Anda di halaman 1dari 18

Islam di Brunei Darussalam

Antara Tradisi dan Modernitas


Oleh: Saifullah*

Abstrak
Negara Brunei Darussaalam hari ini, berdiri atas dua kaki budaya, budaya
Tradisional dan Budaya Modern. Budaya Tradisional dicirikan oleh
dipertahankannya hampir seluruh falsafah, tata hukum, struktur kekuasaan, dan
struktur birokrasi keagamaan lama, yang dibakukan di bawah Melayu Islam Beraja
(MIB).
Adapun penjelasan tentang falsafah negara MIB, termuat dalam Titah 21 Juli
1990 : ”Dalam tiga rangkai kata—Melayu Islam Beraja—terdapat unsur atau
nilai-nilai yang positif untuk ketahanan negara, umpamanya dari ”Melayu” itu, ialah
bahasanya. Demikian juga ”Islam”, ialah agama yang menjamin seluruh kepentingan
rakyat dan penduduk dengan tidak mengira apa jua agama, satu kaum dan
keturunan. Sementara perkataan ”Beraja” pula, adalah menunjukkan kepada
kerajaan yang bersultan atau beraja, yang sudah wujud dan menjadi warisan zaman
semenjak dari beberapa abad lagi”. Dalam sistem MIB, secara de facto Sultan atau
Raja merupakan pemegang kekuasaan tunggal dan mutlak negara Brunei, lebih dari
itu, juga pemilik kekayaan negara.
Di Brunei berlaku empat peraturan perundangan secara simbiosis: Kanun,
Syarak, Resam dan adat istiadat, sedang birokrasi agama di Brunei dewasa ini
berasal dari awal ke-17 yang disempurnakan sehingga akhirnya berbentuk struktur:
(1). Kepala Menteri Agama, dengan gelar Pehin Datok Seri Maharaja, (2). Menteri-
menteri agama yang terdiri dari : Pehin Si raja Khatib, Pehin Datok Imam, Pehin
Tuan Imam, Pehin Udana Khatib dan Pehin-pehin Khatib, (3). Pegawai Agama,
yakni mudin-mudin.
Dalam suasana falsafah, tata hukum, struktur dan birokrasi seperti itulah
negara Brunei yang kaya memasuki era modern, dan hidup dalam pergaulan dunia
yang modern, menjadi bagian dari komunitas modern. Namun, secara faktual tidak
menggunakan beberapa prinsip modern: pemerintahan yang demokratis, sistem
keterwakilan rakyat, pemilikan kekayaan negara oleh dan untuk rakyat dan
pemenuhan hak-hak politik rakyat.
Cara yang ditempuh sultan dan rakyat Brunei adalah dengan
mempertahankan hampir seluruh falsafah, tata hukum, struktur kekuasaan dan
birokrasi keagamaan yang sedia ada, kemudian melakukan fungsionalisasi dan
memberikan pemaknaan yang modern, sedemikian rupa, sehingga "mereka tampil
dalam baju lama tapi dengan fungsi yang modern". Mempertahankan tradisi lama,

* Dosen Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang Sumatera Barat.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


338 Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas

berguna bagi sultan untuk mengukuhkan status quo kekuasaannya, diterima oleh
masyarakat, karena masyarakat tidak siap mengalami tetek bengek dan resiko
revolusi, sebagaimana dialami jiran terdekatnya Indonesia dan Malaysia. Kelimpahan
kemewahan dalam sistem Melayu Islam Beraja, untuk sementara ini cukup untuk
membayar tekanan dan sistem totaliter dan non-demokrasi yang mengurangi hak-hak
politik yang dirasakan rakyat Brunei saat ini. Rakyat Brunei merupakan satu dari
sedikit masyarakat dunia yang mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan
secara gratis dan percuma dari negara dan Sultannya.

Kata kunci: brunei darussaalam, islam, budaya, kekuasaan

A. Pengantar
Brunei Darussalam1 biasa disebut Negara Brunei Darussalam, State Of
Brunei Abode of Peace; sebuah kerajaan kaya yang terletak di bagian utara
Kalimantan, diapit oleh dua wilayah Malaysia, Sabah dan Serawak,
diperintah oleh keturunan sultan, sekarang Sultan Hassanal Bolkiah.
Negara Brunei Darussalam hanya mempunyai luas 5.765 km2, dibagi
menjadi empat daerah: Belait, Muara, Temburong dan Tutong. Brunei
Darussalam menyatakan kemerdekaannya dari protektorat Inggris pada
tanggal 1 Januari 1984.
Saat ini Brunei merupakan negara kaya, dengan pendapatan negara
GDP US$9.009 billion, dan pendapatan perkapita $24,826. Ekonomi
Brunei didukung oleh penghasilan minyak dan gas yang cukup besar dan
sedikit pertanian, perikanan dan untuk masa depan industri. Penduduk
Brunei dengan jumlah penduduk 385.660 jiwa ini kebanyakan adalah
keturunan Melayu, sedikit Cina, Dayak dan Kadazan. Agama utama dan
resmi adalah agama Islam, sedikit Kristiani, Konghucu dan agama asli.
Kota-kota utama di samping Bandar Seri Begawan (ibu kota) adalah
Muara, Kuala Belait, dan Panaga (kota minyak dan kota rekreasi). Karena
kemakmurannya, pendidikan dan kesehatan diberikan kepada rakyatnya
secara cuma-cuma2.

