Syahrullah Asyari
Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNM
Email: syahrullah_math@unm.ac.id
1
dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu). Selain hadits itu, Rasulullah pun sangat
memotivasi para sahabatnya agar belajar membaca dan menulis. Oleh karena itu, beliau
mengharuskan kepada setiap tawanan Perang Badar yang ingin bebas, sementara dia
pandai membaca dan menulis, sementara dia tidak mampu menebus dirinya dengan
harta, agar mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang Islam (HR. Imam Ahmad, dari
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma). Beliau juga memotivasi para sahabat untuk
mempelajari dan mengajarkan berbagai bahasa ketika mengirimkan para delegasinya
kepada para penguasa dan pemimpin negara di luar Jazirah Arab. Beliau juga
menyarankan kepada Zain bin Tsabit agar mempelajari tulisan dan bahasa Yahudi,
karena merasa tidak nyaman dari ancaman mereka (HR. Bukhari).
Islam yang suci datang untuk membebaskan manusia dari masa-masa kegelapan
menuju cahaya dan mendorong mereka untuk membangun komunitas masyarakat
muslim yang bertumpu pada cinta dan kasih sayang, jaminan sosial, keadilan,
keimanan, kehormatan dalam bermuamalah, mengikuti ajaran-ajaran Islam sebagaimana
yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan diperkuat dengan penjelasan Rasulullah
Muhammad, sebagai utusan-Nya yang dapat dipercaya.
Tidaklah logis bagi mukmin yang cerdas untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an
datang untuk memberikan solusi kepada manusia tentang hukum al-jabar dan geometri,
serta menjelaskan perbedaan aritmatika dan integral. Sebab hal-hal semacam ini
bukanlah tugas beliau dengan risalahnya. Akan tetapi, Al-Qur’an cukup memotivasi
kepada orang-orang yang beriman agar senantiasa melakukan studi dan penelitian,
mengamati, mengaktifkan akal dan pemikirannya demi memperkuat keimannya kepada
Allah subhanahu wata’ala dan kehidupan ini.
Di antara faktor-faktor terpenting yang mendorong kemajuan ilmu-ilmu
matematika di bawah naungan peradaban Islam adalah upaya masyarakat dalam
menerapkan hukum-hukum syari’at dan menjalankan ibadah dan manasik mereka
dengan sesempurna mungkin dan bertujuan mendapatkan ridha Allah dan utusan-Nya.
Pada awalnya umat Islam mengembangkan ilmu matematika karena kebutuhan mereka
sehari-hari, seperti menentukan waktu-waktu shalat dan permulaan bulan Ramadhan
yang penuh berkah, mengenali arah kiblat, dan pembagian warisan ataupun ghanimah di
antara orang-orang yang dapat memanfaatkan atau berhak menerimanya secara legal
dan adil.
Dalam Al-Qur’an, Allah menjelaskan hukum-hukum harta warisan secara rinci
dan menurunkan beberapa ayat-Nya berkaitan dengan ilmu faraidh, atau ilmu tentang
pembagian harta warisan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah,
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh
separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) seperdua
2
dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.
jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,
Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. An-Nisa: 11-12).
Kemudian ayat lain dari akhir surat An-Nisa’ disebutkan, “Mereka meminta fatwa
kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh
harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS.
An-Nisa: 176).
Adapun mengenai pembagian ghanimah, maka hal ini sebagaimana yang
disebutkan dalam firman Allah dalam surat Al-Anfal, “Ketahuilah, Sesungguhnya apa
saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, Maka Sesungguhnya
seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan
kepada hamba kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua
pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal: 41)
Mengenai arti penting bilangan dan aritmetika dalam mengetahui jumlah hari,
penjumlahan, bulan, tahun, penentuan waktu dan jatuh tempo pembayaran utang,
ibadah-ibadah, mu’amalah, dan ijazah serta berbagai kebutuhan manusia yang lain,
maka dalam QS. Al-Isra’: 12, Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Dan kami jadikan
malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda malam dan kami
jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya
kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu Telah
kami terangkan dengan jelas.”
Terdapat masih banyak ayat lain dalam Al-Qur’an yang memotivasi umat Islam
agar mengembangkan ilmu pengetahuan dan memanfaatkannya demi mengelola urusan
agama dan dunia mereka, menjamin kebebasan berpikir ilmiah, mengambil kesimpulan
dan merumuskan hukum alam raya dan tatanan sosial masyarakat, memperlihatkan
tanda-tanda dan hakikat ilmiah, yang diharapkan semakin mendorong mereka
mempercayai kemukjizatan Al-Qur’an di setiap waktu dan tempat tanpa memaparkan
3
lebih mendetail, yang merupakan tugas akal manusia dan aktivitasnya dalam batas-batas
yang dimungkinkan sebagaimana Allah menitiskannya di dalamnya.
Ketika Allah membahas dan membagi harta warisan secara langsung, serta
menurunkan hukum atau ilmu faraidh secara mendetail karena adanya hikmah di
dalamnya berdasarkan pengetahuan-Nya, maka hal itu dikarenakan pengetahuan Allah
tentang perkara yang baik dan bijak bagi ciptaan-Nya dengan syari’at dan kewajiban
yang diterapkan-Nya. Kalaulah Allah menyerahkan permasalahan tersebut kepada
manusia, maka tentu mereka tidak memahami manakah di antara perkara-perkara itu
yang paling baik dan bermanfaat bagi mereka. Dengan begitu, mereka berpotensi
menyia-nyiakan harta benda tanpa arti.
Beginilah para ilmuwan muslim mendapatkan motivator terbaik dalam agama
mereka untuk belajar dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Karena itu, mereka terus
bergerak dan bergerak mendorong roda kemajuan pemikiran manusia di semua cabang
ilmu pengetahuan, tak terkecuali matematika. Mereka mulai menerjemahkan warisan
budaya dan peradaban klasik, serta mendalami berbagai teori aritmetika, al-jabar,
geometri, dan trigonometri, baik dari bangsa India, Mesir, maupun Yunani. Setelah itu,
mereka memasuki fase penulisan dan penemuan-penemuan ilmiah, merumuskan
prinsip-prinsip penelitian eksperimen modern dengan menggunakan contoh-contoh
matematika, menggunakan metode ilmiah yang benar dalam merumuskan hukum-
hukum dan teori berdasarkan asumsi-asumsi, serta postulat-postulat yang mengantarkan
ke sana. Oleh karena itu, sangat wajar, jika metode ilmiah tersebut menghasilkan
berbagai penemuan dalam cabang-cabang baru dari ilmu matematika, dan
mengembangkan cabang-cabang lainnya. Realita ini mendorong para pakar matematika
bersepakat untuk menyatakan bahwa para ilmuwan Arab dan umat Islam pada masa
kejayaan peradaban Islam merupakan guru besar dalam bidang matematika bagi masa
peradaban Eropa modern.
