penting, mendasar, diakui
oleh semua peradaban, dan mutlak pemenuhannya.

Setelah melalui proses yang panjang, kesadaran akan hak asasi manusia mengglobal
sejak 10 Desember 1948 dengan ditetapkannya oleh PBB Deklarasi tentang Hak Asasi
Manusia. Deklarasi PBB ini, juga deklarasi-deklarasi sebelumnya, dirancang untuk melindungi
kebebasan individu di depan kekuasaan raja, kaum feodal, atau negara yang cenderung
dominan dan terdesentralisasi. Karena itu, deklarasi-deklarasi tersebut, yang nota bene anak
peradaban Barat, melihat hak-hak asasi manusia dalam perspektif anthroposentris.

Dalam hal pelaksanaan hak-hak asasi manusia dalam Pancasila yang perlu mendapat
perhatian kita adalah bahwa disamping hak-hak asasi, wajib-wajib asasi harus kita
penuhi terlebih dahulu dengan penuh rasa tanggungjawab. Hak-hak asasi manusia
dilaksanakan dalam rangka hak-hak serta kewajiban warga Negara.

2. 3. Krisis Ekonomi

TAHUN 1998 menjadi saksi bagi tragedi perekonomian bangsa. Keadaannya


berlangsung sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling suram dalam sejarah
perekonomian Indonesia. Mungkin dia akan selalu diingat, sebagaimana kita selalu mengingat
black Tuesday yang menandai awal resesi ekonomi dunia tanggal 29 Oktober 1929.
Hanya dalam waktu setahun, perubahan dramatis terjadi. Prestasi ekonomi yang dicapai
dalam dua dekade, tenggelam begitu saja. Dia juga sekaligus membalikkan semua bayangan
indah dan cerah di depan mata menyongsong milenium ketiga.
Selama periode sembilan bulan pertama 1998, tak pelak lagi merupakan periode paling
hiruk pikuk dalam perekonomian. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun
1997,berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Dampak krisis pun mulai dirasakan
secara nyata oleh masyarakat, dunia usaha.
Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun
terbukti tidak bisa segera memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Bahkan situasi seperti
lepas kendali, bagai layang-layang yang putus talinya. Krisis ekonomi Indonesia bahkan
tercatat sebagai yang terparah di Asia Tenggara.
Seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya berawal dari krisis nilai tukar baht di
Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat berkembang menjadi krisis ekonomi,
berlanjut lagi krisis sosial kemudian ke krisis politik.
Akhirnya, dia juga berkembang menjadi krisis total yang melumpuhkan nyaris seluruh
sendi-sendi kehidupan bangsa. Katakan, sektor apa di negara ini yang tidak goyah. Bahkan
kursi atau tahta mantan Presiden Soeharto pun goyah, dan akhirnya dia tinggalkan. Mungkin
Soeharto, selama sisa hidupnya akan mengutuk devaluasi baht, yang menjadi pemicu semua
itu.
Efek bola salju
Faktor yang mempercepat efek bola salju ini adalah menguapnya dengan cepat
kepercayaan masyarakat, memburuknya kondisi kesehatan Presiden Soeharto memasuki
tahun 1998, ketidakpastian suksesi kepemimpinan, sikap plin-plan pemerintah dalam
pengambilan kebijakan, besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo, situasi
perdagangan internasional yang kurang menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang
membawa kekeringan terburuk dalam 50 tahun terakhir.
Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138 milyar dollar AS, sekitar
72,5 milyar dollar AS adalah utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana sekitar
20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun 1998. Sementara pada saat itu cadangan
devisa tinggal sekitar 14,44 milyar dollar AS.
Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp
4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS
pada 22 Januari 1998, atau terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut
diambangkan 14 Agustus 1997.
Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar
utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6
Januari 1998 dan dinilai tak realistis.
Krisis yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat
merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan
pasar modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional
bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk
atau menjadi sampah.
Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat,
bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent
atau nota bene bangkrut.
Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan
perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar
20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.
Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Sementara si kaya
sibuk menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan
terus melonjak.
Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088
dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga
penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin
pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.
Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat
pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir 1997,
terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persen
kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998
sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.
Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok
ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli
1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun
pada awal Juli 1998.
Di pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8
persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari
masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis), menyebabkan kesulitan bank
semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu menjalankan
fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.
Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis,
ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah,
akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing,
dan persaingan ketat di pasar global.
Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen
dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.
Anomali
Krisis kepercayaan ini menciptakan kondisi anomali dan membuat instrumen moneter tak
mampu bekerja untuk menstabilkan rupiah dan perekonomian. Sementara di sisi lain, sektor
fiskal yang diharapkan bisa menjadi penggerak ekonomi, juga dalam tekanan akibat surutnya
penerimaan.
Situasi yang terus memburuk dengan cepat membuat pemerintah seperti kehilangan
arah dan orientasi dalam menangani krisis. Di tengah posisi goyahnya, Soeharto sempat
menyampaikan konsep "IMF Plus", yakni IMF plus CBS (Currency Board System) di depan
MPR, sebelum akhirnya ide tersebut ditinggalkan sama sekali tanggal 20 Maret, karena
memperoleh keberatan di sana-sini bahkan sempat memunculkan ketegangan dengan IMF,
dan IMF sempat menangguhkan bantuannya.
Ditinggalkannya rencana CBS dan janji pemerintah untuk kembali ke program IMF,
membuat dukungan IMF dan internasional mengalir lagi. Pada 4 April 1998, Letter of Intent
ketiga ditandatangani. Akan tetapi kelimbungan Soeharto, telah sempat menghilangkan
berbagai momentum atau kesempatan untuk mencegah krisis yang berkelanjutan.
Bahkan memicu adrenali masyarakat, yang sebelumnya terbilang tenang menjadi
beringas. Kemarahan rakyat atas ketidakberdayaan pemerintah mengendalikan krisis di tengah
harga-harga yang terus melonjak dan gelombang PHK, segera berubah menjadi aksi protes,
kerusuhan dan bentrokan berdarah di Ibu Kota dan berbagai wilayah lain, yang menuntun ke
tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998.
Tragedi berdarah ini memicu pelarian modal dalam skala yang disebut-sebut mencapai
20 milyar dollar AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya jaringan
distribusi nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak rencana
investasi asing di Indonesia.
Munculnya pemerintahan baru yang tidak memiliki legitimasi, dan lebih sibuk dengan
manuvernya untuk merebut hati rakyat, tidak banyak menolong keadaan. Pemburukan kondisi
ekonomi, sosial, dan politik dengan cepat ini setidaknya terus berlangsung hingga kuartal
kedua, bahkan kuartal ketiga 1998. Begitulah, kita telah menyaksikan episode terburuk
perekonomian sepanjang tahun 1998.
Pemulihan Ekonomi Tergantung Penyelesaian Agenda Politik
PELAKSANAAN agenda politik secara aman, lancar, tertib dan sesuai dengan aspirasi
sebagian besar rakyat merupakan keharusan, apabila diinginkan ekonomi akan segera pulih.
Sebaliknya, bila kerusuhan sosial terus meningkat dan pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka
pemulihan ekonomi sulit diharapkan dalam waktu cepat.
Laksamana Sukardi menilai, kondisi perekonomian di tahun 1999 berada dalam situasi
