Anda di halaman 1dari 17

PERBANDINGAN HUKUM KELUARGA BRUNEI DARUSSALAM DENGAN

INDONESIA

Disusun oleh :

1. Mohammad Asfia 33010190172

2. Kharisudin 33010190173

Mata Kuliah Perbandingan Hukum Keluarga Prodi Hukum Keluarga

Islam, Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga,

Jawa Tengah, Indonesia

Abstrak

Karya ilmiyah yang berjudul "Perbandingan hukum keluarga Brunei Darussalam

dengan Indonesia " bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum

keluarga di negara Brunei darussalam dengan hukum keluarga di Indonesia. Metode

yang kami adalah kajian Pustaka dengan cara mengkaji naskah undang-undang

mengenai hukum keluarga yang berlaku, diantara pasal-pasal yang akan dibahas

yaitu masalah batas umur perkawinan, pencatatatan perkawinan, perceraian,

poligami, dan waris. Kemudian hasil dari penulisan ini mengungkapkan bahwa latar

belakang lahirnya pembaruan hukum Islam yang terjadi pada era ini disebabkan

antara lain, untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat

dalam kitab-kitab fikih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan hukum masyarakat

terus berkembang.

A. Latar Belakang
Islam sebagai agama pembaharuan yang diturunkan Allah Swt melalui perantara

Rasul-Nya yang terakhir yakni Nabi Muhammad Saw.Islam diturunkan untuk

melaruskan agama Allah Swt yang disampaikan melalui Rasul-rasul-Nya yang

terdahulu, karena telah diselewengkan oleh para pengikutnya masingmasing. Oleh

karena itu Islam merupakan satu-satunya agama yang haq, yakni yang paling benar

di sisi Allah Swt, sejak diturunkan hingga akhir zaman kelak.1

Brunei Darussalam merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang

melakukan pembaharuan hukum keluarga di negaranya. Dalam MIB (Melayu Islam

Beraja) sebagai ideologi negara Brunei, termaktub di dalamnya penetapan madzhab

Syafi'i (dari sisi fikihnya) dan ahl sunnah wal jama'ah (dari sisi akidahnya)2 Maka dari

sini dapat terlihat jelas bahwa fikih yang dianut oleh Brunei berdasarkan pada

madzhab Syafi'i. Demikian halnya dengan produkproduk hukum Brunei yang

berdasarkan atas madzhab Syafi'i. Namun, sejalan dengan berkembangnya zaman

tidak menutup kemungkinan adanya tuntutan untuk melakukan pengembangan dan

pembaharuan karena dirasa ketentuan hukum klasik sudah tidak mampu menjawab

persoalan dalam konteks modern ini. Salah satu contoh produk pembaharuan Brunei

ialah Perintah Darurat (Undang-undang Hukum keluarga Islam) tahun 1999 yang

mengatur masalah institusi keluarga khususnya terkait perkawinan dan perceraian.

Tulisan ini akan mencoba mengulik lebih jauh perbandingan hukum keluarga

yang berlaku di Indonesia dan Brunei. Brunei yang notabene merupakan negara

tetangga merupakan poin penting dalam kemajuan hukum di bidang keluarga.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal di atas, penulis ingin mencoba mengkaji bagaimana negara

Brunei melakukan pembaharuan hukum keluarga di negaranya. Dengan adanya

perbedaan antara Brunei dengan Indonesia, sudah dapat dipastikan bahwa

1
Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1993).1
2
Abd. Ghofur, "Islam dan Politik di Brunei Darussalam: Suatu Tijauan Sosio-Historis," dalam
Jurnal Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama, Volume 7 Nomor 1 (2015), 63
hukum dan segala yang diatur akan berbeda. Berdasarkan latar belakang masalah

yang telah diuraikan di atas, penyusun merumuskan pokok-pokok masalah, yaitu:

1. Bagaimanakah sistem pencatatan perkawinan di Brunei Darussalam?

2. Apa perbedaan hukum keluarga antara Brunei dan Indonesia?

C. Kerangka Teori

Untuk mempermudah dan mendapatkan gambaran tentang kerangka dan alur

penulisan penelitian ini, serta apa saja yang nanti akan dibahas, maka penulis

mengurai sistematika penulisan sebagai berikut :

