Anda di halaman 1dari 10

Page | 1

Studi Syariat Islam Di Aceh

QANUN SYARI’AT ISLAM

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Syariat Islam di Aceh
Pada Jurusan Pendidikan Biologi, Prodi Tarbiyah dan Keguruan

Dosen Pembina : Hamdina Wahyuni, M.Ag

Disusun oleh:

Miftahul Chaera
200207048
Unit 1 (satu)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


UIN AR-RANIRY
2021/2022

1
Page | 2

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.


Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah senantiasa melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga Saya dalam keadaan sehat walafiat dalam menjalankan aktivitas
sehari-hari. Saya juga panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan keridhoannya
makalah dengan judul “Qanun Syariat Islam” ini dapat terselesaikan. Makalah ini
menjelaskan tentang pengertian eksitensi dan esensinya.
Harapan Saya, makalah ini dapat di mengerti dan di pahami oleh teman-teman yang
membacanya sehingga dapat memberi kontribusi yang bermanfaat bagi kita semua.
Sebelumnya Saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenaan dan Saya memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa
depan, saya terima dengan senang hati dan kami ucapkan terima kasih.

Wassalammualakum warohmatullohi wabarokatuh..

Takengon, 15 september 2021

Penulis

2
Page | 3

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................4
A. Pengertian Qanun syariat islam di Aceh.........................................................4
B. Eksitensi Syariat Islam di Aceh.......................................................................8
BAB II PENUTUP..............................................................................................10
A. Kesimpulan ...................................................................................................10

3
Page | 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengertian Qanun

Qanun merupakan Peraturan Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah


yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Propinsi
atau daerah Kabupaten. Bahasa Qanun hanya dipakai di daerah Propinsi Aceh,
sedangkan propinsi lain di Indonesia memakai nama Peraturan Daerah (Perda). Setiap
Qanun yang dikeluarkan berisikan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan adalah otonomi daerah. Otonomi
daerah merupakan titik fokus yang penting dalam rangka memperbaiki kesejahteraan
rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan
potensi dan kekhasan daerah masing-masing, seperti daerah Aceh yang mempunyai
perda (Qanun) yang berbeda dengan Propinsi lainnya.

Macam – macam Qanun

1. Qanun No. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat


2. Qanun Nomor 7 tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat
3. Qanun No. 2 Tahun 2006 Tentang Pemberdayaan Masyarakat di Bidang TI
4. Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat
5. Qanun No. 13 Tahun 2003 Tentang Maisir
6. Qanun No. 12 Tahun 2003 Tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya
7. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan syariat Islam Bidang Aqidah
Ibadah dan Syi’ar islam
8. Qanun No. 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam

Namun demikian, secara formal keberadaan Syari’at Islam baru diakui secara
hukum dan dapat diterapkan secara kaffah di Nanggroe Aceh Darussalam, sejak
lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaran
keistemewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

4
Page | 5

Sejak itulah, dimulailah era baru pelaksanaan hukum Syari’at di Propinsi


Nanggroe Aceh Darussalam, dimana sejak saat itu hukum Islam sudah dapat dijadikan
hukum positif dan memberi peluang sangat luas untuk melahirkan Qanun-Qanun
Syari’at yang dapat mengatur setiap sisi kehidupan masyarakat Aceh, baik dalam
bidang Ibadah, mu’amalah/ekonomi, ahwal al-syakhishiyah/ hukum keluarga,
jinayah, pidana, zakat dan bidang lainnya.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaran
keistemewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh tersebut telah menjadi tonggak sejarah
bagi pemberlakuan hukum Islam secara kaffah di Indonesia di Indonesia khusunya di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dimana undang-undang ini telah memberi
peluang kepada masyarakat Aceh, untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum
positif yang berlaku dalam setiap aspek kehidupan. Pada prinsipnya tujuan syari'at
Islam yang dijabarkan dalam sejumlah Qanun syari'at di Aceh adalah penataan hal
ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual,
bermasyarakat dan bernegara. Khususnya kandungan utama Qanun Nomor 11 Tahun
2002 tentang Pelaksanaan Syari'at Islam bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam
berupaya memilah dan mengelaborasi lebih jauh peraturan daerah No. 5/2000 tentang
pelaksanaan syari'at Islam.
Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari'at Islam bidang
Akidah, Ibadah dan Syiar Islam pada pasal 13 yang berbunyi :
1) Setiap orang Islam wajib berbusana muslim.
2) Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan atau
institusi masyarakat wajib membudidayakan berbusana muslim
dilingkungannya.

Penjelasan yang dimaksud Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan


Syari'at Islam bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam pada pasal 13 adalah :

1) Ayat (1), berbusana Islami adalah pakaian yang menutup aurat yang tidak
tembus pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk lekuk tubuh.
2) Ayat (2), wajib membudidayakan berbusana Islami, maksudnya bertanggung
jawab terhadap pemakaian berbusana Islami oleh pegawai, anak didik atau
karyawan (karyawati) di lingkungan masing-masing, termasuk pada saat
kegiatan olah raga.