1. Sebutan “Brunei” diperkirakan dinisbahkan kepada nama asal keseluruhan pulau

ini, yakni Borneo. Orang-orang Inggris, sebelum abad ke-19 menyebutnya dengan burni,
bourni, bounee, borne. Sesudah abad ke-19, disebut dengan brune, brunai, bronei dan brunei.
sedang orang Cina menyebutnya dengan puni atau poni. Orang Belanda menyebutnya
dengan berow, barow, barau, beraw. lihat Pg. Haji Mohammead bin Pg Haji Abd. Rahman,
”Islam di Brunei Darussalam: Kemasukan dan Penyibaran", Makalah dalam seminar
antarabangsa, International Seminar on Islamic Civilization in the Malay World, di Bandar Seri
Begawan, tanggal 1-5 Juni 1989, p. 4.
2. Wikipedia, The Free Encyclopedia, khususnya: pengantar umum, history, districts

and mukims, economy, dalam http://en.wikipedia. org/wiki/brunei.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas 339

B. Pengaruh Islam Dalam Struktur Sosial dan Adat Resam Brunei


Brunei telah menjadikan Islam sebagai agama mulai pemerintahan
Sultan Muhammad Syah (nama asalnya Awang Alak Betatar) yang
diperkirakan bermula sejak tahun 1368, kemudian dilanjutkan oleh Sultan
Ahmad, dan dipertegas oleh menantunya Sultan Sharif Ali (wafat 1432).
Namun, diperkirakan Islam telah tersebar di Brunei jauh sebelum itu,
karena Brunei berkembang sebagai daerah transit dan persinggahan
pedagang-pedagang Islam yang berdagang dan berdakwah ke wilayah ini3.
Menurut riwayat Cina, pada tahun 977, Raja Puni (Brunei lama)
telah menghantar utusannya ke Cina diketuai oleh Pu Ya-li, qadhi Kasim
dan Sheikh Noh4. Ini membuktikan bahwa orang Islam sudah
berpengaruh (setidak-tidaknya sudah ditemukan) di Brunei. Dalam sejarah
Cina dicatatkan bahwa pada 1370, Brunei yang pada masa itu—atau dalam
ejaan Cina—disebut Puni dan rajanya bernama Ma-ha-mo-sya (Sultan
Mohammad Shah), telah menghantar utusan ke Cina dengan membawa
sepucuk surat menggunakan tulisan khat yang bentuknya sama dengan
tulisan Hui-ku, tulisan orang Islam keturunan Turki yang mendiami
daerah Uighur.
Memandangkan kepada data-data di atas, dipercayai agama Islam
telah masuk ke Brunei jauh sebelum tahun 1368, dan sesudah Awang Alak
Betatar (Sultan Muhammad Syah) memerintah Islam telah menjadi agama
resmi bagi seluruh negara. Disebutkan juga oleh riwayat Cina, utusan Cina
yang diketuai oleh seorang Laksamana Islam bernama Cheng Ho datang
ke Brunei pada 1405, di Brunei didapatinya telah ada kerajaan Islam dan
keluarga raja disebutnya dengan “Pengiran”5. Pengganti Sultan
Muhammad Shah adalah Pateh Berbai yang setelah diangkat menjadi
Sultan bergelar Sultan Ahmad. Menurut Salasilah Raja-raja Brunei, Sultan
Ahmad kemudian digantikan oleh menantunya Sultan Sharif Ali berasal
dari Taif, seorang keturunan Nabi dari jalur Sayyidina Hasan. Beliau kawin
dengan puteri Sultan Ahmad bernama Puteri Ratna Kesuma. Setelah
Sultan Ahmad wafat (1426), maka Sultan Sharif Ali diangkat menjadi
sultan III, dengan gelar Sultan Berkat.
Yang perlu dicatat dari Sultan Sharif Ali adalah bahwa beliaulah
yang sebenarnya menanamkan ajaran Islam sesuai dengan ajaran Ahl al-
Sunnah wa al-Jama’aah dengan mazhab Syafi’i, beliau pula yang
3. Pehin orang kaya Amar Diraja Dato Seri Utama (dr) Haji Awang Muhammad

Jamil al-Sufri, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perkembangan Islam, jabatan pusat sejarah
kementerian kebudayaan belia dan sukan, Bandar Seri Begawan, 1990, p. 86.
4 . Ibid., pp. 13, 14, juga pp. 87 dan 90.
5. Ibid., p. 87.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


340 Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas

menentukan arah kiblat yang betul, karena ajaran Islam sebelumnya


banyak bercampur dengan ajaran agama Hindu-Budha. Bahkan panji-panji
negara Brunei Darussalam, juga diasaskan oleh Sharif Ali, panji-panji yang
mempunyai tiga sayap dan diatasnya terletak “Tunggul Alam Bernaga”6.
Sultan Sharif Ali wafat pada 1432 dan digantikan oleh putera
baginda bernama Sultan Sulaiman. Keturunan Sultan Sharif Ali inilah
yang melahirkan keturunan sultan dan raja-raja Brunei sampai ke hari ini.
Dua dari pengasas dan pembangun kesultanan Brunei yang
berpengaruh adalah Sultan Sulaiman (1432-1485) dan Sultan Bolkiah
(1485-1524). Di bawah pemerintahan Sultan Bolkiah itulah Brunei
mencapai masa kegemilangannya. Era keemasan ini berlanjutan selama
beberapa dekat hingga ketibaan pengembara-pengembara barat seperti
pelaut berbangsa Portugis, Ludovico de Vartema (1507), dan Antonio
Pigafetta (1521) di Brunei, yang banyak menceritakan masa keemasan
Brunei.
Adapun senarai nama-nama Sultan Bolkiah adalah sebagai berikut:7
1. Sultan Muhammad Syah 1363-1402)
2. Sultan Ahmad (1408-1425)
3. Sultan Sharif Ali (1425-1432)
4. Sultan Sulaiman (1432-1485)
5. Sultan Bolkiah (1485-1524)
6. Sultan Abdul Kahar (1524-1530)
7. Sultan Saiful Rijal (1533-1581)
8. Sultan Syah Brunei (1581-1582)
9. Sultan Muhammad Hasan (1582-1598)
10.Sultan Abdul Jalilul Akbar (1598-1659)
11.Sultan Abdul Jalilul Jabbar 91659-1660)
12.Sultan Haji Muhammad Ali (1660-1661)
13.Sultan Abdul Hakkul Mubin (1661-1673)
14.Sultan Muhyiddin (1673-1690)
15.Sultan Nasruddin (1690-1710)
16.Sultan Husin Kamaluddin (1710-1730) dan (1737-1740)
17.Sultan Muhammad Alaudin (1730-1737)
18.Sultan Omar Ali Saifuddin I (1740-1795)
6. Pehin orang kaya, Ibid., p. 121. Keseluruhan struktur panji-panji adalah sebelah
atas terdapat tunggul alam bernaga, di sebelah bawah terdapat alas pijak berbentuk bulan
sabit, di dalamnya terdapat tulisan Arab ”ad-daimun al-muhsinun bil huda” dan di bawah
sekali terdapat tulisan Arab ”Brunei Darussalam”. Adapun makna sayap yang tiga
adalah Iman, Islam dan Ihsan. Tunggul alam bernaga maknanya lambang kuasa sultan
yang menjalankan perintah Allah.
7. Dalam bentuk carta/ranji, lihat Ibid., pp. 55 dan 56.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas 341

