Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PRINSIP DASAR DALAM

TRANSAKSI EKONOMI ISLAM

Disusun oleh:

RAPIAH SIREGAR (104220011)

DINDA AULIA (104220001)

Dosen Pembimbing:

JALALUDDIN FA,S.H.,M.H.

MAHASISWA SEMESTER DUA

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UIN STS JAMBI

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke Hadirat Allat SWT, karena berkat limpahan Rahmat
dan Karunia Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Dalam
makalah ini kami akan membahas mengenai “Prinsip Dasar Dalam Transaksi ekonomi Islam”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Hukum Ekonomi Syariah. Dan
berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan
tugas makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini terutama dosen
pengampu kami yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan tugas ini.
Kami menyadari bahwa kami masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh
karena itu kami mengajak pembaca untuk memberikan saran serta kritik atau sanggahan bila ada
kekurangan yang dapat membangun kami. Kritik konsruktif dari pembaca sangat kami harapkan
untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata dari kami semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.

24 November 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER...........................................................................................................................................

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................

BAB 1 : PENDAHULUAN...........................................................................................................

1.1 : Latar Belakang...............................................................................................................


1.2 : Rumusan Masalah..........................................................................................................
1.3 : Tujuan Penelitian...........................................................................................................

BAB 11 : PEMBAHASAN............................................................................................................

2.1 : Prinsip Tabaadul (Tukar Menukar)..............................................................................

2.2 : Prinsip Ta’adul (Keadilan).............................................................................................

2.3 : Prinsip Taraadhi (Kerelaan)...........................................................................................

2.4 : Ketiadaan Qimar (Judi)..................................................................................................

2.5: Ketiadaan Gharar (Ketidakjelasan)...............................................................................

2.6: Ketiadaan Riba.................................................................................................................

BAB 111 : PENUTUP....................................................................................................................

3.1 : Kesimpulan........................................................................................................................

3.2 : Saran..................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Secara umum transaksi diartikan sebagai kegiatan yang melibatkan paling sedikit dua
belah pihak, pembeli dan penjual, yang saling melakukan pertukaran. Adapun yang
dimaksud dengan transaksi pertukaran (mu‘awadat) adalah suatu transaksi yang diperoleh
melalui proses atau perbuatan memperoleh suatu dengan memberikan sesuatu,
melibatkan diri dalam perikatan usaha, pinjam-meminjam atas dasar suka sama suka
ataupun atas dasar ketetapan hukum dan syariah yang berlaku.
Transaksi dalam Islam harus dilandasi oleh aturan hukum-hukum Islam karena
transaksi adalah manisfestasi amal manusia yang bernilai ibadah dihadapan Allah, yang
dapat dikategorikan menjadi transaksi yang halal dan haram. Dalam transaksi terdapat
akad yang saling mempertemukan antara ijab dan qabul yang berakibat timbulnya akibat
hukum. Akad merupakan tindakan hukum dua belah pihak yang melaksanakan
pertemuan ijab dan qabul yang menyatakan kehendak pihak lain. Tujuan akad itu adalah
untuk melahirkan suatu akibat hukum dalam transaksi jual beli
.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Prinsip Tabaadul (tukar menukar)


