Etimologi[sunting | sunting sumber]
Silsilah kerajaan Brunei didapatkan pada Batu Tarsilah yang menuliskan Silsilah Raja-Raja Brunei yang
dimulai dari Awang Alak Betatar, raja yang mula-mula memeluk agama Islam (1368) sampai kepada Sultan
Muhammad Tajuddin (Sultan Brunei ke-19, memerintah antara 1795-1804 dan 1804-1807).
Brunei adalah sebuah negara tertua di antara kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Keberadaan Brunei Tua ini
diperoleh berdasarkan kepada catatan Arab, Tiongkok dan tradisi lisan. Dalam catatan
Sejarah Tiongkok dikenal dengan nama Po-li, Po-lo, Poni atau Puni dan Bunlai. Dalam catatan Arab dikenali
dengan Dzabaj atau Randj.
Catatan tradisi lisan diperoleh dari Syair Awang Semaun yang menyebutkan Brunei berasal dari
perkataan baru nah yaitu setelah rombongan klan atau suku Sakai yang dipimpin Pateh Berbai pergi ke
Sungai Brunei mencari tempat untuk mendirikan negeri baru. Setelah mendapatkan kawasan tersebut yang
memiliki kedudukan sangat strategis yaitu diapit oleh bukit, air, mudah untuk dikenali serta untuk transportasi
dan kaya ikan sebagai sumber pangan yang banyak di sungai, maka mereka pun mengucapkan
perkataan baru nah yang berarti tempat itu sangat baik, berkenan dan sesuai di hati mereka untuk
mendirikan negeri seperti yang mereka inginkan. Kemudian perkataan baru nah itu lama kelamaan berubah
menjadi Brunei.
Replika stupa yang dapat ditemukan di Pusat Sejarah Brunei menjelaskan bahwa agama Hindu-
Buddha pada suatu masa dahulu pernah dianut oleh penduduk Brunei. Sebab telah menjadi kebiasaan dari
para musafir agama tersebut, apabila mereka sampai di suatu tempat, mereka akan mendirikan stupa
sebagai tanda serta pemberitahuan mengenai kedatangan mereka untuk mengembangkan agama tersebut
di tempat itu. Replika batu nisan P'u Kung Chih Mu, batu nisan Rokayah binti Sultan Abdul Majid ibni Hasan
ibni Muhammad Shah Al-Sultan, dan batu nisan Sayid Alwi Ba-Faqih (Mufaqih) pula menggambarkan
mengenai kedatangan agama Islam di Brunei yang dibawa oleh musafir, pedagang dan mubalig-mubaliq
Islam, sehingga agama Islam itu berpengaruh dan mendapat tempat baik penduduk lokal maupun keluarga
kerajaan Brunei.
Islam mulai berkembang dengan sangat pesat di Kesultanan Brunei sejak Syarif Ali diangkat menjadi Sultan
Brunei ke-3 pada tahun 1425 M karena sultan yang sebelumnya mengahwini puterinya dengan Syarif Ali.
Sultan Syarif Ali adalah seorang Ahlul Bait dari keturunan / pancir dari Cucu Rasulullah Shalallahualaihi
Wassallam yaitu Amirul Mukminin Hasan / Syaidina Hasan sebagaimana yang tercantum dalam Batu
Tarsilah / prasasti dari abad ke-18 M yang terdapat di Bandar Sri Begawan, Brunei. Keturunan Sultan Syarif
Ali ini kemudian juga berkembang menurunkan Sultan-Sultan di sekitar wilayah Kesultanan Brunei yaitu
menurunkan Sultan-Sultan Sambas dan Sultan-Sultan Sulu.
Kata Darussalam, istilah dalam bahasa Arab untuk "tempat yang damai" atau "Rumah Keamanan",
disematkan pada abad ke-15 oleh Sultan ke-3, Syarif Ali, untuk menegaskan Islam sebagai agama negara,
serta untuk meningkatkan penyebarannya.[12]