Anda di halaman 1dari 17

AL-QUR’AN DALAM PERADABAN MULTIKULTURAL

(Menghadirkan Nilai-Nilai Kemanusiaan Universal)

KARYA TULIS ILMIAH


Diajukan Guna Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah
Milad II JQH Al-Wustho

Disusun Oleh:

Imam Muttaqin Kholid


NIM. 12.11.12.021

JURUSAN TAFSIR HADITS


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur‟an adalah kitab yang meletakkan amal sebagai sentral bagi makna
keberadaan manusia,1 amal perbuatan adalah sebagai wujud eksistensi kehidupan
manusia, pada tahap itulah manusia dikenali dan dikenang melalui perbuatanya,
sehingga manusia menempati posisi yang dinamis sebagai mahluk yang
berbudaya.2 Di sinilah posisi Al-Qur‟an sebagai petunjuk manusia,3 untuk
menjawab segala problematika yang muncul ke permukaan selaras dengan kondisi
dan keadaan di mana pun dan kapan pun (sholih fi kulli zaman wa makan). Al-
Qur‟an sebagai sumber utama dalam Islam memiliki dua sisi, pertama;
menunjukan Islam sebagai ajaran yang normatif dan doktriner, kedua;Islam
sebagai produk sejarah yang yang bergumul antara Islam dan sosial budaya
sehingga menghasilkan Islam-Islam lokal dengan keragaman masing-masing.4
Keterkaitan dengan Indonesia ditinjau dari sosio-history mempunyai
beragam budaya, etnis, suku dan agama. Keragaman ini justru berpotensi terhadap
berbagai konflik karena perbedaan cara pandang dan ideologi. Perbedaan
interpretasi yang seharusnya membentuk keragaman dan menciptakan kearifan,
tetapi malah menimbulkan kesenjangan sosial-politik-ekonomi, hal tersebut
dikarenakan fanatisme golongan atau ideologi madzhab tertentu dan kurangnya
toleransi dalam keragaman dan keberagamaan.
Dekade terakhir ini, di Indonesia sering terjadi berbagai macam konflik
yang dilatar belakangi atas nama agama seperti Sunni-Syi‟i, NU-MTA-
Muhammadiyyah. Bahkan aksi-aksi terorisme-bom bunuh diri- dan munculnya
1
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peraban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
1992), hlm 61
2
Kebudayaan yang dimaksud adalah merupakan segala aspek yang mencakup kehidupan
manusia baik yang bersifat material seperti peralatan-peralatan pekerjaan dan teknologi, maupun
yang bersifat non-material seperti nilai-nilai kehidupan dan kesenian tertentu. Dalam maslah
budaya ini E.B. Tylor mengemukakan bahwa; kebudayaan adalah pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum adat-istiadat, serta kebiasaan-kebiasaan yan didiapatkan manusia sebagai
anggota masyarakat. Selengkapnya lihat Achmad Muchji, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta:
Gunadarma, 1994), hlm 20-21.
3
Q.S: Al-Baqoroh; 185
4
Kedua sisi tersebut merupakan peletakan Islam sebagai sasaran studi-studi penelitian.
Lihat H.M. Atho Mudzhor, Pendekatan studi Islam dalam Teori dan Praktek. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), hlm 37-44.
1
kelompok-kelompok sparatis yang merongrong keutuhan NKRI timbul karena
doktrin keagamaan. Konflik-konflik yang terjadi merambah ke institusi
pemerintah dan institusi pendidikan, bahkan media5 sebagai institusi yang netral
dan independen ikut terseret ke ranah konflik sehingga opini dan pemberitaan
menjadi perbincangan nasional yang menimbulkan kecurigaan, fitnah dan isu-isu
berbasis SARA.
Istilah bhineka tunggal ika sebenarnya sudah menjadi konsep kerukunan
yang ditawarkan oleh kebudayaan lokal jauh sebelum Islam masuk di Indonesia.
Tetapi pada zaman modern ini mencuatnya arus globalisasi dan perkembangan
teknologi menyeret kehidupan masyarakat ke arah materialistis-pragmatis-
kapitalis, kebodohan-kemiskinan menjadi problematika yang harus dihadapi dan
diatasi.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tentunya Al-
Qur‟an mempunyai peran yang begitu besar untuk menjawab berbagai kasus
konflik yang terjadi, baik konflik internal maupun eksternal.6 makna-makna yang
terkandung dalam Al-Qur‟an perlu diulas kembali untuk membentuk Ukhuwah
(persaudaraan) baik antar agama maupun antara umat beragama dari latar
belakang etnis yang berbeda-beda. Hal ini menjadi sarat akan timbulnya
kerukunan dan terbentuknya persatuan umat.
Istilah Sholih fi kulli zaman wa makan menunjukan relevansi Al-Qur‟an
terhadap berbagai macam persoalan dalam ruang maupun waktu. Tentunya dalam
Al-Qur‟an sendiri mempunyai konsep-konsep untuk menjawab problematika yang
terjadi. Konsep tentang nilai-nilai universalitas dalam Al-Qur‟an inilah yang perlu
diulas lebih mendalam sehingga membentuk Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