19.Sultan Muhammad Tajudin (1795-1804) dan (1804-1807)


20.Sultan Muhammad Jamalul Alam I (1804)
21.Sultan Muhammad Kanzul Alam (1807-1826)
22.Sultan Muhammad Alam (1826-1828)
23.Sultan Omar Ali Saifuddin II (1828-1852)
24.Sultan Abdul Momin (1852-1885)
25.Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin (1885-1906)
26.Sultan Muhammad Jamalul Alam II (1906-1924)
27.Sultan Ahmad Tajudin (1924-1950)
28.Sultan Haji Omar Ali Saifuddin III (1950-1967)
29.Sultan Haji Hassabal Blokiah (1967- sekarang).
Kegairahan penyebar-penyebar agama Islam dari Brunei di wilayah
Filipina Selatan, kemegahan Sultan Bolkiah, dan berkembangnya
perdagangan dari dan ke Brunei, termasuk hubungan perdagangan yang
mesra dengan Portugis di Melaka, menyebabkan cemburu dan iri hati
penguasa Spanyol di Manila. Itulah antara sebab penguasa Spanyol di
Manila, mengirim sepucuk surat kepada Sultan Saiful Rijal (1533-1581),
yang di samping menuduh Brunei menghasut orang-orang Islam di
Filipina untuk memberontak terhadap kuasa Spanyol, juga meminta paksa
agar diizinkan untuk mengembangkan agama Kristian di Brunei8. Tentu
saja Sultan Saiful Rijal berang dan menolak keras isi surat tersebut dan
akibatnya Spanyol pada bulan April 1578, mengirim armada laut ke Brunei
dengan maksud menundukkan dan menguasai Brunei. Tapi ternyata
Sultan Saiful Rijal berjaya mematahkan serbuan armada laut Spanyol
tersebut, sehingga berpatah balik ke Manila9.
Pentadbiran kenegaraan Brunei, sebagaimana tercatat dalam Kanun
Brunei dan pernah dijalankan sebelum bermulanya sistem/gaya
pentadbiran ala Barat (Inggris), suatu pemerintahan yang terdiri dari Sultan
dan Jema’ah perunding dan Penasehat, yang terdiri dari: Duli-duli Wazir,
Pengiran Bendahara, Pengiran Di-Gadong, Pengiran Temenggong,
Pengiran Pemancha, Kadhi Besar dan beberapa orang Cheteria10.
Mulai zaman pemerintahan Sultan Muhammad Hasan (1582-1598)
Brunei mempunyai pemerintahan yang berbentuk Piramide, di mana
Sultan berada pada puncaknya, di bawahnya ada empat orang wazir, yakni
Pengiran Bendahara, Pengiran Di-Gadong, Pengiran Temenggong dan
Pengiran Pemancha. Di bawah paras Wazir, terdapat 60 orang Cheteria,

8. Pg. Haji Mohammad, ”Islam di Brunei, pp. 42 dan 43.


9 Dr. Haji Zaini Haji Ahmad, Brunei Merdeka: Sejarah dan Budaya Politik, (Gadong:
de ’imas printing & trading company, 2003), pp. xxiv dan xxv.
10 Ibid., p. 1.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


342 Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas

yang terdiri dari seorang Perdana Cheteria, empat Kepala Cheteria,


delapan Cheteria Besar, 16 Cheteria Pengalasan dan 32 Cheteria Damit.
Cheteria (asalnya sateria/satria) adalah jawatan tertinggi dibawah Wazir
dalam susunan hierarki pemerintahan di Brunei. Mereka yang dilantik
menjadi cheteria hanyalah mereka yang atas anugerah Sultan kepada
mereka yang berketurunan atau berdarah raja, rakyat biasa tidak boleh
dilantik menjadi cheteria11.
Adapun pembagian tugas dan tanggung jawab masing-masing
adalah: Duli Pangiran Bendahara merupakan wazir kanan (senior),
bertanggung jawab mengurus, mengkaji, dan memberikan berbagai
alternatif solusi pada Sultan, masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat
sehari-hari. Pengiran Di-Gadong berkuasa dalam bidang ekonomi dan
kesejahteraan rakyat. Pengiran Pemancha bertanggung jawab dalam hal
ehwal adat istiadat, adat resam dan lembaga Kesultanan. Pengiran
Temenggong bertanggung jawab dalam hal ehwal ketentaraan, keamanan
dan keselamatan rakyat12.
Lapisan kedua adalah Cheteria yang terdiri atas : Perdana Cheteria
(1 orang), Kepala Cheteria (4 orang), Cheteria Besar (8 orang), Cheteria
Pengalasan (16 orang), Cheteria Damit (32 orang). Pada zaman Sultan
Hassanal Bolkiah ditambah dengan: Pengiran Sanggamara Diraja dan
Pengiran Penggawa kaila Bentara Istiadat Diraja Dalam Istana.13
Lapisan ketiga adalah Pehin Manteri, yang diberi kepada Awang-
awang dari keturunan bangsawan daripada kalangan orang biasa. Struktur
Pehin Manteri adalah: Pehin Datu Perdana Manteri (1 orang), Ketua
Manteri (2 orang), Kepala Manteri (4 orang), Manteri Pengalasan Besar (8
orang), Manteri Pengalasan Biasa (16 orang), Manteri Pengalasan damit
(32 orang)14.