1. Profil negara Brunei Darussalam.

2. Sejarah pembaharuan hukum keluarga di negara Brunei.

3. Pembaharuan hukum keluarga di negara Brunei.

4. Perbandingan hukum keluarga antara Indonesia dan Brunei.

D. Metode Penelitian

Jenis yang penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitiankualitatif merupakan

penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder,

yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikaji kemudian

ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.3 Adapun teknik

pengumpulan data pada penelitian ini adalah library research atau studi pustaka

yaitu, sebuah studi dengan mengkaji buku-buku yang ada kaitannya dengan

penelitian yang diambil dari kepustakaan

E. Pembahasan

1. Profil Negara Brunei Darussalam

Brunei Darussalam merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang

terkenal sangat makmur. Brunei Darussalam

3
Sri Mamuji, dkk, metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 4.
yang merupakan anggota ke-6 ASEAN ini mendapatkan kemerdekaannya

dari Inggris pada tanggal 1 Januari 1984.4 Kepala negara Brunei

Darussalam adalah seorang Sultan yang sekaligus sebagai Kepala

Pemerintahan (Perdana Menteri). Kendatipun wewenang serta kekuasaan

Sultan yang diberikan Konstitusi begitu besar, namun sistem

pemerintahan Brunei Darussalam bersifat demokratis. 5Tetapi dalam hal

cara pemilihan para birokrat di Brunei cenderung dengan system

rekruitmen tertutup. Sistem ini tidak menyerap personil dari seluruh

lapisan masyarakat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Brunei

Darussalam merupakan negara kerajaan dengan kepala pemerintahan

berada di tangan sultan.

Tercatat dua pertiga jumlah penduduk Brunei adalah orang Melayu.

Kelompok etnik minoritas yang paling penting dan yang menguasai

ekonomi negara ialah orang Tionghoa (Han) yang menyusun lebih kurang

15% jumlah penduduknya.6 Etnis-etnis ini juga menggambarkan bahasa-

bahasa yang paling penting, bahasa Melayu yang merupakan bahasa

resmi, serta bahasa Tionghoa. Bahasa Inggris juga dituturkan secara

meluas, dan terdapat sebuah komunitas ekspatriat yang agak besar

dengan sejumlah besar warganegara Britania dan Australia. Islam ialah

agama resmi Brunei, dan Sultan Brunei merupakan kepala agama negara

itu. Agama-agama lain yang dianut termasuk agama Buddha

(terutamanya oleh orang Tiong Hoa), agama Kristen, serta agama-agama

orang asli (dalam komunitas-komunitas yang amat kecil)7

Brunei berada di bawah kekuasaan Inggris selama 100 tahun, pada tahun

1963 menolak bergabung dengan negara Malaysia, dan berdiri sendiri

dari Inggris pada tahun 1983. Dengan konstitusi yang

4
Haji Awang Mohd. Jamil al-Sufri, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perkembangan Islam
(Brunei Darussalam: Kementrian Kebudayaan, 2001), hlm. 3.
5
Ibid.
6
Ibid., hlm. 4.
7
Ibid., hlm. 6
berdasar pada aliran Ahlus Sunnah wal jam±'ah dan bermazhab Syafi'i.

Namun demikian, dalam beberapa aturan hokum lainnya yang tidak

diatur dalam hokum keluarga, warga Negara Brunei tetap mempunyai

hak untuk memilih (takhayyur) atas beberapa mazhab fikih lain selain

mazhab Syafi'i. Perkembangan dan pandangan politik umat Islam di

Brunei tersebut terkait erat dengan perkembangan pemikiran terhadap

nash yang berkaitan dengan kepemimpinan. Perkembangan Brunei,

tampak sejalan dengan penerimaan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal-

Jama'ah yang berimplikasi politik pada kehidupan umat Islam di Brunei

Darussalam.

2. Sejarah pembaharuan hukum keluarga di negara Brunei.

Pada tahun 1425 penguasa Brunei Wang Alak Betatar pergi ke Malaka

mengunjungi Sultan Muhammad Shah dan di sanalah ia masuk agama

Islam. Dari itu terlihat bahwa masuk dan menyebarnya Islam di Brunei

dimulai pada tahun ini setelah penguasa Brunei masuk Islam. Brunei

merupakan negara yang kuat dan memiliki otoritas yang luas pada abad

ke-16. Selanjutnya pada abad ke-17 kekuasaan kesultanan Brunei mulai

terkikis akibat adanya konsesi yang dibuat dengan belanda, Inggris, Raja

Serawak, British North Borneo Company dan serangan-serangan dari

para pembajak. Hal inilah yang menyebabkan Brunei tereduksi menjadi

sangat kecil sampai batas-batas yang ada sekarang8.