5
Media memiliki posisi sentral yang sangat kuat untuk mengembangkan dan
menciptakan opini publik. Media juga mempunyai pengaruh yang besar dalam menopang
kekuasaan dan hegemoni. Lihat Akbar S. Ahmed, Posmodernisme dan Harapan Bagi Islam,
(Bandung: Mizan, 1993), hlm 27.
6
Konflik internal yang dimaksud adalah konflik antar sekte dan golongan atau lembaga
umat Islam sendiri (NU, MTA, Muhammadiytah,dll). Sedangkan konflik eksternal adalah antara
umat beragama (Islam, Kristen, dll)
2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Islam Agama Universal


Islam berasal dari bahasa Arab aslama-yuslimu-islaman (berserah
diri, keselamatan, kesejahteraan). Rasyid Ridha mengemukakan;
. ‫ وبًعني أدّى‬:‫اإلسالو يصدر "أسهى" ويأتي بًعني خضع واستسهى‬
“Kata „Islam‟ adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari „Aslama‟ yang
memiliki makna tunduk, patuh dan makna menunaikan / menyampaikan.”7
Definisi Islam sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur‟an adalah;
Q.S. An-Nisa‟: 123;

              

   

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan,
dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil
Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.”
Q.S. Al-Anfal: 61;

             

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah


kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Dari pengertian di atas menjelaskan bahwa Islam adalah agama
yang menunjukan pemasrahan diri terhadap Allah dan cinta terhadap
perdamaian melakukan hal-hal kebajikan dengan menunaikan apa yang
menjadi tujuan disyari‟atkannya Islam (maqoshidus syari’ah) yaitu untuk
mewujudkan kemaslahatan hamba dunia dan akhirat. Menurut Ibn
Qoyyim; “seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan

7
Selengkapnya baca M. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) cet II,
Juz 3, hlm 257.
3
dan hikmah, jika keluar dari ke-empat nilai yang dikandungnya, maka
hukum tersebut tidak dapat dinamakan syari‟at.”8
Pada sisi yang lain Islam sebagai agama yang universal. Universal
di sini tidak langsung dinisbatkan kepada Islam, melainkan kepada sumber
utama Islam yakni Al-Qur‟an dan kepada pembawa risalah Islam yaitu
Nabi Muhammad SAW.
Q.S Al-Anbiya‟: 107;

     

“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat


bagi semesta alam.”
Allah SWT telah mengabarkan bahwa Dia menjadikan Muhammad
SAW sebgai rahmat bagi semesta alam, yaitu Allah mengutus sebagai
rahmat bagi kalian semua. Barangsiapa yang menerima nikmat dan
mensyukurinya niscaya akan bahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan
yang menolak dan menentangnya niscaya akan merugi dunia dan akhirat.9
Lafadz ‫ رحًة‬pada ayat tersebut bermakna terhindar dari siksa,10 dan
juga merupakan bentuk ism nakirah yang berarti li ta’dzim wa al-taktsir
(mengagungkan dan banyak),11 artinya yang dimaksud dengan rahmat
pada ayat tersebut adalah rahmat (kasih sayang) yang amat agung dan
besar, rahmat tersebut merupakan nikmat yang diberikan oleh Allah dan
tidak terhitung jumlahnya.