Pada bagian C artikel ini, kami mengemukakan beberapa contoh kontribusi
besar hasil pemikiran para ilmuwan Arab dan umat Islam dalam mengembangkan dan
memajukan pemikiran manusia dalam bidang matematika di Dunia Timur, maupun
Barat. Sebenarnya ilmuwan muslim dan kontribusinya sangat banyak. Namun, karena
terbatasnya halaman dalam artikel ini, sehingga tidak memuat berbagai penemuan
ilmiah para matematikawan muslim pada masa kejayaan peradaban Islam di bidang
ilmu matematika. Mengetahui kontribusi mereka, setidaknya menjadi penambah
semangat bagi pelajar muslim, pada khususnya, dan semua pelajar pada umumnya
untuk terus berkontribusi dalam mengembangkan dan memajukan pemikiran manusia
berlandaskan kitab suci.
4
Pada zaman keemasan peradaban Islam, dari Dinasti Umayyah hingga Dinasti
Abbasiyyah, banyak khalifah dan pemimpin pemerintahan yang mendukung dan
mencanangkan gerakan ilmiah dengan menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan inovasi para ilmuwannya. Oleh karena itu,
mereka membangun berbagai lembaga pendidikan, perpustakaan, pusat-pusat kajian
ilmu pengetahuan, melakukan pencarian terhadap buku-buku dan berbagai manuskrip
ilmiah, serta mendapatkannya dari berbagai sumber. Dalam hal ini, mereka berlomba-
lomba dalam memuliakan ilmu pengetahuan dan menarik perhatian para ulama.
Para khalifah, pemimpin pemerintahan dan hartawan pada zaman keemasan itu
begitu perhatian terhadap gerakan ilmiah dan pembentukan komunitas ilmuwan. Mereka
membelanjakan harta benda mereka dengan senang hati, baik karena kecintaan mereka
terhadap ilmu pengetahuan, maupun untuk menghiasi forum-forum pertemuan mereka
dengan para ilmuwan. Misalnya, Khalifah Al-Makmun memberikan hadiah kepada
Hunain bin Ishaq berupa emas seberat buku-buku yang berhasil diterjemahkannya.
Selain itu, Sultan Mas’ud Al-Ghaznawi pernah mengirimkan tiga ekor unta lengkap
dengan barang-barang bawaannya seperti emas dan perak kepada Al-Biruni sebagai
kompensasi atas karyanya Al-Qanun Al-Mas’udi. Akan tetapi, Al-Biruni enggan
menerima hadiah tersebut karena keyakinannya bahwa mengabdi demi ilmu
pengetahuan, bukan demi harta.
Para khalifah dan pemimpin pemerintahan juga berlomba-lomba membangun
dan melengkapi perpustakaan-perpustakaan mereka dengan semua karya tulis yang
berhasil dipersembahkan para ilmuwan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Kita
bisa menyebutkan dua di antaranya. Pertama, perpustakaan Al-Aziz Billah Al-Fathimi
di Kairo yang memiliki koleksi buku sebanyak satu juta enam ratus jilid, lengkap
dengan daftar koleksinya. Begitu juga dengan perpustakaan Darul Hikmah di Kairo
yang memiliki koleksi buku sebanyak seratus ribu jilid, enam ratus di antaranya adalah
manuskrip dalam bidang matematika dan astronomi. Hal yang sama juga terjadi pada
perpustakaan Darul Kutub di Kordova yang memiliki koleksi buku sebanyak empat
ratus ribu jilid, di mana daftar bukunya mencapai empat puluh empat jilid. Kedua,
perpustakaan pribadi milik Ash-Shahib bin Abbad. Perpustakaan ini adalah
perpustakaan yang besar. Ketika Sang Sultan meminta kesediaan Ash-Shahib bin Abbad
menjadi salah satu menterinya, ia enggan menerimanya dan meminta maaf. Hal ini
karena ia harus menjaga dan merawat buku-buku ilmiah yang tidak mampu dibawa oleh
empat ratus ekor unta atau lebih dari itu. Daftar bukunya sendiri mencapai sepuluh jilid.
Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan yang nampak dari banyaknya buku, bukan
hanya terbatas pada para khalifah dan pemimpin pemerintahan atau pada segelintir
ilmuwan saja, tetapi juga menjadi hobi masyarakatnya dengan keragaman jenis mereka.
Oleh karena itulah, sehingga seorang orientalis menyebutkan bahwa perpustakaan
pribadi masyarakat Arab yang berukuran sedang pada abad ke-10 M memiliki koleksi
buku lebih besar dibandingkan koleksi buku yang ada di perpustakaan-perpustakaan
Barat secara keseluruhan. Situasi dan kondisi ini tentu berbanding terbalik dengan
kondisi bangsa Eropa pada abad pertengahan, yang membuktikan sejauhmana
ketertinggalannya dengan dunia Arab-Islam. Hal tersebut dipertegas dengan pernyataan
para pakar sejarah tentang sikap dan gaya hidup mereka yang tenggelam dalam
gelapnya kebodohan, sihir, dan mistis.
Berbagai perpustakaan besar tersebar di seluruh negara Islam. Semua masjid
raya dilengkapi dengan sebuah perpustakaan besar yang menjadi referensi dan tujuan
utama para penuntut ilmu dari segala penjuru negeri. Para ulama dan pelajar dari
5
perpustakaan-perpustakaan ini sering mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan
berbagai isu dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Sementara itu, para penuntut
ilmu berkelana ke daerah-daerah Arab-Islam yang memiliki peradaban maju demi
mendalami ilmu pengetahuan. Apabila mereka bermalam di suatu wilayah asing,
mereka pun mendapatkan tempat berlindung, makanan, dan ilmu pengetahuan, yang
dapat mereka peroleh secara gratis dari para ilmuwan dan ulama terkemuka. Masjid
Raya Al-Azhar di Kairo, Masjid Raya Al-Manshur di Baghdad, dan Masjid Raya Al-
Qairawan di Maroko, serta Masjid Raya Kordova di Andalusia merupakan beberapa
masjid raya yang menjadi tujuan para pelajar dan kaum intelektual dari berbagai penjuru
negeri yang jauh.
6
Pada masa peradaban-peradaban sebelum Islam, sebagian besar angka-angka ditulis
dalam bentuk gambar-gambar dan huruf. Dalam peradaban Mesir, mereka
menggunakan angka berikut.
Dalam peradaban Yunani Kuno, contoh angka yang digunakan adalah sebagai berikut.
Dalam peradaban Romawi, angka yang digunakan, contohnya adalah sebagai berikut.
7
Khusus angka nol, sebenarnya peradaban Mesir Kuno (3000-300 SM), maupun Yunani
Kuno (700-400 SM) belum mengenal angka nol. Hal ini karena dalam kehidupan saat
itu, mereka belum membutuhkan angka nol. Adapun peradaban Babilonia sudah
mengenal angka nol yang disebut nol purba untuk menggambarkan sebuah ketiadaan.
Nol purba itu dilambangkan dengan gambar dua buah cuneiform yang dicetak miring
sebagai berikut.
Angka nol ini selalu ditempatkan di antara angka dan tidak pernah diletakkan pada akhir
angka (belakang angka), karena simbol pengganti angka nol tersebut tidak pernah bisa
berdiri sendiri. Penggunaan nol tersebut misalnya untuk membedakan 205 dari 2005.
Pada 458 M, seorang berkebangsaan India bernama Brahma Gupta telah
menemukan angka nol dengan menggunakan simbol berupa titik di bawah angka.
