Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“ TAFSIR TEMATIS AYAT TENTANG DISTRIBUSI HARTA WARISAN (QS. AL-


NISA’: 11-12 DAN 176)”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir ayat ekonomi


Yang Diampu Oleh Bapak H.M Bashri Asy’ari,MA.,M.PhiI

Disusun Oleh :
KELOMPOK 01
Riski tri wahyudi (20383021104)
Rizqy andreansah ()
Samsukdin (20383021107)
Riyan fajri (20383021151)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2021-2022

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi MahaPenyayang, dengan ini penulis
panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yangtelah melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis, sehingga
penulis dapatmenyelesaikan tugas mata kuliah Tafsir Ayat Ekonomi dan Perbankan 1 ini.
Adapun makalah ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin dantentunya dengan bantuan
dari banyak pihak, sehingga dapat memperlancar prosespembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, penulis
juga ingin menyampaikan rasaterima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantupenulis dalam pembuatan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luaskepada pembaca. Walaupun
makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan.Penyusun membutuhkan kritik dan saran dari pembaca
yang membangun. Terimakasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pamekasan,27 Septeember 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................... 01


BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 02

a) Latar belakang ................................................................................................... 02


b) Rumusan masalah ............................................................................................... 02
c) Tujuan pembahasan ........................................................................................... 02

BAB II KAJIAN TEORI DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 03


A. Teks QS.An-Nisa’ ayat 11 ..................................................................................... 03
B. Penjelasan singkat QS.An-Nisa’ ayat 11 ................................................................ 03
C. Teks QS.An-Nisa’ ayat 12 ..................................................................................... 05
D. Penjelasan singkat QS.An-Nisa’ ayat 12 ................................................................ 06
E. Teks QS.An-Nisa’ ayat 176.................................................................................... 07
F. Penjelsan singkat QS.An-Nisa’ ayat 176 ................................................................ 08

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 10

a) Kesimpulan ........................................................................................................ 10
b) Saran ................................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 11

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah


Alquran adalah kitab suci umat Islam dan menjadi pedoman hidup bagi manusia.
Di dalamnya ada ketentuan-ketentuan hukum dan aturan kehidupan manusia baik
secara vertikal maupun horizontal. Salah satu masalah yang timbul dalam Alquran
adalah kewarisan.

B. Tujuan pembahasan
Setelah mencermati dari latar belakang masalah tersebut, maka penulis
merumuskan masalah yang akan dteliti sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep pembagian waris dalam Alquran?

C. Manfaat pembahasan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui konsep pembagian warisan dalam Alquran

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teks QS An-Nisa’ ayat 11

ُ ‫ َوإِ ْن كَانَتْ َواحِ دَةً فَلَهَا النِص‬، َ‫ق اثْنَتَيْ ِن فَلَهُ َّن ثُلُثَا َما ت ََرك‬
‫ َو ِْلَبَ َويْهِ لِكُ ِل‬،‫ْف‬ َ ‫ فَإِ ْن كُ َّن نِسَاءً ف َْو‬،‫ظ ْاْلُنْثَيَيْ ِن‬ ِ ‫وصيكُمُ هللاُ فِي أَ ْو ََل ِدكُ ْم لِلذَّك َِر مِثْ ُل َح‬ ِ ُُ‫ي‬
ٍ‫صيَّة‬ِ ‫ُس م ِْن بَعْ ِد َو‬ ُ
ُ ‫ فَإِ ْن كَا َن لَهُ إِ ْخ َوةٌ ف َِِل ِمهِ السُّد‬،‫ث‬ ُ َ
ُ ُ‫ فَإِ ْن لَ ْم يَكُ ْن لَهُ َولَدٌ َو َو ِرثَهُ أبَ َواهُ ف َِِل ِمهِ الثُّل‬،ٌ‫ُس ِم َّما ت ََركَ إِ ْن كَا َن لَهُ َولَد‬ ُ ‫َواحِ ٍد ِمنْهُ َما السُّد‬
‫علِي ًما َحكِي ًما‬ َ ‫هللا كَا َن‬ ِ ‫ضةً ِم َن‬
َ ‫ ِإ َّن‬،‫هللا‬ َ ‫ ف َِري‬،‫ب لَكُ ْم نَفْ ًعا‬ ُ ‫ آ َباؤُ كُ ْم َوأَبْنَاؤُ كُ ْم ََل تَد ُْر و َن أَيُّ ُه ْم أَقْ َر‬،‫ُوصي ِب َها أَ ْو دَيْ ٍن‬
ِ ‫ي‬
Artinya, “Allah memerintahkan kalian tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anak kalian,
yaitu bagian laki-laki sama dengan bagian anak perempuan; bila semuanya perempuan yang lebih dari
dua orang, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan mayit; bila anak perempuan itu
satu orang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-ayah, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, bila orang yang meninggal mempunyai anak; bila ia
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-ayahnya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; bila
orang yang meninggal mempunyai saudara perempuan, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. Orang tua dan anak-anak kalian, kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagi kalian. Itu adalah ketetapan dari Allah. Sungguh Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Surat An-Nisa ayat 11)

