Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

RELASI AGAMA DAN NEGARA DALAM KONTEKS INDONESIA


Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Pendidikan Kewarganegaraan

Dosen Pengampu : Ibu Hanik Rosyidah, S. Sy., M. H.

Disusun Oleh :

1. Laila Suci Karunia


(30122070)
2. Silpatun Mubarokah
(30122069)
3. Harnum Diastuti
(30122078)

JURUSAN ILMU AL-


QUR’AN DAN
TAFSIR
FAKULTAS
USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
K.H ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN
TAHUN 2022/2023

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, atas izin-Nya makalah ini kami
buat dan dapat terselesaikan, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda
Nabi Muhammad SAW. Sahabatnya, keluarganya, serta umatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini dibuat guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan. Hal ini dimaksudkan untuk menambah pengetahuan kita semua
tentang Relasi agama dan in syaa Allah dapat menambah Hikmah.
Penulis sudah berusaha untuk menyusun makalah ini selengkap mungkin. Penulis
juga mengucapkan terimakasih kepada Dosen pengampu dan juga segala sumber
informasi dan referensi beberapa jurnal yang menjadi tolak ukur terselesaikannya
makalah ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Hanik Rosyidah, S.Sy., M.H. selaku
dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang telah memotivasi dan
membimbing kami selama perkuliahan berlangsung. Semoga makalah diharapkan bias
bermanfaat bagi para pembacanya.. Aamiin

Pekalongan, 26 November 2022

Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan 1
Pembahasan 2
A. Pengertian Hukum Islam 2
B. Pengertian Syari’ah, Fiqih, dan Qanun 3
C. Ruang Lingkup Hukum Islam 5
D. Hubungan Antara Negara Dengan Agama 6
E. Islam Dan Demokrasi 9
F. Hubungan Antara Agama Dan Hak Asasi Manusia 10

Bab III Penutup

Kesimpulan 11

Daftar Isi 12

BAB I

PENDAHULUAN
Sebagai jalan hidup integrasi dalam semua aspek, agama harus menyatu dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara terutama pada polemik dan masalah yang terjadi dari masa ke masa.
Dalam konflik yang terjadi antar agama dan penganutnya, peran agama disini adalah sebagai
penegak hukum dalam menyelesaikannya. Untuk menyelesaikan konflik dan menciptakan
perdamaian dalam sebuah kehidupan pasti agama dibutuhkan sebagai mediator di dalamnya. 1
Agama tidak pernah mengajarkan konsep keburukan dan kebatilan kepada para penganutnya,
karena agama sebagai entitas yang mengajarkan kebajikan untuk penerang hidup. Orang Islam
harus berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits. Orang Kristen harus berpedoman pada Injil.
Orang Hindu dan Budha harus berpedoman pada kitab Weda dan Tripitaka. Agama Kong Hu Cu
berpedoman pada kitab Si Shu dan Wu Ching.2

Agama berkembang otonom di bawah kekuasaan para tokoh negara, meski pada mulanya
agama diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan yang menyejarah. Wibawa Tuhan memperoleh
saingan berupa institusi agama dan negara. Bahkan dalam mengendalikan masyarakat negara
lebih berkuasa dibandingkan Tuhan dan agama. Agama bisa diberangus dan Tuhan diolok-olok
oleh sebuah rezim atas nama negara. Hal itu terjadi karena adanya anggapan bahwa berbeda
agama berarti berbeda Tuhan, dan perbedaan berarti ancaman bagi yang lain sehingga negara
tampil sebagai hakim . Kehidupan manusia ibarat lalu lintas, masing-masing ingin berjalan
secara bersamaan dan ingin cepat sampai pada tujuan. Karena perbedaan kepentingan yang
mereka miliki, jika tidak ada peraturan lalu lintas kehidupan pasti akan terjadi benturan dan
tabrakan. Oleh karena itu, untuk mengetahui kapan harus berhenti, kapan harus bersiap-siap dan
kapan harus berjalan kehidupan manusia membutuhkan peraturan sebagai petunjuk demi
lancarnya lalu lintas kehidupan.3