Namun status nol di sini masih sama dengan status nol pada peradaban Babilonia, angka
nol belum masuk pada penempatan bilangan yang mampu berdiri sendiri seperti
bilangan lainnya. Bahkan, angka nol di India tidak begitu populer dalam perhitungan
sehari-hari, karena merupakan hak istimewa (privileges) para pendeta Hindu dalam
komunikasi antara mereka saja. Matematika India pun terus berkembang dengan
pencarian status nol.
Akhirnya, pada peradaban Arab-Islam, adalah Al-Khawarizmi yang
memasukkan nol ke dalam sebuah bilangan dengan status yang berdiri sendiri seperti
halnya angka satu sampai sembilan. Angka nol sendiri dideskripsikan secara jelas atas
peranannya dalam sistem komputasi dan sistem penempatan bilangan yang ditulis dalam
bukunya al-Jabr wal Muqobalah pada tahun 773 M. Dalam buku itu disebutkan bahwa
angka nol merupakan bagian dari angka Arab yang didasari sistem bilangan di India.
Kemudian, al-Khawarizmi memberi tanda lingkaran kecil dalam melambangkan
ketidakadaan yang hingga kini disebut dengan angka nol. Dengan demikian, kita dapat
mengatakan bahwa nol yang kita gunakan saat ini adalah nol yang datang dari Timur,
dari seorang ilmuwan Muslim, bukan dari Barat.
Singkatnya, kalau kita melihat angka-angka yang dikemukakan oleh Al-
Khawarizmi yang digunakan sampai saat ini, dibandingkan dengan angka-angka pada
peradaban sebelum Islam, maka Barat maupun Timur saat ini mestinya berterimakasih
kepada ilmuwan Muslim, Al-Khawarizmi, atas besarnya jasa beliau rahimahullah
dalam memudahkan penyelesaian berbagai masalah kehidupan dengan adanya angka
yang ia temukan. Saat ini, kita semua sudah merasakan manfaat kemudahan aritmetika
dengan sistem yang dikemukakan oleh Al-Khawarizmi yang tidak akan pernah kita
temukan dalam beberapa peradaban sebelum Islam. Bahkan, kita berani mengatakan
bahwa pencapaian Barat saat ini dengan puncak kejayaannya dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, tidak akan bisa terwujud tanpa mengambil manfaat dari
temuan Al-Khawarizmi di bidang angka tersebut.
Kontribusi Al-Khawarizmi dalam teori matematika tidak berhenti sampai di situ.
Selain kontribusi teori angka yang sangat bermanfaat dalam aritmetika, Al-Khawarizmi
juga dikenal sebagai ilmuwan besar Islam yang menciptakan dan meletakkan dasar ilmu
Aljabar. Al-Khawarizmi adalah orang pertama yang menggunakan kata Aljabar, suatu
ilmu yang terkenal hingga sekarang dengan nama itu. Orang-orang Eropa telah
8
mengadopsi nama ini. Sampai saat ini pun, nama Aljabar dikenal dengan nama Arabnya
di seluruh bahasa Eropa. Dalam bahasa Inggris disebut Algebra dan dalam bahasa
Prancis disebut Algebre. Begitupula kata yang merujuk pada bahasa Eropa, seperti
algorithme/algorism, yang disandarkan pada nama Al-Khawarizmi. Muhammad bin
Musa Al-Khawarizmi pun dikenal sebagai sosok dengan sebutan Bapak Aljabar.
Pada periode Islam selanjutnya, al-Khawarizmi menyajikan enam persamaan
secara umum untuk menyelesaikan permasalahan terdahulu dalam matematika yang
belum terpecahkan. Permasalahan tersebut diselesaikan dengan menyederhanakan
persamaan menjadi salah satu dari enam bentuk baku (di sini b dan c adalah bilangan
bulat positif) berikut. (1) Kuadrat samadengan akar (𝑎𝑥 2 = 𝑏𝑥); (2) Kuadrat
samadengan bilangan konstanta (𝑎𝑥 2 = 𝑐); (3) Akar sama dengan konstanta (𝑏𝑥 = 𝑐);
(4) Kuadrat dan akar samadengan konstanta (𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 = 𝑐); (5) Kuadrat dan konstanta
samadengan akar (𝑎𝑥 2 + 𝑐 = 𝑏𝑥); dan (6) Akar dan konstanta samadengan kuadrat
(𝑏𝑥 + 𝑐 = 𝑎𝑥 2 ). Al-Khawarizmi menjelaskan bagaimana menyelesaikan contoh soal
seperti di atas dengan cara yang jelas, senada dengan metode yang digunakan sekarang
dalam buku-buku Aljabar.
Al-Khawarizmi juga menulis dalam bukunya, cara menyelesaikan persamaan
kuadrat secara geometris. Pada persamaan kuadrat 𝑥 2 + 10𝑥 = 39, Al-Khawarizmi
menyajikan pembuktian secara geometris dengan cara menggambar sebuah persegi
yang sisinya tidak diketahui untuk merepresentasikan 𝑥 2 . Selanjutnya, ia meletakkan
1
empat persegi panjang yang memiliki lebar 2 2 satuan pada tiap-tiap sisi persegi tersebut
untuk merepresentasikan 10𝑥. Jumlah luas dari persegi dan persegipanjang tersebut
adalah 39 satuan luas. Untuk membentuk sebuah persegi baru yang lebih besar menjadi
1
utuh, harus ditambahkan empat persegi pada tiap sudut dengan sisi 2 2. Sehingga luas
1 2
persegi baru adalah 39 + 4 (2 2) = 64 satuan luas. Karena persegi baru luasnya adalah
64 satuan luas maka didapatkan panjang sisi persegi baru tersebut adalah 8 satuan.
Sehingga didapatkan dengan mudah bahwa 𝑥 = 3.
Kitab Aljabar Wal Muqabalah sangat berarti secara ilmiah dan memiliki sejarah
yang besar. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robert of Chester
agar menjadi salah satu pendorong bagi kebangkitan keilmuan Eropa. Anehnya, ahli
sejarah Barat menyatakan bahwa lafaz Aljabar berasal dari nama Geber yang
merupakan pelesetan ke dalam bahasa Latin dari nama Astronom Andalusia, Jabir bin
Aflah Al-Asyili. Ini tentu kesalahan yang sangat menggelikan, karena Jabir hidup dua
abad setelah Al-Khawarizmi.
9
Seorang matematikawan terkemuka, Abu Kamil Syuja’ bin Aslam menegaskan
dalam bukunya Kitab Al-Washaya bil Jabar wal Muqabalah bahwa Al-Khawarizmi
adalah orang yang pertamakali menggagas Aljabar. Al-Khawarizmi sendiri
menyebutkan dalam pengantar bukunya bahwa Khalifah Al-Makmun yang
memerintahkan beliau untuk menulis buku Aljabar Wal Muqabalah dan dia selalu
memotivasinya. Oleh karena itu, tidak benar apabila ada yang mengatakan bahwa ilmu
Aljabar telah ada di tangan orang lain selain Al-Khawarizmi. Alasan yang paling
sederhana adalah bahwa munculnya ilmu Aljabar memerlukan perpaduan antara sistem
penjumlahan angka India dengan kaidah dan teori arsitektur sebagaimana yang
dikembangkan oleh bangsa Yunani. Jadi sekali lagi, tidak mungkin Aljabar ada sebelum
Al-Khawarizmi. Adapun ilmu Aljabar ini ada di mana-mana, ini bukan berarti bahwa
penemuan Al-Khawarizmi hanya sekadar mengoptimalkan hasil yang ada. Munculnya
aljabar yang telah menciptakan revolusi besar bagi ilmu-ilmu lainnya memerlukan
kejeniusan. Hal ini karena aljabar yang telah ada sebelumnya tidak sesederhana yang
kita kenal saat ini. Sebelumnya, rumus-rumus aljabar tidak pernah ada.
