Disusun Oleh
Kelompok 3:
DAFTAR ISI.................................................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. ii
BAB I ............................................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 1
1.1 LATAR BELAKANG ....................................................................................................................... 1
1.2 TUJUAN PEMBELAJARAN............................................................................................................. 1
BAB II........................................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................... 2
2.1 PENGERTIAN AKAD ....................................................................................................................... 2
2. 2 DASAR HUKUM AKAD ................................................................................................................. 2
2.3 RUKUN DAN SYARAT AKAD ....................................................................................................... 3
2.4 MACAM-MACAM AKAD TRANSAKSI ........................................................................................ 4
2.5 HAL-HAL YANG MEMBATALKAN AKAD TRANSAKSI .......................................................... 5
2.6 AKAD TRANSAKSI IMPLIKASINYA DALAM OPERASIONAL LEMBAGA KEUANGAN
SYARIAH ................................................................................................................................................. 5
2.7 AKAD-AKAD BANK SYARIAH ..................................................................................................... 7
BAB III ....................................................................................................................................................... 20
PENUTUP .................................................................................................................................................. 20
KESIMPULAN ....................................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 21
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Ta’ala. yang telah memberikan banyak nikmat,
terutama nikmat kesehatan dan kesempatan sehingga proses pembuatan makalah ini dapat
dilaksanakan dengan baik dan tepat waktu.
Makalah dengan judul “ Teori Akad Dan Transaksi Dalam Ekonomi Syariah” disusun untuk
memenuhi tugas mana kuliah Ekonomi Syariah. Makalah ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, yakni R. Mohd Zamzami ,
selaku dosen pengampu mata kuliah Ekonomi Syariah dan teman-teman mahasiswa akuntansi.
Untuk itu kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya dalam berbagai bentuk hingga
makalah ini dapat terselesaikan dan sampai ke tangan pembaca.
Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan laporan ini, baik dari segi
kosakata, tata bahasa, etika maupun isi. Maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran seluas-luasnya dari para pembaca yang membangun bagi perbaikan makalah kami
selanjutnya.
Kelompok 3
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Akad merupakan perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan qabul
(penerimaan) antara satu pihak dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing
sesusi dengan prinsip syariah. Salah satu akad yang digunakan BMT dalam transaksi
pembiayaan berbasis jual beli adalah murabahah. Murabahah adalah kontrak jual-beli dimana
bank bertindak sebagai penjual sementara nasabah sebagai pembeli. Undang-undang No.21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah telah merumuskan maksud dari akad, bahwa “ Akad
adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syari’ah atau Unit Usaha Syari’ah dan pihak lain yang
membuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syari’ah’’.
Praktik akad murabahah dilapangan haruslah memenuhi rukun dan ketentuan yang
menjadi prasyaratnya rukun dan ketentuan tersebut yaitu:
Murabahah adalah jual beli barang dengan harga asal ditambah dengan keuntungan yang
disepakati. Dalam hal ini penjual harus memberitahukan harga pokok produk yang ia jual dan
menentukan suatu tingkat sebagai tambahannya. Akad murabahah adalah perjanjian juai-beli
antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian
menjaulnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan
margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN AKAD
Secara etimilogi, akad antara lain berarti: “ikatan antara dua perkara, baik secara nyata
maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua segi.” Secara umum, pengertian
akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat
ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah yaitu: segala sesuatu yang dikerjakan oleh
seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.
Menurut Ibn Abidin, Akad adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan
ketentuan syra’ yang berdampak pada objeknya.
Akad (al’aqd) merupakan jama’ dari al’uqud , secara bahasa berarti alrabth (ikatan,
mengikat), yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satu
pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu. Secara istilah
fiqih, akad di definisikan dengan “pertalian ijab (pernyataan penerimaan ikatan) dan kabul
(pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh kepada objek
perikatan. Sedangkan secara terminologi hukum Islam, akad berarti pertalian antara ijab dan
qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.
Pada dasarnya akad tidak berbeda dengan transaksi (serah terima). Semua perikatan
(transaksi) yang dilakukan oleh dua pihakatau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus sejalan
denagn kehendak syari’at. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi
barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh seseorang.
Dasar hukum di lakukannya akad dalam AlQur‟an adalah surah Al-Maidah ayat 1 dan
An-Nisa ayat 4 sebagai berikut :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak,
kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya”. (Q.S Al-Maidah : 1)
”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
2
dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap
lagi baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa : 4)
1) Aqid, Aqid adalah orang yang berakad (subjek akad).Terkadang masing-masing pihak
terdiri dari salah satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan
pembeli beras di pasar biasanya masingmasing pihak satu orang berbeda dengan ahli
waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari
beberapa orang.