Demikian dengan kedatangan beberapa negara asing ke Brunei,

khususnya inggris, berdampak pada adanya perubahan dalam system

hukum keluarga Islam dalam perjalanan panjang menuju kemerdekaan

hingga sekarang. Sebelum kedatangan Inggris, Sultan Hasan (1605-

1619) telah membuat Undang-undang Islam yang telah diqanunkan

dengan "Hukum Kanun Brunei" yang kemudian disempurnakan oleh

Sultan jalilul Jabbar (1619-1652).

8
Atho Mudzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 176.
Kemudian pada tahun 1847 sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya

saat Brunei dan Inggris mengadakan perjanjian yang menyebabkan

Inggris dapat mulai mencampuri urusan bidang kekuasaan Mahkamah

Kesutanan Brunei. Kemudian pada tahun 1856 diadakan kembali

perjanjian yang menyebabkan pemerintah Inggris di Brunei dapat

semakin jauh mencampuri urusan hukum Brunei.9

Selanjutnya, pada tahun 1888 ditandatangani perjanjian yang intinya

memberikan kuasa penuh kepada hakim kerajaan Inggris di dalam

menjalankan tugasnya.Adapun perjanjian tersebut berada dalam artikel

VII yang isinya adalah:

i. Bidang kuasa civil dan jenayah kepada jawatan kuasa kehakiman

Inggris untuk mengendalikan kes rakyatnya, kes rakyat asing dari

Negara- negara jajahan Inggris dan kes rakyat Negara lain jika

mendapat persetujuan kerajaan Negara mereka.

ii. Bidang kuasa untuk menghakimkan kes yang melibatkan rakyat

Brunei jika rakyat Brunei dalam kes tersebut merupakan seorang

penuntut atau pendakwa. Tetapi jika didalam kes itu, rakyat Brunei

adalah orang yang dituntut atau didakwa maka kes itu akan diadili oleh

Mahkamah Tempatan.10

Inti dari perjanjian tersebut adalah memberikan kuasa penuh kepada

hakim kerajaan Inggris di dalam menjalankan tugasnya di kerajaan

Brunei Darussalam terhadap rakyatnya Dengan adanya perjanjian-

perjanjian tersebut di atas, tentunya mengakibatkan perubahan-

perubahan di berbagai bidang, terkhusus penerapan

9
Atho Mudzhar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, 178
10
Dato Haji Mahmud Sardong Awang Othman, Mahkamah Syari'ah di Negara Brunei
Darussalam dan Permasalahannya (Mimbar Hukum No.22 Tahun VI, September-Oktober
1995), h45
hukum Islam di Brunei. Tahap awal dari perubahan tersebut

berdampak pada dipersempitnya kewenangan Kanun Brunei yang

Islami yang dibatasi hanya pada persoalan Undang-Undang

Perdata.Sebagai bukti, yaitu adanya Undang-Undang

"Muhammadan'sLaw Enactment Nomor 1 Tahun 1911 M., yang khusus

mengatur masalah ibadah, nikah, dan cerai bagi orang

Islam.Selanjutnya, pada tahun 1913 keluar peraturan pelaksanaan

tentang pendaftaran perkawinan dan perceraian yang dikenal dengan

"Muhammadan's Marriage andDevorce EnacmenC Nomor 2 Tahun

1913. Dan selanjutnya, pada tahun 1955, dibentuk Undang-Undang

majelis Ugama Islam, Adat Negeri,dan Mahkamah Qadi Nomor 20

Tahun 1955, dengan tujuan untuk menyatukan Undang-Undang yang

berkaitan dengan hukum Islam.11

Setelah itu berturut-turut mengalami amandemen, yaitu mulai tahun

1957, 1960, 1961, dan 1967.Ketika terjadi Revision Law's of Brunei

pada tahun 1984, Undang-undang inipun mengalami revisi tapi hanya

sedikit saja disamping namanya dirubah dengan Undang- Undang

majelis Ugama dan Mahkamah Kadi Penggal 77.12

Pembatasan kewenangan pemberlakuan hukum Islam di Brunei

berawal pada masa penjajahan Inggris. Pembatasan hukum Islam dan

juga keinginan memberlakukan hukum negaranya, adalah merupakan

ciri dari sebuah penjajahan. Kejadian ini juga yang pernah dialami

oleh bangsa Indonesia ketika dijajah oleh pemerintah Belanda.