Tukar menukar atau barter (Tabadul) adalah transaksi pertukaran kepemilikan
antara dua barang yang objeknya bisa sejenis dan bisa berbeda jenis dengan dasar
saling rela antara kedua belah pihak yang saling bertransaksi. Ada dua kelompok
barang yang dapat dipertukarkan yaitu barang ribawi dan barang nonribawi. Yang
dimaksud dengan barang ribawi yaitu adalah barang yang secara kasap mata tidak
dapat dibedakan satu sama lainya baik kualitas maupun kuantitas. Para ahli fiqh
berpendapat ada 7 macam yaitu emas, perak, jenis gandum, kurma, tepung, anggur
kering dan garam. Sedangkan barang nonribawi yaitu segala jenis barang kecuali
barang ribawi yang disebutkan diatas.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa barter sebaiknya tidak dilakukan dengan
alasan bahwa bisa jadi salah satu pihak dirugikan karena perbedaan harga yang
signifikan, yang perlu diatur dalam jual beli barter ini adalah sistem informasi
harganya dan bukan pada jenis transaksinya. Semua pihak yang bermaksud
melakukan proses barter harus diberikan kesempatan untuk memperoleh informasi
mengenai harga barang-barang yang di pertukarkan.
Tukar menukar atau barter (Tabadul) juga merupakan sebagai sebuah kegiatan
dagang yang dilakukan dengan cara mempertukarkan objek barang yang satu dengan
barang yang lain dengan dasar saling rela.Menurut (Sunarto Zulkifli dalam bukunya
Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah). Beliau menganggap bahwa transaksi
barter dapat dilakukan dan tidak bertentangan dengan syari’ah. Namun demikian,
diperlukan aturan main yang jelas terutama tentang informasi harga dan barang.
Bukankah dalam transaksi ini semua pihak bertanggung jawab untuk informasi
mengenai kuantitas dan kualitasnya.
Rukun dan syarat tukar menukar sama dengan rukun dan syarat jual beli, karena
tukar menukar yaitu saling memindahkan kepemilik dengan ganti yang dapat
dibenarkan. Rukun tukar menukar dalam transaksi tukar menukar menurut fuqaha
Hanafiyah adalah adanya ijab dan qabul yang menunjuk kepada saling menukarkan,
atau dalam bentuk lain yang dapat menggantikannya. Sedangkan menurut jumhur
ulama rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi tukar-menukar yaitu: Aqid (orang
yang berakad), Sighat (lafal ijab dan qabul) dan Ma’qud alaih (obyek akad).
Jika terjadi pertukaran antar barang ribawi, maka ada pertukaran yang dibolehkan
dan ada yang diharamkan. Jika terjadi antara satu jenis (seperti emas dengan emas,
perak dengan perak, gandum dengan gandum, jagung dengan jagung), maka
pertukaran itu dibolehkan jika memenuhi tiga syarat:
1. Kesamaan ukuran
2. Kontan.
3. Serah terima

B. Prinsip Ta’adul (Keadilan)

FILOSOFIS keadilan dalam perspektif Islam adalah kemaslahatan universal dan


komprehensif. Universal berarti bahwa Islam diperuntukkan bagi seluruh umat
manusia di muka bumi, dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir
zaman. Komprehensif artinya bahwa Islam mempunyai ajaran yang lengkap dan
sempurna (Agustianto, 2004). Alquran dan hadis sebagai pedoman memiliki daya
jangkauan yang luas. Universalitas keadilan dalam Islam meliputi semua aspek
kehidupan manusia, baik pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Esensi ajaran Islam terhadap aspek keadilan sosial dan ekonomi adalah sebuah
keharusan yang harus dijalankan oleh umat manusia. Karena keadilan dalam
pandangan Islam merupakan kewajiban dan keharusan dalam menata kehidupan
setiap manusia. Selain sebagai sebuah dari kewajiban dan keharusan. Keadilan sosial
dan ekonomi juga memiliki nilai transedental terhadap Allah (ibadah) sebagaimana
firman Allah Swt: “Sesungguhnya kami telah menempatkan kamu sekalian di muka
bumi dan kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan, amat
sedikitlah kamu bersyukur.” QS. Al-A’raf: 10)
Ibadah dalam ajaran Islam bersumber kepada dua kutub. Kutub vertikal antara
manusia dengan Allah. Kutub horizontal antarsesama manusia. Jadi esensi ajaran
Islam tentang keadilan sosial dan ekonomi bisa berada pada kedua kutub. Namun
dominasi berada pada interaksinya antarsesama manusia. Menurut ajaran Islam,
semua kegiatan manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan
tauhid. Setiap ikatan atau hubungan antara seseorang dengan orang lain dan
penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid adalah ikatan atau hubungan
yang tidak Islami.
Setidaknya, ada prinsip utama keadilan dalam Islam, yakni: Pertama, tidak boleh
ada saling mengeksploitasi sesama manusia, dan; Kedua, tidak boleh memisahkan diri
dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan
mereka saja (monopoli). Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga,
maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah dan di depan hukum
yang diwahyukan-Nya.
Keadilan ekonomi dalam ajaran Islam adalah adanya aturan main (rules of the
game) tentang hubungan ekonomi yang dilandaskan pada etika dan prinsip ekonomi
yang bersumber pada Tuhan dan fatwa manusia. Etika dan keadilan ekonomi
memiliki keterkaitanya yang tidak dapat dipisahkan. Etika sebagai pondasi dalam
membangun sebuah keadilan. Tanpa etika yang kuat, maka implimentasi ekonomi
akan terjadi ketimpangan. Islam sangat fokus pada persaudaraan dalam melahirkan
keadilan ekonomi. Karena keadilan ekonomi akan membuka ruang dan kesempatan
bagi semua manusia di muka bumi untuk mendapatkan kesempatan yang sama. Tanpa
ada saling melakukan eksploitasi.

