Abstrak
Negara Brunei Darussaalam hari ini, berdiri atas dua kaki budaya, budaya
Tradisional dan Budaya Modern. Budaya Tradisional dicirikan oleh
dipertahankannya hampir seluruh falsafah, tata hukum, struktur kekuasaan, dan
struktur birokrasi keagamaan lama, yang dibakukan di bawah Melayu Islam Beraja
(MIB).
Adapun penjelasan tentang falsafah negara MIB, termuat dalam Titah 21 Juli
1990 : ”Dalam tiga rangkai kata—Melayu Islam Beraja—terdapat unsur atau
nilai-nilai yang positif untuk ketahanan negara, umpamanya dari ”Melayu” itu, ialah
bahasanya. Demikian juga ”Islam”, ialah agama yang menjamin seluruh kepentingan
rakyat dan penduduk dengan tidak mengira apa jua agama, satu kaum dan
keturunan. Sementara perkataan ”Beraja” pula, adalah menunjukkan kepada
kerajaan yang bersultan atau beraja, yang sudah wujud dan menjadi warisan zaman
semenjak dari beberapa abad lagi”. Dalam sistem MIB, secara de facto Sultan atau
Raja merupakan pemegang kekuasaan tunggal dan mutlak negara Brunei, lebih dari
itu, juga pemilik kekayaan negara.
Di Brunei berlaku empat peraturan perundangan secara simbiosis: Kanun,
Syarak, Resam dan adat istiadat, sedang birokrasi agama di Brunei dewasa ini
berasal dari awal ke-17 yang disempurnakan sehingga akhirnya berbentuk struktur:
(1). Kepala Menteri Agama, dengan gelar Pehin Datok Seri Maharaja, (2). Menteri-
menteri agama yang terdiri dari : Pehin Si raja Khatib, Pehin Datok Imam, Pehin
Tuan Imam, Pehin Udana Khatib dan Pehin-pehin Khatib, (3). Pegawai Agama,
yakni mudin-mudin.
Dalam suasana falsafah, tata hukum, struktur dan birokrasi seperti itulah
negara Brunei yang kaya memasuki era modern, dan hidup dalam pergaulan dunia
yang modern, menjadi bagian dari komunitas modern. Namun, secara faktual tidak
menggunakan beberapa prinsip modern: pemerintahan yang demokratis, sistem
keterwakilan rakyat, pemilikan kekayaan negara oleh dan untuk rakyat dan
pemenuhan hak-hak politik rakyat.
Cara yang ditempuh sultan dan rakyat Brunei adalah dengan
mempertahankan hampir seluruh falsafah, tata hukum, struktur kekuasaan dan
birokrasi keagamaan yang sedia ada, kemudian melakukan fungsionalisasi dan
memberikan pemaknaan yang modern, sedemikian rupa, sehingga "mereka tampil
dalam baju lama tapi dengan fungsi yang modern". Mempertahankan tradisi lama,
berguna bagi sultan untuk mengukuhkan status quo kekuasaannya, diterima oleh
masyarakat, karena masyarakat tidak siap mengalami tetek bengek dan resiko
revolusi, sebagaimana dialami jiran terdekatnya Indonesia dan Malaysia. Kelimpahan
kemewahan dalam sistem Melayu Islam Beraja, untuk sementara ini cukup untuk
membayar tekanan dan sistem totaliter dan non-demokrasi yang mengurangi hak-hak
politik yang dirasakan rakyat Brunei saat ini. Rakyat Brunei merupakan satu dari
sedikit masyarakat dunia yang mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan
secara gratis dan percuma dari negara dan Sultannya.
A. Pengantar
Brunei Darussalam1 biasa disebut Negara Brunei Darussalam, State Of
Brunei Abode of Peace; sebuah kerajaan kaya yang terletak di bagian utara
Kalimantan, diapit oleh dua wilayah Malaysia, Sabah dan Serawak,
diperintah oleh keturunan sultan, sekarang Sultan Hassanal Bolkiah.
