Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA

Disusun Oleh:
1. Erlin Putri Wardani (F0I023106)
2. Farah Diba Khoirunisa (F0I023104)
3. Sowan Agilianto (F0I023078)

Dosen pengampu: Panca Oktoberi, M.Pd.I

PRODI D3 FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BENGKULU
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami limpahkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rezeki dan kesehatan kepada kami sehingga kami mempunyai
kesempatan untuk menyelesaikan pembuatan makalah yang dibuat untuk
memenuhi tugas kelompok tentang membumikan islam di Indonesia. Kami
menyadari dan meyakini bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Masih banyak kekurangan dan kesalahan yang kami sadari atau pun yang tidak
kami sadari. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari makalah
ini, agar dimasa yang akan datang kami bisa membuat makalah yang lebih baik
lagi.
Dalam kesempatan ini perkenankanlah kami menyampaikan rasa terima
kasih kepada yang terhormat Bapak Panca Oktoberi, M.Pd.I. sebagai dosen
pengampu mata kuliah Pendidikan Agama. Satu harapan yang kami inginkan
semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Bengkulu, Oktober 2023

Penyusun,
DAFTAR ISI

Kata pengantar.......................................................................................................
BAB I Pendahuluan ..............................................................................................
1.1 Latar Belakang.................................................................................................
BAB II Pembahasan..............................................................................................
2.1 Pengertian Agama Islam..................................................................................
2.2 Kewajiban Setiap Umat islam untuk berdakwah.............................................
2.3 Membumikan Islam di Indonesia....................................................................
BAB III Penutup....................................................................................................
3.1 Kesimpulan......................................................................................................
3.2 Saran................................................................................................................
Daftar Pustaka.......................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di ujung pengembaraannya sebagai pemikir Islam, almarhum
Nurcholish Madjid (Cak Nur) mengakhiri persembahan karyanya dengan
risalah tentang kebangsaan kenegaraan, Indonesia kita.1Hal itu tidak
berarti,idealisasi kemestaan umat ditinggalkan. Tetapi, pergulatannya dengan
ayat-ayat kesejahteraan memberinya pemamahan, betapa konsepsi keumatan
tidak kebal terhadap hukum sejarah bahwa pada suatu orde formasi sejarah
tertentu, negara bangsa (nation station)tampil sebagai bentuk kelembagaan
kekuasaan paling dominan didunia. Ketidakrelaan sekelompok orang untuk
menerimanya, tidak dengan mudah bisa berpindah ke bentuk pelembagaan
kekuasaan lain (semisal kekhalifahan) semaunya sendiri.
Bila masanya telah tiba, susunan sejarah negara bangsa mungkin saja
mencapai kematangannya dan meniscayakan hadirnya bentuk kelembagaan
kekuasaan yang lain. Akan tetapi hal itu tidak perlu terlampau dihiraukan.
Apapun bentuk kelembagaan yang ada, tak peduli imperium, kerajaan,
ataupun negara, manusia tidak bisa berpaling dari sesuatu yang particula
(yang dekat dan khas), sebagai imbangan terhadap dimensi universalitasnya.
Bakti manusia pertama-pertama harus diarahkan kepada lingkungan

masyarakat dan geopolitik terdekat. Dimana bumi pijak disana langit

dijunjung. Seperti kata Edmund Burke, dedikasi terhadap “unit kekuasaan

terkecil dan terdekat merupakan prioritas utama dari prinsip moralitas publik

dan pengabdian kepada kemanusiaan”.2

1
Lihat Nurcholish Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Universitas Paramadina Press,
2013).
2
Lihat Yudi Latif, Negara Paripurna:Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila (Civics Indonesian), (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011)
Menerobos kemujudan berpikir sebagai umat Islam yang cenderung
memperhadapkan Islam dengan konsepsi negara bangsa, Cak Nur justru
melihat sebaliknya, bahwa cikal bakal pertumbuhan konsepsi negara modern
itu justru disemai Rasulullah saw di negara (kota) Madinah.
Dalam pandangan Cak Nur, negara bangsa adalah suatu gagasan

tentang negara yang didirikan untuk seluruh (komunitas) bangsa. Pengertian

“Bangsa” atau “Nation” itu dalam bahasa Arab sering diungkapkan dengan

istilah ummah (ummatun, umat), sedangkan konfergensi seluruh komunitas

bangsa kedalam suatu kesatuan politik dan tatanan hidup bersama disebut

“al-umam al-muttahidah” (umat-umat bersatu).3

Makna “hubungan kontraktual dan transaksional terbuka” dalam


wawasan Madinah diteladankan dalam baiat Akabah yang terjadi antara Nabi

Muhammad saw dengan para utusan penduduk kota Yatsrib. 4 Di Madinah


Nabi saw mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan, baik untuk
dirinya maupun kaum beriman. Sedangkan penduduk kota Yastrib
memperoleh jaminan kepemimpinan Nabi saw yang adil serta bijaksana
untuk menyatukan seluruh penduduk Yastrib, khususnya antara suku Aws
dan Khazraj yang bermusuhan. Nabi saw menjanjikan kiranya berperan
menjadi pembina consensus (consensus builder) di Yastrib, pemersatu dan
juru kedamaian antara pihak-pihak yang saling bermusuhan.
Setelah beliau hijrah menuju ke kota Yastrib, Nabi saw mengganti