C. Prinsip Taraadhi (Kerelaan)

An taradhin terdiri dari dua suku kata; „an dan taradhin. Taradhin berasal dari
taradhaya, yataradhayu, taradhuyan setimbang dengan tafa‟ala, yatafa‟alu, tafa‟ulan.
yang berarti suka. Dengan menggunakan bina musyarakah menunjukkan arti saling suka
menyukai ( mutual consent or agreement ). Penambahan huruf “ „an “ menunjukkan
bahwa prinsip suka sama suka tersebut haruslah muncul dari keinginan hati masing-
masing pihak yang dibuktikan dengan adanya ijab dan qabul, bukan suka sama suka
dalam arti formal. Oleh karena itu al-Syafi‟iy berpendapat;
Artinya: Tidak sah jual beli melainkan dengan serah terima karena itulah yang secara
nash menunjukkan suka sama suka.

Juahaya, S. Praja, menjelaskan bahwa „an taradhin termasuk salah satu prinsip
mu‟amalat yang berlaku bagi setiap bentuk mu‟amalat antar individu atau antar pihak,
karenanya dalam menjalankan kegiatan mu‟amalat harus berdasarkan kerelaan masing-
masing. Kerelaan di sini dapat berarti kerelaan melakukan sesuatu bentuk mu‟amalat,
maupun kerelaan dalam arti menerima dan atau menyerahkan harta yang dijadikan objek
perikatan dan bentuk muamalat lainnya.

Menurut golongan Syafi‟iyah sifat suka (ridha) adalah sifat yang tersembunyi di
dalam hati (amran khafiyan wa dhamiiran qalbiyan). Oleh karena itu ketika hakikat ridha
itu merupakan sesuatu yang tersembunyi di dalam hati. maka dia menghendaki kebijakan
moral untuk menjelaskan seluruh apa yang dimaksudkan serta jelas mempunyai
hubungan yang dapat dipandang sebagai dalil untuk menunjukkan kerelaan dari pihak-
pihak yang melakukan transaksi jual beli itu sendiri. Dalam kaitan ini tidak lain adalah
Ijab dan Qabul. Imam al-Syafi‟iy tidak membenarkan ijab dan qabul itu dihubung-
hubungkan dengan yang lainnya seperti dihubungkan dengan kerelaan dalam hal
memberi.