3. Pembaharuan hukum keluarga di negara Brunei.

a. Pendaftaran (Pencatatan) Nikah.

11
ibid
12
Haji Salim Bin Haji Besar, "Pelaksanaan Undang-Undang Keluarga Islam di Negara
Brunei Darussalam dan Permasalahannya", dalam Mimbar Hukum, h. 9-10.
Brunei mewajibkan pendaftaran yang dilakukan oleh pegawai

pencatat, walaupun pendaftaran dilakukan sesudah akad nikah. Pada

Pasal 11 (1) Undang-Undang Brunei Tahun 1999 menjelaskan bahwa

perkawinan yang tidak mengikuti atau bertentangan dengan UU

tersebut tidak dapat dicatatkan menurut cacatan resmi. Namun, jika

bertentangan dengan UU tetapi di sisi lain sesuai dengan hukum

Islam, maka perkawinan dapat didaftarkan secara resmi melalui

proses Pengadilan. Demikian bagi pihak yang yang melakukan

pernikahan tetapi tidak mendaftar, maka termasuk pelanggaran yang

dapat dihukum.13 Pada peraturan perundang-undangan di Brunei

pasal 135 (1) dan (2) menetapkan bahwa yang boleh menjadi

pendaftar nikah cerai, selain Kadi Besar dan Kadi-kadi, adalah imam-

imam masjid. Hal tersebut disebabkan karena imamimam itu

merupakan juru nikah yang diberi kuasa (tauliyah) oleh Sultan atau

yang diberi kuasa oleh hukum untuk orang Islam. Sehingga

keberadaan mereka menjadi penting sebagai bentuk tertib

administrasi pernikahan di Negara tersebut14

b. Pembatalan pertunangan

Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 136 bahwa,

perbuatan membatalkan perjanjian pertunangan oleh pihak laki-laki

yang dibuat baik secara lisan maupun secara tertulis yang dilakukan

mengikuti hukum muslim, akan berakibat pada pihak laki-laki, yaitu

harus membayar sejumlah sama dengan banyaknya mas kawin,

ditambah dengan perbelanjaan yang diberikan secara suka rela untuk

persiapan perkawinan. Apabila yang membatalkan perkawinan

tersebut dari pihak perempuan,

13
Fajar devan Afrizon, "Sanksi Peraturan terhadap Aturan Poligami dan Pencatatan
Perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Brunei darussalam," dalam Skripsi Fakultas Syariah
dan Hukum (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2016), 49-50.
14
Intan Cahyani, "Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam," 154.
maka hadiah pertunangan harus dikembalikan bersama dengan uang

yang diberikan dengan suka rela.15

c. Wali Nikah

Mengenai wali nikah di negara Brunei, Persetujuan kedua belah pihak

dalam perkawinan sangat diperlukan. Di samping itu, wali pengantin

perempuan pun harus memberikan persetujuan atau Kadi yang

mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja atau apabila

tidak terdapat wali nasab atau wali nasab tidak menyetujui dengan

alasan yang tidak masuk akal.16

Aturan perwalian ini dikenal dalam mazhab Syafi'i, dimana seorang

wanita yang mau menikah harus mendapatkan izin dari

walinya.Demikian pula berlaku di Negara Brunei yang mengharuskan

adanya wali dari sebuah pernikahan, akan tetapi bagi seorang janda

tidak di haruskan dengan wali.

d. Perceraian yang dilakukan sebelum di gauli

Adapun terkait perceraian dalam Peraturan Darurat Tahun 1999

dalam pasal 13 (3), jika perempuan dicerai sebelum digauli maka ia

tidak boleh menikah dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang

terdahulu dalam masa iddah kecuali telah dibenarkan oleh Kadi yang

berkuasa di mana ia tinggal.17

ketentuan tersebut sangat kontroversial, sebab bertolak belakang dari

kesepakatan ulama madzhab bahwa wanita yang ditalak sebelum

dicampuri dan sebelum melakukan khalwat, tidak mempunyai iddah.