Negara Brunei Darussalam hanya mempunyai luas 5.765 km2, dibagi
menjadi empat daerah: Belait, Muara, Temburong dan Tutong. Brunei
Darussalam menyatakan kemerdekaannya dari protektorat Inggris pada
tanggal 1 Januari 1984.
Saat ini Brunei merupakan negara kaya, dengan pendapatan negara
GDP US$9.009 billion, dan pendapatan perkapita $24,826. Ekonomi
Brunei didukung oleh penghasilan minyak dan gas yang cukup besar dan
sedikit pertanian, perikanan dan untuk masa depan industri. Penduduk
Brunei dengan jumlah penduduk 385.660 jiwa ini kebanyakan adalah
keturunan Melayu, sedikit Cina, Dayak dan Kadazan. Agama utama dan
resmi adalah agama Islam, sedikit Kristiani, Konghucu dan agama asli.
Kota-kota utama di samping Bandar Seri Begawan (ibu kota) adalah
Muara, Kuala Belait, dan Panaga (kota minyak dan kota rekreasi). Karena
kemakmurannya, pendidikan dan kesehatan diberikan kepada rakyatnya
secara cuma-cuma2.
ini, yakni Borneo. Orang-orang Inggris, sebelum abad ke-19 menyebutnya dengan burni,
bourni, bounee, borne. Sesudah abad ke-19, disebut dengan brune, brunai, bronei dan brunei.
sedang orang Cina menyebutnya dengan puni atau poni. Orang Belanda menyebutnya
dengan berow, barow, barau, beraw. lihat Pg. Haji Mohammead bin Pg Haji Abd. Rahman,
”Islam di Brunei Darussalam: Kemasukan dan Penyibaran", Makalah dalam seminar
antarabangsa, International Seminar on Islamic Civilization in the Malay World, di Bandar Seri
Begawan, tanggal 1-5 Juni 1989, p. 4.
2. Wikipedia, The Free Encyclopedia, khususnya: pengantar umum, history, districts
Jamil al-Sufri, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perkembangan Islam, jabatan pusat sejarah
kementerian kebudayaan belia dan sukan, Bandar Seri Begawan, 1990, p. 86.
4 . Ibid., pp. 13, 14, juga pp. 87 dan 90.
5. Ibid., p. 87.
11 Ibid., p. 2.
12 Ibid., pp. 2 dan 3.
13 Ibid, p. 3.
14 Ibid., p 4.
15 Ibid., p. xxv
Suai, Niah, Sibuti dan Sungai Baram (1883), Lawas dan Terusan (1885),
dan daerah Limbang pada 189016, telah berada di tangan James Brooke.
Hal yang sama juga berlaku di wilayah Brunei di bagian Borneo
Utara (Sabah). Wilayah ini diserahkan kepada dua orang saudagar
berbangsa Eropah—Austria dan British—Baron de Overbeck dan Alfred
Dent oleh Sukltan Abdul Mokmin pada 29 Desember 1877, dengan
membayar pajak tertentu. Empat tahun kemudian, yakni 1881, mereka
menubuhkan sebuah syarikat perniagaan, yakni Syarikat Berkanun Borneo
Utara (North Borneo Chartered Company), untuk mengurus dan mentadbir
negeri itu sebagai ladang pribadi. Keadaan ini berlanjutan hingga Juli 1946,
apabila Borneo Utara dijual kepada Kerajaan Inggris dan dijadikan tanah
jajahan Inggris. Semasa perang pasifik, Borneo Utara dijajah oleh tentara
Jepang17.
Dengan memanfaatkan konflik internal keluarga Diraja Brunei,
yakni pertentangan, yang berakhir dengan terbunuhnya Pangiran Muda
Hashim, dan adiknya Pangiran Badaruddin beserta keluarga mereka pada
akhir bulan Oktober 1845, yang oleh Inggris dituduh sebagai dilakukan
atas perintah Sultan Omar Ali Saifuddin II (1828-1852). Dengan dalih
membela keluarga Diraja, Inggris melakukan tekanan terhadap Sultan
Omar Ali Saifuddin II, dengan memerangi Sultan dan akhirnya memaksa
Sultan menyerahkan Pulau Labuan kepada Inggris pada 1846.