Untuk itu, satu-satunya dalil yang dapat menunjukkan kerelaan tersebut adalah lafadz
yang diucapkan oleh pihak penjual dan pembeli. Lafadz tersebut harus dapat dinilai
secara transparan, karenanya harus dituturkan dengan lafadz yang sharih. Seorang
pembeli misalnya berkata kepada sang penjual “juallah barang daganganmu itu kepada
saya dengan harga sekian…”, lalu penjual itu menjawab, “saya menjualnya…”.
Ungkapan seperti ini menurut al-Syafi‟iy belum menjadikan transaksi jual beli itu
sempurna sampai sang pembeli itu mengucapkan saya membelinya. Akan tetapi menurut
Imam Malik, ucapan seperti itu sudah dapat dipandang sebagai jual beli yang sah karena
yang dituntut adalah pemahaman dari lafadz tersebut, kecuali kalau memang lafadz itu
bukan dimaksudkan untuk jual beli. Akan tetapi berbeda dengan apabila seorang pembeli
menanyakan kepada penjual “berapa harga barang dagangmu ini ?”. Lalu penjual
menyebutkan harga barang tersebut dan pembeli mengatakan “saya membelinya dengan
harga sekian…”. Keadaan seperti ini menurut al-Syafi‟iy jual beli sudah sah terjadi
karena penuturan lafadz itu bisa diucapkan dengan lafadz yang sharih dan bisa pula
dituturkan dengan lafadz kinayah.

Sistem perdagangan dewasa ini telah melaju pesat baik dalam produk yang
dipasarkan maupun dalam sistem bisnis, mulai dari perdagangan pasar sampai pada bisnis
lewat internet (e-commerce) yang dapat melayani business to business atau business to
consumer. Dengan perkembangan sistem seperti ini, sudah jelas mengundang perubahan
hukum yang diterapkan pada masa sebelumnya. Oleh karena itu, prinsip an taradhin yang
dikenal dalam dunia bisnis masa silam perlu direkonstruksi dengan menyesuaikan diri
pada perkembangan zaman sekarang, karena nampaknya pola „an taradhin yang
dikemukakan ulama salaf seperti dikemukakan di atas tadi sudah tidak mampu lagi
menampung layanan perdagangan modern yang semakin canggih dewasa ini.

Dalam perdagangan lewat media elektronik seperti Telephon, TV dan Internet, telah
memasyarakat dalam dunia bisnis. Bukan suatu hal yang mustahil di masa depan
perdagangan lewat internet dapat mengungguli perdagangan pasar, meskipun
perdagangan pasar tidak mungkin dihilangkan. Banyak orang yang tidak pernah
membayangkan, dapat membuka usaha 24 jam sehari selama tujuh hari sepekan, nonstop,
tanpa libur, tanpa lembur dengan memberdayakan internet. Cara seperti ini sangat praktis
karena tidak memerlukan tempat yang lapang dan stok barang yang perlu dipanjangkan
layaknya sebuah toko.
D. Ketiadaan Qimar (Judi)

Judi dalam hukum syar’i disebut maysir dan qimar adalah transaksi yang dilakukan
oleh dua belah untuk pemilikan suatu barang atau jasa yang menguntungkan satu pihak
dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu aksi
atau peristiwa.

Hai orang orang yang beriman sesungguhnya arak, judi, berhala dan mengundi nasib
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan maka jauhilah perbuatan perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan sesungguhnya syaitan itu bermaksud menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran arak dan berjudi itu menghalangi
kamu dari mengingat Allah dan shalat maka berhentilah kamu.(Qs AL –Maidah: 90-91).

Sebenarnya kalau dinalar berjudi memang merugikan karena secara matematika


peluang untuk menang berjudi itu sangat kecil apalagi kalau pemainnya banyak Memang
banyak alasan logis (dan ilmiah) di balik larangan maupun anjuran dalam agama Islam
Allah SWT telah memperingatkan dengan tegas mengenai bahaya judi ini di dalam surat
Al-Maidah ayat 90 – 91 yang telah sebutkan di atas tadi Allah SWT berfirman dalam
Surat Al-Maidah ayat 2 yang artinya “Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran dan bertakwalah kamu kepada Allah sesungguhnya Allah amat berat
siksanya.

