Anda di halaman 1dari 10

HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM (PEMBARUAN HUKUM KELUARGA

NEGARA BRUNEI DARUSSALAM )

MAKALAH

Disusun Dalam Rangka Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah
Hukum Keluarga di Dunia Islam

OLEH:
Ismaiel Khasan
20203012033

PEMBIMBING:
Prof. Dr. H. Agus Moh. Najib, S.Ag., M.Ag. (19710430 199503 1 001)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU SYARIAH


KONSENTRASI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam memposisikan hukum keluarga sebagai salah satu inti syari’ah. Dalam hal
ini karana hukum keluarga menjadi salah satu hal yang menjadikan seseorang masuk ke dalam
agama Islam lebih jauh, oleh sebab itu hukum keluarga berkontribusi bagi pembentukan
masyarakat muslim. Secara umum hukum keluarga dalam ranah syari’at Islam berlaku secara
universal bagi umat Islam di dunia.1
Hukum keluarga yang menjadi salah satu pokok penting dalam Islam harus selalu relevan
dan berkembang sesuai dengan zaman, kondisi dan realitas kehidupan manusia dengan cara
mengembangkan nash atau fatwa-fatwa Ulama fikih melalui pembaharuan hukum Islam.
Pembaruan hukum keluarga di Negara-negara Islam tidak lepas dari dinamika reformasi yang
tujuannya melakukan unifikasi hukum menjadi lebih baik sehingga bisa menyatukan berbagai
madzhab maupun agama. Selain hal tersebut, al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi dasar hukum
Islam harus dijadikan semangat dalam upaya merespon perkembangan zaman.2
Pembaruan hukum keluarga di Negara-negara Islam selalu dilakukan demi
keberlangsungan kehidupan masyarakat menjadi selaras, namun hal tersebut tidak selalu berjalan
sesuai dengan apa yang diinginkan dalam artian selalu ada perdebatan yang berlangsung oleh
kalangan modernis-progresif dan tradisional-konservatif, pada umumnya yang selalu menjadi
perdebatan adalah materi-materi hukum yang dianggap tidak lazim atau dikatakan materi yang
baru dan diolah dengan metode-metode tertentu. Brunei Darussalam menjadi salah satu negara
yang masyarakatnya mayoritas menganut agama Islam melakukan pembaruan dalam hukum
keluarga untuk menyelaraskan dengan kondisi zaman, hal tersebut juga tidak luput dari dinamika
reformasi.
Pembaruan hukum keluarga ini dilakukan pada dasarnya untuk bisa dinyatakan dan
asumsi masyarakat bahwa hukum keluarga merupakan hukum yang selalu hidup (living Law)
serta bisa diaplikasikan dalam keluarga muslim di dunia Islam, berdasarkan hal tersebut makalah
ini ditulis untuk mencoba mengkaji sedikit dari pembaruan yang ada di negara Brunei
Darussalam untuk dijadikan sebagai salah satu gambaran dinamika perkembangan dalam hukum
keluarga yang kemudian bisa dimasukkan ke dalam bangunan tipe pembaruan hukum keluarga di
negara muslim modern.