B. Penjelasan singkat ayat 11


Surat An-Nisa ayat 11 turun sebagai penjelas ayat sebelumnya yang masih bersifat umum
(mujmal), yaitu ayat 7 yang secara umum menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama
mempunyai bagian waris. Kemudian ayat 11 mulai menjelaskan detail masing-masing bagian waris
mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Pakar tafsir kota Naisabur, Imam Nizhamuddin al-Hasan bin
Muhammad an-Naisaburi (wafat 850 H/1446 M). (Nizhamuddin al-hasan bin Muhammad al-Qummi an-
Naisaburi, Gharaib al-Quran wa Raghaib al-Furqan, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah: 1416 H/1996 M],
cetakan pertama, juz II, halaman 355).

Secara substansial ada lima hal yang dibahas ayat, yaitu: rasionalisasi perbedaan bagian waris laki-
laki dan perempuan, bagian waris anak, bagian waris orang tua, waktu pembagian, dan hikmahnya.

Pembahasan pertama, berkaitan dengan perbedaan bagian waris anak laki-laki dan perempuan,
dimana anak laki-laki mendapatkan bagian waris dua anak perempuan sesuai frasa: ‫ُوصيكُمُ هللاُ فِي أَ ْو ََلدِكُمْ لِلذَّك َِر‬
ِ ‫ي‬
ُْ ‫ظ‬
‫اْلنْثَيَيْ ِن‬ ِ ‫“ ِمثْ ُل َح‬Allah memerintahkan kalian tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anak kalian, yaitu
bagian laki-laki sama dengan bagian dua perempuan”.

Grand Syekh Universitas al-Azhar Muhammad As-Sayyid Thanthawi (1347-1431 H/1928-2010 M)


menjelaskan, ketentuan demikian mengingat tanggung jawab finansial (at-takalif al-maliyyah)
perempuan lebih sedikit daripada laki-laki. Sebab laki-laki terbebani tanggung jawab finansial untuk
biaya hidup diri, anak-anak, istri dan setiap orang yang menjadi tanggung jawabnya, yang tentunya
membutuhkan harta yang lebih banyak untuk memenuhinya, sehingga ia mendapatkan bagian waris dua
kali lipat. Lain halnya dengan perempuan, secara syar’i ia tidak mempunyai tanggung jawab finansial
seperti laki-laki, sehingga harta warisnya hanya menjadi haknya, tanpa wajib dikeluarkan untuk

3
kebutuhan hidup orang lain. Dari sini menjadi jelas, meski tidak mempunyai tanggung jawab finansial
terhadap orang lain sebagaimana laki-laki, Islam benar-benar memuliakan wanita dengan tetap
memberinya hak waris sesuai bagiannya, setelah sebelumnya dalam tradisi Jahiliyyah ia sama sekali
tidak mendapatkan hak waris tersebut.

Selain itu juga perlu diperhatikan, diksi aulad “anak-anak” dalam ayat mencakup setiap anak mayit
baik laki-laki maupun perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-lakinya. Dengan kata
lain diksi aulad mencakup anak-anaknya sendiri dan anak-anak dari anak laki-lakinya, semuanya baik
laki-laki maupun perempuan.

Adapun cucu dari anak perempuannya, baik laki-laki maupun perempuan, tidak masuk dalam
cakupan diksi ‘aulad’. Demikian menurut Ahlussunnah wal Jama’ah. Lain halnya dengan Syi’ah yang tidak
membedakan antara cucu dari anak laki-laki dan cucu dari anak perempuan yang dianggap sama-sama
tercakup oleh diksi ‘aulad’ tersebut.