11 Ibid., p. 2.
12 Ibid., pp. 2 dan 3.
13 Ibid, p. 3.
14 Ibid., p 4.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas 343

C. Pengaruh British di Brunei


Pengaruh British (Inggris) di Brunei bermula dari kedatangan
seorang pengembara Inggris bernama James Brooke di Kuching (Serawak)
pada tahun 1839. Tidak sampai setengah tahun kemudian, James Brooke
mendapat simpati besar dari Pangiran Muda Hashim, wakil Sultan Brunei
di Serawak, karena James Brooke berhasil memadamkan pemberontakan
kecil di Serawak. Bahkan pada tahun 1841, James Brooke, telah dilantik
menjadi pemegang kuasa (wakil) Sultan Brunei untuk daerah Serawak,
menggantikan Pangiran Indera Mahkota, dan kemudian kedudukan James
Brooke diperkuat dengan ”Perjanjian Serawak” tahun 184215.
Pada awalnya daerah yang diserahkan pada James Brooke hanyalah
sebatas daerah Kuching saja, tapi setengah abad kemudian, seluruh
wilayah Serawak, meliputi Sungai Krian, Sadong, Batang Lupar dan
Seribas (pada 1853), Mukah, Oya, Tatau dan Kemana (1861), Similajau,

15 Ibid., p. xxv

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


344 Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas

Suai, Niah, Sibuti dan Sungai Baram (1883), Lawas dan Terusan (1885),
dan daerah Limbang pada 189016, telah berada di tangan James Brooke.
Hal yang sama juga berlaku di wilayah Brunei di bagian Borneo
Utara (Sabah). Wilayah ini diserahkan kepada dua orang saudagar
berbangsa Eropah—Austria dan British—Baron de Overbeck dan Alfred
Dent oleh Sukltan Abdul Mokmin pada 29 Desember 1877, dengan
membayar pajak tertentu. Empat tahun kemudian, yakni 1881, mereka
menubuhkan sebuah syarikat perniagaan, yakni Syarikat Berkanun Borneo
Utara (North Borneo Chartered Company), untuk mengurus dan mentadbir
negeri itu sebagai ladang pribadi. Keadaan ini berlanjutan hingga Juli 1946,
apabila Borneo Utara dijual kepada Kerajaan Inggris dan dijadikan tanah
jajahan Inggris. Semasa perang pasifik, Borneo Utara dijajah oleh tentara
Jepang17.
Dengan memanfaatkan konflik internal keluarga Diraja Brunei,
yakni pertentangan, yang berakhir dengan terbunuhnya Pangiran Muda
Hashim, dan adiknya Pangiran Badaruddin beserta keluarga mereka pada
akhir bulan Oktober 1845, yang oleh Inggris dituduh sebagai dilakukan
atas perintah Sultan Omar Ali Saifuddin II (1828-1852). Dengan dalih
membela keluarga Diraja, Inggris melakukan tekanan terhadap Sultan
Omar Ali Saifuddin II, dengan memerangi Sultan dan akhirnya memaksa
Sultan menyerahkan Pulau Labuan kepada Inggris pada 1846.
Sejarah menyebutkan bahwa ketika Sultan terpaksa berundur ke
pedalaman yakni Damuan, namun Sultan mendapat dukungan dan
bantuan dari Ketua Kaum Melayu bernama Haji Saman. Pada tanggal 19
Ogos 1846, pasukan Inggris dari Singapura di bawah pimpinan Kapten
Laut G. Rodney datang ke kubu pertahanan Haji Saman di Sungai
Membakut, dan akhirnya dapat memaksa Sultan Omar Ali Saifuddin II
menandatangani perjanjian yang isinya menyerahkan kekuasaan Pulau
Labuan kepada Inggris pada tanggal 18 Desember 1846, dan
pelaksanaannya dilakukan pada tanggal 24 Desember 184618.
Pada 22 Januari 1848, James Brooke dilantik oleh Kerajaan Inggris
menjadi Pesuruhjaya dan Konsul Jenderal Inggris untuk kerajaan Brunei.
Pada 1847, Brunei menandatangani perjanjian persahabatan dan
perdagangan dengan Inggris, yang berisi pemberian hak-hak istimewa di
bidang perniagaan dan extra territorial right kepada warga Inggris yang
berniaga di Brunei. Bahkan, kemudian Brunei meletakkan dirinya di bawah

16 Ibid.,
17 Ibid., p. xxv dan xxvi
18 Ibid., p. xxvi dan xxvii

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas 345

perlindungan Inggris, melalui perjanjian yang ditandatangani tanggal 17


September 1888.
Dengan perjanjian tahun 1906, Brunei memberi hak kuasa kepada
Kerajaan Inggris menempatkan seorang Residen British di Brunei, yang
bertugas memberi nasehat dalam segala urusan dalam dan luar negara,
kecuali masalah-masalah yang berkaitan dengan agama Islam. Sejak itu,
bermulalah satu era baru, satu sistem pemerintahan Kresidenan (Residential
System) sama halnya dengan negeri-negeri Melayu bersekutu di Tanah
Semenanjung. Dengan itu, berarti Brunei telah kehilangan kemerdekaan
dan kebebasannya. Sultan sudah tidak berkuasa secara penuh, yang
memegang kuasa de facto adalah Resident British. Sistem Keresidenan
mengubah sama sekali pemerintahan tradisional yang diwarisi berkurun-
kurun lamanya, dan sebagai gantinya diasaskan satu sistem pemerintahan
ala barat. Keadaan tersebut berubah lagi setelah Brunei diberikan
Perlembagaan Bertulis oleh Sultan pada 29 September 1959, dan
kemerdekaan penuh Brunei pada 198419. Untuk memudahkan
pentadbiran, Brunei dibagi kepada empat daerah: daerah Brunei dan
Muara, daerah Tutong, daerah Kuala Belait dan Seria.
Adapun struktur pemerintahan Kerajaan Brunei dalam sistem
resident (antara tahun 1906-1948) adalah sebagai berikut:20