Sejarah menyebutkan bahwa ketika Sultan terpaksa berundur ke
pedalaman yakni Damuan, namun Sultan mendapat dukungan dan
bantuan dari Ketua Kaum Melayu bernama Haji Saman. Pada tanggal 19
Ogos 1846, pasukan Inggris dari Singapura di bawah pimpinan Kapten
Laut G. Rodney datang ke kubu pertahanan Haji Saman di Sungai
Membakut, dan akhirnya dapat memaksa Sultan Omar Ali Saifuddin II
menandatangani perjanjian yang isinya menyerahkan kekuasaan Pulau
Labuan kepada Inggris pada tanggal 18 Desember 1846, dan
pelaksanaannya dilakukan pada tanggal 24 Desember 184618.
Pada 22 Januari 1848, James Brooke dilantik oleh Kerajaan Inggris
menjadi Pesuruhjaya dan Konsul Jenderal Inggris untuk kerajaan Brunei.
Pada 1847, Brunei menandatangani perjanjian persahabatan dan
perdagangan dengan Inggris, yang berisi pemberian hak-hak istimewa di
bidang perniagaan dan extra territorial right kepada warga Inggris yang
berniaga di Brunei. Bahkan, kemudian Brunei meletakkan dirinya di bawah
16 Ibid.,
17 Ibid., p. xxv dan xxvi
18 Ibid., p. xxvi dan xxvii
19 Ibid., p. xxviii
20 Ibid., p. 9.
21 Taufik Abdullah (Ketua dewan editor), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 5
Asia Tenggara, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), di bawah capter “Persekutuan
Tanah Melayu/Malaysia dan Brunei” oleh Dr. Alfitra Salam dan Drs. Ahmad Syahid MA,
p. 424.
22 Ibid.
25 Ibid.
26 Ibid.
Melayu Islam Beraja (MIB). Jika ditelusuri lebih lanjut, asas MIB telah
digagas sejak sebelum lahirnya Perlembagaan Brunei 1959, oleh Sultan
Haji Omar Ali Saifuddin dan Jawatan Kuasa Penasehat Kerajaan tahun
1954. Perjuangan merdeka dilakukan beriringan dengan usaha penataan
kelembagaan Brunei, antara lain dengan menempatkan sultan sebagai
kepala negara yang berdaulat dan berkuasa penuh, menjadikan Islam
sebagai agama resmi, bahasa Melayu sebagai bahasa resmi, dan kedudukan
khusus bangsa Melayu30.
Catatan Colonial Office pada 30 September 1957, tentang
pembicaraan Sultan Brunei dengan Secretary of State British menegaskan
status Brunei sebagai negeri Melayu Islam Beraja (MIB) atau Malay Islamic
Monarchy (MIM), yang kemudian populer dengan Pelembagaan Brunei
1959.
Dalam Pelembagaan Brunei 1959, terdapat pasal-pasal yang
merupakan asas utama identitas negara Brunei31.
1. Bab 3 Pasal 1 menyatakan: “Ugama resmi bagi negara ialah ugama Islam
menurut Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, tetapi ugama-ugama yang lain boleh
diamalkan dengan aman dan sempurna oleh mereka yang mengalmalkannya”.
2. Bab 4 pasal 1 menyatakan: “Kuasa memerintah yang tertinggi bagi Negeri
adalah terletak di dalam tangan Sultan”.
3. Bab 4 pasal 5 menyebutkan: “Maka tiada siapapun boleh dilantik menjadi
Menteri Besar atau Timbalan Menteri atau Setiausaha melainkan orang itu orang
Melayu yang berugama Islam mengikut Mazhab Syafi’i Ahlus Sunnah wal
Jama’ah”.
4. Bab 82 pasal 1 menyatakan: “Bahasa resmi Negara ialah Bahasa Melayu dan
hendaklah ditulis dengan huruf yang ditentukan oleh undang-undang bertulis”.