Menurut Musthafa Kemal at-Tatturk negara dan agama memiliki sebuah relevansi,
namun dalam urusan pengelolaan negara dan agama harus terpisah. Oleh karena itu, ia
menjadikan Turki sebagai negara sekuler yang memisahkan urusan dunia dan urusan agama.
Pada hakikatnya, Indonesia adalah sebuah tenda raksasa yang digunakan banyak orang untuk
berteduh. Mereka berasal dari berbagai daerah, berbagai etnik, suku, ras, tradisi, budaya, dan
agama. Di hadapan orang lain mereka bebas mengekspresikan budaya dan ajaran agama selama
1
E. Gunawan, Relasi Agama Dan Negara: Perspektif Pemikiran Islam. (Kuriotas: 11(2), 2017)hlm.110
2
Y. A. Noer, Pemisahan Agama dan Negara dalam Bingkai Sistem Politik di Indonesia Separation of Religion and
State in Political Systems in Indonesia. (History: 1(1), 2018) hlm.34
3
Quraish M. Sihab, Membumikan Alquran, Fungsi dan Peran Wahyu (Bandung: Mizan, 1992) hlm.211
tidak mengganggu orang tersebut. Mereka bisa bergaul dengan akrab bersama siapa saja
meskipun berbeda latar belakang tanpa batasan suku, agama, dan ras.4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Islam

Hukum berasal dari kata hikmah yang merupakan akar kata dari lafadz hakama yang
artinya kebijaksanaan. Hal ini mempunyai makna bahwa orang yang memahami hukum dia akan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga dianggap sebagai orang yang bijaksana. 5
Hukum juga mempunyai arti kendali atau kekangan kuda, yaitu pada hakikatnya keberadaan
hukum adalah sebagai pengendali atau pengekang seseorang dari hal-hal yang dilarang oleh
agama. Selain itu hukum juga memiliki makna mencegah atau menolak yang artinya mencegah
ketidakadilan, mencegah kedzaliman, mencegah penganiayaan, dan menolak mafsadat lainnya.
Muhammad Muslehuddin mengutip dalam kamus Oxford hukum sebagai “sekumpulan aturan
baik dari aturan formal ataupun aturan adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu
serta mengikat bagi anggotanya.

Sedangkan Islam adalah bentuk mashdar dari kata aslama-yuslimu-islaman yang


mengandung arti ketundukan dan kepatuhan. Tetapi Islam memiliki makna selamat dari bahaya
dan bebas dari cacat.6 Islam bermakna sebagai sebuah ketundukan dan penyerahan diri seorang
hamba saat berhadapan dengan Tuhannya. Dengan kata lain manusia harus merasa kecil dan
bersikap mengakui kelemahan serta membenarkan kekuasaan Tuhannya (Allah). Tidak
sebanding dengan ilmu dan kemampuan Allah, kemampuan akal dan budi manusia hanya
berwujud dalam ilmu pengetahuan yang sifatnya kerdil dan sangat terbatas.

Dari pengertian tersebut, Islam sebagai agama keselamatan lahir-batin harus memiliki
atau memenuhi tiga aspek di bawah ini:

4
Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia, Kajian Komprehensif Atas Arah Sejarah dan Dinamika Intelektual
Islam Nusantara, Cet.I; (Jakarta: Mizan Pustaka, 2012) hlm.12
5
Mardani, Hukum Islam: Pengantar Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015)hlm.7
6
Muhammad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997) hlm.654
1. Hubungan vertikal dengan Tuhan, manusia harus berserah diri kepada Allah sebagai
Tuhan semesta alam.
2. Hubungan sesama makhluk hidup sebagai wujud hubungan horizontal, Islam
menghendaki saling menyelamatkan antara yang satu dengan yang lain.
3. Bagi diri pribadi seorang muslim, Islam dapat menciptakan kedamaian, ketenangan jiwa,
sakinah, dan kemantapan jasmani rohani.

Hukum Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan, perintah Allah yang mengatur perilaku
kehidupan orang Islam dalam seluruh aspeknya. Hukum Islam adalah representasi pemikiran
Islam, manifestasi pandangan hidup Islam serta intisari dari Islam itu sendiri.7

B. Pengertian Syari’ah, Fiqih, dan Qanun

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Hasbi as-Shiddieqy, syari’ah atau syari’at
secara etimologis adalah jalan tempat keluarnya sumber air mata atau jalan yang dilalui air
terjun.8 Kemudian orang-orang Arab mengasosiasikannya menjadi at-thariqah al-mustaqimah,
yakni sebuah jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap umat muslim. Sedangkan syaria’ah secara
terminologis diartikan sebagai sebuah tata aturan atau hukum-hukum yang disyariatkan oleh
Allah kepada hamba-Nya untuk diikuti. Ketentuan tersebut meliputi segala aspek, baik
menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. Sebelum dispesifikkan untuk hukum
amaliah saja, pada awalnya syari’ah hanya diartikan dengan agama. Pengkhususan makna
syari’ah bertujuan untuk memberikan pemahaman bahwa sesungguhnya Agama hanya satu dan
cakupannya lebih luas (universal), sedangkan Syari’ah bisa berbeda-beda antar satu umat dengan
umat lainnya. Syari’at merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah yang wajib diikuti
oleh umat Islam berdasar keyakinan dan disertai akhlak baik dalam hubungan dengan Allah,
dengan sesama manusia, dan juga alam semesta.