           

8
Ibn Qayyim, I’lam al-Muaqi’in Rabb al- ‘Alamin, (Beirut: Dar al-Jayl, tt), Jilid 3, hlm 3.
9
Ibn Katsir al-Dimasyqy, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009), Juz 3,
hlm 1234.
10
Abi Thohir Muhammad bin Ya‟qub al-Faruzabadi, Tanwir al-Miqbas min Tafsir ibn
‘Abbas, (Surabaya: al-Hidayah, tt), hlm 205.
11
Kaedah mengenai nakirah ini bisa dilihat dalam buku/kitab-kitab Ulum al-Qur‟an.
Lihat Muhammad bin „Alawi al-Maliki, Zubdat al-Itqon fi Ulum al-Qur’an, (Jeddah: Dar al-
Syuruq, 1986), cet III, hlm 63.
4
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat
menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Selanjutnya pada lafadz ‫ نهعهًين‬adalah menunjukan bahwa nikmat
Allah diberikan kepada seluruh alam semesta. Ulama‟ berbeda pendapat
mengenai makna ‘alamin ada yang mengatakan bahwa ‘alamin adalah
golongan jin dan manusia, juga ada yang mengatakan bahwa ‘alamin
adalah semua mahluk Allah.12 Terlepas dari perbedaan ulama‟
sesunggunhnya lafadz ‘alamin tersebut menunjukan universalitas Islam
terhadap seluruh mahluk Allah. Pada ayat yang lain Allah menggunakan
lafadz kaffah;
Q.S. Saba‟: 28;

            

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia


seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”
Lafadz ‫ كافّة‬merupakan bentuk hal (menerangkan keadaan) yang
menunjukan arti keseluruhan umat manusia, sedangkan pada susunannya
lafadz ‫ كافّة‬mendahului lafadz ‫ نهناس‬artinya menunjukan sebagai ihtimam
(perhatian), dengan demikian yang dimaksud ‫ كافّة نهناس‬adalah kepada
manusia seluruhnya atau pada umumnya. Pengertian dalam penggunaan
redaksi „alamin dan kaffah pada kedua ayat tersebut menjelaskan dua hal:
1. Universalitas Islam terlihat dari segi muatan ajarannya, dalam
artian ajaran Islam bersifat lengkap dan sempurna, mencakup
segala aspek kehidupan.
2. Unversalitas Islam terlihat dari segi yang menjadi sasaran
berlakunya ajaran Islam yaitu seluruh umat manusia.

12
Pendapat yang pertama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn „Abbas, sedangkan
pendapat yang kedua sebagaimana yang dikatakan oleh Qotadah, Hasan dan Mujahid. Lihat Imam
Taqiyyuddin Abi Bakr bin Muhammad, Kifayat al-Akhyar, (tp, tt) )juz 1, hlm 4.
5
Kedua ayat diatas juga menjelaskan bahwa sesungguhnya Islam
merupakan agama yang universal dengan mengutamakan kemaslahatan
dan menghindari kemadharatan, selalu berbuat kebajikan, mengedepankan
kasih sayang dan kerukunan demi terciptanya perdamaian. Selaras dengan
maqohidus syari’ah yaitu; 1) Memelihara tegaknya agama (hifdzu al-din).
2) Perlindungan jiwa (hifdzu al-nafs). 3) Perlindungan akal (hifdzu al-
‘aql). 4) Pemeliharaan keturunan (hifdzu al-nasl). 5) Perlindungan harta
benda (hifdzu al-mal).13 Lima prinsip tersebut menunjukan universalitas
ajaran Islam, bahwa adanya syari’at bukan semata-mata untuk kehidupan
orang Islam saja, akan tetapi lebih dari itu adalah membentuk tatanan
masyarakat yang dinamis, menjaga kerukunan dan perdamaian sebagai
wujud Islam rahmatan lil ‘alamin.