1
J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Terj. Machnun Husein (Surabaya: Amar Press, 1990),
hlm. 27. Lihat pula, Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Moslem World (Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd.,
1972), hlm. 17.
2
M. Nur Hasan Latief, “Pembaharuan Hukum keluarga serta Dampaknya Terhadap Pembatasan Usia
Minimal Kawin dan Peningkatan Status Wanita,” dalam Jurnal Hukum Novelty, Vol. 7 No. 2 thn. 2016, hlm. 199-
200.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diangkat adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah perkembangan hukum keluarga di Brunei Darussalam?
2. Apa pembaruan hukum keluarga yang terjadi di Brunei Darussalam?
C. Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hukum keluarga di Brunei Darussalam?
2. Untuk mengetahui pembaruan hukum keluarga di Brunei Darussalam?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pembaruan Hukum Keluarga di Brunei Darussalam
Brunei Darussalam adalah negara kecil dan independen dengan satu-satunya
pemerintahan kesultanan di Asia Tenggara. Semenjak memperoleh kemerdekaanya dari Inggris
pada tahun 1984, kesultanan Brunei telah berhasil mengukuhkan kekuasaanya dan telah memiliki
kontrol penuh terhadap negara.3
Brunei berasal dari Bahasa sansekerta ”Varunai” yang semula diambil dari kata
”Varunadvipa” yang berarti pulau Kalimantan.4 Brunei Darussalam merupakan negara yang
berbentuk kerajaan/kesultanan, negara ini memiliki wilayah seluas 5.765 km2, dengan garis
pantai sepanjang 161 km menghadap Laut Cina Selatan dan Teluk Brunei. Populasi penduduk
Brunei pada tahun 2019,total tercatat 459.500 orang, yang kemudian di petakan dengan
prosentase warga Brunei beragama Islam 67%, Kristen 10%, Budha 13%, dan animisme serta
aliran kepercayaan 10% yang pada umumnya dianut non-Melayu.5
Secara spesifik negara yang berbentuk kerajaan ini menganut sistempolitik tradisional
feodalistik yang mana keluarga raja sebagai pemegang resmi kenegaraan. Kepala negara disebut
Sultan dengan panggilan resmi kenegaraan ”Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri
Baginda Yang Dipertuan Negara”. Kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri. Adapun
Dewan pembentukan Undang-Undang dijabat oleh Dewan Menteri dan Dewan Legislatif.6
Bidang kerajaan yang didominasi oleh keluarga kerajaan sebagai tokoh sentral,
memungkinkan untuk memberlakukan kebijakan di bidang agama dan kebijakan umum ainnya
tanpa mendapat banyak kendala, hal tersebut rupanya yang membuat situasi politik di Negara
Brunei tampak tenang.
Pada tahun 1425 penguasa Brunei Wang Alak bertatar pergi ke Malaka mengunjungi
Sultan Muhammad Shah dan di sanalah ia masuk agama Islam. Dari itu terlihat bahwa masuk
dan menyebarnya Islam di Brunei dimulai pada tahun ini setelah penguasa Brunei masuk Islam.
Brunei merupakan negara yang kuat dan memiliki otoritas yang luas pada abad ke-16.
selanjutnya pada abad ke-17 kekuasaan Brunei mulai terkikis akibat adanya konsesi yang dibuat
dengan Belanda, Inggris, Raja Serawak, British North Borneo Company dan serangan-serangan
dari para pembajak. Hal inilah yang menyebabkan Brunei teredukasi menjadi sangat kecil
sampai batas-batas yang ada sekarang.7
Pada tahun 1847, sultan Brunei memgadakan perjanjian dengan Inggris untuk
memajukan dagang dan penumpasan para pembajak. Kemudian pada tahun 1881 dibuat
perjanjian bahwa Brunei menjadi negara kesultanan yang merdeka dan berdaulat. 8 Demikian
dengan kedatangan beberapa negara asing ke Brunei, khususnya Inggris, berdampak pada adanya