Al-Khawarizmi juga dikenal dalam bidang Trigonometri. Al-Khawarizmi
mempelajari hitungan Trigonometri dan mengadakan penelitian tentangnya. Dia adalah
orang yang pertamakali membuat dan menerbitkan tabel Trigonometri Arab, yang di
dalamnya juga terdapat Sinus dan Tan. Tabel-tabel ini telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin pada abad ke-12 M.
10
mengalihkan berbagai macam ilmu dari bahasa Latin ke dalam bahasa Arab pada masa
kejayaan terjemah.
Tsabit bin Qurrah pernah bertemu dengan Muhammad bin Musa Al-
Khawarizmi, seorang ilmuwan besar dalam bidang matematika. Al-Khawarizmi kagum
dengan kecerdasan Tsabit. Tsabit menunjukkan kesiapan mental dan akal untuk belajar
hingga akhirnya Al-Khawarizmi mengajaknya ke Baghdad, kiblat ilmu pada saat itu. Di
sana dia mengajarkan ilmu matematika, astronomi, kedokteran dan filsafat.
Tsabit bin Qurrah termasuk di antara para ilmuwan yang memiliki sejumlah
temuan. Beberapa di antaranya adalah bahwa Tsabit memperhatikan hubungan antara
ilmu aljabar dan geometri. Bahkan dia telah memberikan solusi teknis terhadap berbagai
jenis persamaan. Dia adalah orang yang pertamakali membahas dan menulis segiempat
ajaib. Setelah itu, barulah matematikawan lain mengikutinya. Segiempat ajaib adalah
segiempat yang dibagi pada sejumlah angka yang berada pada kolom mendatar dan
kolom menurun, sehingga menghasilkan jumlah yang sama, apabila dijumlahkan seperti
pada contoh berikut.
2 9 4
7 5 3
6 1 8
Gambar 7 Segiempat ajaib Tsabit bin Qurrah
Tsabit juga telah menelurkan sejumlah karya dalam ilmu matematika. Dalam
bidang aritmetika, di antaranya: Kitab Al-Madkhal ila Al-A’dad dan Kitab fi Al-A’dad
Al-Mutahabbah. Dalam bidang geometri, di antaranya: Kitab Al-Mukhtashar fil
Handasah, Kitab Al-Madkhal ila Iqlids, Risalah fi Ad-Dawair Al-Mutamassah, Risalah
fi Hajmi Al-Jism Al-Mutawallid ‘An (Dauran) Al-Qath’I Al-Mukaafi’, Kitab Masahati
Al-Asykal, dan Kitab fi-Al-Makhruth Al-Mukafi’. Adapun dalam ilmu geometri dan
aljabar, yaitu Kitab fi Tashhihi Masa’il Aljabar bi Al-Barahin Al-Handasiyyah.
Barat mengakui eksistensi karya Tsabit bin Qurrah. Di antara buktinya adalah
bahwa dalam biografi ilmuwan Prancis, Rene Descartes, dinyatakan bahwa Rene
Descartes telah dua puluh tahun mempelajari buku-buku matematika yang ditulis oleh
Tsabit bin Qurrah dan para ilmuwan Muslim lainnya. Selain karya-karya itu, Tsabit bin
Qurrah juga mengoreksi sebagian buku-buku Yunani yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab dalam bidang geometri.
11
pertamakali menghitung tabel matematika untuk mengetahui titik pada garis yang
bengkok. Bahkan, ia termasuk ilmuwan Arab yang pertamakali menggunakan rumus-
rumus untuk mempermudah menghitung dalam ilmu matematika.
12
ada di permukaan bulan. Dengan demikian, diharapkan bahwa penemuannya akan
dikenang sepanjang masa.
Ini merupakan salah satu rumus hasil kali dalam trigonometri. Kesulitan yang dialami
para ahli dalam mengalikan bilangan pecahan yang banyak dalam kegiatan astronomi
zaman itu menjadi terpecahkan dengan hukum atau rumus Ibnu Yunus ini. Rumus Ibnu
Yunus merupakan metode “prosthaphaeresis”. Sebagai contoh: perkalian 0,99027 ×
0,17365. Dari tabel trigonometri, diperoleh:
Dengan melihat tabel, maka perhitungan menjadi lebih mudah dan sederhana, yaitu
dengan menjumlah/mengurang dan membagi dua. Hukum atau rumus Ibnu Yunus
tersebut setelah penemuannya kemudian sangat terkenal dan meluas penggunaannya
hingga ke Eropa. Rumus-rumus hasil kali trigonometri yang lain pun akhirnya mendapat
1
kajian yang intensif seperti: sin 𝐴 . sin 𝐵 = 2 [cos(𝐴 − 𝐵) − cos(𝐴 + 𝐵)].
13
Di Eropa, John Napier kemudian merintis usaha selama 20 tahun untuk sampai
pada konsep logaritma dari gagasan “prosthaphaeresis” rumus Ibnu Yunus ini.
Logaritma yang dibentuk atas dasar ilmu ukur ini ternyata merupakan logaritma natural,
107
tetapi dalam bentuk yang belum baku, yaitu logaritma Napier untuk 𝑦 = 107 ln ( ).
𝑦
Karena berasal dari gagasan rumus Ibnu Yunus, maka daftar logaritma pertama yang
dihasilkan oleh Napier adalah logaritma dari fungsi trigonometri sinus, yaitu daftar pada
“Mirifici logarithmorum canonis descriptio” pada tahun 1614 M.
Adapun konsep logaritma yang diajarkan di sekolah-sekolah menengah
merupakan logaritma biasa yang dibangun atas dasar perpangkatan aljabar. Konsep
logaritma ini pertama kali ditulis pada tahun 1620 oleh Joost Burgi atau Justus Byrgius
(1552-1632 M). Demikianlah, konsep logaritma berawal dari usaha untuk mempercepat
proses perhitungan yang lama kelamaan berkembang di dalam matematika. George
Sarton dalam karyanya yang terkenal, “Introduction to The History of Science” antara
lain menyatakan bahwa di antara yang tidak diperdebatkan lagi adalah bahwa Ibnu
Yunus al-Mishri adalah orang pertama yang memberikan gagasan tentang logaritma
dengan hukum yang dikenal Hukum Ibnu Yunus. Penemuan ini lalu disusul oleh al-
Biruni lewat karya “Maqalid ‘ilm al-Hai’ah”, sebuah karya trigonometri bola yang
pertama di dunia. Suter, dalam “Encyclopedia of Islam” menyebutkan: “Hukum Ibnu
Yunus memainkan peranan penting di kalangan ilmuwan bidang astronomi sebelum dan
sesudah penemuan logaritma. Hukum ini bahkan merupakan fondasi pertama
penemuan ilmu logaritma”. Selain tentang ide awal logaritma, Ibnu Yunus (958 - 1009
M) juga adalah penemu pendulum atau “miswar”, yang oleh Barat dihubungkan kepada
Galileo Galilei (1564 - 1642 M) yang datang baru 6 abad kemudian.