5
Page | 6

Pemerintah Aceh yang mengatur Syari’at Islam berbusana muslimah adalah


Kantor Syairat Islam, WH (Wilayatul Hisbah), dan MPU (Majelis Permusyawaratan
Ulama). Pemerintah daerah menunjukkan keseriusan dalam penegakan Syari’at Islam
secara kaffah di Nanggore Aceh Darussalam dengan mengeluarkan peraturan daerah
(Perda) Nomor 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam pada pasal 15 yaitu
sebagai berikut :

1. Ayat (2), Pemerintah Daerah dan institusi masyarakat wajib mencegah dan
meniadakan perilaku masyrakat yang tidak sesuai dengan prinsip Syari’at
Islam.
2. Ayat (3), Setiap muslim dan muslimah wajib berbusana sesuai dengan
tuntunan ajaran Islam, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam
pergaulan masyarakat.
3. Ayat (4), setiap pemeluk agama selain agama Islam diharapkan
menghormati dan menyesuaikan pakaian/berbusananya sehingga tidak
melanggar tatakrama dan kesopanan dalam masyarakat.
4. Ayat (5), para pelancong/Wisatawan dari luar daerah/luar negeri supaya
dapat menyesuaikan tindakan, legiatan dan berbusananya dengan
kehidupan masyarakat Aceh yang Islami.

Dasar-dasar hukum Islam yang berhubungan dengan Qanun berbusana muslim


terdapat dalam Alqur’an surah Al-Ahzab ayat 59, yang artinya :

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri


orang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya kesulurh tubuh mereka,
yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu dan Allah adalah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”.

Selanjutnya dalam Alqur’an surah An-Nur ayat 31 yang artinya: “Hendaklah


mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya kesuali yang (biasa) Nampak dari padanya”

Imam Qurthubi meriwayatkan bahwa, “Rasulullah memerintahkan kepada istri-


istrinya, anak-anak wanita dan wanita-wanita beriman untuk mengulurkan jilbabnya

6
Page | 7

adalah agar dapat dibedakan antara sifat-sifat wanita jahilyah dengan wanita-wanita
muslimah. Disamping itu agar mereka tidak diganggu oleh laki-laki jahil”.

Di dalam kitab al-Muhadzdzab juz 1/64, Imam al-Syiraaziy berkata :

“Hadist yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khuduriy, bahwasanya Nabi saw
berasbda, “Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut. Sedangkan aurat wanita
adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan”.

Dalam kenyataannya, pelaksanaan syari'at di bidang akidah, ibadah dan syiar


Islam, khusunya tentang berbusana Islami, menjadi terhambat akibat dari
kencenderungan masyarakat mengikuti arus budaya global sebagai identitas dari
pergaulan bebas. Mengikuti trend kemajuan zaman yang dalam batas melanggar etika
agama, sosial dan budaya. Tidak jarang ditemukan kejadian pendangkalan nilai-nilai
agama dan adat budaya dalam berbusana, yang dulunya sangat dijunjung tinggi oleh
masyarakat. Dampak dari itu semua melahirkan generasi yang hampa terhadap nilai-
nilai keagaman dan ajaran moral.

7
Page | 8

B. Eksitensi / keberadaan Qanun Syariat Islam di Aceh


Sementara itu sejak pertengahan abad ke-20, rakyat Aceh diliputi oleh berbagai
macam pergolakan baik alasan internal maupun eksternal. Syari’at Islam yang sudah
lama terpatri dalam jiwa masyarakat mulai ditinggalkan dalam kehidupan. Pergolakan
yang terjadi di Aceh yang dilatar belakangi oleh faktor politik pada ujungnya
melahirkan konflik dan perang bersaudara yang menewaskan ribuan nyawa di Aceh,
namun semangat masyarakat Aceh dalam mengamalkan nilai-nilai agama (Islam) masih
sangat kental.
Peranan agama adalah modal utama bagi bangsa Aceh. Hal tersebut tercermin
dalam sikap perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajahan Belanda dan kependudukan
Jepang pra kemerdekaan Republik Indonesia. Pasca kemerdekaan, perjalanan politik
Indonesia terus mengalami benturan dan dinamika, perubahan yang sarat kepentingan
dan kekuasaan. Pasang surut perjalanan perpolitikan Indonesia pada akhirnya berujung
kepada konflik, terutama Aceh.
Pemberlakuan syari’at Islam di Aceh pada dasarnya bukanlah hal yang asing,
karena dalam catatan sejarah, Aceh masa kerajaan sudah memperlakukan syari’at Islam
dalam kehidupan baik bermasyarakat maupun bernegara. Artinya syari’at Islam di Aceh
sudah mengakar semenjak tempoe dulu, sehingga tidak asing pendengarannya bagi
masyarakat Aceh terhadap penerapan syari’at Islam di awal abad ke 20 tersebut. Namun
sejak tatanan sosial dan politik (social and political order) dicabik masa penjajahan dan
perang, formalisasi syari’at Islam terkendala secara signifikan.
Kebijakan pemerintah yang mengeluarkan undang-undang nomor 44 tahun 1999
dan dikuatkan dengan undang-undang nomor 18 tahun 2001 di mana formalisasi syari’at
Islam merupakan poin utama yang ditekankan dalam menyelesaikan konflik, akan tetapi
formalisasi syari’at Islam tidak secara langsung dapat menyelesaikan konflik yang
berkepanjangan di Aceh, karena konflik yang berkepanjangan yang dimulai dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 1976, tidak menegaskan formalisasi syari’at
Islam sebagai bagian dari agendanya.
Namun formalisasi syari’at Islam tersebut diharapkan mampu menjadi solusi
yang menyeluruh dan bermartabat bagi Aceh dimasa mendatang. Pemberlakuan syari’at
Islam di Aceh tidak semata-mata hanya dalam rangka proses penyelesaian konflik. Akan
tetapi pada dasarnya adalah merupakan keinginan oleh masyarakat Islam Aceh sendiri
dengan dilandasi berbagai aspek nilai kehidupan yang terdapat dalam jiwa masyarakat,