B. Islam dan Toleransi


Al-Qur‟an menawarkan ayat-ayat mengenai makna toleransi untuk
mewujudkan kerukunan dalam peradaban multikultural;
Q.S. Al-Hujurat: 13;

            

         

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-


laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”.
As-Suyuthi mengemukakan asbabun nuzul ayat di atas: Ibn Hatim
meriwayatkan dari Ibn Abi Mulaikah bahwa ketika Fathu Makkah Sahabat
Nabi yang bernama Bilal bin Rabah naik ke atas Ka‟bah untuk
mengumandangkan adzan, kemudian beberapa orang berkata; “Apakah

13
Al- Syatiby, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, (Kairo: Mustafa Muhammad, tt), Jilid
2, hlm 5.
6
pantas budak hitam ini mengumandangkan adzan di atas Ka‟bah?”
sebagian yang lain pun berkata; “Sekiranya Allah tidak menyukai orang
ini pasti Allah akan menggantinya.”14
Ayat tersebut ditujukan kepada seluruh umat manusia, bukan
hanya kaum muslim. Manusia diciptakan dari pasangan laki-laki dan
perempuan. Kemudian dari pasangan itu manusia berkembang sehingga
terkelompok menjadi berbagai bangsa dan suku yang masing-masing
mempunyai sifat, ciri, dan karakteristik yang berbeda. Dengan begitu kita
dapat mengenali satu sama lain, itulah tujuan dibeda-bedakanya manusia.
Namun semua perbedaan itu tidak mempengaruhi kemuliaan dan
kehormatan seseorang, karena semua manusia posisinya sama di hadapan
Allah, hanya ketakwaan yang membedakan mereka.15
Lafadz ‫ نتعارفوا‬di atas menggunakan khitob bil fi’li atau dalam
kaedah tafsir biasa disebut dengan kalimat verbal (jumlah fi’liyyah) yang
menunjukan makna tajaddud wal huduts.16 Sedang dalam fi’il-nya berupa
fi’il madhi yang mengikuti wacan ‫ تفاعم‬dalam ilmu shorof wazan tersebut
mempunyai faedah musyarokah baina al-itsnain aw aktsar (hubungan dua
orang atau golongan).17 Artinya makna saling mengenal yang dimaksud
adalah bukan saling mengenal saja, tetapi harus saling toleransi,
menghormati dan berbuat baik kepada setiap orang, golongan, kelompok,
tanpa mempertimbangkan kesukuan dan latar belakang keagamaan. Makna
tajaddud wal huduts berarti menyatakan bahwa saling mengenal yang
dimaksud dalam lafadz ‫ نتعارفوا‬harus selalu diperbaiki dan diulang secara
terus-menerus untuk selalu berbuat baik pada siapapun. An-Nawawi dalam
tafsirnya menjelaskan; bahwa yang dimaksud saling mengenal adalah
14
Jalaluddin As-Suyuthi, Lubab an-Nuqul fi Asbabi an-Nuzul, (Bairut: Dar al-Fikr, 2002),
hlm 256.
15
Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text and Translation, Islamic Book Trust. Edisi
terjemah oleh Ali Audah, Al-Qur’am, Terjemah dan Tafsirnya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993),
hlm 1332.
16
Kalimat verbal (jumlah fi’liyyah) menunjkuan arti tajaddud (timbul tenggelam) dan
Huduts (temporal). Lihat Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an; Refleksi Atas Persoalan
Linguistik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) cet I, hlm 69.
17
Imam Mala „Abdullah, Matn al-Bina’ wa al-Asas, (Surabaya: Maktabah Al-Hikmah,tt)
hlm 5.
7
untuk saling memahami dan berbuat baik antara sebagian kelompok
dengan sebagian kelompok yang lain karena pada hakikatnya semua
manusia berasal dari sesuatu yang satu.18
Jika ditarik dalam ke-Indonesia-an maka jelas sekali, bahwa ayat
tersebut memberikan model alternatif untuk memberikan pandangan
tentang pentingnya toleransi terhadap keragaman serta perlunya
membangun komunakasi dan sinergi di antara keragaman tersebut. Semua
warga negara dan seluruh institusi pemerintah serta lapisan masyarakat
baik sipil maupun militer harus saling mengerti dan memahami segala
perbedaan yang ada di Indonesia, sikap toleransi dan saling memahami
menjadi patokan persatuan dan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia). Hal ini menjadi tanggung jawab umat Islam dalam
menegakkan sendi-sendi persatuan umat dengan jalan perdamain dan
toleransi tanpa konfrontasi. Islam memberikan jawaban bahwa semua
manusia dari golongan pejabat, konglomerat, kaya, miskin. Suku Jawa,
Madura, Batak, Dayak, dll. Semua derajatnya sama di hadapan Allah,
tidak ada jurang pemisah untuk menjalin kebersamaan apalagi hanya
dalam ranah strata sosial. Karena hanya ketaqwaan yang yang
menunjukkan seseorang itu mulia di sisi Allah.
Hal demikian sebenarnya sudah dipraktekan Nabi ketika
membentuk masyarakat Madinah, Nabi membuat perjanjian di antara
suku-suku yang ada di sana yang menghasilkan konstitusi tertulis. Nabi
membentuk ummah wahidah (persatuan umat) dari berbagai macam
komunitas (Yahudi, Nasrani, Muhajirin, Anshar). Di sisi lain kendati
masyarakat Madinah berbeda-beda, tetapi sama dalam hak dan kewajiban
mereka. Kepastian hukum harus ditegakkan dan menghidari
penganiayaan.19 Menjunjung tinggi sikap toleransi dalam keberagaman,
bersikap dinamis-humanis dan memperuncing masalah ideologis