Ibnu Yunus telah memberi inspirasi dan pengaruh bagi para astronom di dunia
Muslim maupun Barat. Salah satu astronom Muslim terkemuka yang banyak
menerapkan buah pemikiran Ibnu Yunus adalah al-Thusi. Lewat “Ilkhani zij” yang
ditulis al-Thusi, kita dapat melihat bahwa hasil penelitian Ibnu Yunus tentang bulan dan
matahari masih tetap digunakan. Selain itu, Banyak sumber mengklaim bahwa Ibnu
Yunus menggunakan sebuah bandul untuk mengukur waktu. Hal itu dicatat Gregory
Good dalam “Sciences of the Earth: An Encyclopedia of Events, People, and
Phenomena”. Penemuannya itu juga diakui oleh Roger G. Newton dalam “Galileo’s
Pendulum: From the Rhythm of Time to the Making of Matter”.
Ibnu Yunus juga telah membuat rumus waktu. Ia menggunakan nilai kemiringan
sudut rotasi bumi terhadap bidang ekliptika sebesar 23,5 derajat. Tabel tersebut cukup
akurat, walaupun terdapat beberapa error untuk altitude yang besar. Ibnu Yunus juga
menyusun tabel yang disebut Kitab as-Samt berupa azimuth matahari sebagai fungsi
altitude dan longitude matahari untuk kota Kairo. Selain itu, disusun pula tabel a(h) saat
equinox untuk h = 1, 2, …, 60 derajat. Tabel untuk menghitung lama siang hari (length
of daylight) juga disusun Ibnu Yunus. Ia juga menyusun tabel untuk menentukan
azimuth matahari untuk kota Kairo (latitude 30 derajat) dan Baghdad (latitude 33:25),
tabel sinus untuk amplitude terbitnya matahari di Kairo dan Baghdad. Ibnu Yunus juga
disebut sebagai kontributor utama untuk penyusunan jadwal waktu di Kairo.
14
disebut “ilmu al-manazhir”; dan (3) ilmu falak atau ilmu astronomi. Khusus dalam
bidang ilmu matematika, Al-Haitsam menguasainya dan menerapkannya pada ilmu
fisika dan astronomi. Ketika dua bidang ilmu ini memiliki korelasi yang kuat dengan
matematika dan dijadikan sandaran dalam penelitian keduanya, maka ini menjadi bukti
yang kuat bahwa Ibnul Haitsam termasuk pelopor ilmu dan berada di barisan terdepan
bersama para ilmuwan lain yang menonjol dalam bidang fisika dan matematika secara
bersamaan. Mereka itulah para ilmuwan yang telah memprogram akal kita melalui
pencucian otak dan iklan Barat bahwa dalam daftar mereka, hanya ada nama-nama
ilmuwan, seperti orang-orang Anglo Saxons dan orang-orang Jerman, seperti Isaac
Newton, Alfred Whitehead, and Albert Einstein.
Terdapat beberapa karya tulis Ibnul Haitsam dalam ilmu matematika, di
antaranya adalah: “Istikhraj Simt al-Qiblah” (menentukan letak sudut kiblat), “Firma
Tad`u Ilaihi Hajatu`l-Umar Asy-Syar`iyyah min al-`Umar al-Handasiyyah” (Hal-hal
yang diperlukan dari geometri untuk masalah agama), “Fi Istikhrajma Baina al-
Baladain Fi al-Bu`d bi Jihat al-Handasiyyah” (penentuan dimensi antara 2 negeri
dengan arah geometri), juga buku “Thabiq Fih hi Baina al-Abniyya Wa al-Hujr bi Jami`
al-Asykal al-Handasiyyah” (kecocokan antara bangunan dan galian dengan semua
bentuk geometri). Pada buku yang disebut pertama di atas, ia menyusun teorema
tangens untuk menentukan arah kiblat, yaitu:
Dan dalam buku yang judulnya sangat panjang, “Fi anna al-Qurra … Mutasamiya”, ia
membahas tentang poligon (segi banyak dengan sisi beraturan). Ia juga mampu
memecahkan secara cermat soal al-Mahani. Dalam “Kitab al-Manazhir”, lewat
pembahasan yang amat pelik, ia sampai pada persamaan pangkat 4 yang dipecahkannya
lewat interaksi hiperbola dan lingkaran. Ini melahirkan teori kerucut. Leonardo da Vinci
(Fibonacci) mencobanya, tetapi hanya mampu secara mekanik. Akhirnya, C. Huygens
yang memberi penyelesaian yang amat sederhana dan akurat. Disebutkan pula bahwa al-
Haitsam memperluas kerja Archimedes dengan menemukan volume yang dihasilkan
dengan memutar garis singgung pada titik-titik luasan yang dibatasi oleh kurva
parabola, sumbu-sumbu koordinat dan sebuah ordinat dari parabola. Al-Haitsam juga
membuktikan postulat kesejajaran Euclides dengan menggunakan sebuah segiempat
dengan 3 sudut siku-siku (belakangan dipakai Lambert pada abad ke-18 dan akhirnya
dikenal dengan “segiempat Lambert”), dan ia berhasil membuktikan bahwa sudut yang
ke-4 mestilah siku-siku. Dengan “teorema” tersebut, ia membuktikan postulat
kesejajaran Euclides. Satu hal yang belakangan dikritik oleh Umar Khayyam adalah
digunakannya istilah “gerak” oleh al-Haitsam dalam bukti tersebut, yang dalam
matematika modern memang bukan istilah matematika, tetapi istilah fisika.
15
Al-Biruni termasuk ilmuwan yang memiliki modal kecerdasan matematis. Al-
Biruni senantiasa menolak segala asumsi yang lahir dari khayalan. Pemikirannya logis,
tapi tidak pernah menafikan teologi. Al-Biruni adalah pelopor metode eksperimental
ilmiah dalam bidang mekanika, astronomi, bahkan psikologi. Ia menghendaki agar
setiap teori dilahirkan dari eksperimen dan bukan sebaliknya.
Al-Biruni termasuk saintis ensiklopedis, karena pakar dalam berbagai cabang
ilmu pengetahuan. Memang tradisi para cendekiawan muslim dahulu adalah mereka
tidak cukup puas menguasai dalam satu bidang ilmu saja. Al-Biruni selain dikenal
sebagai seorang ahli matematika, juga menguasai bidang-bidang sains lainnya.
Sepanjang hidupnya, al-Biruni telah menghasilkan karya tidak kurang dari 146 buku
(sebagian ahli bahkan mengatakan bahwa al-Biruni telah menulis 180 buku).
Kebanyakan merupakan karya bidang astronomi yakni ada sekitar 35. Sisanya buku
tentang astrologi, geografi, farmakologi, matematika, filsafat, agama, dan sejarah.