Sebagaimana firman Allah swt dalam QS. al-Ahzab ayat 49 yanga

artinya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-

perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan

15
Tahir Mahmood, Family law Reform in The Muslim World (Bombay: N.M. Tripathi Pvt. Ltd.,
1972), h. 206-212.
16
Pasal 139.Pasal UU ini diambil dari Tahir Mahmood,
17
Fajar devan Afrizon, "Sanksi Peraturan terhadap Aturan Poligami dan Pencatatan Perkawinan
di Indonesia, Malaysia, dan Brunei darussalam," 59-60.
mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib

atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya,

Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara

yang sebaik-baiknya.18

e. Syarat Sah Perceraian.

Berbeda halnya dengan peraturan perundangan-undangan di Brunei,

perceraian dilakukan atau didaftarkan pada Pengadilan. Namun, tidak

menutup kemungkinan dilakukannya perceraian di luar Pengadilan.

Seorang suami dapat menceraikan istrinya dengan talak satu, dua,

atau tiga menurut hukum muslim. Dalam hal tersebut, seorang suami

harus melaporkan lafal cerai tersebut dalam jangka waktu 7 (tujuh)

hari yang kemudian Kadi akan mengeluarkan akte perceraian kepada

kedua belah pihak. Jika dalam jangka waktu yang telah ditentukan

tidak melaporkannya, maka akan dikenakan hukuman berupa uang

yaitu tidak lebih dari 2 (dua) ribu dollar atau penjara tidak lebih dari

6 (enam) bulan atau keduanya. Hal ini termuat pada aturan Perintah

darurat (Undang-undang Keluarga Islam) tahun 1999.

f. Poligami

Poligami di negara brunei, sebagaimana terdapat dalam pasal 23 UU

Hukum Keluarga Brunei tahun 1999 menetapkan seorang laki-laki

yang telah menikah tidak diboleh menikah dengan perempuan lain

kecuali setelah mendapatkan persetujuan Hakim dan dengan formulir

yang telah ditetapkan. Permohonan tersebut disampaikan kepada

hakim secara lisan dan tulisan.19 Selain itu pemohon juga harus

memberikan alasan-alasan yang mendorongnya untuk melakukan

poligami, dengan

18
QS. al-Ahzab: 49
19
9 Fajar devan Afrizon, "Sanksi Peraturan terhadap Aturan Poligami dan Pencatatan
Perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Brunei darussalam," 59-60.
adanya kemampuan finansial, adil di antara para istri dan orang-

orang yang ada di bawah tanggungannya, serta pemberian izin atau

persetujuan dari istri pertama.

Setelah itu, setelah hakim mendengarkan dan menerima pengajuan

tersebut, hakim baru dapat memutuskan apakah permohonannya

diterima atau tidak. Namun pada Pasal 123 dijelaskan bahwa apabila

seorang laki-laki melakukan poligami di manapun ia berada tanpa

persetujuan tertulis dari Hakim diancam dengan hukuman denda

paling banyak $2000.20

g. Hakam (Mediator)

Undan-Undang di Brunei juga mengatur mengenai penunjukan

seorang hakam. Posisi hakam tersebut ditunjuk oleh Kadi untuk

menjadi mediator bagi suami dan istri yang menghadapi masalah

dalam perkawinan mereka. Apabila Kadi tidak menyetujui apa yang

dilakukan oleh hakam, Kadi akan mengangkat dan mengganti hakam

yang lain. Demikian pula jika hakam berpendapat bahwa pihak-pihak

ini layak bercerai tetapi tapi sulit memberi alasan untuk bercerai,

maka Kadi akan mengangkat hakam yang lain dan akan memberi

otoritas untuk mempengaruhi perceraian.21

Adapun dalam peraturan, Brunei menghadirkan hakam hanya

apabila salah satu pihak tidak menyetujui akan terjadinya

perceraian, dalam peraturan Perintah darurat Pasal 42 (6)

berbunyi22: "Jika pihak yang satu lagi tidak bersetuju terhadap

perceraian itu atau jika Mahkamah berpendapat bahwa ada

kemungkinan yang munasabah bagi suatu perdamaian antara pihak-

pihak itu, Mahkamah bolehlah merujukkan kes itu kepada Pegawai

Khidmat Nasihat keluarga."