3
Brunei Darussalam: Kesultanan Absolut dan Negara Modern - Kyoto Review of Southeast Asia dikutip
pada Selasa, 7 Desember 2021, pukul 22:15 WIB.
4
Muhammad Syamsu AS, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Cet. II (Jakarta: Lontara,
1999), hlm. 126.
5
Kedutaan Besar Republik Indonesia , di Bandar Seri Begawan,, Brunei Darussalam (kemlu.go.id) dikutip
pada Selasa, 7 Desember 2021, pukul 22:15 WIB.
6
Kafrawi Ridwan , Ensiklopedi Islam, Cet. III (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm.257.
7
Atho Mudzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hlm. 176.
8
Ibid., hlm. 177.
perubahan dalam sistem hukum keluarga Islam dalam perjalanan panjang menuju kemerdekaan
hingga sekarang.9
Pada masa pemerintahan Sultan Hasan (1605-1619 M), yaitu sebelum kedatangan
Inggris, beliau telah membuat sebuah aturan hukum Islam yang dipergunakan pada waktu itu.
Aturan hukum Islam tersebut kemudian diqanunkan dengan nama Hukum Kanun Brunei.10
Kemudian disempurnakan oleh pemeimpin setelahnya, yaitu Sultan Jalilul Jabbar.
Pada tahun 1847 M, kesultanan Brunei berhubungan dengan Inggris disertai dengan
adanya perjanjian di antara kedua negara. Perjanjian yang dibuat tahun 1856 itu memberi kuasa
pada Inggris untuk mengendalikan kasus-kasus yang timbl dari pertikaian di kalangan rakyat
Inggris atau terjadi di antara rakyat Inggris dengan rakyat asing di Negara Kesultanan Brunei.
Namun demikian, hakim-hakim kerajaan Inggris didampingi oleh hakim kerajaan Brunei dalam
menjalankan tugasnya.11 Secara perlahan Inggris mulai mencampuri urusan kekuasaan
Mahkamah Kesultanan Brunei dan semakinmemiliki kuasa untuk mengintervensi masalah
keadailan dan kehakiman Negara tersebut.
Kemudian pada tahun 1888 Brunei menandatangani perjanjian yang berisi tentang
pemberian kuasa penuh dalam bidang hukum kepada Inggris yang termuat dalam Artikel VII.
Kekuasaan yang lebih luas lagi dalam bidang hukum diberikan setelah perjanjian yang dibuat
pada tahun 1906. maka dengan adanya perjanjian-perjanijan tersebut di atas, tentu berdampak
pada perubahan-perubahan di berbagai bidang, terkhusus penerapan hukum Islam di Brunei.12
Dipersempitnya kewenangan Kanun Brunei dibatasi hanya pada persoalan Undangn-
Undang Perdata Brunei yang hanya diperkenankan melaksanakan Undang-undang Islam yang
berkaitan dengan kawin, cerai dan ibadat. Sebagai bukti, yaitu adanya Undang-undang
”Muhammadan’s Law Enactment” Nomor 1 tahun 1911, yang khusus mengatur masalah ibadah,
nikah, dan cerai bagi orang Islam. Selanjutnya, pada tahun 1913 keluar peraturan pelaksanaan
tentang pendaftaran perkawinan dan perceraian yang dikenal dengan ”Muhammadan’s Marriage
and Devorce Enacment” Nomor 2 tahun 1913. selanjutnya pada tahun 1955, dibentuk Undang-
Undang Majelis Ugama Islam, Adat Negeri, dan Mahkamah Qadi Nomor 20 tahun 1955, dengan
tujuan untuk menyatukan Undang-Undang yang berkaitan dengan hukum Islam. Setelah itu
berturut-turut mengalami amandemen, yaitu mulai tahun1957, 1960, 1961 dan 1967.
Ketika terjadi ’Revision Law’s of Brunei’ pada tahun 1984, Undang-Undang inipun
mengalami revisi tapi hanya sedikit saja disamping namanya diubah dengan Undang-Undang
Majelis Ugama dan Mahkamah Kadi Penggal 77. dalam Undang-Undang tersebut, ketentuan
mengenai hukum keluarga Islam diatur hanya 29 pasal, yaitu dibawah aturan: ’Marriage and
Divorce’ di bagian VI yang berawal dari pasal 134 sampai 157, dan ’Maintenance of Dependent’
di bagian VII yang dimulai dari pasal 157 sampai 163.demikian, persoalan hukum Kelaurga

9
Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam” Dalam Jurnal al-Qadau, Vol. 2, No. 2,
2015, hlm. 151.
10
Dato Haji Mahmud Sardong Awang Othman, “Mahkamah Syari’ah di Negara Brunei Darussalam dan
Permasalahannya” dalam Jurnal Mimbar Hukum, No. 22, Tahun VI, September-Oktober, 1995, hlm. 41-42.
11
Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam, hlm. 155.
12
Atho Mudzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Moderen, 179.
Islam Brunei yang diatur dalam Undang-Undang, hanya mengatur persoalan perkawinan,
perceraian, dan pembiyaaan hidup atau nafkah.13
Selanjutnya pada tahun 1999, lahirlah undang-undang dengan sebutan Perintah Darurat
(Undang-Undang Keluraga Islam). Peraturan inilah yang menjadi rujukan mengenai persoalan
keluarga, seperti perkawinan, perceraian, nafkah dan lainnya yang berhubungan dengan
keidupan keluarga.14