19 Ibid., p. xxviii
20 Ibid., p. 9.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


346 Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas

C. Pembaharuan Islam dan Nasionalisme Brunei Darussalam

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas 347

Pembaharuan paham keagamaan di Brunei sejak abad ke-19 sedikit


banyak terpengaruh oleh pembaharuan yang terjadi di Tanah Suci dan
dunia Melayu lainnya. Pada 1807 di Mekah didirikan ”Rumah Wakaf
Brunei”. Rumah ini berfungsi sebagai tempat pendidikan dan pemukiman
pemuda-pemuda Brunei bersama-sama dengan komunitas Jawi lainnya di
Tanah Suci. Sebutan "Oerang Jawi dan Tanah Jawi" waktu itu
mempunyai arti yang sangat luas, mencakup seluruh penduduk dan
wilayah Nusantara. Salah seorang tokoh ulama Brunei yang terkenal waktu
itu ialah Haji Abdul Mokti, yang bermukim di Tanah Suci selama 3 tahun,
namun sebelumnya telah memperoleh pendidikan Islam di Brunei.
Sekembalinya ke Brunei dari Tanah Suci, Haji Abdul Mokti menempati
kedudukan keagamaan yang penting21.
Gelombang pembaharuan keagamaan juga terkait dengan dinamika
tarekat dan tasawuf. Tarekat seperti Khalwatiah, Samaniah dan Syaziliah
masuk ke Brunei sekitar akhir abad ke-18. Selanjutnya pada pertengahan
abad ke-19, Tarekat Kadiriah, Naksyabandiah dan Kadiriah wa Naksyabandiah,
yang dibawa oleh para komunitas Jawi dari Mekah. Syekh Ahmad Khatib
Sambas, pendiri tarekat yang disebut terakhir, berhubungan akrab dengan
Haji Abdul Mokti dan Haji Ahmad bin Datok Imam, dua guru sufi-tarekat
Brunei. Berkembangnya tarekat tersebut, telah membelah kaum Muslim
Melayu Brunei ke dalam kelompok yang menerima dan yang menolak.
Mereka yang menolak ialah para ulama yang sejak semula berorientasi
pada syari’at, yang mengajarkan Islam dalam bentuk lahirnya, seperti fikih,
akidah, tafsir dan hadits22.
Gerakan reformis lainnya menyangkut istitusi administrasi dan
pengelolaan Islam, yang berlangsung antara tahun 1906 dan 1959 selama
masa pendudukan Inggris, institusi administrasi dan agama mengalami
”rasionalisasi” dan ”reorganisasi”. Suatu upaya yang kelihatannya tidak begitu
disenangi oleh Ulama, tapi dipaksakan oleh pihak Inggris agar lembaga-
lembaga keagamaan lebih berdaya guna dan berorientasi masa depan.
Berdasarkan Perjanjian 1905/1906, residen mengambil alih
kekuasaan sultan. Hal ini merangsang munculnya institusionalisasi visi dan
pengelolaan Islam di dalam struktur dan bentuk baru. Hukum Islam
cenderung dibatasi, hanya mencakup hukum keluarga, seperti registrasi
perkawinan, talak dan rujuk. Untuk mengurusi masalah keislaman, residen

21 Taufik Abdullah (Ketua dewan editor), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid 5

Asia Tenggara, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), di bawah capter “Persekutuan
Tanah Melayu/Malaysia dan Brunei” oleh Dr. Alfitra Salam dan Drs. Ahmad Syahid MA,
p. 424.
22 Ibid.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


348 Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas

Inggris memperkenalkan Lembaga Mahkamah Undang-undang pada 1908.


Pada 1911 Mahkamah diubah menjadi Dewan Negara, yang kemudian
menjadi Institusi Hal Ehwal Agama. Melalui badan ini kadi mengaplikasikan
hukum Islam. Sebelum 1913, Tuan Imam bertanggung jawab atas
administrasi Islam secara umum. Pehin Tuan Imam Muhyidin, misalnya
menempati pos itu sampai 1913, kemudian dia digantikan Tun Qadhi
Abdul Razak. Nama terakhir ini pada 1917 mendapatkan gelar baru, yakni
Pehin Siraja Khatib, kemudian 1919 mendapat gelar Datu Serimaharaja
Mufti Brunei, dan selanjutnya menjadi Pehin Datu Perdana Menteri23.
Reformasi juga mencakup sistem pendidikan di Brunei yang
bermula sejak awal abad ke-20. Berbagai pembaharuan dilakukan untuk
mempersiapkan ulama yang terampil dalam administrasi modern. Pada
1922, surau milik sultan di Kampung Air berubah menjadi pusat pelatihan
dan pendidikan. Perubahan ini menandai hubungan yang kian dekat dan
harmonis antara istana dan pendidikan. Lembaga pendidikan ini dirancang
sedemikian rupa dengan mengacu pada konsep ”sekolah istana” dalam
tradisi sejarah Islam. Sejak 1930-an pendidikan agama dilakukan dua kali
seminggu pada sore hari dalam kelas reguler pada setiap sekolah-sekolah
di Bandar Brunei. Upaya selanjutnya adalah pendirian madrasah pada 1941
oleh Pengiran Bendahara, Pengiran Pemancha dan Pengiran Syahbandar.
Seorang ulama Mesir, Ustadz Abdul Aziz as-Sami, menjadi guru penting
disini. Hanya saja, madrasah ini terhenti ketika Jepang masuk ke Brunei
pada Desember 1941. Segera setelah pendudukan Jepang, lembaga serupa
muncul kembali di Brunei. Untuk mengelola pendidikan agama, dibentuk
badan baru yang disebut “Nazir pendidikan Agama”, dan berubah
menjadi "Ketua Pengajar Agama" pada 1948/1949. Reformasi pendidikan
juga dilakukan Sultan setelah 1950, dan secara berturut-turut dibentuk
Majlis Musyawarat Syari’ah pada 1954, yang kemudian diikuti
pembentukan Jabatan Hal Ehwal Ugama, Adat istiadat dan Kebajikan,
Majelis Agama Islam, dan Pendidikan Agama Islam secara penuh. Baru
pada bulan Oktober 1956, kelas-kelas baru agama diperkenalkan di tujuh
madrasah24.
Seperti di negara-negara Melayu Muslim Asia Tenggara lainnya,
wacana ideologis dan pemikiran keagamaan di Brunei, hukum qanun
Brunei tidak hanya berisi hukum Islam, tetapi juga merujuk pada hukum
adat. Literatur keagamaan yang ditemukan di Brunei antara lain kitab al-
Hikam karya Ibn Ata’, disyarah dan diterjemahkan di Brunei pada tahun
1805, Sair al-Salikin (disusun 1778), Silsilah at-Tariqah as-Samaniyyah karya