20
ibid
21
Pasal 149 ayat 1.Pasal UU ini diambil dari Tahir Mahmood, op.cit.h. 206-212.
22
Lutfah Rohmanah, "Perbandingan Fikih Mazhab dengan Hukum Keluarga di Indonesia dan
Negara Brunei Darussalam Tentang Perceraian," 78.
Hal tersebut sesuai dengan nash yang terdapat dalam surat

alNisa' ayat 35 yang menjelaskan bahwa bila terjadi persengketaan

antara suami istri, maka hendaknya mengirimkan seorang hakam

dari keluarga laki-laki dan seorang dari keluarga perempuan,

begitupula halnya dalam pandangan madzhab fikih, yakni Syafi'i,

Hanafi, Hanbali.

4. Analisa perbandingan hukum keluarga Brunei Darussalam

dan Indonesia.

NO TEMA BRUNEI DARUSSALAM INDONESIA

1 Pencatatan
• Mengharuskan • Mengharuskan
Nikah
pendaftaran nikah pendaftaran nikah

• (Akibat) adanya sanksi • (Akibat) pernikahan

bila tidak didaftarkan tidak memiliki kekuatan

hukum, hak tidak

dijamin oleh UU.


2 Pembatalan
• Ada hukum yang • Tidak ada akibat hukum
tunangan
mengatur dan tidak di atur

• Apabila dilakukan oleh

pihak laki-laki, akibat:

membayar sejumlah

maskawin, plus biaya

perbelanjaan persiapan

perkawinan yang

diberikan secara suka

rela.

• Apabila dilakukan oleh

pihak perempuan,

akibat:
mengembalikan hadiah

pertunangan plus dengan

uang yang diberikan

secara suka rela

3 • Tidak sah tanpa wali • Tidak sah tanpa wali


Wali nikah

Terdapat

perbedaan

pendapat:

Syafi'i dan

hanbali: rukun

nikah, tanpa

wali tidak sah.

Malik dan

Hanbali:

keharusan

adanya wali

Hanafi: sah

tanpa wali

4
Perceraian • Adanya masa iddah bagi • Tidak ada masa iddah bagi

yang istri istri

dilakukan

sebelum

digauli.

Jumhur

ulama

berpendapat

tanpa masa

idah
5
Syarat sah • • Dibuktikan dengan akta • Dibuktikan dengan akta

perceraian cerai dari Pengadilan cerai dari pengadilan

Dalam islam • Umumnya dilakukan di • Wajib dilakukan di muka

cukup Pengadilan sidang Pengadilan

dengan • Mengakui/ boleh • Tidak mengakui

talaq dan perceraian di luar perceraian di luar


tidak Pengadilan, dengan pengadilan
menentukan syarat: melaporkan lafal
bagaimana cerai dalam jangka
harus di waktu 7 hari
lakukan • Adanya sanksi bila

melapor melebihi batas

waktu, yaitu: tidak lebih

dari 2 (dua) ribu dollar

atau penjara tidak lebih

dari 6 (enam) bulan atau

keduanya.

6 Poligami
• Boleh atas persetujuan • Memperbolehkan

Hakim, dengan poligami, dengan

keharusan memenuhi mengajukan

syarat yang ditetapkan permohonan ke

hakim Pengadilan dan

• Apabila tanpa keharusan memenuhi

persetujuan tertulis dari syarat, baik alternatif

Hakim diancam dengan maupun kumulatif24

hukuman denda paling • Khusus PNS pria, harus

banyak $2000 melampirkan surat izin

dari pejabat, sedangkan

untuk PNS
wanita, tidak

diperbolehkan secara mutlak

menjadi istri yang ke-2,3,

atau 4 • Khusus PNS apabila

melanggar atau berpoligami

tanpa izin akan dikenakan

sanksi sesuai pada PP No.