2) Ma’qud Alaih, Ma’qud Alaih adalah benda-benda yang akan di akadkan (objek akad),
seperti benda-benda yang di jual dalam akad jual beli, dalam akad hibah atau pemberian,
gadai, dan utang.
3) Maudhu’ al-Aqid, Maudhu’ al-Aqid adalah tujuan atau maksud mengadakan
akad.Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad.Dalam akad jual beli misalnya,
tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan di beri
ganti.
4) Shighat al-Aqid, Sighat al-Aqid yaitu ijab qabul. Ijab adalah ungkapan yang pertama
kali di lontarkan oleh salah satu dari pihak yang akan melakukan akad, sedangkan qabul
adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Pengertian ijab qabul dalam
pengalaman dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan
pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan atau ungkapan yang
menunjukkan kesepakatan dua pihak yang melakukan akad, misalnya yang berlangganan
majalah, pembeli mengirim uang melalui pos wesel dan pembeli menerima majalah
tersebut dari kantor pos.
a) Transaksi hanya dilakukan berdasarkan prinsip saling paham dan saling ridha.
b) Prinsip kebebasan bertransaksi diakui sepanjang objeknya halal dan baik (thayib).
c) Uang hanya berfungsi sebagai alat tukar dan satuan pengukur nilai, bukan sebagai
komoditas.
3
d) Tidak mengandung unsur riba.
e) Tidak mengandung Unsur Kedzoliman.
f) Tidak mengandung unsur maysir.
g) Tidak mengandung unsur gharar.
h) Tidak mengandung unsur haram.
i) Tidak menganut prinsip nilai waktu dari uang (time value of money).
j) Transaksi tidak diperkenankan menggunakan standar ganda harga untuk satu akad serta
tidak menggunakan dua transaksi bersamaan yang berkaitan (ta’alluq) dalam satu akad.
k) Tidak ada distorsi harga melalui rekayasa permintaan(najasy), maupun melalui rekayasa
penawaran (ihtikar).
l) Tidak mengandung unsur kolusi dengan suap menyuap(risywah).
Akad dibedakan menjadi dua, yaitu akad shahih dan akad yang tidak shahih.
merupakan akad yang telah memenuhi syarat dan rukun. Ulama’ Madhab Hanafi dan
a) Akad yang nafiz, yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat dan
tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b) Akad Mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang mampu bertindak atas
kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan
melaksanakan. Seperti akadnya anak yang masih mumayyiz tapi belum baligh sehingga dia
harus mendapat izin dari wali anak itu. Menurut Madhab Syafi’i dan Hanbali, jual beli yang
mauquf itu tidak sah.
Ulama’ fiqh juga membagi jual beli yang shahih dari segi mengikat atau tidak.
a) Akad yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, sehingga salah satu pihak tidak
boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain. Seperti jual beli dan sewa menyewa.
b) Akad yang tidak bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Seperti pinjam meminjam.
merupakan akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syaratnya. Sehingga akibat
hukum tidak berlaku bagi kedua belah pihak yang melakukan akad itu.
4
Madhab Hanafi membagi akad yang tidak shahih ini ke dalam dua macam.
a) Akad batil, apabila akad itu tidak memenuhi salah satu rukun dan larangan langsung dari
syara’. Seperti jual beli yang dilakukan anak kecil.
b) Akad fasid, akad ini pada dasarnya dibenarkan tetapi sifat yang diakadkan tidak jelas
seperti menjula mobil tidak disebitkan merknya, tahunnya, dan sebagainya.
Ulama’ fiqh menyatakan bahwa suatu akad itu dapat menjadi batal atau bisa dikatakan
berakhir manakala terjadi hal-hal sebagi berikut ;
1) Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu.
2) Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat.
3) Dalam suatu akad yang bersifat mengukat, akad dapt berakhir bila :
Akad itu fasid
Berlaku khiyar syarat dan khiyar aib
Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad.
Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna.
4) Wafat salah satu pihak yang berakad. Namun, menurut M. Ali Hasan dalam buku yang
berjudul Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, akad itu bisa diteruskan oleh ahli warisnya
bila pewaris itu meninggal.
1) Wadiah
Akad penitipan batang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang
dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan,
serta keutuhan barang atau uang.
2) Mudharabah
Akad kerjasama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau bank
syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua ('amil, mudharib, atau
nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan kesepakatan yang dituangkan
dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika
pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.