23 Ibid., pp. 424 dan 423.


24 Ibid., p. 425.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas 349

Abdus Samad al-Palimbani, Sabil al-Muhtadin karya Muhammad Arsyad al-


Banjari (disusun tahun 1781), Syams al-Ma’arif karya Ahmad bin Ali al-Buni
al-Maghribi, Hayah al-Hayawan dan Nuzhah al-Majalis wa Muntakhab an-
Nafais karya Abdur Rahman as-Safuri asy-Syafi’i al-Mishri. Juga terdapat
karya ulama Brunei sendiri, seperti Haji Abdul Mokti, yang menulis
tentang literatur pengobatan alternatif menurut Islam25.
Tidak dapat disangkal bahwa gelombang pembaharuan Islam di
Brunei, yang sedikit sebanyak berhasil merancakkan pemikiran masyarakat
Brunei, mempunyai pengaruh terhadap muncul dan berkembangnya
nasionalisme Brunei. Hal itu disebabkan karena secara intrinsik, di dalam
ajaran agama Islam terdapat ajaran yang dinamis dan progresif, yang
memotivasi kearah munculnya nasionalisme. Juga hampir keseluruhan
pemula-pemula nasionalisme adalah tokoh-tokoh agama, atau mereka
yang berasal dari lingkaran pendidikan agama.
Benih-benih nasionalisme di Brunei muncul sebagai akibat
pengaruh gerakan dan pemikiran pelajar Brunei yang belajar pada Maktab
Perguruan Sultan Idris (MPSI) di Perak, Malaya. Di antara pelajar Brunei
yang belajar di MPSI adalah Awang Marsal bin Maun dan Awang Basir.
Sekembalinya di Brunei pada 1932, mereka mulai menanamkan semangat
cinta tanah air. Kesadaran nasionalisme itu semakin meningkat pada masa
Brunei di bawah pemerintahan militer Inggris (British Military
Administration/BMA), terutama ketika pemerintahan kolonial ini
melakukan tindakan diskriminatif kepada kaum Melayu. Bersamaan
dengan itu, majalah, surat kabar dan terbitan Melayu seperti Utusan Melayu,
Suluh Malaya, Majelis dan Majalah Guru, yang memberitakan kebangkitan
semangat perjuangan menuju kemerdekaan di Semenanjung Malaya dan
Indonesia26 beredar luas di kalangan mereka.
Perbedaan etnik, orientasi, persepsi dan kepentingan, memunculkan
jurang yang semakin dalam yang memuncak pada kerusuhan etnik antara
masyarakat Cina dan Melayu pada 24 Maret 1946 di Bandar Brunei.
Kemarahan kaum Melayu berawal dari anggapan etnik Melayu tentang
kurangnya rasa nasionalisme dikalangan etnik Cina. Sejak itu bendera Cina
yang biasanya berkibar setiap hari di kantor Persatuan Pemuda Cina
Seberang laut, tidak nampak lagi. Pada 12 April 1946, beberapa alumni
MPSI dan anggota Persatuan Guru-guru Melayu Brunei (PGGMB)
mendirikan organisasi Barisan Pemuda (Barip). Barisan pemuda
diharapkan dapat menjadi sarana yang mempersatukan hasrat para
pemuda dalam memperjuangkan hak bangsa Melayu Brunei. Di awal

25 Ibid.
26 Ibid.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


350 Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas

pembentukannya, yang diangkat sebagai ketua adalah Awang Abdul bin


Awang Jaafar, dan Pangiran Mohammad Yusuf sebagai sekretaris27.
Pada pertengahan 1946, didirikan Persatuan Melayu Brunei (PMB)
dengan ketua Ali Saifuddin dan Abu Bakar bin Pangiran Omar sebagai
sekretaris. Organisasi ini bertujuan antara lain menyatukan kekuatan kaum
melayu dan memperjuangkan hak-hak orang Brunei. Kemudian Barip dan
PMB bubar, PMB bubar karena ketua organisasi ini mengalihkan
perhatiannya kepada organisasi lain, sedangkan Barip bubar karena banyak
tokohnya kembali ke MPSI guna melanjutkan studinya. Pada tahun 1948
berdiri Angkatan Pemuda Brunei (APB) yang dipimpin Awang Abdul
Hamid bin Awang Othman, kemudian menyusul Persatuan Murid Tua
(MUTU) yang dipimpin oleh Pengiran Anak Saifuddin. APB dan MUTU
bertujuan untuk menyatukan serta menggerakkan orang Melayu Brunei
dan menyadarkan mereka tentang hidup berbangsa dan bernegara. Sejalan
dengan cita-cita tersebut, tokoh-tokoh Kesultanan Brunei juga berusaha
mengimbanginya dengan membuat konstitusi tertulis negara Brunei yang
dapat dijadikan asas pemerintahan modern28.
Upaya mencapai kemerdekaan Brunei semakin menggelora setelah
pada 1952, Azhari kembali dari Indonesia dan kemudian aktif
memperjuangkan Brunei merdeka. Mula-mula Azhari berjuang melalui
Brunei Film Production Company (Brofipco), yang digunakan untuk media
menyebarkan ide-ide dan menarik dukungan rakyat Brunei. Sasaran
perjuangan Brofipco mirip dan melanjutkan organisasi pendahulunya
Barip, PMB, APB dan Mutu. Kemudian pada Januari 1955 AM Azhari
mendirikan Partai Rakyat Brunei (PRB) yang merupakan partai pertama,
yang memperjuangkan kemerdekaan Brunei secara penuh. Pada 5 Maret
1956, Azhari mengadakan pertemuan dengan Sir Anthony Abeli dari
British High Comission untuk menyampaikan hasrat bangsa Brunei untuk
merdeka. Permintaan Azhari ditolak, dan akibatnya PRB dibubarkan.
Setelah PRB dibubarkan, tidak ada organisasi yang dapat mewadahi
perjuangan Brunei untuk mencapai kemerdekaannya29.