Pembahasan kedua, berkaitan bagian waris anak, terdapat tiga kondisi yang dijelaskan ayat.Satu,
bila ahli waris terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka anak laki-laki mendapatkan dua kali
ُْ ‫ظ‬
lipat bagian waris perempuan sesuai frasa: ‫اْلنْثَيَيْ ِن‬ ِ ‫“ ِلذَّك َِر ِمثْ ُل َح‬bagian anak laki-laki sama dengan bagian
dua anak perempuan”. Dua, bila ahli waris terdiri dari dua anak perempuan atau lebih tanpa ada anak
laki-laki, maka mereka mendapatkan dua pertiga harta, sesuai dengan frasa: ‫َفإِ ْن كُ َّن نِسَاءً ف َْو َق اثْنَتَيْ ِن َفلَهُ َّن ثُلُثَا َما‬
‫ك‬
َ ‫“ تَ َر‬bila semuanya perempuan yang lebih dari dua orang, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan mayit”. Mengingat redaksi ayat: ‫“ َفإِ ْن كُ َّن نِسَاءً ف َْو َق اثْنَتَيْ ِن‬bila semuanya perempuan yang lebih
dari dua orang”, maka terjadi perbedaan pendapat antara Ibnu Abbas RA dan jumhur ulama, apakah
frasa ayat juga mencakup kasus bila ahli waris terdiri dari dua anak perempuan saja? Jumhur ulama
mengatakan frasa ayat mencakupnya, sementara Ibnu Abbas RA menyatakan tidak mencakupnya.

alam kasus ini, menurutnya mereka mendapatkan separo harta warisan. Namun begitu, kemudian
ditemukan riwayat bahwa Ibnu Abbas RA telah mencabut pendapatnya dan akhirnya sepakat dengan
pendapat jumhur.Tiga, bila ahli waris hanya satu orang anak perempuan, maka ia mendapatkan separo
ُ ‫“ َوإِ ْن كَانَتْ َواحِ دَةً َفلَهَا النِص‬bila anak perempuan itu satu orang saja, maka
harta warisan, sesuai redaksi ayat: ‫ْف‬
ia memperoleh separo harta”.

Pembahasan ketiga, berkaitan dengan bagian waris orang tua, juga terdapat tiga kondisi yang
dijelaskan oleh ayat.

Satu, bila ahli waris terdiri dari ayah, ibu dan anak mayit, maka bagian masing-masing ayah dan
ibu adalah seperenam harta warisan sesuai frasa: ٌ‫ُس ِممَّا تَ َر َك إِ ْن كَا َن لَهُ َولَد‬ُ ‫“ َو ِْلَبَ َويْهِ لِكُ ِل َواحِ دٍ ِمنْهُ َما السُّد‬dan untuk dua
orang ibu-ayah, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, bila orang yang
meninggal mempunyai anak”. Dua, bila ahli waris terdiri dari ayah dan ibu saja, tidak ada anak dari
mayit, maka ibu mendapatkan sepertiga harta, sesuai frasa: ‫ث‬ ُ ِ ‫“ َف ِإ ْن لَ ْم َيكُ ْن لَهُ َولَدٌ َو َو ِرثَهُ أَ َب َوا ُه ف‬bila ia tidak
ُ ُ‫َِل ِمهِ الثُّل‬
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-ayahnya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga”, sementara
sisa hartanya yang masih dua pertiga menjadi bagian ayahnya. Tiga, bila ahli waris terdiri dari ayah, ibu
dan saudara perempuan—baik seayah seibu, seayah atau seibu saja, semuanya laki-laki, perempuan
atau campuran—, maka ibu mendapatkan seperenam harta, ayah mendapatkan sisanya, sementara
saudaranya terhalangi mendapatkan warisan karena adanya ayah, sesuai frasa: ‫ُس‬ ُ ‫َِل ِمهِ السُّد‬ ُ ِ ‫َف ِإ ْن كَا َن لَهُ ِإ ْخ َوةٌ ف‬
“bila orang yang meninggal mempunyai saudara perempuan, maka ibunya mendapat seperenam”.