B. Hukum Keluarga di Negara Brunei Darussalam


Materi hukum keluarga yang dipakai di negara Brunei Darussalam sebagian besar
berdasar pada madzhab Syafi’i karena perlu diketahui penduduk Brunei Darussalam menganut
madzhab Syafi’i. Adapun dibawah ini sebagian dari poin pembaruan hukum keluarga yang ada
di Brunei Darussalam, adalah sebagai berikut:
1. Pembatalan Pertunangan
Sebagaimana yang termuat dalam pasal 136 bahwa, pembatalan pertunangan oleh pihak
laki-laki baik secara lisan maupun tertulis yang dilakukan mengikuti hukum muslim,akan
berakibat pada pihak laki-laki, yaitu harus membayar sejumlah sama dengan banyaknya mas
kawin, ditambah dengan perbelanjaan yang diberikan secara sukarela untuk persiapan
perkawinan. Apabila yang membatalkan perkawinan pihak perempuan, maka hadiah
pertunangan harus dikembalikan bersama uang yang diberikan dengan sukarela. 15 Jadi, semua
pembayaran balik yang digariskan tadi bisa didapatkan kembali melalui pengadilan.
Hal tersebut dalam fikih Syafi’i tidak ditemukan secara eksplisit. Dalam al-Umm hanya
terdapat penjelasan mengenai larangan laki-laki meminang perempuan yang dipinang oleh
saudaranya yang lain. Menurut Imam Syafi’i, hadis yang berbicara mengenai hal tersebut
mengandung beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama adalah salah seorang dari kedua laki-laki itu kalau meminang
perepmuan, hendaknya perempuan itu memberi izin atau laki-laki pertama telah meninggalkan
peminangan tersebut. Kemungkinan kedua adalah larangan tersebut berlaku jika permpuan
tersebut telah rela dipinang oleh laki-laki pertama lalu meninggalkan peminangan tersebut
karena ada laki-laki kedua yang datang untuk meminang dan lebih baik. 16 Berdasar atas
pandangan kedualah yang membuat Imam Syafi’i berkesimulan bahwa larangan laki-laki
meminang atas pinangan laki-laki lain bila perempuan itu rela. Hal tersebut disebabkan karana
hal itu menimbulkan kerugian atas pihak laki-laki atau hampir sama dengan kemudharatan. Dan
atas dasar itulah sehingga menjadi wajar adanya ganti rugi dari pihak-pihak yang dirugikan,
karana dengan pembatalan pertunangan secra sepihak berarti ada yangmerasa dirugikan.