5
3) Musyarakah
Akad kerjasama diantara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu yang masing-
masing pihak memberikan porsi dana masing-masing.
4) Murabahah
Akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada
pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang
disepakati.
5) Salam
Akad pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga
yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati.
6) Istisna'
Akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni') dan penjual atau pembuat
(shani').
7) Ijarah
Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari
suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikian barang itu sendiri.
8) Ijarah muntahiyah bit tamlik
Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari
suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan
barang.
9) Qardh
Akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib
mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.
6
2.7 AKAD-AKAD BANK SYARIAH
Berbagai jenis akad yang diterapkan oleh bank syariah dapat dibagi ke dalam enam
kelompok pola, yaitu:
1) Pola Titipan, seperti wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah.
2) Pola Pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan.
3) Pola Bagi Hasil, seperti mudharabah dan musharakah.
4) Pola Jual Beli, seperti murabahah, salam, dan istishna.
5) Pola Sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina.
6) Pola Lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan rahn.
Akad berpola titipan (Wadi’ah) ada dua, yaitu Wadi’ah yad Amanah dan Wadi’ah yad
Dhamanah. Pada awalnya, Wadi’ah muncul dalam bentuk yad alamanah (tangan amanah),
yang kemudian dalam perkembangannya memunculkan yadh-dhamanah ‘tangan
penanggung’. Akad Wadi’ah yad Dhamanah ini akhirnya banyak dipergunakan dalam
aplikasi perbankan syariah dalam produk-produk pendanaan.
Secara umum Wadi’ah adalah titipan murni dari pihak penitip (muwaddi’) yang mempunyai
barang/aset kepada pihak penyimpan (mustawda’) yang diberi amanah/kepercayaan, baik
individu maupun badan hukum, tempat barang yang dititipkan harus dijaga dari kerusakan,
kerugian, keamanan, dan keutuhannya, dan dikembalikan kapan saja penyimpan
menghendaki. Barang/aset yang dititipkan adalah sesuatu yang berharga yang dapat berupa
uang, barang, dokumen, surat berharga, atau barang berharga lainnya.
pihak penyimpan (custodian) sebagai penerima kepercayaan (trustee) adalah yad al-amanah
‘tangan amanah’ yang berarti bahwa ia tidak diharuskan bertanggung jawab jika sewaktu
dalam penitipan terjadi kehilangan atau kerusakan pada barang/aset titipan, selama hal ini
bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara
barang/aset titipan.
7
Syarat Wadi’ah yang harus dipenuhi adalah syarat bonus sebagai berikut:
1) Bonus merupakan kebijakan (hak prerogatif) penyimpan; dan
2) Bonus tidak disyaratkan sebelumnya.
Prinsip Wadi’ah yad Dhamanah inilah yang secara luas kemudian diaplikasikan dalam dunia
perbankan Islam dalam bentuk produk-produk pendanaannya, yaitu:
1) Giro (current account) Wadi’ah
2) Tabungan (savings account) Wadi’ah
Simpanan dengan prinsip wadi’ah yad dhamanah mempunyai potensi untuk bermasalah
dalam beberapa hal, yaitu:
a) Investasi yang terbatas.
b) Distribusi profit menguntungkan penyimpan.
c) Mencampur dana simpana dengan modal.
Pinjaman Qardh
Qardh merupakan pinjaman kebajikan/lunak tanpa imbalan, biasanya untuk
pembelian barang-barang fungible (yaitu barang yang dapat diperkirakan dan diganti
sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya). Kata qardh ini kemudian diadopsi menjadi credo
(romawi), credit (Inggris), dan kredit (Indonesia). Objek dari pinjaman qardh biasanya
adalah uang atau alat tukar lainnya (Saleh, 1992), yang merupakan transaksi pinjaman
murni tanpa bunga ketika peminjam mendapatkan uang tunai dari pemilik dana (dalam
hal ini bank) dan hanya wajib mengembalikan pokok hutang pada waktu tertentu di masa
yang akan datang. Peminjam atas prakarsa sendiri dapat mengembalikan lebih besar
sebagai ucapan terima kasih.
8
ini tidak menjadi bunga terselubung komisi atau biaya ini tidak boleh dibuat proporsional
terhadap jumlah pinjaman (Ashker, 1987).