yang kritis. Artinya perekonomian nasional berada di persimpangan jalan antara kemungkinan
terjadi recovery dan kehancuran. Peluangnya separuh-separuh.
Investor bersikap menunggu, apakah pemilu akan berjalan jujur dan adil, serta
demokratis. Kedua hal itu menjadi syarat pembentukan pemerintahan yang bisa dipercaya
rakyat. Apabila demikian, maka dengan cepat ekonomi Indonesia akan pulih, karena investor
pasti akan datang kembali ke Indonesia.
Oleh karena itu, keinginan seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki agar pemilu
berlangsung jujur, adil, transparan, serta demokratis harus benar-benar dilaksanakan dan tidak
bisa ditawar-tawar lagi. Menurut dia, masuknya aliran modal asing sebagai jalan terbaik dalam
pemulihan ekonomi hanya bisa terjadi kalau ada pemerintahan yang bersih, didukung rakyat,
adanya kepastian hukum dan sistem peradilan yang independen.
Suksesnya pemilu dan Sidang Umum di tahun 1999 tidak serta merta terjadi begitu saja.
Mulai saat ini harus dipersiapkan. Namun bayangan kegagalan masih berkecamuk, mengingat
intensitas kekerasan dan kejadian perampokan dan penjarahan yang membuat masyarakat
merasa tidak aman masih sering terjadi.
MELIHAT pentingnya faktor penyelesaian politik, rencana pegelaran dialog nasional
sangat penting. Melalui dialog nasional tersebut, diharapkan tokoh-tokoh yang terlibat
menyamakan persepsi bahwa pemilu harus berhasil dan sesuai aspirasi rakyat.
Kita sama-sama menghendaki, pemerintahan yang demokratis dan didukung rakyat.
Pemerintah sekarang berani mengakui, bahwa dirinya bersifat transisi dan hanya
mempersiapkan pemerintahan yang akan datang. Sebaliknya tokoh-tokoh nasional juga harus
berani mengakui pemerintahan yang sekarang.
Selain masalah politik, pembenahan sektor ekonomi terutama moneter juga sangat
penting, apabila kita mengharapkan pemulihan ekonomi. Dua persoalan mendasar yang harus
diselesaikan, yaitu restrukturisasi perbankan dan utang luar negeri.
Pertama, restrukturisasi perbankan harus berhasil. Rencana rekapitalisasi kemungkinan
besar tidak akan berhasil. Oleh karena itu, pemerintah harus berani melakukan penutupan
bank-bank yang memang tidak solvent, dengan demikian hanya tinggal sedikit bank yang kuat
dan profesional.
Sebelum mengatasi perbankan swasta, bank-bank BUMN harus juga selesai. Apabila
persoalan bank ini tidak diselesaikan, maka tidak akan ada kegiatan ekonomi, karena tidak ada
kodal kerja dan perdagangan.
Kedua, masalah utang luar negeri pemerintah dan swasta. Seberapa jauh masalah utang
LN ini bisa diselesaikan. Sebab, mengakhiri krisis perbankan kepercayaan dunia internasional
terhadap pemerintah tergantung dari penyelesaian utang tersebut. Bila default, maka
kredibilitas turun dan investor enggan masuk ke Indonesia.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Haryadi B Sukamdani
mengatakan, sebagai pengusaha pihaknya memang harus optimis. Tetapi kalau melihat di
lapangan terutama perkembangan politik yang ada, maka yang ada hanya rasa waswas dan
gamang. Sebab pemilu masih jauh, tetapi intensitas kekerasan sudah cukup tinggi, apalagi
nanti kalau mendekati kampanye dan pemilu.
Oleh karena itu sikap para pengusaha di tahun 1999 ini sudah pasti akan menunggu.
Investasi tidak akan ada. Yang terjadi, para pengusaha hanya meningkatkan volume dan
penjualan dari yang sudah ada. Pengusaha tidak mungkin mengandalkan pasar domestik,
tetapi luar negeri.
Kalau penyelesaian politiknya baik, masyarakat mendukung pemerintahan yang baru,
maka ekonomi akan cepat sekali kembalinya. Yang dikhawatirkan ialah kalau terjadi gejolak
sosial akibat kegagalan pemilu yang tidak menampung aspirasi rakyat.
Dengan pertimbangan-pertimbangan seperti itu, dunia usaha melihat kondisi
perekonomian nasional di tahun 1999 ibarat seseorang yang sedang mengendarai mobil di
tengah "kabut tebal". Kabut tebal (situasi sosial politik-Red) menyebabkan pengendara (baca:
pengusaha) tidak bisa memandang jauh ke depan. Atas dasar pertimbangan keselamatan,
maka pengendara itu tidak punya pilihan lain kecuali menghentikan perjalanannya dan
menunggu sampai kabut itu berlalu.
Itu berarti, pemerintah sejak sekarang harus bisa menyelesaikan semua persoalan
ekonomi dan politik yang di dalam negeri. Transparan, tegas, jelas, dan cepat diperlukan.
Jangan sampai malah menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan.