Secara bahasa fiqh merupakan bentuk mashdar dari lafadz faqiha-yafqohu yang memiliki
arti al-ilmu, pengetahuan dan al-fahmu, pemahaman.9 Kemudian diperjelas oleh al-Jurjaniy, fiqh
menurut bahasa berarti “Memahami maksud pembicara dari perkataannya”. Sedangkan dalam
kitab Ushul al-Fiqh menurut Abu Zahrah, fiqh secara istilah adalah mengetahui hukum-hukum
7
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam Terjemah An Introduction to Islamic Law,(Bandung: Nuansa, 2010)
hlm.21
8
M Hasbi As-Shiddieqy, pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) hlm.20
9
Al-Imam Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasyfa min Ilm al-Ushul, (ttt: Maktabah al-Jadidah) hlm.4
syara’ yang bersifat amaliah dan dikaji dari dalil-dalilnya secara terperinci. Menurut kutipan
Mardani dalam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, ilmu fiqh adalah ilmu tentang
seperangkat hukum syara’ yang sifatnya furu’iyyah (cabang) serta didapatkan melalui penalaran
dan istidlal (perujukan).10 Dari definisi di atas dapat diartikan bahwa Fiqih merupakan
interpretasi yang bersifat dugaan serta senantiasa bisa berubah seiring perkembangan zaman,
waktu, dan tempat. Secara ringkas Fiqih adalah dugaan kuat yang telah dicapai oleh seorang
mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Tuhan.11

Terdapat beberapa perbedaan pokok antara syariah dengan fiqih, antara lain:

1. Ketentuan syariat terdapat dalam Al-Qur’an dan kitab-kitab Hadits. Sedangkan


fiqih adalah sebuah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syariat
dan terdapat dalam kitab-kitab fiqih.
2. Syariat bersifat fundamental serta memiliki cakupan yang lebih luas. Sedangkan
fiqih bersifat instrumental, terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan
manusia.
3. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya sehingga berlaku abadi.
Sedangkan fiqih merupakan karya manusia sehingga sangat mungkin mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan waktu.
4. Syariat hanya ada satu yang menunjukkan sebuah konsep kesatuan. Sedangkan
fiqih berjumlah banyak karena merupakan pemahaman manusia yang
menunjukkan keragaman pemikiran yang memang dianjurkan dalam Islam.

Qanun (Undang-Undang) merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab. Disebutkan
dalam kitab Mu’jam al-Wasith bahwa qanun adalah setiap perkara yang bersifat kulliy
(menyeluruh) yang relevan dengan seluruh juziyyah (bagian)-nya, dan dari qanun tersebut
hukum-hukum juziyyah dapat dikenal. Ulama salaf mendefinisikan qanun sebagai kaidah-kaidah
yang bersifat menyeluruh yang di dalamnya tercakup hukum-hukum bagian. Apabila kata qanun
disebutkan secara bersamaan dengan kata syariah, maksudnya adalah suatu hukum yang dibuat

10
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (ttt: Dar al-Fikr al-Arabiy) hlm.6
11
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) hlm.7-9
oleh manusia untuk mengatur perjalanan hidup dan hubungannya dengan sesama manusia yang
lain, baik secara individu, masyarakat ataupun negara.

Dasar syariah adalah wahyu Allah, sedangkan dasar qanun adalah buatan manusia.
Qanun (udang-undang) berarti kumpulan undang-undang atau hukum buatan manusia yang
diringkas untuk perkara tertentu serta dalam bidang-bidang tertentu, seperti undang-undang
pidana dan lain-lain. Bisa dikatakan qanun ialah kumpulan hukum buatan manusia yang
digunakan untuk menyelesaikan dan memutuskan suatu perkara perselisihan diantara manusia.
Qanun yang pertama kali dikenal adalah Qanun Hamuraby di negara Babilonia, sedangkan
kumpulan qanun klasik yang paling terkenal adalah undang-undang Romawi.