4
Pembahasan keempat, berkaitan dengan waktu pembagian waris yaitu setelah pemenuhan wasiat
mayit dan hutang-hutangnya, sesuai dengan frasa: ‫ُوصي بِهَآ أَ ْو دَيْ ٍن‬
ِ ‫صيَّةٍ ي‬
ِ ‫(“ مِن بَعْدِ َو‬pembagian-pembagian
tersebut) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” Redaksi ayat
yang secara tekstual mendahulukan urusan wasiat daripada hutang berfungsi mengingatkan pentingnya
memenuhi wasiat mayit, sebab umumnya ahli waris bersifat pelit dengan warisannya dan sering
menentang orang yang mendapatkan wasiat. Lain halnya dengan hutang mayit, biasanya mereka tidak
mempermasalahkannya. Demikian penjelasan Imam Ahmad As-Shawi. (Ahmad bin Muhammad as-
Shawi, Hasyiyyah as-Shawi ‘ ala Tafsir al-Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi
Muhammad Jamil, juz I, halaman 275).

Pembahasan kelima, berkaitan dengan hikmah pembagian harta waris yang berbeda-beda
ُ ‫آبَا ُؤكُمْ َوأَبْنَا ُؤكُمْ ََل تَدْ ُرو َن أَيُّهُمْ أَ ْق َر‬
bagiannya, antara orang tua dan anak. Dalam hal ini Allah berfirman: ‫ب لَكُمْ نَفْعًا‬
“Orang tua dan anak-anak kalian, kalian tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagi kalian”. Maksudnya, orang tidak tahu secara nyata siapa yang lebih baik dan
bermanfaat baginya, apakah orang tua atau anak-anaknya. Adakalanya orang mengira yang lebih baik
dan lebih bermanfaat baginya—baik di dunia seperti memenuhi berbagai kemaslahatan hidupnya atau
di akhirat seperti memberikan syafaat kepadanya—adalah anaknya, sehingga ia memberi harta warisan
kepadanya, tapi nyatanya yang lebih baik adalah ayahnya, atau sebaliknya. Nah, dalam kesimpangsiuran
ini maka hanya Allah yang mengetahui secara persis siapa sebenarnya yang lebih baik dan lebih
bermanfaat baginya. Karenanya sangat wajar bila Allah yang menentukan bagian waris mereka.

Sementara penghujung ayat: ‫ ِإ َّن هللاَ كَا َن عَلِيمًا َحكِيمًا‬،ِ‫“ ف َِريضَةً ِم َن هللا‬Itu adalah ketetapan dari Allah,
sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”, merupakan penegasan bahwa aturan waris
dalam ayat merupakan ketentuan yang wajib dilaksanakan dari Allah yang maha mengetahui kebaikan
hambanya, baik urusan dunia maupun akhirat, yang maha bijaksana atas berbagai keputusan dan
hukum syariatnya. Sebab itu sudah semestinya manusia memenuhi ketentuan dan syariat pembagian
harta warisan sebagaimana petunjuk Al-Qur’an demi kebaikan dirinya sendiri dan sesuai dengan ridha-
Nya. (Muhammad As-Sayyid Thanthawi, Al-Wasith, juz I, halaman 875-879).