Dengan kita ikut bermain maka kita juga ikut berperan aktif dalam meramaikan
perjudian itu sendiri dan Sarat suatu hal dikatakan sebagai sebuah judi menurut agama
adalah 1. adanya harta yang dipertaruhkan. 2. adanya suatu permainan yang digunakan

untuk menentukan pihak yang menang dan pihak yang kalah. 3. pihak yang menang
akan mengambilharta (yang menjadi taruhan) dari pihak yang kalah (kehilangan
hartanya).
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi (Al-Maisir) katakanlah bahwa
padakeduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya” (Al-Baqarah: 219).

Berdasarkan hadits nabi barang siapa berkata kepada saudaranya marilah kita bermain
judi maka hendaklah dia bersedekah (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan dalil-dali di atas dapat disimpulkan bahawa Islam menjadikan judi


sebagai satu kesalahan yang serius dan memandang hina apa saja bentuk judi ini dapat
dilihat dari petunjuk petunjuk berikut judi disebut dan diharamkan bersama dengan
perbuatan minum arak berkorban untuk berhala (syirik) dan menenung nasib.

E. Ketiadaan Gharar (ketidakjelasan)

Arti dalam bahasa arab gharar adalah al-khathr; pertaruhan, majhul alaqibah;
tidak jelas hasilnya, ataupun dapat juga diartikan sebagai almukhatharah; pertaruhan dan
al-jahalah; ketidakjelasan. Gharar merupakan bentuk keraguan, tipuan, atau tindakan
yang bertujuan untuk merugikan orang lain.

Di lihat dari beberapa arti kata tersebut, yang dimaksud dengan gharar dapat diartikan
sebagai semua bentuk jual beli yang didalamnya mengandung unsur-unsur
ketidakjelasan, pertaruhan atau perjudian. Dari semuanya mengakibatkan atas hasil yang
tidak pasti terhadap hak dan kewajiban dalam suatu transaksi atau jual beli.

Secara istilah fiqh, gharar adalah hal ketidaktahuan terhadap akibat suatu
perkara, kejadian atau peristiwa dalam transaksi perdagangan atau jual beli, atau
ketidakjelasan antara baik dengan buruknya.

Menurut madzhab syafi’i, gharar adalah segala sesuatu yang akibatnya


tersembunyi dari pandangan dan sesuatu yang dapat memberikan akibat yang tidak
diharapkan/ akibat yang menakutkan. Sedang Ibnu Qoyyim berkata bahwa gharar
adalah sesuatu yang tidak dapat diukur penerimaannya baik barang tersebut ada
ataupun tidak ada, seperti menjual kuda liar yang belum tentu bisa di tangkap meskipun
kuda tersebut wujudnya ada dan kelihatan.

Imam al-Qarafi mengemukakan bahwa gharar adalah suatu akad yang tidak diketahui
dengan tegas apakah efek akad terlaksana atau tidak. Begitu juga yang disampaikan
Imam as-Sarakhsi serta Ibnu Taimiyah yang memandang gharar dari segi adanya
ketidakpastian akibat yang timbul dari suatu akad. Sementara Ibnu Hazm melihat
gharar dari segi ketidaktahuan salah satu pihak yang berakad tentang apa yang menjadi
objek akad tersebut. Macam-Macam Gharar antara lain:

1. Gharar bisa terjadi dalam akad.

Maksudnya adalah bentuk akad yang disepakati oleh kedua belah pihak mengandung
unsur ketidakpastian, ada klausulklausul yang tidak jelas atau pasal karet, yang
berpotensi merugikan salah satu pihak atau berpotensi menimbulkan perselisihan
antara keduanya.

2. Gharar dalam objek akad

Gharar juga bisa terjadi pada barang atau jasa yang menjadi objek akad
yang diperjualbelikan. Maksudnya, barang atau jasa yang menjadi objek akadnya
tidak jelas. Ketidakjelasan itu bisa dalam ukurannya, kualitasnya, spesifikasinya,
keberadaannya dan lain-lain.