C. Ruang Lingkup Hukum Islam


Akan terjadi pemisahan-pemisahan bidang hukum sebagai disiplin ilmu hukum, jika kita
membicarakan syariat dalam arti hukum Islam. Tidak seperti yang dipahami dalam ilmu hukum
Barat, sesungguhnya hukum Islam tidak pernah membedakan secara tegas antara wilayah hukum
privat dan hukum publik. Hal ini dikarenakan sudah terdapat segi-segi hukum publik dalam
hukum privat Islam, begitu juga sebaliknya. Ruang lingkup hukum Islam dalam arti fiqih Islam
meliputi ibadah dan muamalah.
Sistematisasi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia bisa tergambar pada bidang
ruang lingkup muamalah dalam arti luas sebagai berikut:12

1. Hukum Perdata
Hukum perdata Islam meliputi:
a. Munakahat, mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pernikahan dan
perceraian serta akibat hukumnya.
b. Wiratsat, mengatur masalah pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta
pembagian warisan. Atau biasa disebut juga dengan hukum faraidh.
c. Muamalah dalam arti khusus, mengatur masalah kebendaan, tata hubungan
manusia dalam jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perserikatan,
kontrak, dan sebagainya.

12
A. Rahmat Rosyadi, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2006) hlm.62
2. Hukum Publik
Hukum publik Islam meliputi:
a. Jinayah, memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam
dengan hukuman, baik dalam pidana berat maupun dalam pidana ringan.
b. Al-Ahkam as-Shulthaniyyah, membicarakan permasalahan kepala negara atau
pemerintahan, hak pemerintah pusat dan daerah, tentang pajak dan sebagainya.
c. Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan bagaimana seharusnya
bersikap atau berperilaku dengan pemeluk agama lain dan negara lain.
d. Muhasamat, mengatur masalah peradilan, bagaimana cara pengambilan keputusan
atau mufakat secara musyawarah, kehakiman, dan hukum acara.

D. Hubungan Antara Negara dengan Agama


Diantara para pakar Islam hingga saat ini, hubungan antara agama dan negara masih
menjadi perdebatan mengenai kecanggungan antara Islam sebagai agama (din) dan negara
(dawlah) menurut Azzumardi Azra. Ulama-ulama tradisional berargumentasi bahwa Islam
adalah sistim kepercayaan dimana agama mempunyai hubungan erat dengan politik. Islam juga
menggambarkan pandangan dunia dan arti hidup bagi manusia terutama dalam bidang politik.
Dari sudut pandang ini, pada dasarnya tidak ada pemisahan antara agama dan politik dalam
pandangan Islam.
Dalam membangun hubungan antara agama dan negara terdapat tiga teori yang terkenal
sebagai konsep dasar yang saling berkaitan. Para pakar menyepakati teori atau paradigma ke
dalam tiga bagian, yaitu:

1. Paradigma Integralistik
Konsep ini menuntut bahwa hubungan antara agama dan negara yang merupakan
kesatuan yang bersifat integrasi. Yang artinya bahwa agama dan negara sebagai satu roh
dan jiwa tidak bisa terpisahkan. Hal ini menandakan bahwa peran negara bukan hanya
sebagai lembaga politik tetapi juga sebagai lembaga yang mengatur agama. 13 Agama
Islam dijadikan melebur dalam negara atau politik menurut paradigma ini. Tidak
mengenalnya paradigma pemisah antara agama dan negara sudah ditegaskan dalam

13
Zaini Rahman, Fiqh Nusantara dan Sistem Hukum Nasional, (Pustaka Pelajar,2016) hlm.101
Islam. Paradigma ini juga beranggapan bahwa Islam adalah satu agama sempurna yang
mempunyai kelengkapan ajaran dari semua aspek dan sisi kehidupan manusia, termasuk
dalam perekonomian, sosial dan politik.14
Paradigma ini merupakan antitesis dari demokrasi barat yang didasarkan pada
demokrasi rakyat mengenai segala kekuasaan dan penentuan nilai-nilai serta kebijakan
berada di tangan rakyat. Islam tidak meniru sistem negara barat yang berdasarkan pada
kedaulatan rakyat serta menyandarkan politiknya pada sistem nilai-nilai kedaulatan
Tuhan dan kekhalifahan manusia. Untuk saat ini paradigma tersebut bisa disebut sebagai
sistem “Teo Demokrasi”. Sistem ini merupakan sistem pemerintahan demokrasi Ilahi
karena umat muslim diberikan kedaulatan terbatas di bawah naungannya. Segala sesuatu
dapat dilakukan secara musyawarah dan mufakat di kalangan umat muslimin selama
belum diatur dalam Syar’i. Tidak ada seorang pun atau lembaga negara yang berani untuk
mempertimbangkan suatu hal yang dapat mengubah permasalahan jika terdapat perintah-
perintah atau hukum yang sudah jelas berdasarkan Syar’i.