nama kota itu menjadi Madinah. Salah satu penjelasan leksikal kata Madinah

adalah berasal dari kata kerja dan- yadinu, yang berarti tunduk atau patuh.

Hal itu mengisyaratkan kewajiban manusia untuk tunduk dan patuh kepada
kesepakatan dan perjanjian kontraktual yang sah antara manusia dan Tuhan-
nya serta sesama manusia. Uraian leksikal lainnya mengatakan, bahwa
Madinah berasal dari kata kerja madana- yamdunu, yang berarti mendirikan
3
Lihat Yudi Latif, Negara Paripurna.
4
Robert N Bellah, Beyond Belief. (New York: Harper & Row, 1970), h. 150
bangunan. Hal ini mengisyaratkan pembangunan hunian tetap sebagai basis
peradaban negara-kota (polis).
Terkait dengan Madinah, Robert N. Bellah, mengatakan bahwa
contoh awal nasionalisme modern ialah sistem kemasyarakatan Madinah
masa nabi serta para khalifah setelahnya. Bellah juga mengungkapkan bahwa
sistem yang didirikan nabi itu merupakan “a better model for national

comoniti building than might be imagined” (suatu contoh bangunan


komunitas nasional modern yang lebih baik dari yang dapat dibayangkan).
Komunitas itu disebut “modern” karena adanya keterbukaan bagi partisipasi
seluruh anggota masyarakat, dan karena adanya kesediaan para pemimpin
untuk menerima penilaaian berdasarkan kemampuan.
Makna dasar bay’ah atau bay’at itu berasal dari satu makna dengan
perkataan bay, yaitu ‘’jual beli.” Pengikatan hubungan yang bersifat
transaksional-kontaktual lewat ‘’perjanjian’’(ahd) dan juga beli’’ (bay atau
mubaya’ah) itu merupakan sifat hubungan antara allah dan manusia, dan
diajarkan oleh semua kitab suci agama, khususnya Taurat, Injil dan al-
Qur’an.
Hal demikian ditandai oleh pencopotan nilai kesucian atau kesakralan
di dalam melihat suku atau kabilah. Olehnya itu pencopotan tersebut tidaklah
dibenarkan untuk menjadikan suku atau kabilah sebagai tujuan pengkudusan
dan eksklusifisme lebih jauh. Bellah juga menyebutkan sistem Madinah
sebagai bentuk nasionalisme yang egaliter partisipatif (equalitarian
participant nationalism). Hal ini berbeda dengan sistem republik negara-kota
Yunani kuno, yang membuka partisipasi hanya kepada kaum lelaki merdeka,
yang hanya meliputi lima persen penduduk.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam tentang Islam
dan kebangsaan dalam konteks keindonesiaan, sehingga penting untuk
menggali lebih dalam persoalan kebangsaan Indonesia yang sesungguhnya
telah menemukan bangunan dan jiwa kenegaraan yang mampu
mengakomodasi keragaman kebangsaan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Islam


Definisi Islam adalah pedoman, ajaran, kepercayaan. Islam adalah agama
yang diturunkan oleh Allah SWT. Kepada nabi Muhammad SAW sebagai rosul
utusan Allah dan Allah menjadikan Islam sebagai agama yang Rahmat lil
‘aalamiin (rahmat bagi seluruh alam).
Segara Bahasa kata “Islam” berasal dari kata “sallama”yang artinya
selamat, dan bentuk mashdar dari kata “aslama” yang beraty taat, patuh, tunduk,
dan berserah diri. Dan secara istilah, islam ialah tunduk, taat dan patuh kepada
Allah SWT. Adapun pengertian Islam menurut para ulama:5

1. Nabi Muhammad SAW.


Nabi Muhammad menjawab pertanyaan Umar r.a, tentang apa itu Islam,
dan beliau menjawab Islam itu adalah “bahwa engkau mengakui tidak ada
Tuhan selain Allah dan bahwasanya Muhammad itu utusan Allah, dan
engkau mendirikan mendirikan sholat, dan mengeluarkan zakat, berpuasa
dibulan Ramadhan, dan engaku mengerjakan ibadah Haji di Baitullah jika
engkau sanggup melakukannya”.
2. Umar bin Khatab