5. Bab 82 Pasal 2 menyatakan:“Ketua ugama ialah Sultan”.
Sultan berkuasa atas seluruh soal dalam negara, karena raja menjadi
Ketua Melayu, Ketua agama, ketua adat istiadat dan ketua pemerintahan.
Di negara ini, sultan merupakan wakil rakyat yang mutlak dan menjadi
pilar negara untuk mengawasi dan menjalankan roda pemerintahan negara
yang terdiri dari empat bahagian: Kanun, Syarak, Resam dan adat istiadat.
”Kanun” merujuk kepada ”Hukum Kanun Brunei” yang telah ada sejak
Sultan Hassaan, sultan kesembilan (1582-1598). ”Syarak” merujuk kepada
ajaran agama Islam. ”Adat Istiadat” merujuk kepada adat istiadat Brunei
kuno, yang berkaitan dengan sultan, panggilan kehormatan, susunan dan
adat istiadat yang tetrpakai di kalangan pembesar Brunei dan masyarakat
pada umumnya. Sementara ”Resam” merujuk kepada perkara yang di luar
30 Ibid.
31 Ibid., pp. 426 dan 427.
adat istiadat atau adat yang diadatkan, seperti resam satu kelompok kecil
atau puak-puak masyarakat tertentu.32
Dalam Titah Pemasyhuran Kemerdekaan 1984 disebutkan:
”Negara Brunei Darussalam adalah dan dengan izin serta limpah karunia Allah
s.w.t. akan untuk selama-lamanya kekal menjadi sebuah negara Melayu Islam
Beraja (MIB) yang merdeka, berdaulat dan demokratik bersendikan kepada ajaran
agama Islam menurut Ahlus Sunnah wal jama’ah, dan dengan berasaskan keadilan,
amanah, dan kebebasan”.
Birokrasi agama di Brunei dewasa ini telah terbentuk sejak awal.
Pemerintah merupakan sumber legitimasi kekuasaan birokrasi, termasuk
birokrasi agama. Pada akhir abad ke-16 dan 17, keberadaan birokrasi
agama dengan jabatan lengkap, mulai dari khatib, fakih, hingga kadi.
Dalam Silsilah Raja-raja Brunei dijelaskan bahwa birokrasi agama di masa
Sultan Hassan semakin lengkap, mulai dari Menteri Agama, khatib, hingga
mudin, sementara dalam Risalah al-Marhum, Dato’ Imam Ya’qub menyebut
gelar birokrasi agama seperti datok imam, siraja khatib, udana khatib,
khatib dan mudin. Eksistensi jabatan Menteri Agama di Brunei dewasa ini
merupakan tradisi lama yang dibangun sejak abad ke-20, ketika birokrasi
agama dibawah pimpinan Pehin Datok Seri Maharaja memberikan
pertanggungan jawaban urusan pentadbiran agama kepada Pengiran
Chetertia, sehingga Birokrasi agama kemudian terdiri dari: (1) Kepala
Menteri Agama, dengan gelar Pehin Datok Seri Maharaja, (2) Menteri-
menteri agama yang terdiri dari : Pehin Si raja Khatib, Pehin Datok Imam,
Pehin Tuan Imam, Pehin Udana Khatib dan Pehin-pehin Khatib, (3)
Pegawai Agama, yakni mudin-mudin33.
Konsep falsafah negara MIB adalah ekspressi bahwa Brunei tidak
bergeser dari tradisi lama yang bersifat kesultanan. Kalau institusi
kesultanan di kawasan Nusantara lainnya—kecuali Malaysia untuk wilayah
tertentu—berakhir sejak datangnya kolonialisme Barat, namun Brunei
sebelum kemerdekaan telah bertekad untuk mempertahankan sistem
kesultanan. Falsafah negara MIB bagi Brunei merupakan konsep yang
final, yang terus disosialisasikan melalui lembaga pendidikan dan
masyarakat umum.