C. Teks QS Al-Nisa’ ayat 12

ُّ ‫ َولَهُ َّن‬،‫صي َن بِهَا أَ ْو دَيْ ٍن‬


‫الربُ ُع‬ ِ ‫صيَّةٍ يُو‬ ُّ ُ‫ فَإِ ْن كَا َن َلهُ َّن َو َلدٌ فَلَكُم‬،ٌ‫ْف َما ت ََركَ أَ ْز َوا ُجكُ ْم إِ ْن لَ ْم يَكُ ْن لَهُ َّن َو َلد‬
ِ ‫الربُ ُع ِم َّما ت ََركْ َن م ِْن بَعْ ِد َو‬ ُ ‫َولَكُ ْم نِص‬
‫ث ك َََللَةً أَ ِو‬
ُ ‫ُور‬ َ ‫ي‬ ‫ل‬
ٌ ‫ج‬
ُ ‫ر‬َ ‫ن‬
َ ‫َا‬ ‫ك‬ ْ
‫ن‬ ‫إ‬‫و‬
َِ ٍ، ‫ن‬ ‫ي‬
ْ ‫د‬
َ ‫و‬ْ َ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫ه‬
َ ‫ب‬
ِ ‫ن‬
َ ‫و‬ ‫ص‬
ُ ‫و‬ ُ ‫ت‬ ‫ة‬
ٍ ‫ي‬
َّ ‫ص‬
ِ ‫و‬َ ‫د‬
ِ ‫ع‬
ْ ‫ب‬
َ ْ
‫ِن‬‫م‬ ‫م‬
ْ ُ ‫ت‬ ْ ‫ك‬ ‫َر‬
َ ‫ت‬ ‫ا‬ ‫م‬
َّ ‫م‬
ِ ‫ن‬
ُ ‫م‬
ُ ُّ ‫ث‬ ‫ال‬ ‫ن‬
َّ ‫ه‬
ُ َ ‫ل‬‫ف‬
َ ‫د‬
ٌ َ ‫ل‬‫و‬َ ‫م‬
ْ ُ ‫ك‬ َ ‫ل‬ ‫ن‬َ ‫َا‬ ‫ك‬ ْ
‫ن‬ ‫إ‬
ِ ‫ف‬
َ ،ٌ ‫د‬َ ‫ل‬‫و‬َ ‫م‬
ْ ُ ‫ك‬ َ ‫ل‬ ‫ن‬ْ ُ ‫ك‬ ‫ي‬
َ ‫م‬
ْ َ ‫ل‬ ْ
‫ن‬ ‫ِم َّما ت ََركْتُ ْم ِإ‬
َ
‫صيَّةٍ يُوصَى بِهَا أ ْو دَيْ ٍن غَي َْر‬ ْ
ِ ‫ث مِن بَعْ ِد َو‬ ُ ُّ َ ْ َ ْ
ِ ‫ فَإِن كَانُوا أكث َر مِن ذلِكَ فَهُ ْم ش َُركَاءُ فِي الثل‬،‫ُس‬ َ ْ ْ
ُ ‫ت فَلِك ِل َواحِ ٍد ِمنهُ َما السُّد‬ ُ ٌ ‫ا ْم َرأَةٌ َولَهُ أَ ٌخ أ ْو أخ‬
ْ ُ َ
ٌ‫ َوهللاُ عَلِيمٌ َحلِيم‬،ِ‫صيَّةً ِم َن هللا‬ ِ ‫ َو‬،‫ُمضَ ٍار‬
Artinya, “Bagi kalian para suami adalah separo dari harta yang ditinggalkan oleh para istri kalian
bila mereka tidak mempunyai anak; bila mereka mempunyai anak, maka bagi kalian mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya; setelah dipenuhi wasiat yang mere ka buat atau (dan)
setelah dibayar hutangnya. Dan bagi para istri mendapat seperempat harta yang kalian tinggalkan jika
kalian tidak mempunyai anak; bila kalian mempunyai anak, maka mereka mendapatkan seperdelapan
dari harta yang kalian tinggalkan; setelah dipenuhi wasiat yang kalian buat atau (dan) setelah dibayar
hutang kalian. Bila seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai satu orang saudara laki-laki (seibu) atau satu
orang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta; tetapi bila saudara-saudara seibu itu lebih dari satu orang, maka mereka bersama-sama
mempunyai hak bagian sepertiga; setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan) setelah dibayar

5
hutangnya dengan tidak merugikan. Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.”

D. Penjelasan singkat ayat 12


Dalam Tafsir Al-Wasith Grand Syekh Universitas al-Azhar Muhammad as-Sayyid Thanthawi (1347-
1431 H/1928-2010 M) menjelaskan, sebagai kelanjutan ayat sebelumnya, ayat 12 mencakup tiga
pembahasan utama, yaitu bagian waris suami, bagian waris istri dan dan bagian waris saudara seibu.
Pembahasan pertama, berkaitan dengan bagian waris suami yang ada dua kondisi. Satu, bila istri
tidak mempunyai anak—termasuk pula tidak mempunyai cucu dari anak laki-lakinya ke bawah—secara
mutlak, baik laki-laki atau perempuan, baik satu atau lebih, baik dari suami yang mewaris atau mantan
suaminnya, maka suami mendapatkan bagian separo dari harta warisan istri. Dua, bila istri mempunyai
anak—termasuk pula tidak mempunyai cucu dari anak laki-lakinya ke bawah—, dengan perincian seperti
sebelumnya, maka suami mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan istri.

Dalam dua kondisi ini, sisa harta warisan yang ada maka untuk ahli waris lainnya. Kemudian
bagian warisan suami dapat diambil setelah pemenuhan wasiat atau hutang mayit bila memang ada.
Semuanya sesuai dengan frasa: ٍ‫صيَّة‬ ِ ‫ َفإِ ْن كَا َن لَهُ َّن َولَدٌ َفلَكُمُ ال ُّربُعُ ِممَّا تَ َركْ َن ِم ْن بَعْدِ َو‬،ٌ‫ك أَ ْز َواجُكُمْ إِ ْن لَمْ يَكُ ْن لَهُ َّن َولَد‬ ُ ‫َولَكُمْ نِص‬
َ ‫ْف َما تَ َر‬
َ
‫ُوصي َن بِهَا أ ْو دَيْ ٍن‬
ِ ‫“ ي‬dan bagi kalian para suami adalah separo dari harta yang ditinggalkan oleh para istri kalian
bila mereka tidak mempunyai anak; bila mereka mempunyai anak, maka bagi kalian mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya; setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
setelah dibayar hutangnya.”