18
Imam Nawawi, Marah Labid al-Nawawi,(Surabaya: Dar Al-Ilm,tt) hlm 316.
19
Selengkapnya M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW dalam
sorotan Al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), cet III, hlm 517-
520.
8
keagamaan-kesukuan-kebudayaan, menjadi faktor dalam meraih
kerukunan. Karena pada realitasnya Al-Qur‟an juga menjelaskan tentang
masalah perbedaan tidak menggunakan pemaksaan dalam kehendak
apalagi yang berdasar fanatisme ideologi suatu golongan tertentu.

C. Islam dan Kebebasan Beragama


Q.S. Al-Baqoroh: 256;

                

          

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah


jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut, dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang
tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Ayat di atas menjelaskan bahwa tidak ada pemaksaan dalam
beragama. Ibn Katsir menjelaskan dalam tafsirnya; tidak ada paksaan
dalam agama adalah ‫( ال تكرهوا احدا عهي اندخول في دين اإلسالو‬janganlah kamu
20
memaksa seseorang untuk memasuki/ beragama Islam). Selaras dengan
UUD 1945 bab Agama pasal 29 ayat 2, yang menyatakan;21
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”
Artinya setiap kelompok-kelompok keagamaan berhak
menjalankan peribadatanya masing-masing dengan aman, tanpa ada