Bidang sains yang dikuasainya adalah astronomi, geodesi, fisika, kimia, biologi, dan
farmakologi. Selain itu ia juga terkenal sebagai peneliti bidang filsafat, sejarah,
sosiologi dan ilmu perbandingan agama. Tentang bidang sosial ini al-Biruni mendapat
gelar seorang antropolog, karena penelitiannya yang serius tentang kehidupan
keagamaan orang India. Hasil risetnya dibukukan dengan judul Tahqiq maa lii al-Hindi
min Maqulah Maqbulah fi Al-‘Aqli aw Mardzwilah dan Tarikh al-Hindi.
Di antara pencapaian intelektualnya adalah dalam bidang matematika. Ia adalah
peletak dasar-dasar trigonometri. Inilah di antara prestasi besar beliau. Trigonometri
adalah cabang ilmu matematika yang membahas tentang sudut segitiga. Di dalamnya
terdapat istilah-istilah trigonometri, yaitu sinus, cosinus, dan tangen. Dasar-dasar dari
teori trigonometri ini ternyata telah lama dikenal oleh ilmuwan muslim terdahulu abad
kesembilan Masehi. Al-Biruni dikenal sebagai matematikawan pertama di dunia yang
membangun dasar-dasar trigonometri. Landasan-landasan trigonometri tersebut
kemudian dikembangkan ilmuwan Barat. Dan diaplikasikan ke dalam beberapa cabang
ilmu, seperti astronomi, arsitektur, dan fisika. Al-Biruni sendiri pernah
mengaplikasikannya secara matematis untuk membolehkan arah kiblat ditentukan dari
mana-mana tempat di dunia.
Meskipun ilmu trigonometri telah dikenal di Yunani, akan tetapi pematangannya
ada di tangan al-Biruni. Ia mengembangkan teori trigonometri berdasarkan pada teori
Ptolemeus. Hukum Sinus (the Sine Law) adalah temuannya yang memperbaiki teori
Ptolemeus. Hukum ini merupakan teori yang melampaui zamannya. Seperti yang
populer dalam trigonometri modern terdapat hukum sinus. Hukum sinus ialah
pernyataan tentang sudut segitiga. Rumus ini berguna menghitung sisi yang tersisa dari
segitiga dengan 2 sudut dan 1 sisinya diketahui. Prestasi al-Biruni lebih diakui daripada
Ptolemeus karena dua alasan, yaitu (1) teorinya telah memakai sinus sedangkan
Ptolemeus masih sederhana, yaitu menggunakan tali atau penghubung dua titik di
lingkaran (chord), (2) teori trigonometri al-Biruni dan para saintis muslim penerusnya
itu menggunakan bentuk aljabar sebagai pengganti bentuk geometris. Rumus sinus
dinyatakan sebagai rumus praktis dan lebih canggih. Rumus tersebut menggunakan
logika matematika modern dan sangat dibutuhkan dalam perhitungan-perhitungan rumit
tentang sebuah bangunan. Dunia arsitektur sangat memanfaatkannya untuk mengukur
sudut-sudut bangunan. Ilmu astronomi juga diuntungkan. Dalam tradisi Islam,
dimanfaatkan dalam ilmu falak, penghitungan bulan dan hari.
Penggunaan aljabar dalam teori trigonometri al-Biruni sangat dimungkinkan
menggunakan teori aljabar Al-Khawrizmi, seorang matematikawan muslim asal
16
Khawarizm. Ia merupakan generasi matematikawan asal Khurasan sebelum al-Biruni.
Menurut Prof. Raghib al-Sirjani, ilmu aljabar Al-Khawarizmi tidak hanya menginspirasi
matematikawan Khurasan dan sekitarnya, seperti Abu Kamil Syuja al-Mishri, al-
Khurakhi dan Umar Khayyam saja, akan tetapi karya agungnya Aljabar Wal Muqabalah
menjadi buku induk di universitas Eropa. Al-Biruni termasuk saintis pengkaji temuan
Al-Khawarizmi tersebut. Makanya, teori trigonometri modern al-Biruni sesungguhnya
adalah jasa besar ilmu aljabar Al-Khawarizmi. Sebab, berkat temuan al-Khawarizmi
terutama temuannya tentang angka nol, al-Biruni mampu mengangkat ilmu trigonometri
Ptolemeus menjadi teori yang berpengaruh hingga era matematika modern saat ini.
Al-Biruni juga menjelaskan sudut-sudut istimewa dalam segitiga, seperti 0, 30,
45, 60, 90. Penemuan ini tentu sangat memberi kontribusi terhadap ilmu-ilmu lainnya.
Seperti ilmu fisika, astronomi dan geografi. Karena memang ilmu matematika
merupakan dasar dari ilmu-ilmu astronomi dan fisika. Oleh sebab itu, teori Ptolemeus
sesungguhnya masih sederhana dan belum bisa dikatakan sebagai trigonometri dalam
ilmu matematika modern. Hukum sinus itulah merupakan hukum matematika penting
dalam ilmu trigonometri. Teori ini memberi kontribusi yang cukup besar terhadap
pengembangan ilmu yang lain. Ia telah menggunakan kaedah penetapan longitude untuk
membolehkan arah kiblat ditentukan dari mana-mana tempat di dunia.
Di saat ia mencapai kematangan intelektual, al-Biruni banyak didukung oleh
para sultan dan penguasa untuk mengembangkan keilmuannya untuk bidang astronomi
dan fisika. Al-Biruni telah banyak menghasilkan karya-karya, baik astronomi, maupun
matematika. Oleh karena itu, selain mendapat pujian dari ummat Islam, al-Biruni juga
mendapatkan penghargaan yang tinggi dari bangsa Barat. Karya-karyanya melampaui
Nicolaus Copernicus, Isaac Newton, dan para ahli Indologi yang berada ratusan tahun di
depannya. Baik ulama maupun orientalis sama-sama memujinya. Salah satu bentuk
apresiasi ilmuwan dunia hingga saat ini adalah pada tahun 1970, International
Astronomical Union (IAU) menyematkan nama al-Biruni kepada salah satu kawah di
bulan. Kawah yang memiliki diameter 77,05 km itu diberi nama Kawah Al-Biruni (The
Al-Biruni Crater).
9. Umar Al-Khayyam
Dalam bukunya, “Risalah fi al-Barshin ‘ala Masa’il al-Jabr wal-Muqabalah”, ia
memberi klasifikasi persamaan-persamaan menurut pangkat dan faktor-faktornya
hingga 25 jenis. Sayangnya, ilmuwan Barat menghubungkan klasifikasi ini pertama kali
pada Simon Stevin (1548-1620 M). Padahal, ia datang belakangan setelah al-Khayyam.
Selain itu, sejarawan B. Boyer mengakui pula bahwa Al-Khayyam-lah yang mula-mula
memisahkan antara aljabar dengan geometri di dalam kajiannya.
Seperti juga para pendahulunya, ia pun menyelesaikan persamaan pangkat dua
baik secara aritmetika maupun geometris. Untuk persamaan pangkat tiga diselesaikan
secara geometrik dengan menggunakan irisan kerucut. Walaupun metode yang serupa
juga digunakan Menaechmus, Archimedes, juga al-Haitsam, namun al-Khayyam dipuji
karena mampu menggeneralisasikan metodenya tersebut untuk semua persamaan
pangkat tiga (yang berakar positif), yang berbentuk 𝑥 3 + 𝑏 2 𝑥 + 𝑎3 = 𝑐𝑥 2 . Dari sini, ia
menciptakan fenomena absis (x) untuk akar-akarnya, sehingga ada yang menyebut ia-
lah sebenarnya peletak dasar geometri analitik, jauh berabad-abad sebelum muncul
Rene Descartes (1005-1060).