5
Lihat Simmon Philpot, Meruntuhkan Indonesia, Politik Postkolonial dan
Otorita-Rianism, (Yogyakarta: LKiS 2003), h. 12.
Menjelaskan Islam sebagai agama yang diturunkan Allah SWT, kepada
Nabi Muhammad SAW. Didalam agama Islam terdapat tiga hal yakni:
Akidah, Syariat, dan Akhlak.
3. Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-Tawaijiri
Mengatakan bahwa Islam adalah sebuah penyerahan diri sepenuhnya
kepada Allah dengan mengesakan-Nya dan melaksanaan syariat-syariat-
Nya dengan penuh keiklasan.
4. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
Beliau mengatakan Islam ialah berserah diri kepada Allah SWT dengan
cara mentauhidkan-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan ketaatan
dan berlepas diri dari perbuatan-perbuatan syirik dan pelakunya.
Dalam sebutan Islam pertama adalah firman tuhan yang
menjelaskan syariat- syariat-Nya yang dimaksudkan petunjuk bagi
manusia untuk mencapai kebhagian didunia dan diakhirat. Secara tegas
dapat dikatakan bahwa hanya tuhan lah yang paling mengetahui seluruh
maksud, arti, dan makna dari setiap firman-Nya. Oleh karna itu dalam
dataran high tradition ini adalah mutlak.
2.2 Jalur masuknya islam di Indonesia
1. Melalui jalur perdagangan
Islam diperkirakan masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan sejak
abad ke-7 hingga abad ke-11. Menurut pernyataan dari para saudagar,
Islam disebarkan disepanjang jalur perdagangan pelabuhan, seperti selat
malaka, Samudra, Palembang, disusul demak, Cirebon \, gresik, tuban,
makasar serta Indonesia bagian timur.
2. Memlalui jalur pernikahan
Jalur pernikahan ini ditempuh para ulama sekitar abad ke-11 hingga abad
ke-13 M. para sudagar muslim dari Gujarat, Arab, Benggala dan lainnya
menikahi orang Indonesia. Windari menyebut, umumnya saudagar yang
menikah adalah orang-orang kaya dan terpandang. Sehingga, para putri-
putri raja akan masuk Islam terlebih dahulu. Jalur ini memiliki andil besar
dalam persebaran Islam di Tanah air.
3. Melalui jalur Pendidikan
Jalur ini dibentuk oleh para da’i yang memngabdikan dirinya untuk
menyebarkan Islam kewilayah baru, salah satunya Indonesia. Jalur
Pendidikan memegang peranan yang cukup penting. Sebeb, melalui
dakwah islam yang semula dikenal dipantai-pantai sepanjang jalur
perdagangan, akhirnya bias berkembang luas hingga kepulau-pulau di
Indonesia.
4. Melalui jalur akulturasi budaya.
Agama islam mesuk ke Indonesia tak luput dari peran akulturasi budaya
yang dilakukan oleh para da’I pada abad ke-12 hingga abad ke-14 M. Para
da’I memberikan kesan kepada masyarakat bahwa Islam sesuai dan tidak
bertentangan dengan budaya mereka, sehingga mereka memluk islam
dengan sukarela. Cara dakwah ini dilakukan oleh para wali songgo atau
wali Sembilan penyebar islam di Jawa. Salah satu media penyebar agama
Islam melalui kebudayaan adalah wayang.
2.4 Kewajiban Setiap Umat Islam Untuk Berdakwah
Kewajiban setiap umat Islam untuk berdakwah dengan segala
bentuknya adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim. Misalnya amar ma’ruf,
ahli mungkar, berjihad, memberi nasihat, dan sebagainya. Hal ini
menunjukkan bahwa hukum islam tidak mewajibkan setiap umatnya untuk
selalu mendapatkan semaksimalnya, tetapi usahanya lah yang diwajibkan hasil
semaksimalnya sesuai dengan keahlian dan kemampuan.
Menurut Ibnu Qudamah yang ditulis dalam bukunya yang berisi “jika
seorang muslim sudah tahu tidak memiliki kekuatan memadai untuk
mengalahkan kemunkaran, namun tetap memaksakan diri hingga
mencelakakan dirinya, hukumnya haram”. Sebab amar ma’ruf mungkar harus
memberikan pengaruh positif dan bermanfaat.6
dalam hal ini, Nabi Muhammad menjelaskan tiga strategi dan
tingkatan dalam melakukan Amar ma’ruf mungkar, yaitu:
1. Dengan tangannya.