Pembahasan kedua, berkaitan dengan bagian waris istri yang juga ada dua kondisi. Satu, bila
suami tidak mempunyai anak—termasuk pula tidak mempunyai cucu dari anak laki-lakinya ke bawah—
dengan perincian seperti pada pembahasan bagian waris suami, maka istri mendapatkan seperempat
harta warisan yang ditinggalkan suami. Dua, bila suami mempunyai anak—termasuk pula mempunyai
cucu dari anak laki-lakinya ke bawah—dengan perincian seperti sebelumnya, maka istri mendapatkan
seperdelapan harta warisan yang ditinggalkan suami.

Dalam dua kondisi ini, sisanya untuk ahli waris lainnya. Pengambilan bagian warisan istri ini juga
dilakukan setelah pemenuhan wasiat atau hutang mayit bila memang ada. Semuanya sesuai dengan
frasa: ‫صو َن ِب َها أَ ْو دَيْ ٍن‬ ِ ‫ َف ِإ ْن كَا َن لَكُ ْم َولَدٌ َفلَ ُه َّن الثُّ ُم ُن ِم َّما تَ َركْتُ ْم ِم ْن َبعْدِ َو‬،ٌ‫“ َولَ ُه َّن ال ُّربُ ُع ِم َّما تَ َركْتُ ْم ِإ ْن لَ ْم َيكُ ْن لَكُ ْم َولَد‬dan bagi para istri
ُ ‫صيَّةٍ تُو‬
mendapat seperempat harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak; bila kalian
mempunyai anak, maka mereka mendapatkan seperdelapan dari harta yang kalian tinggalkan; setelah
dipenuhi wasiat yang kalian buat atau (dan) setelah dibayar hutang kalian”.
Pembahasan ketiga, berkaitan dengan bagian waris saudara laki-laki dan saudara perempuan
seibu secara kalalah, yaitu ketika mayit tidak mempunyai ahli waris orang tua ke atas dan anak ke
bawah, sebagaimana jawaban Abu Bakar As-Shiddiq saat ditanya tentangnya:
‫ (رواه عبد الرزاق‬.َ‫اَلْك َََللَةُ َم ْن ََل َولَدَ لَهُ َو ََل َوالِد‬

Artinya, “Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak dan orang tua.” (HR. Abdurrazzaq).
(Abu Bakr Abdurrazzaq bin Hammam as-Shan’ani, Mushannaf ‘Abdurrazzaaq, [Beirut, Al-Maktab Al-
Islami: 1403 H], tahqiq: Habiburrahman Al-A’zhami, cetakan kedua, juz X, halaman 304).

6
Dalam kasus bagian waris saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu secara kalalah terdapat
dua kondisi. Satu, bila mayit hanya mempunyai satu saudara laki-laki atau satu saudara perempuan
seibu, maka masing-masing mendapatkan bagian waris seperenam, tanpa perbedaan dari sisi laki-laki
dan perempuan sebagaimana prinsip ‘laki-laki mendapat bagian dua perempuan’, sebab jalur mereka
kepada mayit sama-sama melalui perempuan, yaitu ibunya. Dua, bila mayit mempunyai lebih dari satu
saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu, maka mereka bersama-sama mendapatkan bagian
warisan sepertiga. Dalam kata lain, sepertiga itulah yang menjadi bagian warisan mereka dan dibagi rata
tanpa membeda-bedakan dari sisi laki-laki dan perempuannya. Sementara sisanya dibagikan kepada ahli
waris lainnya, ashabul furudh dan ‘ashabah yang ada.