Rukun dari akad Qardh atau Qardhul Hasan yang harus dipenuhi dalam transaksi ada
beberapa:
1. Pelaku akad, yaitu muqtaridh (peminjam), pihak yang membutuhkan dana, dan muqridh
(pemberi pinjaman), pihak yang memiliki dana;
2. Objek akad, yaitu qardh (dana);
3. Tujuan, yaitu ‘iwad atau countervalue berupa pinjaman tanpa imbalan (pinjam Rp.X,-
dikembalikan Rp.X,-); dan
4. Shighah,yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan syarat dari akad Qardh atau Qardhul Hasan yang harus dipenuhi dalam transaksi,
yaitu:
1) Kerelaan kedua belah pihak; dan
2) Dana digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat dan halal.
Konsep bagi hasil yang digambarkan dalam buku Fiqih pada umumnya
diasumsikan bahwa para pihak yang bekerja sama bermaksud untuk memulai atau
mendirikan suatu usaha patungan (joint venture) ketika semua mitra usaha turut
berpartisipasi sejak awal beroperasi dan tetap menjadi mitra usaha sampai usaha berakhir
pada waktu semua aset dilikuidasi.
Ciri utama pola bagi hasil adalah bahwa keuntungan dan kerugian ditanggung
bersama baik oleh pemilik dana maupun pengusaha. Beberapa prinsip dasar konsep bagi
hasil yang dikemukakan oleh Usmani (1999), adalah sebagai berikut :
a. Bagi hasil tidak berarti meminjamkan uang, tetapi merupakan partisipasi dalam usaha.
Dalam hal musyarakah, keikutsertaan aset dalam usaha hanya sebatas proporsi
pembiayaan masing-masing pihak.
b. Investor atau pemilik dana harus ikut menanggung risiko kerugian usaha sebatas proporsi
pembiayaannya.
9
c. Para mitra usaha bebas menentukan, dengan persetujuan bersama, rasio keuntungan
untuk masing-masing pihak, yang dapat berbeda dari rasio pembiayaan yang disertakan.
d. Kerugian yang ditanggung oleh masing-masing pihak harus sama dengan proporsi
investasi mereka.
A. Musyarakah
Musyarakah merupakan istilah yang sering dipakai dalam konteks skim pembiayaan Syariah.
Syirkah berarti sharing ‘berbagi’, dan di dalam terminologi Fikih Islam dibagi dalam dua
jenis.
a) Syirkah al-milk atau syirkah amlak atau syirkah kepemilikan, yaitu kepemilikan bersama
dua pihak atau lebih dari suatu properti; dan
b) Syirkah al-‘aqd atau syikah ‘ukud atau syirkah akad, yang berarti kemitraan yang terjadi
karena adanya kontrak bersama, atau usaha komersial bersama. Syirkah al-‘aqd sendiri
ada empat (Mazhab Hambali memasukkan syirkah mudharabah sebagai syirkah al-‘aqd
yang kelima), yaitu:
1. Syirkah al-amwal atau syirkah al-‘Inan,
2. Syirkah al-mufawadhah,
3. Syirkah al-a’mal atau syirkah Abdan,
4. Syirkah al-wujuh
Musyarakah merupakan akad bagi hasil ketika dua atau lebih pengusaha
pemilik dana/modal bekerja sama sebagai mitra usaha, membiayai investasi usaha baru atau
yang sudah berjalan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa proporsi keuntungan dapat
berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal. Namun demikian, mitra yang memutuskan
menjadi sleeping partner, proporsi keuntungannya tidak boleh melebihi proporsi modalnya.
Sementara itu, kerugian, apabila terjadi, akan ditanggung bersama sesuai dengan proporsi
penyertaan modal masing-masing (semua ulama sepakat dalam hal ini). Iman Syafi’i
memerinci bahwa barang yang dapat disertakan dalam modal adalah barang yang dapat
diukur kualitas dan kuantitasnya sehingga dapat diganti kalau ada kerusakan. Barang ini biasa
disebut dhawat-ul- amthal atau fungible goods, bukan dhawat-ul-qeemah yang sulit diukur
kualitas dan kuantitasnya.
Musyarakah pada umumnya merupakan perjanjian yang berjalan terus sepanjang usaha yang
dibiayai bersama terus beroperasi. Meskipun demikian, perjanjian musyarakah dapat diakhiri
dengan atau tanpa menutup usaha.
Rukun dari akad musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu:
1) Pelaku akad, yaitu para mitra usaha;
2) Objek akad, yaitu modal (maal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh); dan
3) Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.