D. Brunei Hari Ini: Antara Tradisional dan Modernitas


Brunei mengumumkan kemerdekannnya pada tanggal 1 Januari
1984, dengan menempuh perjuangan melalui jalur diplomasi oleh pihak
kerajaan. Setelah Brunei merdeka, kerajaan berusaha menjadikan Islam
sebagai landasan undang-undangnya dalam falsafah negara yang disebut
27 Ibid., p. 426.
28 Ibid.
29 Ibid.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas 351

Melayu Islam Beraja (MIB). Jika ditelusuri lebih lanjut, asas MIB telah
digagas sejak sebelum lahirnya Perlembagaan Brunei 1959, oleh Sultan
Haji Omar Ali Saifuddin dan Jawatan Kuasa Penasehat Kerajaan tahun
1954. Perjuangan merdeka dilakukan beriringan dengan usaha penataan
kelembagaan Brunei, antara lain dengan menempatkan sultan sebagai
kepala negara yang berdaulat dan berkuasa penuh, menjadikan Islam
sebagai agama resmi, bahasa Melayu sebagai bahasa resmi, dan kedudukan
khusus bangsa Melayu30.
Catatan Colonial Office pada 30 September 1957, tentang
pembicaraan Sultan Brunei dengan Secretary of State British menegaskan
status Brunei sebagai negeri Melayu Islam Beraja (MIB) atau Malay Islamic
Monarchy (MIM), yang kemudian populer dengan Pelembagaan Brunei
1959.
Dalam Pelembagaan Brunei 1959, terdapat pasal-pasal yang
merupakan asas utama identitas negara Brunei31.
1. Bab 3 Pasal 1 menyatakan: “Ugama resmi bagi negara ialah ugama Islam
menurut Ahlus Sunnah wal-Jama’ah, tetapi ugama-ugama yang lain boleh
diamalkan dengan aman dan sempurna oleh mereka yang mengalmalkannya”.
2. Bab 4 pasal 1 menyatakan: “Kuasa memerintah yang tertinggi bagi Negeri
adalah terletak di dalam tangan Sultan”.
3. Bab 4 pasal 5 menyebutkan: “Maka tiada siapapun boleh dilantik menjadi
Menteri Besar atau Timbalan Menteri atau Setiausaha melainkan orang itu orang
Melayu yang berugama Islam mengikut Mazhab Syafi’i Ahlus Sunnah wal
Jama’ah”.
4. Bab 82 pasal 1 menyatakan: “Bahasa resmi Negara ialah Bahasa Melayu dan
hendaklah ditulis dengan huruf yang ditentukan oleh undang-undang bertulis”.
5. Bab 82 Pasal 2 menyatakan:“Ketua ugama ialah Sultan”.
Sultan berkuasa atas seluruh soal dalam negara, karena raja menjadi
Ketua Melayu, Ketua agama, ketua adat istiadat dan ketua pemerintahan.
Di negara ini, sultan merupakan wakil rakyat yang mutlak dan menjadi
pilar negara untuk mengawasi dan menjalankan roda pemerintahan negara
yang terdiri dari empat bahagian: Kanun, Syarak, Resam dan adat istiadat.
”Kanun” merujuk kepada ”Hukum Kanun Brunei” yang telah ada sejak
Sultan Hassaan, sultan kesembilan (1582-1598). ”Syarak” merujuk kepada
ajaran agama Islam. ”Adat Istiadat” merujuk kepada adat istiadat Brunei
kuno, yang berkaitan dengan sultan, panggilan kehormatan, susunan dan
adat istiadat yang tetrpakai di kalangan pembesar Brunei dan masyarakat
pada umumnya. Sementara ”Resam” merujuk kepada perkara yang di luar