Untuk persamaan kubik yang umum, ia menduga bahwa solusi secara aritmetika
tidaklah mungkin, sehingga ia hanya memberi penyelesaian secara geometris. Sedang
17
untuk persamaan pangkat lebih tinggi, ia tidak tertarik untuk mengkajinya karena ruang
yang kita tempati tidak lebih dari tiga dimensi. Sementara pendahulunya, Abu al-Wafa`
telah memberikan penyelesaian geometris untuk beberapa persamaan kuartik (pangkat
empat). Dikatakan oleh al-Khayaam: “what is called square-square by algebraists in
continuous magnitude is, a theoretical fact. It is does not exist in reality in anyway”.
Persamaan kubik al-Khayyam adalah: 𝑥 3 + 𝑏 2 𝑥 + 𝑎3 = 𝑐𝑥 2 , di mana 𝑎, 𝑏, 𝑐,
dan 𝑥 dipandang sebagai panjang beberapa ruas garis. Lukisannya dikerjakan sebagai
berikut:
𝑎3 𝑎2
(1) Lukis panjang ruas garis 𝐴𝐵 = 𝑏2 , dengan melukis terlebih dahulu 𝑧 = , baru
𝑏
𝑎𝑧
kemudian 𝐴𝐵 = .
𝑏
Lalu
(2) Ikutilah beberapa langkah berikut.
o Lukis 𝐴𝐶 = 𝐴𝐵 + 𝐵𝐶, dengan 𝐵𝐶 = 𝑐
o Lukis setengah lingkaran dengan 𝐴𝐶 diameter dan buat garis tegak lurus 𝐴𝐶 di
𝐵 yang memotong setengah lingkaran di 𝐷.
o Tandai titik 𝐸 di 𝐵𝐷, sehingga 𝐵𝐸 = 𝑏.
o Lewat 𝐸, buat garis 𝐸𝐹 sejajar 𝐴𝐶
o Temukan titik 𝐺 di 𝐵𝐶, sedemikian hingga (𝐵𝐺). (𝐸𝐷) = (𝐵𝐸). (𝐴𝐵).
18
Bukti ditunjukkan sebagai berikut.
(1) Menurut sifat hiperbol ortogonal: (Dengan menganggap garis EF = sumbu x dan
garis BD = sumbu y)
(𝐸𝐾). (𝐾𝐽) = (𝐸𝑀). (𝑀𝐻), karena 𝐸𝑀 = 𝐵𝐺 dan 𝑀𝐻 = 𝐸𝐷, maka
(𝐸𝐾). (𝐾𝐽) = (𝐵𝐺). (𝐸𝐷), sedang (𝐵𝐺). (𝐸𝐷) = (𝐵𝐸). (𝐴𝐵), sehingga
(𝐸𝐾). (𝐾𝐽) = (𝐵𝐺). (𝐸𝐷) = (𝐵𝐸). (𝐴𝐷)
(2) (𝐸𝐾). (𝐾𝐽) = (𝐵𝐸). (𝐴𝐵), atau luas 𝐸𝐾𝐽𝑁 = luas 𝐴𝐵𝐸𝑃, sehingga
(𝐵𝐿). (𝐿𝐽) = (𝐵𝐸). (𝐴𝐿)… (i), luas 𝐴𝐿𝐾𝑃 = luas 𝐵𝐿𝐽𝑁
(3) Pada lingkaran berlaku: (𝐴𝐿)2 = (𝐴𝐿). (𝐿𝐶) … (ii)
(𝐵𝐸)2 (𝐿𝐽)2 (𝐿𝐽)2 𝐿𝐶
(4) Dari (i) diperoleh: (𝐵𝐿)2 = (𝐴𝐿)2 , dan dari (ii) diperoleh: (𝐴𝐿)2 = 𝐴𝐿
(𝐵𝐸)2 (𝐿𝐽)2
sehingga, (𝐵𝐿)2
= (𝐴𝐿)2 atau (𝐵𝐸)2 . (𝐴𝐿) = (𝐵𝐿)2 . (𝐿𝐶) … (iii)
(5) (𝐵𝐸)2 . (𝐴𝐿) = (𝐵𝐿)2 . (𝐿𝐶)
(𝐵𝐸)2 . (𝐴𝐵 + 𝐵𝐿) = (𝐵𝐿)2 . (𝐵𝐶 − 𝐵𝐿)
𝑎3
𝑏 2 ( 2 + 𝐵𝐿) = (𝐵𝐿)2 . (𝑐 − 𝐵𝐿)
𝑎
𝑎 + 𝑏 2 (𝐵𝐿) = (𝐵𝐿)2 𝑐 − (𝐵𝐿)3
3
19
11. Jamsyid Al-Kasyi
Jamsyid Al-Kasyi adalah salah seorang ilmuwan terkemuka di bidang
matematika dalam sejarah peradaban Arab dan Islam. Dia juga termasuk salah seorang
ilmuwan astronomi yang menonjol. Dialah orang pertama yang memasukkan angka nol
dan pecahan desimal dalam proses penghitungan. Keduanya dianggap telah memberikan
kontribusi yang sangat besar bagi peradaban manusia sepanjang masa.
Dalam bidang matematika, ilmuwan pertama yang menciptakan pecahan
desimal adalah Abu Hasan Al-Euclides, pada abad keempat Hijriyah atau abad
kesepuluh Masehi. Akan tetapi, penemuan penting ini hilang sampai lima abad hingga
Jamsyid Al-Kasyi berhasil kembali menemukan pecahan desimal dengan cara
membandingkan angka tertentu dengan angka enam puluh. Sebelum masa Al-Kasyi,
angka pecahan ditulis dalam angka 60. Misalnya, pecahan 0,5 ditulis dengan 30 dari 60,
pecahan 0,25 ditulis dengan 15 dari 60. Oleh karena itu, pecahan dari 136,25 ditulis
dengan 136 15 dari 60. Al-Kasyi menggunakan pecahan desimal berikut cara
perhitungannya yang signifikan. Hal ini pertama kali diungkapkan oleh P. Luckey tahun
1948. Sebelumnya sering disebut bahwa penemu pecahan desimal adalah Simon Stevin
(1548-1620), yang menulis La Disme tahun 1585, padahal François Viéte (1540-1603)
sendiri sebelumnya telah menulis tentang pecahan desimal. Sekarang telah banyak
diakui bahwa al-Kasyi adalah penemu pecahan desimal. Walaupun demikian, dasar-
dasarnya telah diperkenalkan sebelumnya terutama di perguruan yang didirikan oleh al-
Karaji atau al-Karkhi (k.953-k.1019 atau 1029), khususnya al-Samawal (1125-1180).