10
Beberapa syarat pokok musyarakah menurut Usmani (1998) antara lain:
a. Syarat akad. Karena musyarakah merupakan hubungan yang dibentuk oleh para mitra
melalui kontrak/akad yang disepakati bersama, maka otomatis empat syarat akad yaitu 1)
syarat berlakunya akad (In’iqod); 2) syarat sahnya akad (Shihah); 3) syarat
terealisasikannya akad (Nafadz); dan 4) syarat Lazim juga harus dipenuhi.
b. Pembagian proporsi keuntungan.
Dalam pembagian proporsi keuntungan harus dipenuhi hal-hal berikut.
1. Proporsi keuntungan yang dibagikan kepada para mitra usaha harus disepakati di
awal kontrak/akad. Jika proporsi belum ditetapkan, akad tidak sah menurut Syariah.
2. Rasio/nisbah keuntungan untuk masing-masing mitra usaha harus ditetapkan sesuai
dengan keuntungan nyata yang diperoleh dari usaha, dan tidak ditetapkan
berdasarkan modal yang disertakan.
d. Pembagian kerugian. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa setiap mitra menanggung
kerugian sesuai dengan porsi investasinya. Oleh karena itu, jika seorang mitra
menyertakan 40 persen modal, maka dia harus menanggung 40 persen kerugian, tidak
lebih, tidak kurang. Apabila tidak demikian, akad musyarakah tidak sah. Jadi, menurut
Imam Syafi’i, porsi keuntungan atau kerugian dari masing-masing mitra harus sesuai
dengan porsi penyertaan modalnya.
11
Sementara itu, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, porsi keuntungan dapat
berbeda dari porsi modal yang disertakan, tetapi kerugian harus ditanggung sesuai dengan
porsi penyertaan modal masing-masing mitra.
Prinsip ini yang terkenal dalam pepatah: Keuntungan didasarkan pada kesepakatan para
pihak, sedangkan kerugian selalu tergantung pada proporsi investasinya.
e. Sifat modal. Sebagian besar ahli hukum Islam berpendapat bahwa modal yang
diinvestasikan oleh setiap mitra harus dalam bentuk modal likuid. Hal ini berarti bahwa akad
musyarakah hanya dapat dengan uang dan tidak dapat dengan komoditas. Dengan kata lain,
bagian modal dari suatu perusahaan patungan harus dalam bentuk moneter (uang). Tidak ada
bagian modal yang berbentuk natura.
Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Namun demikian, ada perbedaan dalam hal
detailnya.
1) Imam Malik berpendapat bahwa likuditas modal bukan merupakan syarat sahnya
musyarakah, sehingga mitra diperbolehkan berkontribusi dalam bentuk natura, tetapi
bagian modal tersebut harus dinilai dalam uang sesuai harga pasar pada saat perjanjian.
Pendapat ini diadopsi juga oleh beberapa ahli hukum Islam mazhab Hambali.
2) imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad berpendapat bahwa kontribusi dalam bentuk natura
tidak diperbolehkan dalam musyarakah. Sudut pandang mereka didasarkan pada dua
alasan.
Pertama, mereka mengatakan bahwa komoditas dari tiap mitra selalu dapat dibedakan
dari komoditas mitra lain. Misalnya, jika A berkontribusi satu mobil ke dalam usaha dan
B juga berkontribusi satu mobil ke dalam usaha, dan setiap mobil merupakan milik
eksklusif dari pemilik asli. Jika mobil A terjual, hasil penjualan seharusnya menjadi milik
A. B tidak memiliki hak untuk memperoleh bagian dari penjualan tersebut. Akibatnya,
selama komoditas tiap mitra dapat dibedakan dari komoditas mitra lain, kemitraan tidak
dapat dilaksanakan. Sebaliknya, jika modal yang diinvestasikan oleh tiap mitra dalam
bentuk uang, bagian modal tiap mitra tidak dapat dibedakan dari bagian modal mitra lain
karena satuan uang tidak dapat dibedakan dari satuan uang lainnya. Sehingga modal
mereka membentuk pool bersama, maka terbentuklah kemitraan bersama. Kedua, mereka
mengatakan bahwa terdapat sejumlah situasi dalam kontrak musyarakah ketika para mitra
terpaksa harus membagikan kembali bagian modal masing-masing mitra.