30 Ibid.
31 Ibid., pp. 426 dan 427.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


352 Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas

adat istiadat atau adat yang diadatkan, seperti resam satu kelompok kecil
atau puak-puak masyarakat tertentu.32
Dalam Titah Pemasyhuran Kemerdekaan 1984 disebutkan:
”Negara Brunei Darussalam adalah dan dengan izin serta limpah karunia Allah
s.w.t. akan untuk selama-lamanya kekal menjadi sebuah negara Melayu Islam
Beraja (MIB) yang merdeka, berdaulat dan demokratik bersendikan kepada ajaran
agama Islam menurut Ahlus Sunnah wal jama’ah, dan dengan berasaskan keadilan,
amanah, dan kebebasan”.
Birokrasi agama di Brunei dewasa ini telah terbentuk sejak awal.
Pemerintah merupakan sumber legitimasi kekuasaan birokrasi, termasuk
birokrasi agama. Pada akhir abad ke-16 dan 17, keberadaan birokrasi
agama dengan jabatan lengkap, mulai dari khatib, fakih, hingga kadi.
Dalam Silsilah Raja-raja Brunei dijelaskan bahwa birokrasi agama di masa
Sultan Hassan semakin lengkap, mulai dari Menteri Agama, khatib, hingga
mudin, sementara dalam Risalah al-Marhum, Dato’ Imam Ya’qub menyebut
gelar birokrasi agama seperti datok imam, siraja khatib, udana khatib,
khatib dan mudin. Eksistensi jabatan Menteri Agama di Brunei dewasa ini
merupakan tradisi lama yang dibangun sejak abad ke-20, ketika birokrasi
agama dibawah pimpinan Pehin Datok Seri Maharaja memberikan
pertanggungan jawaban urusan pentadbiran agama kepada Pengiran
Chetertia, sehingga Birokrasi agama kemudian terdiri dari: (1) Kepala
Menteri Agama, dengan gelar Pehin Datok Seri Maharaja, (2) Menteri-
menteri agama yang terdiri dari : Pehin Si raja Khatib, Pehin Datok Imam,
Pehin Tuan Imam, Pehin Udana Khatib dan Pehin-pehin Khatib, (3)
Pegawai Agama, yakni mudin-mudin33.
Konsep falsafah negara MIB adalah ekspressi bahwa Brunei tidak
bergeser dari tradisi lama yang bersifat kesultanan. Kalau institusi
kesultanan di kawasan Nusantara lainnya—kecuali Malaysia untuk wilayah
tertentu—berakhir sejak datangnya kolonialisme Barat, namun Brunei
sebelum kemerdekaan telah bertekad untuk mempertahankan sistem
kesultanan. Falsafah negara MIB bagi Brunei merupakan konsep yang
final, yang terus disosialisasikan melalui lembaga pendidikan dan
masyarakat umum.
Berikut penjelasan tentang falsafah negara MIB, sebagaimana
termuat dalam Titah 21 Juli 1990:34
”Dalam tiga rangkai kata—Melayu Islam Beraja—terdapat unsur atau nilai-nilai
yang positif untuk ketahanan negara, umpamanya dari ”Melayu” itu, ialah

32 Ibid. p. 427.
33 Ibid.
34 Ibid.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas 353

bahasanya. Siapapun tidak boleh menyangkal, bahwa bahasa Melayu itu adalah
satu-satunya alat perpaduan kita yang paling efektif. Tanpa bahasa ini, kita tentunya
tidak akan dikenal sebagai satu bangsa yang berdaulat lagi mempunyai identiti.
Demikian juga ”Islam”, ialah agama yang menjamin seluruh kepentingan rakyat dan
penduduk dengan tidak mengira apa jua agama, satu kaum dan keturunan.
Pendeknya, agama Islam adalah jaminan keselamatan dan kesejahteraan untuk
semua. Kerana itu tidak siapa yang perlu takut atau merasa ragu mengenainya.
Sementara perkataan ”Beraja” pula, adalah menunjukkan kepada kerajaan yang
bersultan atau beraja, yang sudah wujud dan menjadi warisan zaman semenjak dari
beberapa abad lagi”.
Untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa serta identitas
bangsa melalui bahasa, dibentuk Dewan Bahasa dan Pustaka, mirip
dengan usaha yang dilakukan di Malaysia, juga organisasi Angkatan
Sastrawan dan Sastrawani Brunei (Asterawani). Asterawani berdiri pada 6
Juli 1962, dengan tokoh-tokoh A. Ahmad Hussin, Leman Ahmad, Abdul
Ghaffar Jumat, Abdul Samad kahar, Muhammad Abdul Latiff dan Mahadi
Matarsat35.
Kesultanan Brunei, seperti juga kesultanan Malaysia, menempatkan
istana sebagai pusat kebesaran, kekuasaan, kemuliaan . Istana Brunei juga
berfungsi sebagai penaung kegiatan yang bercorak tamadun. Istana
menaungi urusan pemerintahan, pusat agama, pusat administrasi, pusat
kesenian, pusat resam dan moral bangsa. Di samping mengendalikan
urusan perdagangan, pertahanan dan diplomasi. Brunei Darussalam adalah
satu-satunya negara Melayu Muslim Asia Tenggara yang berhasil
menghantarkan istitusi kesultanan sebagai penerus paling orisinil dari
tradisi sosial politik rumpun Melayu Islam.

35 Ibid. p. 428.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009


354 Saifullah: Islam di Brunei Darussalam: Antara Tradisi dan Modernitas

Daftar Pustaka

Abd. Rahman, Pg. Haji Mohammad bin Pg. Haji, Islam di Brunei
Darussalam: Kemasukan dan Penyibaran, kertas kerja dalam
International Seminar on Islamic Civilazation in The Malay World,
Bandar Seri Begawan 1-5 Juni 1989,
Abdullah, Taufik dan Sharon Siddique, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1989.
Abdullah, Taufik, (Ketua Dewan Editor), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam
Jilid 5: Asia Tenggara, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
Fryer, Donald W., Asia Tenggara yang sedang Membangun, Suatu Kajian
Mengenai Perkembangan Dan Sebaliknya, (terjemahan “Emerging
Souteast Asia), Kuala Lumpur: Dewan bahasa dan Pustaka dan
Kementerian Pelajarn Malaysia, 1986.
Hall, D.G.E., Sejarah Asia Tenggara (terj. oleh Drs. I. Soewarsha dan
Drs.M. Habib Mustopo), Surabaya: Usaha Nasional, t.t.
Ibrahim, Ahmad, Sharon Siddique dan Yasmin Hussain, Islam di Asia
Tenggara, Perspektif Sejarah, Jakarta: LP3ES, 1989.
Seri Utama, Pehin Orang Kaya Amar Diraja Dato (Dr) Haji Awang
Mohd. Jamil Al-Sufri, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan Perkembangan
Islam, Bandar Seri Begawan: Jabatan Pusat Sejarah Kementerian
Kebudayaan Belia dan Sukan, Seri Begawan, 1990.
Zaini Bin Haji Ahmad, Haji, Brunei Merdeka: Sewjarah dan Budaya Politik,
Brunei Darussalam: De’Imas Printing & Trading Company, Beribi,
Gadong, 2003.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009

Anda mungkin juga menyukai