Dinul Islam adalah minhajul hayah (pedoman hidup) bagi seluruh umat manusia. Ia
adalah ajaran yang sempurna yang diridhai oleh Allah Ta’ala. Hal ini ditegaskan
dalam firman-Nya,
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-
Maidah, 5: 3).
Islam mengatur akhlak manusia dalam semua sisinya; sebagai individu, keluarga, dan
masyarakat. Bahkan Islam mengatur pula akhlak yang berkaitan dengan makhluk-
makhluk yang tidak berakal. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
rahimahullah berkata tentang akhlak kepada Allah Ta’ala, “Akhlak yang baik
mencakup mu’amalah dengan sesama makhluk dan juga mu’amalah seorang hamba
dengan Allah. Ini harus dipahami oleh kita semua. Akhlaq yang baik dalam
bermuamalah dengan Allah mencakup tiga perkara: (1) Membenarkan berita-berita
yang datang dari Allah, (2) Melaksanakan hukum-hukumNya, (3) Sabar dan ridha
kepada takdirNya”
Ketiga, Islam adalah minhajul hayah dalam aspek as-suluki (sikap hidup
dalam menempuh jalan taqarrub kepada Allah Ta’ala).
Islam telah menggariskan minhaj bahwa taqarrub ila-Llah (pendekatan diri kepada
Allah) itu dilakukan dengan cara pengamalan ibadah-ibadah faraidh (wajib) dan
nawafil (sunnah), sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits qudsi berikut ini, ”Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman,
‘Barangsiapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya.
Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai
daripada hal-hal yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya
mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika
Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk
mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi
tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti memberinya. Dan jika ia
meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti melindunginya.” (HR. Bukhari, no. 6502)
Keempat, Islam adalah minhajul hayah dalam aspek asy-syu’uri (perasaan).
Islam memiliki manhaj yang khas mengenai emosi manusia (rasa cinta, benci, belas
kasih, kesedihan, kegembiraan, dan lain sebagainya). Sebagai contoh, Islam telah
menggariskan manhaj yang jelas tentang prioritas cinta. “Katakanlah: ‘Jika bapa-
bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan
dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-
Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS, At-
Taubah, 9: 24)
Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan ayat ini: “Tetangga yang lebih dekat
tempatnya, lebih besar haknya. Maka sudah semestinya seseorang mempererat
hubungannya terhadap tetangganya, dengan memberinya sebab-sebab hidayah,
dengan sedekah, dakwah, lemah-lembut dalam perkataan dan perbuatan serta tidak
memberikan gangguan baik berupa perkataan dan perbuatan” Dalam kehidupan
bertetangga dan bermasyarakat, Islam bahkan telah menggariskan ketentuan
pergaulan muslim dengan non muslim secara bijak. Allah Ta’ala berfirman, “Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-
Mumtahanah, 60: 8)
Kekuatan militer harus dipersiapkan guna menjaga kehormatan, tanah air, dan
wilayah kaum muslimin. Allah Ta’ala memerintahkan kaum muslimin untuk
berperang manakala ada pihak-pihak yang melanggar perjanjian damai dan memiliki
niat jahat terhadap umat Islam, “Perangilah mereka, niscaya Allah akan
menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan
menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati
orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah, 9: 14)
Hukuman rajam tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an karena ayatnya sudah di-
nasakh (dihapus), tetapi hukumnya tetap berlaku sebagaimana dicontohkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Hukuman zina ini -juga hukum pidana lainnya- hanya dijatuhkan jika perkaranya
disampaikan ke hadapan hakim. Namun jika dirahasiakan, urusannya diserahkan
kepada Allah Ta’ala. Hal ini berdasarkan hadist Zaid bin Aslam, bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sumber :
https://tarbawiyah.com/2018/06/26/minhajul-hayah-pedoman-hidup/