3) Imam Syafi’i, yang dapat dikatakan sebagai pendapat tengah-tengah, berpendapat bahwa
komoditas ada dua jenis :
Dhawat al amsal (fungible goods), yaitu komoditas yang apabila rusak dapat
diganti dengan komoditas yang sama kualitas dan kuantitasnya, seperti beras,
gandum, dan sebagainya. Jika 100 kilogram beras rusak, maka akan mudah
menggantinya dengan 100 kilogram beras lain yang sama kualitasnya; dan
Dhawat al qimah (non-fungible goods), yaitu komoditas yang tidak bisa diganti
dengan komoditas lain yang sama, seperti seekor sapi. Setiap ekor domba
12
mempunyai karakteristik yang tidak sama dengan domba yang lain. Jika seseorang
membunuh domba orang lain dia tidak dapat menggantinya dengan domba lain
yang serupa, kecuali membayar harga domba tersebut.
f. Manajemen musyarakah. Prinsip normal dari musyarakah bahwa setiap mitra
mempunyai hak untuk ikut serta dalam manajemen dan bekerja untuk usaha patungan
ini. Namun demikian, para mitra dapat pula sepakat bahwa manajemen perusahaan akan
dilakukan oleh salah satu dari mereka, dan mitra lain tidak akan menjadi bagian
manajemen dari musyarakah. Dalam kasus seperti ini sleeping partners akan
memperoleh bagian keuntungan sebatas investasinya, dan proporsi keuntungannya hanya
sebatas proporsi penyertaan modalnya. Jika semua mitra sepakat untuk bekerja di
perusahaan, masingmasing mitra harus diperlakukan sebagai agen dari mitra yang lain
dalam semua urusan usaha, dan semua pekerjaan yang dilakukan oleh setiap mitra,
dalam keadaan usaha yang normal, harus disetujui oleh semua mitra.
g. Penghentian musyarakah. Musyarakah akan berakhir jika salah satu dari peristiwa
berikut terjadi.
1. Setiap mitra memiliki hak untuk mengakhiri musyarakah kapan saja setelah
menyampaikan pemberitahuan kepada mitra lain mengenai hal ini.
Dalam hal ini, jika aset musyarakah berbentuk tunai, semuanya dapat dibagikan pro
rata di antara para mitra. Akan tetapi, jika aset tidak dilikuidasi, para mitra dapat
membuat kesepakatan untuk melikuidasi aset atau membagi aset apa adanya di antara
mitra. Jika terdapat ketidaksepakatan dalam hal ini, yaitu jika seorang mitra ingin
likuidasi sementara mitra lain ingin dibagi apa adanya, maka yang terakhir yang
didahulukan karena setelah berakhirnya musyarakah semua aset dalam kepemilikan
bersama para mitra, dan seorang co-owner mempunyai hak untuk melakukan partisi
atau pembagian, dan tidak seorang pun yang dapat memaksa dia untuk melikuidasi
aset. Namun demikian, jika aset tersebut tidak dapat dipisah atau dipartisi, seperti
mesin, maka aset tersebut harus dijual terlebih dahulu dan hasil penjualannya
dibagikan.
2. Jika salah seorang mitra meninggal pada saat musyarakah masih berjalan, kontrak
dengan almarhum tetap berakhir/dihentikan. Ahli warisnya memiliki pilihan untuk
menarik bagian modalnya atau meneruskan kontrak musyarakah.
3. Jika salah seorang mitra menjadi hilang ingatan atau menjadi tidak mampu
melakukan transaksi komersial, maka kontrak musyarakah berakhir.
13
h. Penghentian musyarakah tanpa menutup usaha.
Jika salah seorang mitra ingin mengakhiri musyarakah sedangkan mitra lain ingin tetap
meneruskan usaha, maka hal ini dapat dilakukan dengan kesepakatan bersama. Mitra
yang ingin tetap menjalankan usaha dapat membeli saham/bagian dari mitra yang ingin
berhenti karena berhentinya seorang mitra dari musyarakah tidak berarti bahwa mitra
lain juga berhenti. Namun demikian, dalam hal ini, harga saham mitra yang akan keluar
harus ditetapkan dengan kesepakatan bersama, dan jika terjadi sengketa tentang penilaian
saham sementara para mitra tidak mencapai kesepakatan, mitra yang akan keluar dapat
memaksa mitra lain untuk melikuidasi atau mendistribusi aset.
Timbul pertanyaan apakah para mitra dapat menyepakati bahwa ketika masuk ke dalam
musyarakah mereka setuju dengan syarat bahwa likuidasi atau pemisahan usaha tidak
dapat dilakukan kecuali disetujui oleh semua atau mayoritas para mitra, dan apabila ada
mitra yang ingin keluar dari musyarakah, ia harus menjual sahamnya kepada mitra lain
dan tidak dapat memaksa mitra lain untuk melakukan likuidasi atau pemisahan.