Berikut penjelasan tentang falsafah negara MIB, sebagaimana
termuat dalam Titah 21 Juli 1990:34
”Dalam tiga rangkai kata—Melayu Islam Beraja—terdapat unsur atau nilai-nilai
yang positif untuk ketahanan negara, umpamanya dari ”Melayu” itu, ialah
32 Ibid. p. 427.
33 Ibid.
34 Ibid.
bahasanya. Siapapun tidak boleh menyangkal, bahwa bahasa Melayu itu adalah
satu-satunya alat perpaduan kita yang paling efektif. Tanpa bahasa ini, kita tentunya
tidak akan dikenal sebagai satu bangsa yang berdaulat lagi mempunyai identiti.
Demikian juga ”Islam”, ialah agama yang menjamin seluruh kepentingan rakyat dan
penduduk dengan tidak mengira apa jua agama, satu kaum dan keturunan.
Pendeknya, agama Islam adalah jaminan keselamatan dan kesejahteraan untuk
semua. Kerana itu tidak siapa yang perlu takut atau merasa ragu mengenainya.
Sementara perkataan ”Beraja” pula, adalah menunjukkan kepada kerajaan yang
bersultan atau beraja, yang sudah wujud dan menjadi warisan zaman semenjak dari
beberapa abad lagi”.
Untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa serta identitas
bangsa melalui bahasa, dibentuk Dewan Bahasa dan Pustaka, mirip
dengan usaha yang dilakukan di Malaysia, juga organisasi Angkatan
Sastrawan dan Sastrawani Brunei (Asterawani). Asterawani berdiri pada 6
Juli 1962, dengan tokoh-tokoh A. Ahmad Hussin, Leman Ahmad, Abdul
Ghaffar Jumat, Abdul Samad kahar, Muhammad Abdul Latiff dan Mahadi
Matarsat35.
Kesultanan Brunei, seperti juga kesultanan Malaysia, menempatkan
istana sebagai pusat kebesaran, kekuasaan, kemuliaan . Istana Brunei juga
berfungsi sebagai penaung kegiatan yang bercorak tamadun. Istana
menaungi urusan pemerintahan, pusat agama, pusat administrasi, pusat
kesenian, pusat resam dan moral bangsa. Di samping mengendalikan
urusan perdagangan, pertahanan dan diplomasi. Brunei Darussalam adalah
satu-satunya negara Melayu Muslim Asia Tenggara yang berhasil
menghantarkan istitusi kesultanan sebagai penerus paling orisinil dari
tradisi sosial politik rumpun Melayu Islam.
35 Ibid. p. 428.
Daftar Pustaka
Abd. Rahman, Pg. Haji Mohammad bin Pg. Haji, Islam di Brunei
Darussalam: Kemasukan dan Penyibaran, kertas kerja dalam
International Seminar on Islamic Civilazation in The Malay World,
Bandar Seri Begawan 1-5 Juni 1989,
Abdullah, Taufik dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1989.
Abdullah, Taufik, (Ketua Dewan Editor), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam
Jilid 5: Asia Tenggara, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Fryer, Donald W., Asia Tenggara yang sedang Membangun, Suatu Kajian
Mengenai Perkembangan Dan Sebaliknya, (terjemahan “Emerging
Souteast Asia), Kuala Lumpur: Dewan bahasa dan Pustaka dan
Kementerian Pelajarn Malaysia, 1986.
Hall, D.G.E., Sejarah Asia Tenggara (terj. oleh Drs. I. Soewarsha dan
Drs.M. Habib Mustopo), Surabaya: Usaha Nasional, t.t.
Ibrahim, Ahmad, Sharon Siddique dan Yasmin Hussain, Islam di Asia
Tenggara, Perspektif Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1989.
Seri Utama, Pehin Orang Kaya Amar Diraja Dato (Dr) Haji Awang
Mohd. Jamil Al-Sufri, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perkembangan
Islam, Bandar Seri Begawan: Jabatan Pusat Sejarah Kementerian
Kebudayaan Belia dan Sukan, Seri Begawan, 1990.
Zaini Bin Haji Ahmad, Haji, Brunei Merdeka: Sewjarah dan Budaya Politik,
Brunei Darussalam: De’Imas Printing & Trading Company, Beribi,
Gadong, 2003.