Pembagian harta waris dalam dua kondisi ini juga dilakukan setelah pemenuhan wasiat dan
hutang yang menjadi tanggungan mayit. Semuanya sesuai dengan frasa: ٌ‫ث ك َََللَةً أَ ِو ا ْم َرأَةٌ َولَهُ أَخ‬ ُ ‫َوإِ ْن كَا َن َرجُ ٌل يُو َر‬
َ
‫صيَّةٍ يُوصَى بِهَا أ ْو دَيْ ٍن‬
ِ ‫ث ِم ْن بَعْدِ َو‬ ُ ُّ
ِ ‫ك َفهُمْ شُ َركَاءُ فِي الثل‬ َ َ ْ َ
َ ِ‫ َفإِ ْن كَانُوا أكث َر ِم ْن ذل‬،‫ُس‬ ْ ُ
ُ ‫ت َفلِك ِل َواحِ دٍ ِمنهُ َما السُّد‬ ْ ُ َ
ٌ ‫“ أ ْو أخ‬bila seseorang meninggal,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai satu orang saudara laki-laki (seibu) atau satu orang saudara perempuan (seibu), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta; tetapi bila saudara-saudara seibu itu lebih
dari satu orang, maka mereka bersama-sama mempunyai hak bagian sepertiga; setelah dipenuhi wasiat
yang dibuatnya atau (dan) setelah dibayar hutangnya.” (Muhammad As-Sayyid Thanthawi, Al-Wasith, juz
I, halaman 875-883).

Adapun diksi ‫“ غَيْ َر مُضَ ٍار‬dengan tidak merugikan”, maksudnya tidak merugikan ahli waris yaitu
wasiatnya tidak melebihi sepertiga harta. Bila melebihinya maka wasiatnya batal kecuali diperbolehkan
oleh para ahli waris. (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyyah as-Shawi ‘ ala Tafsir al-Jalalain,
[Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz I, halaman 276-277).

Sementara frasa penghujung ayat: ٌ‫ َوهللاُ عَلِيمٌ َحلِيم‬،ِ‫صيَّةً ِم َن هللا‬


ِ ‫“ َو‬Demikianlah ketentuan Allah, Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun”, maksudnya adalah berbagai ketentuan pembagian waris yang telah
dijelaskan merupakan ketentuan dari Allah. Ia maha mengetahui terhadap siapa saja yang berbuat zalim
atau berbuat adil di dalamnya; dan maha bijaksana terhadap orang yang zalim dengan menunda
hukumannya, sebab itu hendaknya ia tidak terlena dengan penundaan hukuman tersebut. (Muhammad
Nawawi al-Jawi, At-Tafsirul Munir li Ma’alimit Tanzil, [Beirut, Darul Fikr: 1425 H/2006 M], juz I, halaman
157).
E. Teks QS An-Nisa’ ayat 176

‫ْف َما ت ََركَ ۚ َوه َُو يَ ِرثُهَآ إِن لَّ ْم يَكُن لَّهَا َولَدٌ ۚ فَإِن كَانَتَا ٱثْنَتَيْ ِن‬ ُ ‫ت فَلَهَا نِص‬ َ ‫يَسْتَفْتُ ونَكَ قُ ِل ٱَّللَّ ُ يُفْتِيكُ ْم فِى ٱلْكَ َٰلَلَةِ ۚ إِ ِن ٱ ْم ُر ۟ؤٌا هَلَكَ لَي‬
ٌ ‫ْس لَهُۥ َولَدٌ َولَهُۥٓ أُ ْخ‬
ٌ‫ى ٍء عَلِيم‬ ۟ ُّ
ْ َ‫َضل وا ۗ َوٱَّللَّ ُ بِكُ ِل ش‬ َ ُ
ِ ‫ظ ْٱْلنثَيَيْ ِن ۗ يُبَيِ ُن ٱَّللَّ ُ لَكُ ْم أن ت‬ ْ ً ‫فَلَهُ َما ٱلثُّلُثَا ِن ِم َّما ت ََركَ ۚ َوإِن كَان ُٓو ۟ا إِ ْخ َوةً ِر َج‬
ِ ‫اًل َونِسَآءً فَلِلذَّك َِر مِث ُل َح‬
Terjemah Arti: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan),
jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua
orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

7
F. Penjelasan singkat ayat 176

Pada akhir ayat 12 surah ini, ada pula hukum waris kalalah, maka al-Khattabi berkata tentang
kedua ayat kalalah ini: Allah telah menurunkan dua ayat kalalah pada permulaan Surah an-Nisa’ namun
ayat itu masih bersifat umum dan belum jelas, kalau dilihat dari bunyi ayat itu saja, maka Allah
menurunkan lagi ayat kalalah di musim panas yaitu ayat terakhir dari Surah an-Nisa’.