6
Lihat Simmon Philpot, Meruntuhkan Indonesia, Politik Postkolonial dan
Otorita-Rianism, (Yogyakarta: LKiS 2003), h. 12.
Yaitu dengan teladan yang baik dan tindakan nyata sesuai profesi atau
kedudukannya masing-masing. Misalnya, bagi pengurus kelas dapat
membuat tata tertib kelasdan mengawasi peraturannya dengan ketat
sehingga menjadi kelas teladan.
2. Dengan lisan.
Jika sesorang tidak mampu melakukan amal ma’ruf dengan tanganya, cara
keduanya dengan lisan. Misalnya , memberikan nasihat yang baik,
memotivasi untuk melakukan kebaikan, dan meningatkan akibat dari
kemungkaran.
3. Dengan hatinya.
Yaitu memfungsikan kata hati yang bersih. Cara Ini merupakan cara yang
paling lemah karena hanya dapat membentengi dirinya sendiri. Dalam
hadist dikatakan mengubah dengan hati merupakan selemah-lemahnya
iman. Artinya, selemah-lemahnya keadaan seseorang dan sekurang-
kurangnya keadaan seseorang, dia wajib menolakan kemungkaran dengan
hatinya.
2.5 Membumikan Islam DiIndonesia.
Islam pada satu sisi dapat disebut high tradition, dan pada sisi lain
disebut sebagai low tradition. Dalam sebutan pertama islam adalah firman
tuhan yang menjelaskan syariat-syariat-Nya yang dimaksudkan sebagai
petunjuk bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. 7 Secara
tegas dapat dapat dikatakan hanya tuhanlah yang paling mengetahui seluruh
maksud,arti, dan makna setiap firman-Nya. Oleh karena itu, kebenaran islam
dalam dataran high tradition adalah mutlak. Adapun disisi lain dapat disebut
Low tradition, pada dataran ini islam yang terkandung dalam teks-teks suci
bergumul dengan kualitas social pada berbagai masyarakatyang berbeda-beda
secara kultural.
Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia. Walaupun islam
turun diArab dan dengan menggunakan Bahasa Arab, itu tidak berarti bahwa
islam itu identik dengan Arab atau Arab itu identic dengan islam. Maka, yang

7
Lihat Abdul Munir Mulkhan, dkk, Islam, HAM dan Keindonesiaan, (Jakarta:
Maarif Institute, 2007).
harus diingat adalah islam hars dipahami secara komprehensif dan tidak
terjebak pada skop Bahasa dan budaya Arab itu sendiri.8
Islam perlu dibumikan, artinya interprestasi islam itu bersifat terbuka
dan dinamis, agar islasm mampu memnyawab problematika umat dimana pun
dan kapanpun. Hal itu tidak berarti, idealisasi kemestaan umat ditinggalkan.
Tetapi, penggulatannya dengan ayat-ayat kesejahteraan memberinya
pemahaman, betapa konsepsi keumatan tidak kebal terhadap hokum sejarah.

8
Lihat Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan
Visi Baru Islam Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 76
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kami ambil dari materi ini adalah bahwa islam
yang telah menyebar keseluruh dunia, mau tidak mau harus beradaptasi
dengan nilai-nilai budaya lokal. Sebagai subtansi, Islam merupakan nilai-nilai
universal yang dapat berinteraksi dengan nilai-nilai lokal untuk menghasilkan
suatu norma tertentu. Islam sebagai ramatan lil alamin terletak pada nilai-nilai
dan prinsip-prinsip kemanusian universal yang dibangun atas dasar kosmolohi
tauhid. Nilai-nilai tersebut selanjutnya dimanifestasikan dalam sejarah umat
manusia melalui lokalitas ekspresi penganutnya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA

Bellah, Robert N. Beyon Belief. New York: Harper & Row, 1970.
Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila,

Civics, Indonesian, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.


Lukito, Ratno. Negara Bangsa, Opini
https://mediaindonesia.com/read/detail/253974-

negara-bangsa 2019 (diakses 21 Juli 2019).

Madjid, Nurcholish. Indonesia Kita, Jakarta: Universitas Paramadina Press, 2003.

Islam Agama Kemanusiaan, Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia,
Jakarta: Paramadina,1995.

Mulkhan, Abdul Munir dkk. Islam, HAM dan Keindonesiaan, Jakarta: Maarif
Institute, 2007.

Moeslim, Abdurrahman. Islam Sebagai Kritik Sosial, Jakarta: Erlangga, 2000.

Nurdin, Ahmad Ali. “Revisiting Discourse on Islam and State Relation in


Indonesia: the View of Soekarno, Natsir and Nurcholish Madjid,” International
Journal of Islam and Muslim Societies, Vol. 6, No. 1, 2016.

Philpot, Simmon, Meruntuhkan Indonesia, Politik Postkolonial dan


Otoritarianism, Yogyakarta: LKiS, 2003.

Soedjatmoko. Etika Pembebasan, Pilihan Karangan Tentang: Agama,


Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta: LP3 ES, 1985.

Anda mungkin juga menyukai