Sebagian besar buku klasik tentang Fikih Islam kelihatannya tidak berkomentar tentang
hal ini. Namun demikian, kelihatannya tidak ada larangan dari sudut pandang Syariah
jika para mitra sepakat dengan syarat seperti di atas di awal perjanjian musyarakah. Hal
ini secara tegas disetujui oleh sebagian ahli hukum Islam dari mazhab Hambali.
B. Mudharabah
Mudharabah atau penanaman modal adalah penyerahan
modal uang kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan persentase
keuntungan Sebagai suatu bentuk kontrak.
Rukun dari akad mudharabah yaitu :
14
1) Pelaku akad, yaitu shahibul maal (pemodal) adalah pihak yangmemiliki modal tetapi
tidak bisa berbisnis, dan mudharib (pengelola)adalah pihak yang pandai berbisnis,
tetapi tidak memiliki modal;
2) Objek akad, yaitu modal (maal), kerja (dharabah), dan keuntungan(ribh); dan
3) Shighah, yaitu Ijab dan Qabul
Syarat lain akad mudharabah muqayyadah ‘executing’ (on balance sheet) yaitu Pemodal
menetapkan syarat; Kedua pihak sepakat dengan syarat usaha, keuntungan; Bank
menerbitkan bukti investasi khusus; dan Bank memisahkan dana serta mudharabah
muqayyadah ‘channeling’ (off balance sheet) yaitu Penyaluranlangsung ke nasabah; Bank
menerima komisi; Bank menerbitkan bukti investasikhusus; dan Bank mencatat di
rekening administrasi.
Akad mudharabah merupakan akad utama yang digunakan oleh banksyariah baik untuk
penghimpunan dana (pendanaan) maupun untuk penyalurandana (pembiayaan).
Bentuk-bentuk akad mudharabah antara lain:
1) Mudharabah Bilateral (Sederhana), adalah bentukmudharabah antara satu pihak
sebagai shahibul maal dan satu pihak lainsebagai mudharib.
2) Mudharabah Multilateral, adalah bentukmudharabah antara beberapa pihak sebagai
shahibul maal dan satu pihaklain sebagai mudharib.
3) Mudharabah Bertingkat (Re-mudharabah), adalah bentuk mudharabah antara tiga
pihak. Pihakpertama sebagai shahibul maal, pihak kedua sebagai mudharib antara,
danpihak ketiga sebagai mudharib akhir.
4) Kombinasi Musharakah dan Mudharabah.
15
perniagaan (albai’) dan mengharamkan riba”. Sedangkan dalam QS 4:29disebutkan “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan hartasesamamu dengan jalan yang
batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yangberlaku atas dasar suka sama suka di
antara kamu”.
Dalam Fiqih Islam dikenal berbagai macam jual beli. Dari sisi objek yang
diperjualbelikan, jual beli dibagi tiga, yaitu:
a. Jual beli mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa denganuang;
b. Jual beli sharf, yaitu jual beli atau pertukaran antara satu mata uangdengan mata uang
lain;
c. Jual beli muqayyadah, yaitu jual beli dimana pertukaran terjadiantara barang dengan
barang (barter), atau pertukaran antara barangdengan barang yang dinilai dengan
valuta asing (counter trade).
Dari sisi cara menetapkan harga, jual beli dibagi empat, yaitu:
1) Jual beli musawamah (tawar menawar), yaitu jual beli biasa Ketikapenjual tidak
memberitahukan harga pokok dan keuntungan yangdidapatnya;
2) Jual beli amanah, yaitu jual beli dimana penjual memberitahukanmodal jualnya
(harga perolehan barang).
3) Jual beli dengan harga tangguh, Bai’ bitsaman ajil, yaitu jual belidengan penetapan
harga yang akan dibayar kemudian.
4) Jual beli muzayadah (lelang), yaitu jual beli dengan penawaran daripenjual dan para
pembeli berlomba menawar, lalu penawar tertinggi terpilih sebagai pembeli.
16
g) Obyek yang diperdagangkan harus dapat diketahui dan diidentifikasisecara spesifik
oleh pembeli.
h) Penyerahan barang kepada pembeli harus tertentu dan tidak bergantungpada suatu
syarat atau kemungkinan.
i) Penyerahan barang kepada pembeli harus tertentu dan tidak bergantungpada suatu
syarat atau kemungkinan.
j) Jual beli harus tanpa syarat (unconditional).
1) Murabahah
Murabahah dalam Fiqih Islam berarti suatu bentukjual beli tertentu ketika penjual
menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya lain
yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut,dan tingkat keuntungan
(margin) yang diinginkan.