Pada ayat ini terdapat tambahan keterangan mengenai apa yang belum dijelaskan pada ayat
pertama, karena itu ketika Umar bin al-Khattab ditanya tentang ayat kalalah yang turun pertama kali, ia
menyuruh penanya itu untuk memperhatikan ayat kalalah kedua.

Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw supaya menjawab pertanyaan yang dikemukakan
orang kepadanya mengenai pusaka kal±lah, seperti halnya Jabir bin Abdullah yang tidak lagi mempunyai
bapak dan anak, sedang dia mempunyai saudara-saudara perempuan yang bukan saudara seibu.

Karena saudara perempuan yang bukan seibu belum ada ditetapkan untuk mere ka bagian
tertentu dalam harta pusaka, sedang saudara seibu ditetapkan bagiannya yaitu seperenam jika saudara
perempuan itu seorang saja, sepertiga bila lebih dari seorang. Pusaka yang sepertiga itu dibagi rata
antara saudara-saudara perempuan seibu, berapa pun banyaknya mereka, karena pusaka itu adalah
pusaka yang menjadi hak ibu mereka kalau ibunya masih hidup.

Jawaban yang diperintahkan Allah kepada Nabi-Nya tentang masalah ini ialah bahwa bila
seseorang meninggal, sedang ia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan seibu
sebapak atau sebapak saja maka saudara perempuan itu mendapat seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, jika saudara itu seorang saja.

Bila saudara perempuannya itu mati lebih dahulu, dan tidak pula mempunyai bapak yang
menghijab (menghalanginya) dia berhak mewarisi harta yang ditinggalkannya. Dia berhak mewarisi
seluruh harta peninggalan saudara perempuannya bila tidak ada orang yang berhak atas pusaka itu yang
telah ditentukan bagiannya (ashabul furµd).

Tetapi bila ada orang yang berhak yang telah ditentukan bagiannya seperti suami, maka diberikan
lebih dahulu hak suami itu dan selebihnya menjadi haknya sepenuhnya. Kalau saudara perempuan itu
ada berdua, maka kedua saudaranya itu mendapat dua pertiga. Dan bila saudara-saudaranya yang
perempuan itu lebih dari dua orang, maka yang dua pertiga itu dibagi rata (sama banyak) antara
saudara-saudara itu.

Kalau yang ditinggalkannya itu terdiri dari saudara-saudara (seibu sebapak atau sebapak saja)
terdiri saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka harta pusaka yang ditinggalkan itu dibagi antara
mereka dengan ketentuan bahwa bagian yang laki-laki dua kali bagian yang perempuan, kecuali bila
yang ditinggalkannya itu saudara-saudara seibu, maka saudara-saudara seibu mendapat seperenam
saja, karena hak itu pada asalnya adalah hak ibu mereka. Kalau tidak karena itu, tentulah mereka tidak
berhak sama sekali karena bukan ahli-ahli waris yang berhak mewarisi seluruh harta pusaka.

8
Demikianlah yang ditetapkan Allah mengenai pusaka kal±lah, maka wajiblah kaum Muslimin
melaksanakan ketetapan-ketetapan itu dengan seksama, agar mereka jangan tersesat dan jangan
melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah. Hukum-hukum yang ditetapkan Allah itu adalah
untuk kebaikan hamba-Nya, dan ilmu-Nya amat luas meliputi segala sesuatu di dalam alam ini.

9
BAB III

PENUTUP

a) Kesimpulan
Secara etimologis, tafsir berarti penjelasan, sedangkan terminologis tafsir adalah
keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-quran sekalipun tidak di
ungkapkan secara eksplisit. Tujuan mempelajari ilmu tafsir adalah terpelihara dari salah dalam
memahami al-quran.
b) Saran
Kami sadar bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, kedepannya kami akan lebih
focus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah ini dengan sumber-sumber yang lebih
banyak yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan.

10
DAFTAR PUSTAKA

https://uninus.ac.id/tafsir-surat-an-nisa-ayat-12/
[Beirut, Al-Maktab Al-Islami: 1403 H], tahqiq: Habiburrahman Al-A’zham
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/126647/tafsir-surat-an-nisa--ayat-12
https://tafsiralquran.id/tafsir-surat-al-nisa-ayat-175-176/
Referensi: https://tafsirweb.com/1708-quran-surat-an-nisa-ayat-176.html

11

Anda mungkin juga menyukai