2. Paradigma Simbiotik

Menurut paradigma simbiotik, agama dan negara merupakan sistem fungsional yang
berbeda, tetapi mempunyai hubungan saling membutuhkan antara satu sama lain dan bersifat
tumbal balik atau saling menguntungkan.15 Dalam pelestarian dan pengembangannya, agama
membutuhkan negara sebagai instrumen. Begitu pula sebaliknya, negara membutuhkan
agama, sebab agama juga membantu dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas.
Paradigma ini berusaha keluar dari belenggu dua sisi paradigma yang berkontradiksi yakni
paradigma integralistik dan paradigma sekularistik. 16 Kepemimpinan negara menurut al-
Mawardi disebut dengan istilah Imamah yang merupakan instrumen penerus misi kenabian
untuk memelihara agama dan mengatur dunia.

Doktrin yang baku tentang sistem ketatanegaraan tidak dimiliki oleh Islam menurut
pandangan paradigma simbiotik, tetapi terdapat seperangkat tata nilai dan etika bagi
kehidupan bernegara. Dalam mengisi proses kehidupan kenegaraan, agama tidak harus
14
Gunawan, Relasi Agama dan Negara: Perspektif Pemikiran Islam, (Kuriotas,2017) hlm.114
15
Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Sosial, terjemahan: Asep Hikmat, (Mizan, 1995) hlm.165
16
Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Paramida, 2008)
hlm.14
menjadi pelopor dan dasar bahkan simbol negara, tetapi dapat digantikan dengan nilai dan
etika keagamaan. Apabila terjadi penyimpangan dari norma-norma yang berlaku, agama bisa
dijadikan sebagai pengontrolnya. Bahkan sentral sumber legitimasi terhadap realitas politik
bisa dijadikan dari hukum syariah atau agama.

3. Paradigma Sekularistik
Paradigma ini menempatkan negara dan agama secara terpisah, sehingga negara
dan agama menjadi dua elemen yang berbeda dan mempunyai bidang atau unsur yang
cakupan wilayahnya masing-masing berbeda pula. Dengan demikian, eksistensi antara
negara dan agama tidak boleh dicampur aduk menjadi suatu kesatuan dalam satu wilayah
kerja atau saling intervensi. Paham menjadi Agama hanya mengatur sebatas wilayah
privasi dengan Tuhan tanpa melibatkan Negara di dalamnya. Hal ini menjadikan Agama
Islam hanya diartikan sebagai wilayah yang mengatur sebatas hubungan individu dengan
Tuhan.

Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara terhadap Islam,
atau menolak determinasi Islam terhadap bentuk tertentu dari suatu negara. Agama hanya
dipahami sebagai urusan akhirat saja atau hubungan manusia dengan Tuhan menurut
pandangan paradigma sekularistik. Padahal Islam adalah agama komprehensif yang
mengatur tata kehidupan manusia dalam segala aspek kehidupannya. Negara hanya
mengatur urusan hubungan manusia dengan manusia atau urusan dunia. 17

Hubungan antara negara dan agama dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:

1. Hubungan yang bersifat antagonistik


Hubungan antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya
ketegangan antara negara dengan Islam sebagai sebuah agama. Misalnya pada masa
kemerdekaan sampai pada masa revolusi politik, Islam pernah dianggap sebagai pesaing
kekuasaan yang bisa mengusik basis kebangsaan negara. Sehingga persepsi tersebut
membawa implikasi keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan
domestika terhadap ideologi politik Islam. Hal ini disebabkan pada tahun 1945 dan