Syarat pokok murabahah menurut Usmani (1999), antara lain :
1) Salah satu bentuk jual beli ketika penjual secaraeksplisit menyatakan biaya
perolehan barang yang akan dijualnya danmenjual kepada orang lain dengan
menambahkan tingkat keuntunganyang diinginkan.
2) Tingkat keuntungan dalam murabahah dapat ditentukan
berdasarkankesepakatan bersama dalam bentuk lumpsum atau persentase
tertentu daribiaya.
3) Semua biaya yang dikeluarkan penjual dalam rangka memperoleh barang,
dimasukkan ke dalam biaya perolehan untuk menentukan harga agregat dan
margin keuntungandidasarkan pada harga agregat.
4) Murabahah dikatakan sah hanya ketika biaya-biaya perolehan barangdapat
ditentukan secara pasti.
Bentuk-bentuk akad murabahah antara lain:
1. Murabahah Sederhana yaitu ketika penjual memasarkan barangnya kepada
pembeli dengan harga sesuai harga perolehan ditambah marjin keuntungan
yangdiinginkan.
2. Murabahah kepada Pemesan yaitu melibatkan tigapihak, antara lain pemesan,
pembeli dan penjual.
2) Salam
Salam merupakan bentuk jual beli dengan pembayaran di muka danpenyerahan
barang di kemudian hari (advanced payment atau forward buying ataufuture sales)
dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, dan tanggal dan tempatpenyerahan yang
jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
Syarat-syarat salam yang harus dipenuhi, antara lain(Usmani, 1999) sebagai
berikut.
17
1) Pembeli harus membayar penuh barang yang dipesan pada saat akadsalam
ditandatangani.
2) Salam hanya boleh digunakan untuk jual beli komoditas yang kualitasdan
kuantitasnya dapat ditentukan dengan tepat (fungible goods ataudhawat al
amthal).
3) Salam tidak dapat dilakukan untuk jual beli komoditas tertentu atauproduk
dari lahan pertanian atau peternakan tertentu.
4) Kualitas dari komoditas yang akan dijual dengan akad salam
perlumempunyai spesifikasi yang jelas.
5) Ukuran kuantitas dari komoditas perlu disepakati dengan tegas.
6) Tanggal dan tempat penyerahan barang yang pasti harus ditetapkan dalam
kontrak.
7) Salam tidak dapat dilakukan untuk barang-barang yang harus diserahkan
langsung.
3) Istishna
Istishna adalah memesan kepada perusahaan untuk memproduksi barangatau
komoditas tertentu untuk pembeli/pemesan. Jika perusahaan mengerjakan untuk
memproduksi barang yang dipesandengan bahan baku dari perusahaan, maka
kontrak/akad istishna muncul. Agarakad istishna menjadi sah, harga harus
ditetapkan di awal sesuai kesepakatan danbarang harus memiliki spesifikasi yang
jelas yang telah disepakati bersama. Dalamistishna pembayaran dapat di muka,
dicicil sampai selesai, atau di belakang, sertaistishna biasanya diaplikasikan untuk
industri dan barang manufaktur.
Rukun dari akad istishna yang harus dipenuhi, yaitu:
Pelaku akad, yaitu mustashni’ (pembeli) adalah pihak yangmembutuhkan dan
memesan barang, dan
Shani’ (penjual) adalah pihak yangmemproduksi barang pesanan;
Objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’)dengan spesifikasinya dan harga
(tsaman); dan
Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.
18
2) Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitumemindahkan hak
untuk memakai dari aset atau properti tertentu kepadaorang lain dengan imbalan
biaya sewa.
19
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam hukum Islam, materi akad dibahas secara detail dalam kajian fiqh muamalah,
yakni bidang yang membahas interaksi manusia dengan sesamanya dan perilaku manusia
terhadap segala sesuatu yang dapat memenuhi hajat hidup manusia. Dalam bidang ekonomi
syariah, akad memegang peranan utama terhadap seluruh aktivitas ekonomi. Akad memfasilitasi
setiap orang yang menjalani kegiatan ekonomi, termasuk barang dan jasa. Dalam kaitan ini
aktivitas pengadaan (produksi), penyebaran/pembagian (distribusi), dan konsumsi, merupakan
sejumlah perilaku manusia yang sangat ditentukan oleh akad yang menyertainya. Sebab itu
dinamika ekonomi merupakan wujud dari berperannya akad dalam semua lapangan transaksi dan
perilaku manusia.
20
DAFTAR PUSTAKA
21