20
Ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, (Bairut: Dar al-Fikr, 2011) juz 1,
hlm 285. Wahbah Zuhaili juga mengemukakan; “Janganlah kamu memaksa seseorang untuk
masuk Islam. Sesungguhnya dalil-dalil Islam tidak butuh-sesudah adanya dalil-dalil itu- tidak
butuh kepada pemaksaan. Dan karena sesungguhnya iman itu berdiri di atas penerimaan dengan
sukarela, argumentasi dan bukt, maka tidaklah berguna adanya pemaksaan, kekerasan atau
pengharusan dalam masalah iman tersebut. Lihat Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa
al-Syari’ah wa al-MAnhaj, (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir, 1991), juz 3, cet I, hlm 325.
21
Majelis Permuyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 dan Ketetapan MPR RI, (Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI,
2012) cet XI, hlm 183.
9
gangguan-gangguan dari pihak lain. Ketika terjadi banyak konflik yang
dilatar belakangi atas nama agama sebenarnya itu adalah perbuatan yang
kurang benar.
Melalui ayat di atas, jelaslah bahwa Islam secara eksplisit melarang
segala bentuk pemaksaan dan penekanan, karena tidak sesuai dengan
kehendak Allah yang memberikan kebebasan dalam iman. Islam juga
memperkuat dan meneguhkan larangan terhadap penyiksaan dan
pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak mau beragama Islam. Inilah
dasar ajaran Islam untuk bersikap tasamuh (toleransi), umat Islam harus
hidup damai dan berdampingan dengan umat beragama lain, bekerja sama
dengan mereka dalam al-mashalih al-ummah (kepentingan umat), saling
menghormati tanpa adanya sikap menekan, memaksa, meneror, apalagi
saling membunuh, karena pada hakikatnya perbedaan adalah rahmat dan
karunia Allah, perbedaan merupakan sebuah keniscayaan untuk saling
berbagi rasa, pengetahuan dan wawasan sehingga mampu merajut
kebersamaan dalam bingkai keagamaan-kemanusiaan-keduniawian. Agar
tercipta kerukunan dan perdamaian serta persatuan umat sebagai bentuk
Islam rahmatan lil ‘alamin,

D. Islam dan Dakwah


Sikap toleransi dan kebebasan Beragama sebagaimana yang di
jelaskan di atas bukan berarti menggugurkan kewajiban Islam dalam
mendakwahkan ajaranya. Islam justru memberikan alternatif dan prinsip-
prinsip dalam berdakwah dengan bersikap dinamis-humanis tanpa
menggunakan pemaksaan dan kekerasan, intimidasi atau bentuk-bentuk
penekanan lainnya.
Q.S An-Nahl: 125;

             

           

10
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.”
Metodologi dakwah dalam Islam sebagaimana yang dijelaskan
pada ayat tersebut adalah menggunakan hikmah22 yang lebih menekankan
pada argumentasi yang kuat, yakni perkataan yang tegas dan benar,
materi-materi yang bisa dijustifikasi secara ilmiah, data-data yang shohih
dan akurat serta menggunakan langkah-langkah yang bijaksana. Dalam hal
ini dakwah pada hakikatnya merupakan peran yang semestinya
dilakukakan oleh mereka yang mempunyai pengetahuan mendalam,
karena dakwah dengan hikmah merupakan ajaran Islam yang ditandai
dengan pemikiran kreatif untuk menjawab problematika yang muncul di
masyarakat.
Bil maudzot al-hasanah yaitu ‫( يواعظه او انقول انرفيق‬pelajaran atau
perkataan yang lembut).23 Islam dalam berdakwah harus dilakukan dengan
cara yang santun, memberikan nasihat, pesan dan pelajaran yang baik yang
mampu menyejukkan jiwa, menggugah dan menumbuhkan kesadaran.
Karena penyampaian yang baik akan menjadikan dakwah bisa diterima
dikalangan masyarakat, tetapi penyampaian dalam dakwah jika tidak
menggunakan penyampaian yang santun dan baik, maka akan
menimbulkan dampak yang negatif, walaupun apa yang disampaikan
berupa materi-materi pokok dan penting.
Selanjutnya wa jadilhum bi allati hiya ahsan (bantahlah mereka
dengan cara yang baik). Islam mempunyai pandangan mengenai masalah
debat dengan cara yang konstruktif dan inovatif, ini merupakan cara
perdebatan yang baik untuk mencapai tujuan yang baik. Al-Razi