17
Rahman, Fiqh Nusantara dan Sistem Hukum Nasional, (Pustaka Pelajar, 2016) hlm.105
dekade 1950-an terdapat dua kubu ideologi yang merebutkan negara Indonesia, yaitu
gerakan nasionalis dan gerakan Islam.
Konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda tidak terlepaskan
dari akar antagonisme hubungan politik antara negara dan Islam. Perdebatan tentang
kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka merupakan awal hubungan antagonistik
yang dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat
di dalamnya. Upaya menciptakan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan
negara terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca revolusi. Beberapa upaya
untuk mencari jalan keluar dari ketegangan pada awal 1970-an, kecenderungan legalistik,
formalistik, dan simbiolistik masih berkembang pada sebagian aktivis Islam selama dua
dasawarsa pertama pemerintahan orde baru (kurang lebih pada tahun 1967-1987).
Hubungan agama dan negara dikenal dengan antagonistik pada masa ini, di mana
negara benar-benar mencurigai Islam sebagai kekuatan potensial dalam menyaingi
eksistensi negara. Selain itu, umat Islam juga mempunyai ghirah atau semangat yang
tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan sebuah
sistem pemerintahan.
2. Hubungan akomodatif
Hubungan akomodatif adalah sifat hubungan di mana agama dan negara yang satu
dengan yang lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan mempunyai kehomogenan
untuk meminimalisir terjadinya sebuah konflik. Pihak pemerintah menyadari bahwa umat
Islam merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga negara mengakomodasi
Islam. Jika Islam ditempatkan sebagai out side negara maka konflik akan sulit dihindari
pada akhirnya akan memenuhi NKRI. Sejak pertengahan tahun 1980-an, terdapat indikasi
bahwa hubungan antara negara dan Islam mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan
integratif.
Hal tersebut ditandai dengan melonggarnya wacana politik Islam serta
dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian besar masyarakat
Islam. Kebijakan berspektrum luas itu mempunyai beberapa sifat, diantaranya:
1. Struktural, yaitu kesempatan untuk terintegrasikan ke dalam negara semakin terbuka
bagi para aktivis Islam.
2. Legislatif, misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai akomodatif
terhadap kepentingan Islam.
3. Infrastruktural, yaitu ketersediaan infrastruktur-infrastruktur yang dibutuhkan oleh
umat Islam dalam menjalankan kewajiban agama.
4. Kultural, misalnya sesuatu yang menyangkut akomodasi negara terhadap Islam yaitu
penggunaan idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis maupun politik
negara.
E. Islam dan Demokrasi
Dalam memahami konsep demokrasi berbagai kelompok yang memiliki
kepentingan beragam melakukan teoritisasi dan perspektif untuk mencapai tujuan
tertentu. Keragaman konsep tersebut meskipun kadang-kadang juga sarat dengan aspek-
aspek subjektif dari siapa yang merumuskannya, sebenarnya bukan suatu masalah yang
harus dicemaskan. Karena hal tersebut sebenarnya mengisyaratkan esensi demokrasi itu
sendiri yaitu adanya perbedaan dalam berpendapat.
Abraham Lincolum (seorang negarawan Amerika) mengistilahkan demokrasi
sebagai “government of the people, by the people, for the people. Terdapat dua problem
mengenai hubungan demokrasi dan Islam. Pertama, problem filosofis, yaitu akan
tergesernya prinsip-prinsip demokrasi jika klaim agama terhadap pemeluknya sedemikian
total. Kedua, problem historis sosiologis, yaitu pada kenyataannya untuk mendukung
kepentingan dalam bidang politik, tidak jarang jika para penguasa menggunakan peran
agama. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa nilai demokrasi ada yang bersifat pokok
dan ada juga yang bersifat derivasi atau lanjutan. Menurut beliau, ada tiga hal pokok
dalam demokrasi, yaitu kebebasan, keadilan, dan musyawarah.
Kata kunci demokrasi adalah adanya sebuah kesepakatan dengan tujuan kebaikan
bersama sebagaimana pandangan yang dianut pada dasar kesetaraan manusia sehingga
hak antar individu dapat terjamin kebebasannya. Gagasan-gagasan demokrasi pada
intinya bahwa agama baik secara ideologis ataupun sosiologis sangat mendukung proses
demokratisasi. Lahir dan berkembangnya agama itu untuk melindungi dan menjunjung
tinggi harkat martabat manusia. Oleh sebab itu, walaupun agama tidak secara sistematis
mengajarkan praktek demokrasi, namun agama memberi spirit dan muatan doktrinal
yang mendukung bagi terwujudnya kehidupan demokratis18

F. Hubungan antara Antara Agama dan Hak Asasi Manusia


Hak asasi manusia adalah suatu hal yang melekat pada diri seorang manusia
sebagai hak dasar yang diberikan oleh Tuhan untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukannya.

18
Rosmaniah Hamid, Pemikiran Islam tentang Hubungan Agama dan Negara, (2011) hlm.23

Anda mungkin juga menyukai