30 Tahun 1980 pasal 6 ayat

(4)

7 Hakam
• Terdapat mediasi, hanya • Terdapat mediasi
(mediator)
saat salah satu pihak terhadap semua

tidak setuju bercerai sengketa perdata

• Hakam (mediator) • Hakam (mediator)

diangkat dari Pegawai diangkat dari hakim atau

Khidmat Nasihat mediator bersertifikat

Keluarga atau keluarga

dekat (khusus syiqaq)

F. KESIMPULAN

Secara umum, Brunei dalam melakukan pembaharuan hukum keluarga sebagai

respon atas perkembangan zaman dengan tetap mempertimbangkan pemikiran

madzhab fikih khususnya Syafi'i sebagai madzhab yang dianut oleh mayoritas

penduduknya. Walaupun demikian, ada beberapa hal ketentuan yang tidak

sejalan dari pemikiran fikih, yang disebabkan adanya tuntutan tujuan dan peran

hukum adat dalam melakukan pembaharuan melalui reinterpretasi teks. Maka


berdasarkan hal tersebut, pembaharuan hukum keluarga di Brunei dapat

dimasukkan dalam bangunan tipologi adaptif, unifikasi mazhab dan

intradoktrinal reform semi progresif dan ekstradoktrinal reform.

Bila dibandingkan dengan pembaharuan Indonesia, dapat dilihat adanya

beberapa kesamaan dan pebedaan dalam menerapkan peraturan. Hal ini

disebabkan kesamaan madzhab yang dianut serta letak geografisnya.

Adapun perbedaan antara keduanya disebabkan perbedaan faktor sosial,

budaya, kebutuhan maupun tuntutan.

DAFTAR PUSTAKA

Afrizon, Fajar devan. "Sanksi Peraturan


terhadap Aturan Poligami dan
Pencatatan
Perkawinan di Indonesia, Malaysia, dan Brunei
darussalam." dalam SkripsiFakuttasSyariah dan
Hukum. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2016.
Al-Jazairy, Abdurrahman. ai-Fikih 'ala ai-
Madzhab ai-Arba'ah, Jilid 4. Beirut: Dar Fikr,
1996.
Ardhian, Reza Fitra. Dkk. "Poligami Dalam
Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia serta
Urgensi Pemberian Izin Poligami di Pengadilan
Agama." dalam Jurnal Privat Law, Volume 3
Nomor 2, 2015.
Cahyani, Intan. "Hukum Keluarga islam di
Brunei Darussalam." dalam Jurnal a/Qadau.
Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015.
Ghofur, Abd. "Islam dan Politik di Brunei
Darussalam: Suatu Tijauan SosioHistoris."
dalam Jurnal Toleransi: Media Komunikasi Umat
Beragama, Volume 7 Nomor 1, 2015.
Hidayat, Syaiful. "Wali Nikah dalam Perspektif
Empat Madzhab." dalam JurnalInovatif, Volume
2 Nomor 1, 2016.
Huda, Miftahul. Hukum Keluarga: Potret
Keragaman Perundang-
undangan diNegara-negara Muslim Modern.
Malang: Setara Press, 2018.
Imamah, Ade Irma. "Hak Penolakan Rujuk di
Indonesia dan Negara Brunei Darussalam
Perspektif Hukum Islam, Gender, dan HAM."
dalam TesisFakuttasSyariah dan Hukum.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2018.
Kompilasi Hukum Islam.
Latief, M Nur Hasan. "Pembaharuan Hukum
Keluarga serta Dampaknya Terhadap
Pembatasan Usia Minimal Kawin dan
Status wanita." dalam Jurnai Hukum Novelty, Volume 7 Nomor 2,
2016.
Mudzhar, Atho. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern. Jakarta:
Ciputat Press, 2003.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Rohmanah, Lutfah. "Perbandingan Fikih Mazhab dengan Hukum
Keluarga di Indonesia dan Negara Brunei Darussalam Tentang
Perceraian." dalam Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum. Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2019.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Wahyuni, Sri. "Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Negara-


negara Muslim." dalam al-Ahwal, Volume 6 Nomor 2 Tahun 2013.
Wartini, Atik. "Poligami: Dari Fiqh Hingga Perundang-undangan."
dalam Hunafa: JurnalStudia Islamika. Volume 10 Nomor 2 Tahun
2013.

Wikipedia. dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Brunei Darussalam


. diakses pada tanggal 12 Oktober 2022

Anda mungkin juga menyukai