13
Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam”, hlm. 152-153.
14
Lutfah Rohamanah, “Perbandingan Fikih Mazhab dengan Hukum Keluarga di Indonesia dan Negara
Brunei Darussalam Tentang Perceraian,” dalam Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2019). hlm. 57.
15
Tahir Mahmood, Family law Reform in The Muslim World, (Bombay: N.M. Tripathi Pvt. Ltd., 1972),
hlm. 206-212.
16
Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam”, hlm. 155.
Dalam ketentuan ini, negara Brunei masih teguh memegang aturan adat setempat yang
sangat mengangkat harkat dan martabat seorang manusia. Hingga kemudian penetapan aturan
yang ada dalam fikih Syafi’i ini direformulasi untuk sesuai dengan keadaan negara Brunei.
2. Pendaftaran (Pencatatan) Nikah
Dalam melaksanakan pernikahan, Brunei mewajibkan pendaftaran yang dilakukan oleh
pegawai pencatat, walaupun pendaftaran dilakukan sesudah akad nikah. Pasal 11(1) Undang-
Undang Brunei tahun 1999 memuat bahwa perkawinan yang tidak mengikuti atau bertentangan
dengan UU tersebut tidak dapat dicatatkan menurut catatan resmi. Namun, jika bertentangan
tidak dapat dicatatkan dengan UU tetapi di sisi lain sesuai dengan hukum Islam, maka perkwinan
dapat didaftarkan secara resmi melalui proses pengadilan. Demikian bagi pihak yang melakukan
pernikahan tetapi tidak mendaftar, maka termasuk pelanggaran yang dapat dihukum.
Sebagaimana pada pasal 143 (1) ”dalam jangka 7 hari setelah melakukan akad nikah para
pihak diharuskan melaporkan perkawinan tersebut, yang boleh jadi para pasangan atau
wali.”Selanjutnnya pada pasal 180 (1) ”seorang yang seharusnya tetapi tidak melaporkan
perkawinan atau perceraian kepada pegawai pencatatn adalah satu pelanggaran yang dapat
mengakibatkan dihukum dengan penjara atau denda $200.”17
3. Wali Nikah
Adapun wali nikah, persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan sangat diperlukan.
Disamping itu, wali pengantin perempuan harus memberikan persetujuan atau kadi yang
mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja atau apabila tidak terdapat wali nasab atau
wali nasab tidak menyetujui dengan alasan yang tidak masuk akal.
Aturan perwalian ini dikenal dalam madzhab Syafi’i, dimana seorang Wanita yang mau
menikah harus mendapatkan izin dari walinya. Demikian pula berlaku di Negara Brunei yang
mengharuskan adanya wali dari sebuah pernikahan.18
4. Perceraian Yang Dilakukan Suami
Salah satu peraturan yang kontroversial di Brunei adalah masalah peceraian. Jika
perempuan dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak boleh dikawinkan dengan orang lain
kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam masa iddah kecuali telah dibenarkan oleh Kadi
yang berkuasa dimana ia tinggal. Hal tersebut nampak berbeda dengan kebijakan negara lainnya.
Peraturan tersebut bertolak belakang dengan kesepakatan ulama madzhab fikih bahwa
wanita yang ditalak sebelum dicampuri dan sebelum melakukan khalwat, tidak mempunyai
iddah.19

5. Perceraian dengan Talak Tebus

17
Fajar Devan Afrizon, “Sanksi Peraturan terhadap Aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan di
Indonesia,Malaysia, dan BruneiDarussalam,” dalam Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2016), hlm. 49-50.
18
Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam”, hlm. 154.
19
Ibid., hlm. 155.
Brunei memberlakukan aturan yang menyatakan bahwa jika pihak suami tidak
menyetujui perceraian dengan penuh kerelaan, maka kedua belah pihak bisa menyetujui
perceraian dengan tebusan atau di Brunei diistilahkan dengan cerai tebus talak. Kadi akan
menilai jumlah yang perlu dibayar sesuai dengan taraf kemampuan kedua belah pihak tersebut
serta mendaftarkan perceraian itu.20
6. Poligami
Sebagaimana termuat dalam pasal 23 UU Hukum Keluarga Brunei tahun 1999
menetapkan bahwa seorang laki-laki yang telah menikah tidak boleh menikah dengan perempuan
lain kecuali setelah mendapatkan persetujuan hakim dengan formulir yang telah ditetapkan.
Permohonan yang disampaikan kepada hakim dinyatakan secara lisan dan tulisan yang disertai
dengan alasan-alsan yang mendorongnya untuk melakukan poligami, dengan adanya
kemampuan finansial, adil di antara para istri danorang-orang yang ada dibawah tanggungannya,
serta pemberian izin dari istri pertama. Selanjutnya, hakim bisa memutuskan apakah
permohonannya diterima atau ditolak. Namun pada pasal 123 memuat isi yang mana apabila
seorang laki-laki melakukan poligami di manapun ia berada tanpa persetujuan tertulis dari hakim
diancam dengan hukuman denda paling banyak $2000.21
7. Surat Kematian
Seorang istri dibenarkan untuk menikah kembali jika suaminya telah meninggal dunia
atau diyakini ia telah meninggaldunia atau tidak terdengar beritanya dalam waktu yang lama.
Hanya saja kebolehan tersebut hendaknya disertai dengan adanya surat kematian Birth and
Registration Enactment, namun jika tidak ada, maka seorang Kadi dapat mengeluarkan surat
pernyataan kematian tentunya dengan penelitian yang akurat.22
Seorang istri tidak dapat menikah kembali tanpa surat pernyataan tersebut meskipun telah
ada pengesahan dari Pengadilan Tinggi mengenai kematian suaminya. Aturan ketat tersebut
merupakan sikap kehati-hatian pemerintah Brunei sehingga tidak mengeluarkan surat pernyataan
yang bisa merugikan salah satu pihak serta tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari.23