Al-Kasyi sendiri belum menggunakan tanda koma untuk pecahan desimal, tetapi
menggunakan tanda berupa sebuah huruf arab ( )صyang dibaca sho antara bilangan
bulat dan bagian pecahan desimalnya. Selain menjadi pelopor bilangan desimal, Al-
Kasyi juga adalah penemu bilangan pi (π). Ia berhasil menemukan nilai bilangan pi (π),
yaitu perbandingan antara keliling sebarang lingkaran dengan diameternya, hingga 16
tempat desimal. Bilangan pi itu, ia lambangkan dengan huruf Arab ( )طyang dibaca tho
dan dua kali nilai pi itu samadengan 6,283185071795865.
Apabila kita memperhatikan posisi pecahan desimal dan pemakaiannya yang
beragam dalam bidang keilmuan dan perdagangan, kita akan menemukannya sebagai
bagian penting dari peradaban yang kita jalani saat ini dan kita akan mengetahui betapa
besarnya andil ilmuwan ini bagi kemajuan peradaban manusia. Al-Kasyi berhasil
mengembangkan teori Aljabar dan Aritmetika yang dia ambil dari Umar Al-Khayyam.
Selanjutnya, para ilmuwan Barat mengambilnya dari Al-Kasyi. Namun yang sangat
disayangkan, penemuan ini mereka klaim sebagai penemuan ilmuwan Inggris, Isaac
Newton. Hal ini diketahui, karena di dalam karya tulisnya, Al-Kasyi memaparkan
permasalahan Aljabar dan Aritmetika dengan metode yang amat detail dan teliti.
Pemaparan seperti yang dikemukakan Al-Kasyi belum ada sebelumnya dan baru ada
setelah berlalu waktu yang begitu lama.
Klaim Barat atas temuan Al-Kasyi bukan hanya pada bidang matematika, tetapi
juga pada bidang astronomi. Sebenarnya, Al-Kasyi adalah ilmuwan yang berhasil
menciptakan alat-alat pemantauan bintang, yaitu sebuah alat yang dipakai untuk
menentukan posisi berbagai bintang, jaraknya dari bumi, waktu terjadinya gerhana, dan
semua yang berhubungan dengan perbintangan. Dialah ilmuwan pertama yang
menggambarkan peredaran bulan dan bintang Mercury dalam bentuk Thabaq Al-
Manatiq. Namun yang sangat disayangkan, apa yang telah ditemukan Al-Kasyi ternyata
oleh para sejarawan Eropa telah diklaim sebagai penemuan astronom Jerman, Johannes
20
Kepler. Al-Kasyi telah menghabiskan waktunya untuk memantau kapan terjadinya
gerhana matahari selama tiga tahun berturut-turut, yaitu tahun 809, 810 dan 811 H.
12. Al-Qalashadi
Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ali Al-Qurasyi Al-Bisthi. Dia dikenal
dengan Al-Qalashadi. Dia adalah seorang faqih bermadzhab Maliki dan ilmuwan
matematika terkemuka dan termasuk ilmuwan matematika yang pertama menggunakan
rumus aljabar. Diyakini bahwa dialah penemu bentuk pecahan yang ada sekarang.
Dari beberapa teori matematika yang dikemukakan oleh beberapa ilmuwan
muslim di atas, jelas bahwa mereka, para ilmuwan muslim, memiliki prestasi dan
berkontribusi besar dalam membangun peradaban manusia sampai saat ini. Sayangnya,
mereka tidak mendapatkan haknya. Namanya terkubur dan tidak mendapatkan
kedudukan sebagaimana mestinya. Padahal mereka memiliki keunggulan dan prestasi
besar yang tidak dipahami oleh para sejarawan peradaban Islam dan penulis buku-buku
sejarah. Oleh karena itu, mereka dizhalimi dua kali. Dizhalimi oleh generasi muslim
sendiri, dan dizhalimi oleh ilmuwan dan sejarawan Barat yang telah merampas
kekayaan intelektualnya dengan cara mengganti namanya dengan nama mereka.
Mengenai ilmuwan muslim yang tidak ditempatkan sebagaimana mestinya di
antara para ilmuwan sepanjang sejarah, Professor Qadry Thauqan dalam bukunya,
“Turats Al-Arab Al-Ilmi fi Ar-Riyadhiyyat Wa Al-Falak” mengatakan, “Saya sakit hati,
kalau dikatakan bahwa Ibnul Haitsam adalah keturunan bangsa Eropa. Kalau benar
demikian, berarti saya telah melihat betapa besarnya penghormatan yang diberikan
kepada beliau. Namanya disanjung dan biografinya disebarkan di mana-mana. Bahkan,
nama dan biografinya itu akan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan agar ilmunya
dapat dipelajari oleh para generasi berikutnya dan menjadi teladan bagi mereka.
Tidakkah ketidaktahuan kita tentang masa muda Ibnul Haitsam merupakan aib yang
besar? Dan tidakkah termasuk kelalaian kita, apabila kita mengenal Ptolemeus, Kepler,
dan Bacon melebihi apa yang kita ketahui tentang Ibnul Haitsam? Tidakkah ini
kelemahan pada sistem pendidikan kita?” Ini adalah pelajaran yang berharga bagi kita.
Al-Haitsam adalah contoh ilmuwan muslim yang terzhalimi dalam pandangan Professor
Qadry Thauqan. Perkataan ini memang ditujukan untuk Al-Haitsam, tapi mestinya
perkataan ini mendorong kita untuk lebih mengenal lebih dalam bukan hanya Al-
Haitsam, tetapi bahkan para ilmuwan Muslim yang lain.
Jika negara-negara maju sekarang ini membanggakan eksistensinya karena telah
mencapai puncak kejayaan peradabannya karena para ilmuwannya yang mampu
menjelaskan tentang anatomi atom, meluncurkan revolusi transportasi dan informatika,
menjelajah ruang angkasa dengan harapan dapat membangun peradaban-peradaban di
planet-planet lainnya sebagaimana yang mereka bangun di permukaan planet bumi; jika
ilmuwan yang berperadaban sekarang ini bersenandung gembira karena kemampuan
mereka menguasai dan mengendalikan fenomena-fenomena alam, serta mendalami
hukum-hukum alam, maka pencapaian ini tidak serta merta menjadikan kita menutup
mata atas keterbelakangan mereka dalam bidang etika dan menjauh dari nilai-nilai dan
prinsip-prinsip yang dianggap sebagai sendi-sendi utama bagi kebangkitan peradaban.
Etika Barat yang rusak di antaranya dapat kita lihat dari klaim mereka terhadap
karya ilmuwan muslim yang di antaranya telah disebutkan di atas. Hak menjaga
kekayaan intelektual merupakan dasar yang baru, yang tidak dikenali, kecuali selepas
Islam datang. Amanah ilmiah atau hak atas kekayaan intelektual telah menetapkan
kemuliaan hak-hak pemikiran secara ilmiah, yang disandarkan pada kesungguhan dan
21
penemuan penulis dan pemiliknya. Para ilmuwan muslimlah yang sangat menentang
keras pencurian penemuan (pembajakan/plagiat), yang kemudian dinisbatkan kepada
selain penemu atau pembuatnya. Pembajakan penemuan telah dilakukan para ilmuwan
Barat yang lahir sesudah mereka sekitar sepuluh sampai seratus tahun kemudian.
Referensi
22