F. Ketiadaan Riba

Riba secara bahasa bermakna: ziyadah tambahan. Dalam pengertian lain, secara
linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.Ada beberapa
pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli
maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat
dalam Islam.

Mengenai hal ini Allah swt. mengingatkan dalam firman-Nya yang artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan
jalan bathil." (Q.S. Al-Nisa: 29)

Dalam kaitannya dengan pengertian al bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al Arabi Al-
Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al Qur’an, menjelaskan:

“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam
ayat Quran yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti
atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis
atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil.
Sepertitransaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si
penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati,
termasukmenurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil
misalnya, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan
sebelumnya. Dalam hal jual-beli si pembeli membayar harga atas imbalan barang
yangditerimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta pengkongsian
berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta
menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.

Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman


mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang
diterima si peminjam kecuali ke-sempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses
peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu,
tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan
tersebut.

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba
hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan
riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan
riba nasi’ah.

1. Riba Qardh

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh).

2.Riba Jahiliyyah

Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar
hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

3.Riba Fadhl

Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan
barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

4.Riba Nasi’ah

Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan


dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanyaperbedaan,
perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang
diserahkan kemudian
BAB III

PENTUP

A. Kesimpulan
Tukar menukar atau barter (Tabadul) adalah transaksi pertukaran kepemilikan
antara dua barang yang objeknya bisa sejenis dan bisa berbeda jenis dengan dasar saling
rela antara kedua belah pihak yang saling bertransaksi.

FILOSOFIS keadilan dalam perspektif Islam adalah kemaslahatan universal dan


komprehensif. Universal berarti bahwa Islam diperuntukkan bagi seluruh umat manusia
di muka bumi, dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman.
Komprehensif artinya bahwa Islam mempunyai ajaran yang lengkap dan sempurna
(Agustianto, 2004). Alquran dan hadis sebagai pedoman memiliki daya jangkauan yang
luas.

An taradhin terdiri dari dua suku kata; „an dan taradhin. Taradhin berasal dari
taradhaya, yataradhayu, taradhuyan setimbang dengan tafa‟ala, yatafa‟alu, tafa‟ulan.
yang berarti suka. Judi dalam hukum syar’i disebut maysir dan qimar adalah transaksi
yang dilakukan oleh dua belah untuk pemilikan suatu barang atau jasa yang
menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi
tersebut dengan suatu aksi atau peristiwa.

Arti dalam bahasa arab gharar adalah al-khathr; pertaruhan, majhul alaqibah;
tidak jelas hasilnya, ataupun dapat juga diartikan sebagai almukhatharah; pertaruhan dan
al-jahalah; ketidakjelasan. Gharar merupakan bentuk keraguan, tipuan, atau tindakan
yang bertujuan untuk merugikan orang lain.

Riba secara bahasa bermakna: ziyadah tambahan. Dalam pengertian lain, secara
linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba
berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad dkk, Viksi dan Aksi Ekonomi Islam

Farhuhrrahman dkk, Viksi dan Aksi Ekonomi Islam, jakarta : sinar Grafika 2013

Siswandi, jual dan beli dalam perspektif Islam, (Jurnal umum Qura Vol III N. 2 Agustuss

2013.

Sunarto Zulfikri, panduan praktis Trasaksi Perbankan Syariah, jakarta:Zikrul hakim

2004.

Ibnu Qodamah, Al- Mughni, Jakarta: Pustaka Azzam 2008.

Departemen agama RI, Al- Quran Dan Terjemahannya. Surabaya: Mahkoda. 1998.

Juhaya S. Praja,Prof.Dr. Filsafat Hukum Islam, Bandung.2004.

Al-Maliki. Abdurrahman. Politik Ekonomi Islam. bunggil: Al- Zazzalah.2001

Anda mungkin juga menyukai