BAB III

20
Ibid., hlm. 156.
21
Fajar Devan Afrizon, ”Sanksi Peraturan terhadap Aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan di
Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam”, hlm. 59-60.
22
Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam”, hlm. 158.
23
Ibid., hlm. 159.
PENUTUP

Sebagai penutup dari makalah in, dapat disimpulkan bahwa hukum keluarga Islam di
Negera Brunei Darussalam mengalami reformasi setelah mengalami kontak dengan Inggris.
Semenjak pendudukan Inggris pelaksanaan hukum keluarga Islam secara khusus diserahkan
kepada pemerintah Brunei. Pembaruan demi pembaruan dilakukan sampai datangnya
kemerdekaan.
Dalam merumuskan hukum keluarga, nampaknya Brunei mengakomodasi hukum Islam,
Adat, dan Barat. Pengambilan hukum Islam di brunei secara utuh diadopsi dari madzhab Syafi’i,
sehingga reformasi hukum yang ada sebagian besar bersifat regulatory. Hanya saja, meskipun
demikian, ternyata ada juga pembaruan hukum yang bersifat substantif yang ternyata tidak
sejalan, untuk tidak mengatakan menyimpang, dengan madzhab Syafi’i sendiri (bahkan dengan
madzhab lain). Seperti masa iddah perempuan yang belum disentuh oleh suaminya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku :

Anderson, J.N.D. 1990. Hukum Islam di Dunia Modern, Terj. Machnun Husein. Surabaya: Amar Press.

Mahmood,Tahir. 1972. Family Law Reform in The Moslem World. Bombay: N.M. Tripathi PVT. Ltd.

Mudzhar, Atho. 2003. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern Jakarta: Ciputat Press.

Ridwan, Kafrawi. 1994. Ensiklopedi Islam, Cet. III. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.

Syamsu AS, Muhammad. 1999. Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Cet. II. Jakarta:
Lontara.

Jurnal :

Afrizon, Fajar Devan 2016. Sanksi Peraturan terhadap Aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan di
Indonesia,Malaysia, dan BruneiDarussalam. dalam Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah.

Cahyani, Intan 2015. Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam. Dalam Jurnal al-Qadau, Vol. 2, (No.
2).

Latief, M. Nur Hasan. 2016. Pembaharuan Hukum keluarga serta Dampaknya Terhadap Pembatasan Usia
Minimal Kawin dan Peningkatan Status Wanita. dalam Jurnal Hukum Novelty, Vol. 7 (No. 20).

Othman, Dato Haji Mahmud Sardong Awang. 1995. Mahkamah Syari’ah di Negara Brunei Darussalam dan
Permasalahannya. dalam Jurnal Mimbar Hukum. Tahun VI, September-Oktober. (No. 22).

Rohamanah, Lutfah. 2019. Perbandingan Fikih Mazhab dengan Hukum Keluarga di Indonesia dan Negara
Brunei Darussalam Tentang Perceraian, dalam Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah

Sumber Lainnya :

Brunei Darussalam: Kesultanan Absolut dan Negara Modern - Kyoto Review of Southeast Asia dikutip
pada Selasa, 7 Desember 2021, pukul 22:15 WIB.

Kedutaan Besar Republik Indonesia , di Bandar Seri Begawan,, Brunei Darussalam (kemlu.go.id) dikutip
pada Selasa, 7 Desember 2021, pukul 22:15 WIB.

Anda mungkin juga menyukai