Sistem ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru bersifat birokrat otortarian yang
ditandai dengan pemusatan kekuasaan dan partisipasi dalam membuat keputusan-keputusan
nasional hamper sepenuhnya berada di tangan penguasa bekerjasama dengan kelompok
militer dan kaum teknokrat.
Kebijaksanaan ekonomi yang selama ini diterapkan yang hanya mendasarkan pada
pertumbuhan dan mengabaikan prinsip nilai kesejahteraan bersama seluruh bangsa, dalam
kenyataannnya hanya menyentuh kesejahteraan sekelompok kecil orang bahkan pengusaha.
Krisis ekonomi yang terjadi di dunia dan melanda Indonesia mengakibatkan ekonomi Indonesia
terpuruk sehingga kepailitan yang diderita oleh para pengusaha harus di tanggung oleh rakyat.

Dalam kenyataannnya sector ekonomi yang justru mampu bertahan pada masa krisis
dewasa ini adalah ekonomi kerakyatan yaitu ekonomi yang berbasis pada usaha rakyat.
Langkah yang strategis dalam upaya melakukan reformasi ekonomi yang berbasis pada
ekonomi rakyat yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila yang mengutamakan
kesejahteraan seluruh bangsa adalah sebagai berikut : Keamanan pangan dan
mengembalikan kepercayaan yaitu dilakukan dengan program social safety net yang
lebih dikenal dengan program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Untuk mengembalikan
kepercayaan rakyat terhadap pemerintah maka pemerintah harus secara konsisten
menghapus KKN serta mengadili oknum-oknum yang melakukan pelanggaran. Ini akan
memberikan kepercayaan dan kepastian usaha.

1. Kesimpulan

Kondisi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dewasa ini serta penyimpangan implementasi
Pancasila pada masa Orde Lama dan Orde Baru yang menimbulkan gerakan reformasi di Indonesia
sehingga terjadilah suatu perubahan yang cukup besar dalam berbagai bidang terutama bidang
kenegaraan, hukum maupun politik. Maka dari itu sebagai warganegara yang baik sebaiknya kita
tahu beberapa hal-hal sebagai berikut :

a. Dalam penegakan hak asasi manusia kita sebagai mahasiswa harus bersifat objektif dan
benar-benar berdasarkan kebenaran moral demi harkat dan martabat manusia bukan
karena kepentingan politik.

b. Perlu disadari bahwa dalam penegakan hak asasi manusia tersebut pelanggaran hak asasi
manusia dapat dilakukan seseorang, kelompok orang termasuk aparat Negara, penguasa
Negara baik disengaja ataupun tidak (UU No. 39 tahun 1999).

c. Sistem ekonomi harus berdasarkan pada nilai dan upaya terwujudnya kesejahteraan seluruh
bangsa maka peningkatan kesejahteraan akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat
sehingga dapat mengurangi kesenjangan ekonomi.
d. Kehidupan beragama dalam Negara Indonesia dewasa ini harus dikembangkan kearah
terciptanya kehidupan bersama yang penuh toleransi, saling menghargai berdasarkan
nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.

e. Rehabilitasi dan pemulihan ekonomi. Hal ini dilakukan dengan menciptakan kondisi kepastian
usaha yaitu dengan diwujudkannya perlindungan hukum serta undang-undang persaingan
yang sehat

Diposting 23rd February 2009 oleh Shanzjunior


Label: pMp

Anda mungkin juga menyukai