22
Hikmah yang dimaksud dalam berdakwah adalah mengemukakan dalil-dalil yang
digunakan untuk menjelaskan tentang kebenaran kiatab suci (Al-Qur‟an). Al-Zamakhsyari
menafsirkan al-hikmah dengan pendapat yang arif dan argumentatif. Lihat al-Zamakhsyari, Tafsir
al-Kasyaf, (Beirut: Dr al-kutub al-„Ilmiyyah, tt) jilid 2, hlm 617.
23
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalin, (Beirut: Dar Ihya‟ al-
Turots al-„Arobi, 1999), cet I, hlm 281.
11
mengemukakan debat yang konstruktif sangat diperlukan karena debat
24
mempunyai karakter untuk menundukkan lawan debat, sementara al-
Zamakhsyari memaknai debat yang kreatif dan inovatif adalah memilih
cara terbaik dalam debat, yang diantara cirinya identik dengan apresiasi
terhadap pendapat orang lain, lemah-lembut, tidak menggunakan kata-kata
kasar, terutama yang bisa memancing kemarahan dan tindakan kekeraan.25
Artinya berdialog, berdiskusi atau berbantah-bantahan harus menggunakan
argumen yang kuat, didasarkan dengan prinsip keilmuan, pengendalian
diri dan emosi dengan sebaik-baiknya, tidak memaksakan pendapat atau
kehendaknya sendiri, bersikap toleran dan menghargai pendapat orang
lain. Melalui pemahaman inilah, akhirnya muncul rasa saling menghormati
dan menghargai, mendorong seseorang untuk bersikap bijaksana dan
berlaku adil.

E. Islam dan Perdamaian


Jika ditanya. “Apakah Islam adalah agama perdamaian?” Maka
jawabanya adalah “Ya”. Ini bisa di lihat dari definisi Islam itu sendiri
yang berasal dari kata aslama-yuslimu-islaman (berserah diri,
keselamatan, kesejahteraan). Kata tersebut bisa berarti perdamaian seperti
yang diartikan Al-Qur‟an dengan menggunakan kata al-silm.
Q.S. Al-Anfal: 61;

             

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah


kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Lafadz ‫ انسهى‬yang dimaksud adalah ‫ انصهح‬yakni bermakna damai.26
yang dimaksud damai disini tentu bukan sekedar damai begitu saja. tetapi

24
Al-Razi, Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), jilid 10 hlm
142.
25
al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, (Beirut: Dr al-kutub al-„Ilmiyyah, tt) jilid 2, hlm 619.
26
Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalin, (Beirut: Dar Ihya‟ al-
Turots al-„Arobi, 1999), cet I, hlm 184.
12
Islam memberikan penjelasan makna perdamaian dalam konteks
keberagamaan dan kehidupan sosial secara umum, baik secara individual
maupun golongan, baik antara internal Islam maupun non-Muslim.
Islam menekankan hubungan yang baik kepada sesama manusia,
Menurut Ibn Khaldun; setiap manusia harus menjalin hubungan yang
harmonis dengan yang lain. Manusia pada hakikatnya adalah mahluk yang
senantiasa melakukan interaksi sosial.27 hal ini merupakan langkah awal
menuju perdamaian, karena perdamaian merupakan salah satu bentuk
ukuran tertinggi dalam peradaban manusia. Islam juga menyeru kepada
umat manusia untuk hidup rukun saling tolong menolong dalam
melakukan perbuatan mulia dan mengajak mereka untuk saling bahu
membahu menumpas kedzaliman, saling bertoleransi atas segala
perbedaan yang ada dalam rangka mencegah terjadinya pertikaian yang
dapat merugikan semua pihak dengan harapan menciptakan kehidupan
yang damai dan sejahtera sebagai wujud Islam rahmatan lil ‘alamin.

27
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Kairo: Dar ibn Haytsam, 2005), hlm 34.
13
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Dari uraian di atas menyatakan secara tegas bahwa Islam bukan
hanya sebagai agama yang berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar
atau pilar-pilarnya secara detail dan komprehensif. Tetapi Islam juga
merupakan peradaban yang memberikan rumusan tegas terhadap nilai-
nilai kemanusiaan secara universal.
Islam merupakan paham keagamaan yang moderat, toleran,
harmonis, mengedepankan kasih sayang, perdamaian dunia, persaudaraan
dan persatuan, menjelaskan kebebasan beragama dan kerukunan. Hal
tersebut merupakan tujuan disyari‟atkannya Islam yaitu sebagai agama
yang terbaik dalam mengayomi seluruh lapisan masyarakat sehingga
terwujudlah Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta
alam).