8
Page | 9

baik karena dilandasi oleh aspek sejarah maupun jiwa sosial masyarakat Aceh itu
sendiri.
Islam adalah filosofi kehidupan masyarakat Aceh yang bermartabat dan
berperadaban. Di samping penerapan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh, seiring dengan
perjalanan masa dan waktu yang terus berlalu dan dinamika pemikiran manusia yang
dinamis, begitu juga dengan dinamisasi di semua sektor, seperti pertumbuhan
kependudukan, perkembangan ilmu pengetahuan menjadi tantangan tersendiri bagi
masyarakat Aceh khususnya pemerintah daerah dalam menerapkan syari’at Islam secara
kaffah.
Arus globalisasi yang berlangsung seiring dengan perkembangan zaman,
penduduk Aceh saat ini tidak hanya saja yang beragama Islam, kendatipun mayoritas.
Terdapat juga penduduk Aceh yang beragama selain agama Islam, seperti Kristen,
Budha, dan Hindu. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya rumah ibadah masing-masing
agama yang ada di Aceh, khususnya Banda Aceh.
Dalam sejarah kemerdekaan, Indonesia menempatkan masyarakat Aceh pada
posisi yang khas, kekhasan masyarakat Aceh terutama pada persoalan agama. Syari’at
Islam dalam masyarakat Aceh adalah bagian dari tidak terpisahkan dari tradisi, adat dan
budayanya, dengan artian hampir seluruh tatanan kehidupan keseharian masyarakat
diukur berdasarkan standar ajaran Islam yaitu merujuk pada keyakinan keagamaan,
kendatipun mungkin terdapat pemahaman-pemahaman atau interpretasi masyarakat
yang tidak selalu dan relevan.
Disinilah letak muatan psikologis pentingnya penerapan syari’at Islam bagi
masyarakat muslim. Dan ini juga menjadi bagian penting dari alasan pelaksanaan
syari’at Islam di Aceh sangat menentukan masa depan Aceh.

9
Page | 10

BAB II

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Qanun merupakan Peraturan Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah yang
mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Propinsi atau
daerah Kabupaten.
2. Bahasa Qanun hanya dipakai di daerah Propinsi Aceh, sedangkan propinsi lain di
Indonesia memakai nama Peraturan Daerah (Perda).
3. Setiap Qanun yang dikeluarkan berisi kan hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan adalah otonomi
daerah.
4. Qanun ini berlaku sejak 4 Januari 2019, dengan lembaga keuangan yang beroperasi
di Aceh wajib menyesuaikan dengan aturan ini paling lama tiga tahun
sejak Qanun diundangkan.
5. Syariat Islam di Aceh telah berlaku di Aceh sejak sebelum kemerdekaan Republik
Indonesia, yaitu sejak memerintahnya Raja Iskandar Muda. Kemudian dilanjutkan
masa setelah Kemerdekaan, masa Orde baru, revormasi dan sampai dengan masa
sekarang ini.
6. Aturan busana muslim pasal 13 dan pasal 23 Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang
pelaksanaan syariat islam di bidang akidah, ibadah dan syiar islam mewajibkan setiap
orang islam wajib berbusana muslim dan pimpinan instansi pemeritah, lembaga
pendidikan, badan usaha dan atau instansi masyrakat wajib membudayakan busana
islami dilingkungannya. Setiap masyarakat dikenakan hukuman pidana saat
melanggar aturan busana ini, dengan adanya aturan ini perempuan merupakan pihak
yang sangat merasa dirugikan. Aturan busana musli ini lebih ketat terhadap
perempuan dibandingkan lelkai maka ada dampak diskriminatif yang dialami oleh
perempuan, pihak perempuan juga merupakan pihak yang sering terkena hukum dari
aturan busana muslim ini.

10

Anda mungkin juga menyukai