B. Saran
Sebagai seorang muslim hendaknya kita berusaha untuk terus
memahami al-Qur'an, yang telah Allah berusaha mengamalkan perintah
dan menjauhi larangan-larangannya dengan sebaik-baiknya, sehingga kita
selamat baik di dunia maupun di akhirat.
Sebagai mahluk dibekali dengan jiwa dan akal pikiran. Hendaklah
kita gunakan untuk memperluas wawasan dan memperdalam ketakwaan
dengan mendalami isi al-Qur'an. Dan selanjutnya diamalkan dalam
kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara dengan satu tujuan yaitu
menyembah hanya kepada Allah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Yusuf Ali, 1993, The Holy Quran: Text and Translation, Islamic Book
Trust. Edisi terjemah oleh Ali Audah, Al-Qur’am, Terjemah dan
Tafsirnya, (Jakarta: Pustaka Firdaus).

Abi Thohir Muhammad bin Ya‟qub al-Faruzabadi, tt, Tanwir al-Miqbas min
Tafsir ibn ‘Abbas, (Surabaya: al-Hidayah).

Achmad Muchji, 1994, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Gunadarma).

Akbar S. Ahmed, 1993, Posmodernisme dan Harapan Bagi Islam, (Bandung:


Mizan)

Al-Razi, 1993, Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr), jilid
10.

Al-Syatiby, tt, al-Muwafaqat fi Ushul al- Syari’ah, (Kairo: Mustafa Muhammad),


Jilid 2.

Al-Zamakhsyari, tt, Tafsir al-Kasyaf, (Beirut: Dr al-kutub al-„Ilmiyyah) jilid 2.

H.M. Atho Mudzhor, 2007, Pendekatan studi Islam dalam Teori dan Praktek.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar).

Ibn Katsir al-Dimasyqi, 2011, Tafsir Al-Qur’an al-Adzim, (Bairut: Dar al-Fikr) juz
1.

Ibn Katsir al-Dimayqy, 2009, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Beirut: Dar al-Fikr) Juz
3.

Ibn Khaldun, 2005, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Kairo: Dar ibn Haytsam).

Ibn Qayyim, tt, I’lam al-Muaqi’in Rabb al- ‘Alamin, (Beirut: Dar al-Jayl) Jilid 3.

Imam Mala „Abdullah, tt, Matn al-Bina’ wa al-Asas, (Surabaya: Maktabah Al-
Hikmah).

Imam Nawawi, tt, Marah Labid al-Nawawi,(Surabaya: Dar Al-Ilm).

Imam Taqiyyuddin Abi Bakr bin Muhammad, tt, Kifayat al-Akhyar, (tp) juz 1.

Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, 1999, Tafsir al-Jalalin, (Beirut:


Dar Ihya‟ al-Turots al-„Arobi), cet I.

Jalaluddin As-Suyuthi, 2002, Lubab an-Nuqul fi Asbabi an-Nuzul, (Bairut: Dar al-
Fikr).

15
Majelis Permuyawaratan Rakyat, 2012, Panduan Pemasyarakatan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Ketetapan MPR RI,
(Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI) cet XI.

Muhammad bin „Alawi al-Maliki, 1986, Zubdat al-Itqon fi Ulum al-Qur’an,


(Jeddah: Dar al-Syuruq), cet III.

M. Quraish Shihab, 2012, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW dalam sorotan
Al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih, (Tangerang: Lentera Hati), cet III.

M. Rasyid Ridha, tt, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr) cet II, Juz 3.

Nurcholis Madjid, 1992, Islam Doktrin dan Peraban, (Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina).

Nor Ichwan, 2002, Memahami Bahasa Al-Qur’an; Refleksi Atas Persoalan


Linguistik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) cet I.

Wahbah Zuhaili, 1991, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-


MAnhaj, (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir), juz 3, cet I.

16

Anda mungkin juga menyukai